View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
Kode 596 / Ilmu Hukum
USULAN PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN EUTHANASIA DITINJAU
DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
(Studi Kasus di Rumah Sakit se-Kota Denpasar)
TIM PENGUSUL
1. IDA BAGUS PUTRA ATMADJA, SH.,MH / 0031125433
2. A.A. NGURAH WIRASILA, SH.,MH / 0014055804
3. A.A SRI INDRAWATI, SH, MH / 0014105707
4. MONIQUE ANASTASIA TINDAGE / 1203005143 (MAHASISWI)
5. I GUSTI NGURAH AGUNG KIWERDIGUNA / 1303005227 (MAHASISWA)
PROGRAM STUD ILMU HUKUM/ ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
MARET 2016
2
3
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............... 1
HALAMAN PENGESAHAN …….….. 2
DAFTAR ISI …….….. 3
RINGKASAN …….….. 4
BAB I PENDAHULUAN …….…… 5
1. Pendahuluan …….…… 5
2. Tujuan Khusus ….……... 6
3. Tujuan Umum …….…... 6
4. Urgensi Penelitian ………… 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………… 10
BAB III METODELOGI PENELITIAN ………… 21
1. Jenis Penelitian ………… 21
2. Metode Pendekatan ………… 21
3. Bahan dan Sumber Hukum ………… 22
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………… 23
BAB IV BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN ………... 24
Lampiran 1. Justifikasi Anggaran
Lampiran 2. Sarana dan Prasarana Pendukung
Lampiran 3. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
Lampiran 4. Biodata Ketua dan Anggota Peneliti
Lampiran 5. Surat Pernyataan Personalia Penelitian
4
RINGKASAN
Pelayanan di bidang kesehatan, tidak terpisah akan adanya penyedia jasa kesehatan dengan konsumen pengguna jasa kesehatan. Pasien dalam hal ini berkedudukan sebagai konsumen dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Status pasien sebagai konsumen jasa kesehatan, maka ia juga mendapatkan perlindungan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kemajuan di bidang kesehatan telah dapat menyembuhkan dan merawat kesehatan pasien untuk dalam jangka waktu tertentu. Namun, adakalanya sakit pasien tidak dapat disembuhkan lagi. Untuk pasien yang yang telah lama sakit dan dirawat, dalam keadaan seperti itu, tidak jarang keluarga pasien menjadi iba juga selain sudah tidak ada biaya perawatan (ekonomi) sehingga meminta dokter untuk segera melakukan tindakan medis untuk mengakhiri penderitaan pasien yang lebih dikenal dengan euthanasia atau dengan kata lain mercy killing.
Permasalahan yang diambil dalam penulisan ini meliputi beberapa masalah yang menjadi topik pembahasan adalah yang pertama bagaimana perspektif hukum perlindungan konsumen terhadap tindakan euthanasia? yang kedua adalah apakah tindakan pihak keluarga pasien yang mengajukan permohonan untuk dilakukan tindakan euthanasia dikategorikan pelanggaran hukum ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen?
Peneliti hendak melakukan pengkajian, mengingat dari fakta hukum yang ada, kebutuhan akan adanya suatu undang-undang yang mengatur tentang euthanasia di Indonesia, menurut penulis sangatlah mendesak untuk segera dilaksanakan dimana di dalamnya juga harus membuat syarat dan prosedur yang cukup ketat serta pelaksanaannya harus disertai rasa tanggung jawab.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum dalam ranah Socio Legal. Penelitian ini mengkaji hukum Undang-Undang sebagaimana oleh berbagai faktor sosial yang melahirkan aliran-aliran baru yang amat kritis pada pengkajian hukum yang beraliran legisme murni. Milanovic dan pengikutnya juga menyebutnya sebagai kajian dalam ranah the sociological jurisprudence, the functional jurisprudence, and the critical legal studies. Pendekatan yang digunakan adalah : conceptual approach, statue approach serta comparative approach
Kata Kunci : Pelayanan Kesehatan, Perlindungan Konsumen, euthanasia, mercy killing
5
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk pertama kali di Indonesia seseorang yang mengakhiri penderitaan orang
lain dengan cara disuntik mati diajukan oleh keluarga pasien kepada negara di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada
tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hasan Kusuma
karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, yang
tergolek koma tak berdaya di ruang perawatan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
sejak 2 bulan terakhir dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban
biaya perawatan merupakan suatu alasan yang lain.
Pada tanggal 21 Februari 2005, sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia
juga telah diajukan oleh seorang suami bernama Rudi Hartono, 25 tahun, kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena tidak tega melihat istrinya yang bernama Siti
Zulaeha, 23 tahun mengalami koma selama 3,5 bulan dengan tingkat kesadaran dibawah
level binatang. Hal ini terjadi setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada
Oktober 2004, dengan diagnosa hamil diluar kandungan namun setelah dioperasi
ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim. Permohonan euthanasia yang ditanda-tangani
oleh suami, orang tua serta kakak dan adik Siti Zulaeha.
Dalam keadaan seperti itu, tidak jarang keluarga pasien menjadi iba juga selain
sudah tidak ada biaya perawatan (ekonomi) sehingga meminta dokter untuk segera
melakukan tindakan euthanasia dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia
akan segera mati, yang menjadi persoalan adalah :
1. Bagaimana perspektif hukum perlindungan konsumen terhadap tindakan
euthanasia?
2. Apakah tindakan pihak keluarga pasien yang mengajukan permohonan untuk
dilakukan tindakan euthanasia dikategorikan pelanggaran hukum ditinjau dari
Undang-Undang Perlindungan Konsumen?
6
Tujuan Khusus Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang akan diteliti, maka dapat
dikemukakan tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perspektif hukum perlindungan konsumen terhadap tindakan
euthanasia dalam hal pelayanan kesehatan.
2. Untuk mengetahui apakah tindakan pihak keluarga pasien yang mengajukan
permohonan untuk dilakukan tindakan euthanasia dikategorikan pelanggaran
hukum ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen.
Tujuan Umum Penelitian
Sedangkan tujuan umum dari penelitian ini adalah :
1. Untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta staf akademik dalam bidang Tri
Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian hukum.
2. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian hibah unggulan didalam
lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3. Sebagai tambahan referensi bahan bacaan dalam lingkungan perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7
Urgensi Penelitian (Keutamaan Penelitian)
Manusia yang hidup secara vegetatif, berarti ia tida ada bedanya dengan tumbuh-
tumbuhan. Ia sudah tidak mempunyai rohani karena otaknya sudah tidak berfungsi lagi.
Ia sudah tidak mampu memberi tanggapan, sedangkan kita tahu manusia itu mempunyai
dua aspek, yaitu aspek jasmani dan rohani. Aspek rohani inilah yang merupakan fungsi
hakiki bagi manusia dan yang membedakan manusia dengan mahkluk hidup yang
lainnya.
Kehadiran euthanasia sebagai suatu hak manusia berupa hak untuk mati, dianggap
sebagai konsekuensi logis adanya hak untuk hidup. Mengenai hak untuk hidup, memang
telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasuk-kannya dan diakuinya Universal
Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 Desember
1948. Sedangkan mengenai “hak untuk mati”, karena tidak dicantumkan secara tegas
dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan
dikalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam “Peradilan Semu”
dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.
Oleh karena setiap orang mempunyai hak untuk hidup, maka setiap orang juga
mempunyai hak untuk memilih kematian yang dianggap menyenangkan bagi dirinya.
Kema-tian yang menyenangkan inilah kemudian muncullah istilah euthanasia. Dalam
eutha-nasia, untuk mendapatkan kematian yang menyenangkan, seorang yang
menginginkan atau dianggap menginginkan memerlukan bantuan dari orang lain untuk
mendapatkan kematian tersebut. Peranan orang lain itulah yang membedakan euthanasia
dari bunuh diri, seorang tidak menggunakan orang lain memperoleh kematian.
Berkembangnya etika pelayanan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian
berbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam
konteks pelayanan kesehatan diantaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam
hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penen-tuan nasib sendiri masih memerlukan
pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberikan
kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak
manapun setelah diberi informasi yang cukup, sehingga putusannya diambil melalui
pertimbangan yang jelas.
Pelayanan kesehatan berbeda dengan berbagai pelayanan lainnya. Hasil pelayanan
kesehatan tidaklah pernah bersifat pasti. Pelayanan kesehatan yang sama yang diberikan
8
kepada dua orang pasien yang sama dapat saja memberikan hasil yang berbeda. Dengan
karakteristik yang seperti ini maka jelaslah pada pelayanan kesehatan yang dijanjikan
bukanlah hasilnya, melainkan upaya yang dilakukan, yang dalam hal ini adalah harus
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan perkataan lain pada pelayanan
kese-hatan, para pelaku usaha, yakni para dokter dan atau berbagai saran pelayanan
kesehatan, tidak pernah dapat memberikan jaminan dan/atau garansi.
Sekalipun Undang-undang No. 8 Tahun 1999 pada dasarnya tidak bertentangan
dengan Kode Etik dan Sumpah Dokter, bukan lalu berarti Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 ter-sebut dapat langsung diterapkan pada pela-yanan kesehatan. Pelayanan
kesehatan sebagai suatu jasa memiliki berbagai karakteristik tersendiri. Dengan
demikian penerapan Un-dang-undang No. 8 Tahun 1999 pada pelayanan kesehatan
harus memperhatikan berba-gai karakteristik tersebut. Pasien tidak sama sekali dengan
konsumen biasa, karena pasien memiliki hakikat, ciri-ciri, karakter dan sifat yang sangat
berbeda dengan konsumen yang dikenal dalam dunia dagang pada umumnya.
Dengan demikian, dalam hubungan antara pasien sebagai penerima pertolongan
medis dengan dokter sebagai pemberi perto-longan medis, merupakan hubungan antar
subjek hukum. Dimana hubungan hukum tersebut terjalin pada dasarnya secara kon-
traktual dan konsensual seperti dengan adanya persetujuan (consent) dari pasien atau
keluar-ganya untuk dilakukan tindakan medis baik lisan maupun tertulis setelah terlebih
dahulu diberikan penjelasan atau informasi (informed) secara rinci atas tindakan
kedokteran yang akan dilakukan tersebut oleh dokter, serta dokter yang menyatakan
secara lisan maupun sikap atau tindakan yang menunjukan kese-diaan dokter untuk
menangani pasien tersebut.
Hubungan pasien dan dokter merupakan suatu perjanjian yang objeknya berupa
pelayanan medik atau upaya penyembuhan, yang dikenal sebagai transaksi terapeutik.
Perikatan yang timbul dari transaksi terapeutik itu disebut inspanningverbintenis, yaitu
suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati dan usaha keras (met zorg en
ispanning). Pada dasarnya transaksi terapeutik ini bertumpu pada dua macam hak asasi
yang merupakan hak dasar manusia, yaitu : 1). Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
(the right to selft-determination); dan 2). Hak atas informasi (the right of information).
Setiap dokter yang memberikan pelayanan kepada pasien tentu mengetahui
tentang segala penderitaan yang dialami pasien. penderitaan yang dialami oleh pasien
9
dapat diakibatkan oleh penyakit yang dideritanya atau kecelakaan yang dialaminya.
Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan adalah semata-mata
untuk meng-hilangkan rasa sakit dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh
pasien. Dengan kata lain tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter demi
kepentingan kesehatan pasien. Oleh karena itu, kemajuan dalam bidang ilmu dan
teknologi kedokteran telah menambahkan beberapa konsep fundamental tentang
kematian. Kalau dahulu mati dide-finisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan
pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu
jantung (face maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami
mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest),
masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien
belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan
dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun tanpa diketahui kapan akan berakhir, yang jelas
kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan
besar ia akan segera mati.
Dalam keadaan seperti itu, tidak jarang keluarga pasien menjadi iba juga selain
sudah tidak ada biaya perawatan (ekonomi) sehingga meminta dokter untuk segera
melakukan tindakan euthanasia atau berupa mengakhiri penderitaan pasien dengan cara
melepas semua alat bantu, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan
segera mati.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan
seorang konsumen. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah
“konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No.8 Tahun 1999 menyatakan, Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Karena kedudukan pasien adalah sebagai konsumen jasa, maka ia juga
mendapatkan perlindungan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlin-dungan Konsumen. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada
kemungkinan-kemungkinan bahwa dokter melakukan kekeli-ruan karena kelalaian.
Masalah euthanasia menimbulkan pro dan kontra. Ada sebagian orang yang
menyetujui euthanasia ini. Sebagian pihak lain menolaknya. Dalam hal ini tampak
adanya batasan karena adanya sesuatu yang mutlak berasal dari Tuhan dan batasan
karena adanya hak asasi manusia. Pembicaraan mengenai euthanasia tidak akan
memperoleh suatu kesa-tuan pendapat etis sepanjangan masa. Secara sederhana,
perdebatan euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghor-matan
terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup
dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika
ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna. Apakah
pengakhiran hidup macam itu bisa dibenarkan?
Secara spesifik alasan pro euthanasia aktif:
1. Adanya hak moral untuk setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang memiliki hak memilih cara kematiannya.
2. Adanya hak ‘privacy’ yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka sesorang berhak sesuai privacy-nya (Pro choice dalam kasus aborsi).
3. Euthanasia adalah tindakan belas kasihan/ kemurahan pada si sakit. Maka tidak bertentangan dengan perikemanusiaan. Meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan.
4. Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meri-ngankan penderitaan si
11
sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khusus-nya penderitaan psikologis.
5. Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Daripada membuang dana untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga yang masih hidup.
6. Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya perawatan mereka yang cacat secara permanen.
Alasan-alasan kontra euthanasia aktif, dikemukakan sebagai berikut:
1. Tidak ada alasan moral apapun yang me-ngijinkan seseorang melakukan ‘pembu-nuhan’ maupun ‘bunuh diri’. Kematian adalah hak Tuhan, maka tidak ada hak manusia untuk memilih cara kematiannya.
2. Hak ‘privacy’ adalah hak yang dinikmati dalam hidup. Hak hidup memang tak terbatas, tetapi hak ‘privacy’ selalu terbatas, bahkan dalam kehidupan yang dijalani sehari-hari. Selalu privacy bisa dibatasi oleh hak privacy orang lain. Maka hak privacy tidak relevan digunakan mengklaim hak un-tuk memilih cara kematian seseorang.
3. Meskipun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah sesuatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan euthanasia, itu sama artinya meng- halalkan cara untuk tujuan tertentu. Rumus tersebut tidak bisa diterima secara moral.
4. Penderitaan memiliki fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup manusia. Penderitaan melahirkan ketekunan, peng-harapan dan kesempurnaan hidup. Maka penderitaan tidak bisa dijadikan sebagai alat pembenaran praktek euthanasia.1
Manusia lebih berharga dari materi. Maka materi harus melayani kepentingan
manusia. Maka melakukan euthanasia demi untuk kepentingan penghematan ekonomi
tidak diizinkan secara moral.
Intervensi hukum ke dalam dunia kesehatan memang tidak terelakkan sebagai
konsekuensi logis dari adanya “the police power”, yaitu suatu kekuasaan yang dimiliki
oleh negara untuk melindungi kesehatan, kese-lamatan, moral dan kesejahteraan sosial
bagi warganya (the power of the state to protect the health, safety, moral, and social of
it’s citizen).2
Konstruksi Yuridis munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia
menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas”
1 Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, “Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan”, Penerbit
Kedokteran EGC, Jakarta. 2 Jaques P. Ethics, 1995, “Theory and Practice”, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
12
inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum
memberikan regulasi/ pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu
masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Karena kedudukan pasien adalah
sebagai konsumen jasa, maka ia juga mendapatkan perlindungan sesuai dengan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tetapi
bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan
nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya
sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Ketentuan peralihan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (pasal 64) berbunyi: “segala ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bertu-juan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-
undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus
dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini”. Oleh karena
itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengandung asas “Lex specialis derogat
lex generalis” artinya ketentuan umum Undang-undang Kesehatan sebagai lex specialis,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis. Artinya jika kedua-
duanya mengatur, maka yang berlaku adalah yang bersifat khusus, yaitu Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Namun jika dalam Undang-Undang No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mengatur sendiri, maka Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku un-tuk jasa pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, aspek yuridis bagi pasien sebagai perlindungan pasien selaku
konsumen meliputi dua hal yaitu aspek hukum pidana perlindungan pasien dan aspek
hukum perdata perlindungan pasien.3
Sekalipun Undang-undang No. 8 Tahun 1999 pada dasarnya tidak bertentangan
dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kode Etik serta
Sumpah Dokter , bukan lalu berarti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tersebut dapat
langsung diterapkan pada pelayanan kesehatan. Pelayanan kese-hatan sebagai suatu jasa
memiliki berbagai karakteristik tersendiri. Dengan demikian penerapan Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 pada pelayanan kesehatan harus memper-hatikan berbagai
karakteristik tersebut. Pasien tidak sama sekali dengan konsumen biasa, karena pasien
memiliki hakikat, ciri-ciri, karakter dan sifat yang sangat berbeda dengan konsumen
3 Imron Halimi, 1990, “Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang Modern”, CV. Rmadhani, Solo.
13
yang dikenal dalam dunia dagang pada umumnya. Utamanya dalam pemenuhan hak-
hak pasien, yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri, namun
perlu dicermati bahwa orang sakit sebagai pasien berbeda dengan konsumen. Ada
beberapa hal yang perlu dicermati:
a. Pasal 4 b: hak untuk memilih barang dan/atau jasa. Hal ini tidak dapat diberla-kukan pada keadaan gawat darurat, demi keselamatan pasien.
b. Pasal 4 c: hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur. Dalam keadaan tertentu, demi kepentingan pasien, dokter dapat me-nahan seluruh atau sebagian informasi.
c. Pasal 4 h: hak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Perlu diingat tidak semua kerugian yang timbul pada pelayanan kesehatan berhak men-dapatkan kompensasi atau ganti rugi.
d. Pasal 7 e: kewajiban memberikan jaminan dan/atau garansi. Pelayanan kesehatan tidak dapat memberikan garansi, karena sifatnya inspanning verbitenis, suatu usaha.4
Indonesia sebagai negara yang berasaskan Pancasila, dengan sila yang perta-
manya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan
euthanasia " terutama euthanasia aktif".
Jelas bahwa hukum perlindungan konsumen di Indonesia belum memberikan
ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Hal ini sesuai
dengan asas perlindungan konsumen yaitu Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen; juga tujuan dari adanya Undang-Undang Perlindungan Kon-sumen yaitu
pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen
untuk disampaikan mengingat berbagai hal. Seperti munculnya permintaan tindakan
medis eutha-nasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami
pergeseran nilai kultural. Penulis melihat dilakukannya euthanasia atas dasar legal, dan
juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan.
Tindakan melegalisir voluntary euthanasia dapat mengarah kepada dilakukannya
involuntary euthanasia dan membuat orang-orang lemah seperti orang lanjut usia dan
para cacat berada dalam risiko.
Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan kepada mereka yang merasa
diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau teman. Kelompok pro-euthanasia
4 Ilyas Efendi, 1989, “Euthanasia Ratu Cleoprata Dua Puluh Abad Lalu”, Kartini.
14
mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggu-nakan argumen quality of life,
autonomi dan inkonsistensi hukum. Namun demikian, argu-men-argumen yang telah
dikemukakan di atas lebih kuat karena sulitnya untuk melegalisir euthanasia dalam
membuat standar prosedur yang efektif. Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan
tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau
teman.
Masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia,
maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati
unsur-unsur euthanasia itu. Perlu diketahui karena pasien itu adalah konsumen maka
hukum yang mengatur adalah Undang-Undang Perlindu-ngan Konsumen No. 8 Tahun
1999 akan tetapi karena undang-undang ini belum secara jelas mengatur pasien
euthanasia maka berdasarkan Ketentuan Peralihan Undang-Undang Perlin-dungan
Konsumen (pasal 64) maka berlaku dari aspek hukum pidana perlindungan pasien
selaku konsumen. Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berbunyi: “segala
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang
telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini”. Berdasar-kan hal tersebut patut menjadi catatan, bahwa
secara yuridis formal dalam hukum positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk
eutha-nasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri
(volun-tary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :5
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan
atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia,
tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
5 Guwandi J, 2000, “Grup Kasus Bioethics & Biolaw”, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
15
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut.6
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan
tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan seperti yang pernah terjadi (kasus Hasan
Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, dan terakhir kasus Rudi Hartono
yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara
hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi seba-gai non-voluntary
euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
dua kasus ini tidak bisa di-kualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam
Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).7 Secara yuridis formal
kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa
seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), atau pembunuhan berencana sebagaimana dimak-sud dalam Pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam ketentuan Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas dinyatakan,
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku euthanasia (tindakan pihak keluarga), yaitu ketentuan Pasal 356
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang juga mengancam terhadap
“Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa
dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diper-hatikan adanya
ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 . Dalam ketentuan
Pasal 304 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan,
6 Franz Magnis-Suseno, 1998, “Model Pendekatan Etika” , Kanisius, Yogyakarta. 7 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, “Euthanasia, Hak Asasi Manusia, dan
Hukum Pidana”, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
16
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiar-kan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikena-kan
pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia,
meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua
pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering
terjadi di Indonesia.
Melalui penelitian ini, mendapatkan hasil bahwa faktor-faktor seseorang
melakukan euthanasia tidak suka rela adalah faktor medis, yaitu ada kepastian bahwa
penyakit pasien menurut pertimbangan medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi.
Selain itu juga faktor ekonomi maksudnya dari faktor ini adalah euthanasia dilakukan
karena faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan apabila pasien terlalu lama
dirawat dirumah sakit. Jadi pada kasus ini keluarga pasien memang sudah tidak mampu
menanggung biaya rumah sakit karena pasien sudah terlalu lama dalam koma-nya selain
itu harga pengobatan dan tindakan medis sudah terlalu mahal. Pada kondisi ini pihak
keluargalah yang meminta agar alat-alat pendukung kehidupan pasien dicabut hal ini
didasari adanya anggapan bahwa memberikan pengobatan dan perawatan sama halnya
dengan memperpanjang penderitaan pasien.
Dalam hal ini, Penulis melihat tindakan pihak keluarga pasien yang mengajukan
permohonan untuk dilakukan euthanasia dika-tegorikan suatu pelanggran hukum dari
aspek hukum pidana perlindungan konsumen selaku pasien. Walaupun dengan berbagai
alasan, yaitu baik alasan penderitaan maupun alasan ekonomi, sebab manusia adalah
makhluk mulia yang harus mampu menahan penderitaan dan lebih penting dari pada
materi.Tugas setiap orang adalah menghibur si sakit untuk terus dalam penderitaan dan
meyakinkannya untuk menghadapi kematian dengan sukacita. Alasan lain di balik
penolakan terhadap praktek euthanasia, bahwa manusia diberi penghargaan dan kasih
17
karunia oleh Tuhan untuk melang-sungkan kehidupannya, akan tetapi juga untuk
menemukan kematiannya.
Sedangkan Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui penye-lenggaraan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).Berdasarkan pengertian diatas, pelaku
usaha dalam hal ini adalah dokter, pihak Rumah Sakit, maupun petugas kesehatan yang
memiliki hubungan hukum dengan pasien selaku konsumen jasa medis. Dasar hubungan
tersebut adalah konsensus dan perjanjian antara pelaku usaha medis dengan pasien/
konsumen medis.8
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Tetapi karena kedudukan pasien adalah sebagai konsumen jasa, maka ia
juga mendapatkan perlindungan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlin-dungan Konsumen. Dalam hal ini, hukum perlindungan konsumen di
Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun
euthanasia pasif. Maka berdasarkan ketentuan peralihan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (pasal 64) berbunyi: “segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bertujuan melindungi konsu-men yang telah ada pada saat Undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau
tidak berten-tangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini”.9
Berdasarkan ketentuan diatas, bagaima-napun karena masalah euthanasia
menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari
pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit men-dekati unsur-unsur
euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah
apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya
pasal-pasal yang membi-carakan masalah kejahatan terhadap nyawa manusia, yang
8 D. Veronica Komalawati, 1989, “Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter”, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta. 9 Ibid
18
dapat dijumpai dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang menyinggung
masalah euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal yang lebih
mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:
"Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun."
Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesung-
guhan hati” hati harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (erbstig), jika
tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa, dan haruslah mendapatkan
perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya
dapat dipidana berdasarkan pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar
tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan
yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik
dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.10
Undang-undang yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya eutha-
nasia aktif dan dianggap sebagai suatu pem-bunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkannya nyawa seseorang. Dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak
yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan
pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam
keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar
bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti
pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal-pasal dalam undang-
undang yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.11
10 Chrisdiono M. Achadiat, 2007, “Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran”, Penerbit Kedokteran
EGC, Jakarta.
19
Sementara untuk euthanasia pasif dan tidak langsung, dokter harus bisa membuk-
tikan bahwa tindakan medik terhadap pasien sudah tidak ada gunanya lagi (euthanasia
pasif) atau membuktikan bahwa tindakan medik yang dilakukannya itu bertujuan untuk
meri-ngankan penderitaan pasien (euthanasia tidak langsung).
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedok-teran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa “seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup mahkluk insani”. Ini berarti bahwa menurut kode etik
kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien
sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama
sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu
dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman. Selain harus
pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hi-
dup pasien. sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur
tentang euthanasia. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan
meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.12
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan
perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penga-
niayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu ke-dokteran yang dikuasai oleh seorang dokter.
Tindakan diluar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan diluar kompetensi
dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai
tidak ada gunanya lagi dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.
Namun ketika pasien dipastikan mengalami kematian otak maka pasien
dinyatakan telah meninggal. Tindakan penghentian terapeutik diputuskan oleh dokter
11 Chandrawila Supriadi, 2001, Wila, “Hukum Kedokteran”, CV. Mandar Maju, Bandung. 12 Amir Amri, 1197, “Bunga Rampai Hukum Kesehatan”, Penerbit Widya Medika, Jakarta.
20
yang telah berpengalaman, selain harus pula dipertim-bangkan keinginan pasien,
keluarga pasien, dan kualitas hidup yang diharapkan.
Dalam kondisi di mana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat lagi
diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan pasien bukan lagi
ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan harus lebih ditujukan untuk
memperoleh kenyamanan dan meringankan penderitaannya.
Oleh karena itu setiap dokter seha-rusnya memahami Kode Etik Kedokteraan
serta aspek hukum pelayanan kesehatan, khususnya Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
21
2.2 Bagan Alur Penelitian
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumya bahwa kegiatan ini adalah kegiatan
penelitian yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan dokumentasi.
BAGAN ALUR PENELITIAN, DOKUMENTASI, PUBLIKASI, DAN
TAHAPAN MEKANISME KEGIATAN
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN
EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMEN
(Studi Kasus di Rumah Sakit se-Kota Denpasar)
Tahun 1 1. Hasil dari penelitian ini akan
dipublikasikan dalam jurnal yang mempunyai ISSN.
2. Hasil dari penelitian ini akan dibawa kedalam pertemuan ilmiah (Focus Grup Discussion) dengan Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit se Kota Denpasar
3. Hasil dari penelitian ini dijadikan sebagai pengayaan bahan ajar dalam perkuliahan Hukum Kesehatan dalam program S1
Fokus Kegiatan
Tahun 1
Tahun 2 1. Sebagai bahan pertimbangan dan bahan
evaluasi bagi Dinas Kesehatan dan Kanwil Kesehatan beserta Rumah Sakit se Kota Denpasar dalam menentukan proses Euthanasia
2. Sebagai bahan masukan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Denpasar untuk disosialisasikan kepada seluruh Dokter yang tergabung didalam IDI.
3. Hasil penelitian ini akan dibawa kedalam seminar berskala lokal dan nasional.
Fokus Kegiatan
Tahun 2
22
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Konsep, Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Konsep Penelitian
Dalam konteks kedudukan hukum pasien Euthanasia terhadap Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Hukun dan Konsumen, konsep hukum yang
dikedepankan adalah konsep hukum yang berkeadilan bagi pasien sebagai konsumen
dan pihak rumah sakit, serta berkeadilan bagi end user dalam hal ini masyarakat sebagai
konsumen dari rumah sakit. Konsep keadilan dalam penelitian ini adalah keadilan yang
berbasis masyarakat secara keseluruhan.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum dalam ranah Socio Legal. Penelitian
ini mengkaji hukum Undang-Undang sebagaimana oleh berbagai faktor sosial yang
melahirkan aliran-aliran baru yang amat kritis pada pengkajian hukum yang beraliran
legisme murni. Milanovic dan pengikutnya juga menyebutnya sebagai kajian dalam
ranah the sociological jurisprudence, the functional jurisprudence, and the critical legal
studies.13
Penelitian hukum dengan aspek normatif ini menggunakan data sekunder sebagai
data awal yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan data primer yang diperoleh
dari studi bahan hukum. Penelitian hukum dengan aspek normatif bertumpu pada
premis normatif dengan fokus kajiannya yang esensi hukum tertuang dalam bentuk
norma-norma, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan ataupun ketentuan
hukum lainnya.
Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : conceptual approach,
statue approach serta comparative approach.
13
Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, “Bahan Bacaan Penulisan Disertasi”, UNDIP, Semarang.
23
2. Bahan dan Sumber Hukum
Bahan dan sumber hukum yang diteliti dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari pihak-pihak yang terlibat dalam
amsalah yang menjadi objek penelitian.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan dan dokumen hukum, sedangkan bahan hukum sekunder adalah
yang bersumber dari buku-buku serta tulisan-tulisan hukum.14
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi
kepustakaan (studi dokumen) serta studi perbandingan yaitu serangkaian usaha untuk
memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklasifikasikan,
mengidentifikasikan dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan, konvensi serta literatur yang ada relevansinya
dengan permasalahan yang dikemukakan. Hasil dari pengkajian tersebut kemudian
dianalisis secara sistematis sebagai intisari hasil pengkajian studi dokumen.
14 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung.
24
BAB IV
BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN
4.1 Anggaran Biaya
Tabel Ringkasan Anggaran Biaya yang diajukan setiap Tahun
No Jenis Pengeluaran Biaya yang diusulkan (Rp)
Tahun I Tahun II
1 Gaji dan upah (Maks. 30%) Rp. 15.000.000,- Rp. 15.000.000,-
2 Bahan habis pakai dan peralatan (30-
40%)
Rp. 20.000.000,- Rp. 20.000.000,-
3 Perjalanan (Maks. 15-25%) Rp. 7.500.000,- Rp. 7.500.000,-
4 Lain-lain (publikasi, seminar, laporan,
lainnya sebutkan) (15%)
Rp. 7.500.000,- Rp. 7.500.000,-
Jumlah Rp. 50.000.000,- Rp. 50.000.000,-
4.2 Jadwal Kegiatan
No Jenis Kegiatan TAHUN I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Tahap persiapan
2. Pengumpulan data
3. Pengolahan data
4. Penyusunan draft laporan penelitian
5. Seminar/Konsultasi
6. Penyempurnaan laporan penelitian
7. Penggandaan dan penyerahan laporan hasil penelitian
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Amir Amri, 1197, “Bunga Rampai Hukum Kesehatan”, Penerbit Widya Medika,
Jakarta. Chandrawila Supriadi, 2001, Wila, “Hukum Kedokteran”, CV. Mandar Maju, Bandung. Chrisdiono M. Achadiat, 2007, “Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran”, Penerbit
Kedokteran EGC, Jakarta. D. Veronica Komalawati, 1989, “Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter”, Penerbit
Sinar Harapan, Jakarta. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, “Euthanasia, Hak Asasi Manusia,
dan Hukum Pidana”, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Franz Magnis-Suseno, 1998, “Model Pendekatan Etika”, Kanisius, Yogyakarta. Ilyas Efendi, 1989, “Euthanasia Ratu Cleoprata Dua Puluh Abad Lalu”, Kartini. Imron Halimi, 1990, “Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang Modern”, CV. Rmadhani,
Solo. Jaques P. Ethics, 1995, “Theory and Practice”, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, “Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan”,
Penerbit Kedokteran EGC, Jakarta. Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, “Bahan Bacaan Penulisan Disertasi”, UNDIP,
Semarang.
26
LAMPIRAN 1 JUSTIFIKASI BIAYA
1. Gaji dan UpahHonor/ Jam Waktu Honor/ Tahun
(Rp) (Jam/ Minggu) Tahun IKetua 17.361 6 48 5.000.000 Anggota 1 17.361 6 48 5.000.000 Anggota 2 17.361 6 48 5.000.000
15.000.000
2. 1. Peralatan PenunjangBiaya (Rp)
Tahun IFlash Disc 8GB Pembuatan
Proposal dan Analisis Data
4 buah 400.000 1.600.000
Modem Internet idem 1 paket 250.000 250.000 CD Blank idem 2 Paket 50.000 50.000 Ballpoint, Blinder Clips, Amplop, stabilo
Bahan utama dan penunjang analisis data
1 set 500.000 500.000
1.900.000
2.2. Bahan Habis PakaiBiaya (Rp)
Tahun IBelanja Konsumsi penelitianSnack 50 Kotak 15.000 750.000 Nasi kotak 50 Kotak 30.000 1.500.000 Belanja Bahan PenelitianKertas A4 80 gram Proposal,
Kuisioner, Laporam
25 rim 50.000 1.250.000
Tinta Printer Idem 8 buah 275.000 2.200.000 Cartridge Printer Idem 3 buah 500.000 1.500.000 Block Note Idem 30 buah 10.000 300.000 Pembelian Literatur Bahan utama
penelitian data sekunder
1 set 4.500.000
Foto copy perbanyak kuisioner dan proposal, Jurnal Hukum
Idem 1 set (10.000 lembar)
160 1.600.000
Cetak/ Download bahan hukum dari Internet
Idem 1.000 eksemplar 1.000 1.500.000
15.100.000
3. PerjalananBiaya (Rp)
Tahun IFH UNUD - Rumah Sakit Negeri se Kota Denpasar
Survey, Pengurusan ijin,
Penelitian Lapangan
3 1.500.000 4.500.000
FH UNUD - Dinas Kesehatan Kota Denpasar
Survey, Pengurusan ijin,
Penelitian Lapangan
2 750.000 1.500.000
FH UNUD - Rumah Sakit Swasta se Kota Denpasar
Survey, Pengurusan ijin,
Penelitian Lapangan
2 750.000 1.500.000
FH UNUD - Dinas Kesehatan Propinsi Bali
Survey, Pengurusan ijin,
Penelitian Lapangan
3 1.000.000 3.000.000
10.500.000
4. Lain-LainBiaya (Rp)
Tahun ITabulasi data lapangan di Denpasar
1 set 1.250.000 1.250.000
Penyusunan 1 set (20 buah) 200.000 4.000.000 Seminar Hasil 1 paket 1.500.000 1.500.000 Publikasi hasil penelitian melalui Jurnal Hukum Lokal
1 paket 750.000 750.000
7.500.000
50.000.000
Sub Total (Rp)
Honor Minggu
Sub Total (Rp)
Material Justifikasi Pemakaian
Kuantitas Harga Satuan (Rp)
Sub Total (Rp)
Material Justifikasi Pemakaian
Kuantitas Harga Satuan (Rp)
Sub Total (Rp)
Grand Total (Rp)
Material Justifikasi Pemakaian
Kuantitas Harga Satuan (Rp)
Sub Total
Material Justifikasi Pemakaian
Kuantitas Harga Satuan (Rp)
27
LAMPIRAN 2
DUKUNGAN SARANA DAN PRASARANA
Sarana yang digunakan untuk mendukung kegiatan penelitian ini meliputi sarana-sarana sebagai berikut :
1. Laboratorium : Lab Elektronik IT Fakultas Hukum UNUD dapat menunjang sekitar 50% dukungan dalam kegiatan penelitian terutama untuk mencari data sekunder (data kepustakaan)
2. Perpustakaan Fakultas Hukum UNUD mendukung dalam hal pencarian data atau literatur-literatur yang diperlukan terkait dalam permasalahan dalam penelitian ini.
3. Peralatan utama : meliputi laptop, computer, printer, kamera, scanner untuk mendukung kegiatan operasional dalam hal pecarian dan pengolahan serta analisa data.
28
LAMPIRAN 3
SUSUNAN ORGANISASI TIM DAN PEMBAGIAN TUGAS
No. Nama/NIDN Instansi Asal
Bidang Ilmu
Alokasi Waktu
(jam/minggu)
Uraian Tugas
1. I.B Putra Atmadja, SH, MH. (0031125433)
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Hukum 6 Ketua Tim Peneliti bertugas :
1. Membuat kerangka dasar usulan penelitian
2. Membuatkan daftar pembagian tugas
3. Memberikan analisa di bidang hukum
4. Menyempurnakan laporan penelitian
2. AA Ngurah Wirasila, SH, MH. (0014055804)
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Hukum 6 Anggota Tim Peneliti bertugas :
1. Menganalisis materi penelitian
2. Mempersiapkan materi penelitian
3. Melakukan pengolahan data hukum untuk penelitian
3. A.A Sri Indrawati, SH, MH. (0014105707)
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Hukum 6 Anggota Tim Peneliti bertugas untuk :
1. Memberikan analisa di bidang terhadap permasalahan
2. Penyusunan laporan penelitian
3. Persiapan kegiatan seminar hasil penelitian
4. Penggandaan laporan hasil penelitian
29
LAMPIRAN 4 A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Ida Bagus Putra Atmadja, SH.,MH L/P 2. Jabatan Fungsional Lektor Kepala 3. Jabatan Struktural Pembina / IVb 4. NIP/NIK/No.Identitas lainnya 19541231 198303 1 001 5. NIDN 0031125433 6. Tempat dan Tanggal Lahir Gianyar, 31 Desember 1954 7. Alamat Rumah Jl. Gunung Penulisan No. 3 Denpasar 8. Nomor Telepon/ HP 0361-488507 9. Alamat Kantor Jln. Pulau Bali No. 1 Denpasar 10. Nomor Telepon/Faks (0361) 222666/ Fax. (0361) 234888 11. Alamat e-mail putra_atmadja@unud.ac.id 12. Lulusan yang telah dihasilkan S-1= orang; S-2= Orang; S-3= Orang 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Hukum Perikatan
2. Hukum Perdata 3. Hukum Dagang 4. Hukum Perbankan 5. Hukum Kesehatan 6. Pengantar Hukum Bisnis
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2
Perguruan Tinggi Universitas Udayana Universitas Airlangga, Surabaya Bidang Ilmu Ilmu Hukum Ilmu Hukum Tahun Masuk 1974 2002 Tahun Lulus 1981 2005 Judul Skripsi/Thesis Masalah yang Timbul di Dalam
Perkawinan Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Prinsip Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UU No.8 Tahun 1999
Nama Pembimbing 1. Anak Agung Oka Suwetja, SH. 2. Dewa Made Sukawati, SH.
1. Dr. Pieter Mahmud Marzuki, SH, MS, LLM
2. Sri Handayani, SH.,M.Hum C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.) 1. 2010 Pengaturan Perdagangan Valuta Asing
Bukan Bank Direktorat Hukum Bank Indonesia
70.000.000
2. 2010 Pelaksanaan Pembuatan Akta Kelahiran Sebagai Identitas Kelangsungan Hidup Anak di Wilayah Pemerintahan Kota Denpasar
DIPA FH UNUD
3. 2010 The Golden Keys dalam Hubungannya dengan sahnya Perjanjian Sewa Beli (Hurkoop)
Dana Mandiri
30
4. 2012 Kedudukan Bank sebagai Kreditur dalam Hal Tidak Dilaksanakannya Pendaftaran Jaminan Fidusia
Program Magister Kenotariatan FH UNUD
6.000.000
5. 2015 Keterangan Ahli Dalam Proses Pembuktian Peradilan Pidana
Dana DIPA FH UNUD no. Kontrak 961C/UN14.1.11/KU/2015, Tanggal 4 Mei 2015
9.000.000
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber *)
Jml (Juta Rp.)
1. 2012 Sosialisasi Ketentuan Pasal 18 UU
Perlindungan Konsumen Dalam Perumusan Klausula Baku Perjanjian Standar Kredit Bank di BPR Kintamani, Perdana, Bangli
DIPA FH UNUD
1.500.000
2. 2013 Sosialisasi Hukum Perkawinan dan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia di Banjar Manut Negara, Desa Tegal Kertha, Kota Denpasar
DIPA FH UNUD
1.500.000
3. 2013 Sosialisasi Prinsip Kehati-hatian dan GLG dalam Mengelola Bank di PT. BPR Gianyar Parta Sedana Blahbatuh, Gianyar
Dana DIPA BLU Prodi Magister (S2) Ilmu Hukum UNUD
2.862.500
4. 2014 Sosialisasi Malpraktek di Tinjau Dari Sudut Pandang Pidana dan Etik Kedokteran
Dana DIPA PNBP UNUD
5.000.000
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor Nama Jurnal
1. Tanggung Gugat Dokter dan Rumah Sakit atas Kesalahan dalam Pelayanan Medis pada Pasien
Vol. 15 No. 1 Januari 2014
Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana Universitas Warmadewa
2. Prisip Tanggung Gugat Tanpa Kesalahan Dalam Sengketa Konsumen
Edisi Khusus Ulang Tahun Fakultas Hukum Universitas Udayana, September 2010
Majalah Kertha Patrika FH UNUD
31
32
A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap (dengan gelar) Anak Agung NgurahWirasila,S.H.,M.H. L Jabatan Fungsional Lektor Jabatan Struktural - NIP/NIK/No.Identitas lainnya 19580514 198702 1 001 NIDN 0014055804 Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar dan 14 Mei 1958
Alamat Rumah Jl. Singosari, Gg. Belibis No. 26 Denpasar Nomor Telepon/Faks /HP 081338612090 Alamat Kantor Jl. Pulau Bali no. 1 Denpasar Nomor Telepon/Faks (0361) 222666 Alamat e-mail - Lulusan yang telah dihasilkan S1= 20 orang Mata Kuliah yg diampu 1. Hukum Pidana 2. Hukum Kesehatan 3. Hukum Pidana Lanjutan 4. Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP
B. Riwayat Pendidikan
Program S1 S2 Nama Perguruan Tinggi Fakultas Hukum Unud Pascasarjana Unud Bidang Ilmu Ilmu hukum Ilmu Hukum Tahun Masuk 1978 2007 Tahun Lulus 1985 2010 Judul Skripsi/Thesis/Disertasi
Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan dan Kejahatan Oleh Generasi Muda Di Kabupaten Badung
Euthanasia Dalam Pandangan Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia
Nama Pembimbing/ Promotor
- I Ketut Mertha, SH. - I Dewa Nyoman Sekar., SH.
- Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH,M.Hum
- I Made Tjatrayasa, SH,MH
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan Sumber Jumlah
1. 2011 Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Dan Kejahatan Narkotika Di Kota Denpasar,
Mandiri -
33
Oktober 2011 2. 2010 Tindak Pidana Terhadap Harta
Benda
Mandiri -
3. 2011 Tindak Pidana Narkotika Dan Psikotropika
Mandiri -
4. 2011 Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing Dengan Tingkat Kejahatan Narkotika Di Bali
DIPA FH 3.000.000
4. 2012 Delik Adat Lokika Sanggraha Dalam Kaitannya Dengan Pembaharuan KUHP
DIPA FH 3.000.000
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun
Judul Penelitian Pendanaan Sumber Jumlah
1. 2009 Pelaksanaan BaktiSosial Program Ekstensi FH UnudDesa Belimbing Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan
F H Unud -
2. 2009 Penyuluhan Hukum Tentang NarkotikaDesa Selan Bawak Kecamatan Marga–Kabupaten Tabanan
FH UNUD -
4. 2010 PelaksanaanKerjaSosial FH Unud, di Desa Selan Bawak Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan.
FH UNUD -
9. 2013 Sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai upaya untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur di desa Pancasari kabupaten Buleleng.
Penerapan IPTEKS-SOSBUD
4.000.000
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Volume/Nomor Nama Jurnal 1. Pengaruh Minuman Keras
Terhadap Timbulnya Kriminalitas di Bali
Majalah Kertha Patrika FH Unud, No. 49. Tahun XV. Desember 1989
Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana KERTHA PATRIKA
34
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Hibah Unggulan Udayana dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN (Studi Kasus di Rumah Sakit se-Kota Denpasar)
Denpasar, 15 Maret 2016
35
A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap (dengan gelar) A.A Sri Indrawati, SH.,MH L/P 2. Jabatan Fungsional Lektor Kepala 3. Jabatan Struktural Pembina Tingkat I/ IVa 4. NIP/NIK/No.Identitas lainnya 19571014 198601 2001 5. NIDN 0014105707 6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 14 Oktober 1957 7. Alamat Rumah Jl. P. Adi VIII/No. 1 Denpasar 8. Nomor Telepon/ HP 0361-264704 9. Alamat Kantor Jln. Pulau Bali No. 1 Denpasar 10. Nomor Telepon/Faks (0361) 222666/ Fax. (0361) 234888 11. Alamat e-mail agungsri_indrawati@unud.ac.id 12. Lulusan yang telah dihasilkan S-1= orang; S-2= Orang; S-3= Orang 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Hukum Perikatan
2. Hukum Perdata 3. Hukum Jaminan 4. Hukum Pembiayaan 5. Hukum Perbankan dan Lembaga Pembiayan
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2
S-3
Perguruan Tinggi Universitas Udayana Universitas Udayana Bidang Ilmu Hukum Perdata Hukum Bisnis Tahun Masuk 1978 2005 Tahun Lulus 1983 2007 Judul Skripsi/Thesis Putusan Perdamaian
Dalam Perkara Perdata Dengan Permasalahannya
Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Berkaitan Dengan SistemHak Kekakayaan Intelektual
Nama Pembimbing 1. Anak Agung Suweca, SH.
2. I Ketut Tjukup, SH.
1. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU.
2. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH.,MH
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.) 1. 2011 Implementasi Corporate Social
Responcibillity (CSR) Pada Perusahaan Industri Pariwisata di Bali
Kelompok, Dana NPT Nuffic IDN 223 Strengthening Faculty Law UNUD
-
2. 2012 Pelaksanaan Pendaftaran Karya Desain Industri Kerajinan Kursi
DIPA FAKULTAS TA.
-
36
Bambu Di Desa Blege Kecamatan Balhbatuh Kabupaten Gianyar
201
3. 2012 Kedudukan Bank Sebagai Kreditur Dalam Hal Tidak didaftarakannya Jaminan Fidusia.
DIPA Prodi Magister Kenotariatan TA 2012
-
4. 2013 Pengajuan Restrukturisasi Dalam Proses Kepailitan (Studi Empiris Model Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pada Perusahaan Penanaman Modal di Provinsi Bali.
USAID E-2 -
5. 2013 Pembentukan Model Dukumentasi dan Publikasi Format Buku Dalam Usaha Meningkatkan Kepastian Perlindungan hukum Terhadap Ingatable Asser (HKI) Di Bidang Pengetahuan Tradisional Ekspresi Budaya Bali ( EBT)
Hibah Unggulan Udayana
50.000.000-
6. 2014 Hak Pasien Untuk Mendapatkan Isi Rekam Medik Tanggung Jawab Dokter Yang Telah Mendapatkan Informed Consent Dari Pasien dalam Melakukan Tindakan Kedokteran
DIPA FAKULTAS TA. 2014
-
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber *)
Jml (Juta Rp.)
1. 2009 Sosialisasi UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak dan UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
DIPA PNBP 4.000.000,-
2. 2010 Konsultasi dan Pembinaan Awig-Awig di Desa Pekraman, Abang Tegalalang Gianyar
DIPA PNBP 4.000.000,-
3. 2012 Sosialisasi Bahaya Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika Di Sekaa Teruna-Teruni Br Pande, Desa Jegu-Tabanan
Anggaran B.O. PTN Tahun 2012
-
4. 2012 Sosialisasi Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Krambitan, Kec. Kerambitan, Kabupaten Tabanan
DIPA Fakultas Hukum Universitas Udayana,Tahun Anggaran 2012
-
5. 2012 Sosialisasi Pembekalan Materi Tindak Pidana Penipuan Dalam Pembuatan Akta Notaris
Dana Prodi Magister Kenotariatan
-
37
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor Nama Jurnal
1. Persetujuan Tindakan Medik serta Kaitannya Dengan Perwakilan Sukarela (Psl 1354 KUHPer)
No 66 Tahun XX FH UNUD
Majalah Kertha Patrika
2. Sifat Keperdataan Di dalam Perjanjian Penyembuhan (( Transactie Trapeutik )
No 70 Tahun XXIV FH UNUD
Majalah Kertha Patrika
38
LAMPIRAN 5
SURAT PERNYATAAN PERSONALIA PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya : 1. Nama Lengkap : I. B Putra Atmadja, SH, MH.
NIP/NIDN : 19580514 198702 1 001/ 0031125433 PS/Fakultas : Ilmu Hukum/ Hukum Status dalam Penelitian : Ketua
2. Nama Lengkap : A.A Ngurah Wirasila, SH, MH.
NIP/NIDN : 19580514 198702 1 001/ 0014055804 PS/Fakultas : Ilmu Hukum/ Hukum Status dalam Penelitian : Anggota
3. Nama Lengkap : A.A Sri Indrawati, SH, MH.
NIP/NIDN : 19580514 198702 1 001/ 0014105707 PS/Fakultas : Ilmu Hukum/ Hukum Status dalam Penelitian : Anggota
Menyatakan bahwa kami secara bersama-sama telah menyusun proposal penelitian Hibah Unggulan Udayana yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN EUTHANASIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG N O. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN (Stu di Kasus di Rumah Sakit se-Kota Denpasar)”dengan jumlah usulan dana sebesar Rp. 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah). Apabila proposal ini disetujui maka kami secara bersama-sama akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penelitian ini sampai tuntas sesuai dengan persyaratan yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian. Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dan ditandatangani bersama sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Bukit Jimbaran, 15 Maret 2016
(I.B Putra Atmadja, SH.,MH) (A.A Sri Indrawati, SH.,MH)
(A.A Ngurah Wirasila, SH, MH.)
NB. *) Coret yang tidak perlu.
Recommended