80
Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam Landscape Changes and Global Warming ( Perubahan Lansekap dan Pemanasan Global) Penerbit : Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti www.epi-ed.eu FAO Climate Change Publication - 2009 FAO Climate Change Publication - 2009 www.plainair.com Documenting Climate Change UNSCC - 2005 Top Plan Landscape – Rihan CC 53, TOP ARCH 2

FAO Climate Change Publication - 2009 www

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X

JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP

Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam

Landscape Changes and Global Warming ( Perubahan Lansekap dan Pemanasan Global)

Penerbit :

Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan

Universitas Trisakti

www.epi-ed.eu

FAO Climate Change Publication - 2009

FAO Climate Change Publication - 2009

www.plainair.com

Documenting Climate Change UNSCC - 2005 Top Plan Landscape – Rihan CC 53, TOP ARCH 2

SUSUNAN PERSONALIA REDAKSI JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP

Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam

Penerbit Jurusan Arsitektur Lansekap

Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti

Pelindung

Dekan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti

Penanggung Jawab

Ketua Jurusan Arsitektur Lansekap Ketua Ikatan Arsitek Lansekap Indonesia

Mitra Bestari

Prof.Dr.Ir. Zoer’aini Djamal Irwan, Msi. Ir. Jusna M Amin, PhD.

Dr.Ir. Nizar Nasir Nasrullah, MS. Dr.Ir. Indra Tjahjani, MLA.

Dewan Redaksi

Dr.Ir. Titien Suryanti, MSi. Ir. Sumiantono Raharjo, MT. Ir. Quintarina Uniaty, MSA. Ir. Hendrati Pringgodigdo

Redaktur Pelaksana

Dr.Ir. Titien Suryanti, MSi. Ir. Ahmad S. Hamzah, MM.

Percetakan

UPT Penerbitan dan Percetakan, Universitas Trisakti

Alamat

Gedung K, Lantai VII – Jurusan Arsitektur Lansekap Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan – Universitas Trisakti

Jln. Kyai Tapa Grogol – Jakarta Barat Telp. 021 – 5663232 ext. 760/761

Fax. 021 – 5667525 E-mail: [email protected]

i JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X

1

Gambar Sampul diambil dari : 1). www.epi-ed.eu, 2). FAO Climate Change Publication – 2009, 3). FAO Climate Change Publication – 2009,

4). www.plaiair.com, 5). Documenting Climate Change UNSCC – 2005, 6). Top Plan Landscape, Rihan.CC –

TOP ARCH 53

ii JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X

Redaksi Jurnal Arsitektur Lansekap menerima artikel/makalah ilmiah yang berisi informasi maupun gagasan asli dan belum pernah dipublikasikan atau dimuat di media cetak lain. Informasi lengkap dapat diperoleh melaui alamat Penerbit/Redaksi, seperti tercantum dalam jurnal ini.

*)

JURNAL ARSITEKTUR LANSEKAP

Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam

Daftar Isi Susunan Personalia Redaksi Jurnal Arsitektur Lansekap

Editorial RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN REKLAMASI JAKARTA

INTERNATIONAL RESORT

Iwan Ismaun.

LANDSCAPE SUSTAINABILITY DAN PENGEMBANGAN PROSPEKTIF

LANSEKAP PERKOTAAN

Quintarina Uniaty.

PENELUSURAN PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN

MASALAH BANJIR DI JAKARTA

Silia Yuslim

PENANGGULANGAN LAHAN PASCA PEKERJAAN ENGINEERING

Landasan Konseptual Rencana dan Rancangan Lansekap

IB. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S. Hamzah

VISUAL ASSESSMENT AND FACTOR AFFECTING VISUAL RATING

OF MAN-MADE LANDSCAPE ELEMENTS IN WETLAND

Mohd. Kher, H., Noorizan, M., Awang Noor, A.G., Kamariah, D.

iii JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X

Editorial

Dunia saat ini, sedang menghadapi permasalahan besar menyongsong perubahan

iklim yang mulai dianggap sebagai bencana, terutama naiknya suhu bumi dan akan

terjadi pada abad ini. Sebuah kondisi yang dinilai sebagai ancaman global warming.

Bagaimana manusia dan masyarakat bumi menyikapi hal tersebut?. Kesiapan apa

yang harus dilakukan jika kita tidak ingin menuai bencana? Amukan badai yang

makin sering terjadi, iklim yang tidak terprediksi, kekeringan, banjir dalam skala

masif yang akan memporak-porandakan bentukan muka lahan bumi.

Dalam Arsitektur Lansekap, dikenal istilah unit lansekap dasar atau basic

landscape units yang terdiri dari pesisir pantai (coastal area), dataran rendah (plain

area) lembah dan perbukitan (ridge and valleys), pegunungan (mountain area) dan

kawasan danau (lake zones). Setiap unit lansekap memiliki identitas dan karakter

masing-masing, memiliki sisi-sisi yang rawan apabila tidak diperlakukan sesuai

dengan hukum alam yang ada, oleh karena permukaan lahan dan tanahnya memiliki

run-off corridors; memiliki kapasitas menahan air, kematangan, tekstur dan porositas.

Setiap upaya pembangunan pada unit lansekap dasar tanpa memperhatikan standar,

parameter dan dimensi alam dengan karakter dan sistem ekologi setempat

mengakibatkan kerusakan nilai fisik dan estetika, yang akan merubah outstanding

landscape quality yang ada.

Ancaman global warming, perlu disikapi dengan konsep dan pendekatan

pembangunan berwawasan lingkungan, dalam pengertian pembangunan harus

seimbang dan setara dengan tujuan konservasi, sebagai upaya menjauhkan diri dari

perilaku absural manusia yang akan merusak potensinya. Sebuah perencanaan

pembangunan kawasan hendaknya merupakan alat kendali terhadap pertumbuhan dan

perkembangan kawasan; peraturan dan perundang-undangan serta ‘dialog publik’

perlu dibangun sebagai strategi dan penerapan mekanisme pengawasan pembangunan

(SR).

iv JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 ISSN 1412-260X

RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN REKLAMASI JAKARTA INTERNATIONAL RESORT

Iwan Ismaun

Jurusan Arsitektur Lansekap – FALTL – Universitas Trisakti [email protected]

Abstract

Urban development in general focused more on economic dimension than ecologic dimension. Natural environment conversed into built environment without considering ecosystem principles. Development of urban physical structure head to maximum, while development of natural structure were minimum. In urban system open green space were hopped to becoming main proponent of areal system where its natural elements and structures were supposed to be a united system integrated with areal space system plan, on specified site, urban or regional area. The pattern of urban green open space’s network, function, and distribution will create a system known as Urban Green Open Space System, that will act as control tool to physical development. Jakarta International Resort Reclamation Area as part of urban development in Jakarta were built with ecological principles in order to maintain a balance environmental system in the development of built area. Keywords; green open space, ecology, reclamation I. PENDAHULUAN

Perkembangan kota Jakarta, sesuai

arahan tata ruang sangat dibatasi ke

arah selatan sebagai daerah resapan air.

Perkembangan arah barat dan timur

juga semakin terbatas, oleh karena itu

dalam upaya memenuhi lahan untuk

pembangunan, pemerintah daerah DKI

Jakarta berencana untuk membangun

kawasan reklamasi di pantai utara Ja

karta. Didalam pembangunan, terutama

pembangunan fisik, perubahan lahan

alami menjadi area terbangun tetap

harus mengedepankan prinsip-prinsip

ekologi yang saat ini lebih dikenal se

bagai pembangunan berwawasan ling

kungan. Dalam konsep struktur kawa

san berwawasan lingkungan, peruba

han penggunaan lahan didasarkan pada

Social Use Values, Market Values dan

Ecological Values (Urban Land Use

Planning, 2000). Pendekatan baru da

lam model manajemen perubahan tata

guna lahan perkotaan adalah untuk

mencoba mengintegrasikan vitalitas

dan aktivitas perkotaan dengan segala

aspeknya melalui kriteria ekologis; se

bagai sebuah sistem yang akan dapat

menjaga keberlangsungan ekosistem

kawasan pada saat kini dan masa da

tang. Pendekatan ini mengembangkan

sistem ekologi alam (the ecology of

natural system) dan penekanan pada

sistem ekologi masyarakat (the ecology

of community) khususnya pada kawas

1 JAL,Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

an perkotaan. Prinsip keanekaragaman

berkaitan dan sejalan dengan proporsi

serta desentralisasi dalam sistem ekolo

gi yang diharapkan dapat berperan

dalam konsep pembangunan kawasan.

Gambar 1.

Gambar 1. Tiga Pilar Utama dalam Manajemen

Perubahan Tata Guna Lahan

Undang-undang Republik Indonesia

No.26 tahun 2007 tentang Penataan

Ruang mengisyaratkan tentang pemba

ngunan kota berwawasan lingkungan

dengan amanat perihal proporsi ruang

terbuka dan ruang terbangun, dimana

luas Ruang Terbuka Hijau minimal

30% dari total keseluruhan luas kota;

terdiri dari minimal 20% ruang terbuka

hijau publik dan 10% merupakan ruang

terbuka privat. Proporsi 30% merupa

kan ukuran minimal untuk menjamin

keseimbangan ekosistem kota, baik

keseimbangan sistem hidrologi dan sis

tem mikroklimat, maupun sistem ekolo

gis lain. Selanjutnya akan meningkat

kan ketersediaan udara bersih yang di

perlukan masyarakat, serta sekaligus

dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Untuk lebih meningkatkan fungsi dan

proporsi ruang terbuka hijau, pemerin

tah, masyarakat, dan swasta didorong

untuk menanam tumbuhan di atas ba

ngunan gedung miliknya yang lebih di

kenal sebagai taman atap (green roof

dan green wall). Undang-undang RI

tentang Penataan Ruang telah mengako

modasikan pembangunan kawasan per

kotaan berwawasan lingkungan dengan

tetap mempertimbangkan kelestarian

lingkungan dan diharapkan menjadi

alat kendali bagi setiap pembangunan

fisik termasuk reklamasi pantai.

II. FUNGSI EKOLOGIS RUANG

TERBUKA HIJAU

Kawasan Reklamasi Jakarta Inter

national Resort (JIR) dengan luas

821,30 Ha merupakan bagian pengem

bangan tata ruang wilayah pantai utara

DKI Jakarta. Secara ekologis unsur

alam sebagai pembentuk ruang terbuka

hijau seperti vegetasi dan badan air

dapat meningkatkan kualitas lingku

ngan kawasan reklamasi, terutama

dalam memperbaiki iklim mikro atau

ameliorasi iklim, penyerapan polusi

udara (terutama karbon dioksida/CO2)

2 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

dan produksi oksigen (O2) yang sangat

diperlukan oleh manusia dalam per

napasan. Oleh karena itu keberadaan

vegetasi dan badan air di kawasan

reklamasi sebagai unsur ruang terbuka

hijau sangat berperan dalam mening

katkan kualitas lingkungan.

Dari beberapa penelitian diketahui

bahwa, hijauan tanaman terutama

tanaman pohon mampu menjerat dan

menyerap bahan cemaran udara, baik

yang berupa gas maupun partikel.

Salah satu organ tanaman yang dapat

berfungsi untuk mengeliminer bahan

cemaran adalah daun. Daun merupakan

salah satu organ vegetatif tanaman

yang mempunyai fungsi penting,

karena pada daun terjadi suatu proses

perubahan energi cahaya matahari

menjadi energi kimia, sehingga semua

tanaman tergantung kepada daun, baik

secara langsung maupun tidak lang

sung. Peran vegetasi sebagai paru-paru

kota terwujud karena adanya zat hijau

daun yang sering disebut chlorophyl,

yang memungkinkan terjadinya foto

sintesa, yang persamaan reaksi kimia

nya dapat dituliskan sebagai berikut:

Dalam proses fotosintesa tersebut

gas karbon dioksida (CO2) diserap

oleh tanaman dan dari proses tersebut

dihasilkan oksigen (O2) yang me

rupakan unsur penentu bagi ke

langsungan hidup semua makhluk di

muka bumi, termasuk manusia. Dari

hasil penelitian yang telah dilakukan,

bahwa pohon besar dengan tinggi

kurang lebih 25 meter dengan diameter

15 meter dapat memproduksi 1,7 kg

oksigen (O2) per jam setelah men

yerap 2,3 kg karbon dioksida (CO2)

(A.N. Rao dan Wee Yeow Chin, dalam

Singapore Trees, 1989).

Gambar 2 . Proses Fotosintesa Sumber: Wikipedia 2006 dan Singapore Trees 1989

Pohon tinggi 25 meter dengan dia

meter tajuk 15 meter, termasuk dalam

kategori pohon besar, dimana luas

hijau daun dapat mencapai 150 m2.

Hijau daun dengan clorophyll inilah

yang memungkinkan terjadinya proses

fotosintesa, untuk menghasilkan O2

dan menyerap CO2.

Badan air seperti danau, waduk,

situ, kolam dan badan air lainnya yang

tidak berarus mempunyai ekosistem

akuatik yang khas. Badan air yang

12 H2O + 6 CO2

C6H12O6 + 6 H2O + 6 O2 chlorofil

Energi cahaya matahari

CO2 (2,3 kg/Jam)

O2 (1,7 kg/Jam)

3 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

selalu mendapat cahaya matahari yaitu

“zona limne” dan tepian air yang

berhubungan dengan daratan yaitu

“zona litoral” dipenuhi oleh organisme

autotrof seperti fitoplankton, algae dan

tanaman air lainnya. Organisme ter

sebut dengan cahaya matahari selalu

melakukan proses fotosintesis dalam

hidupnya. Badan air seperti situ me

mainkan peranan penting dalam proses

perombakan bahan organik yang ber

asal dari lahan sekitarnya dan juga

pencemar udara yang masuk ke dalam

air. Lewat proses perombakan oleh

mikroorganisme, bahan pencemar ter

sebut berubah menjadi senyawa esen

sial seperti nitrogen (N) dan phospor

(P) yang dimanfaatkan fitoplankton

dalam perairan sebagai bahan untuk

perkembangannya. Selanjutnya fito

plankton akan memanfaatkan karbon

yang terbentuk atau masuk dari udara

untuk proses fotosintesis. Selain fito

plankton, beberapa jenis makrofita

dalam air juga turut membantu proses

fotosintesis yang berarti ikut me

nambah suplai oksigen dalam air.

Fitoplankton di dalam air berperan

sebagai produsen primer di perairan

situ atau badan-badan air yang tidak

berarus. Dalam proses biologisnya,

fitoplankton akan memanfaatkan kar

bon sebagai sumber energinya dan

melalui proses fotosintesis akan

dihasilkan oksigen. Oksigen akan ter

lepas ke dalam air dan ke udara. Oleh

karena itu badan air seperti situ, danau,

kolam merupakan ekosistem akuatik

yang dapat menjalankan proses-proses

ekologis terutama siklus karbon.

III. KEBUTUHAN OKSIGEN,

PENYERAPAN KARBON DIOKSI

DA DAN EKO - HIDROLOGI KA

WASAN REKLAMASI

Berdasarkan analisis konsultan,

ketiga area reklamasi (Golf Island,

Resort Island dan Marina Island) pada

kawasan JIR akan dihuni sekitar

681.570 jiwa apabila dikembangkan

dengan KLB 1.53. jumlah penduduk

setiap pulau dengan pengembangan

KLB 1.53 dapat dilihat pada tabel 1.

Dari data tersebut diperkirakan

kebutuhan oksigen (O2) bagi penghuni

ketiga pulau reklamasi.

Gambar 3. Ekosistem Akuatik Sumber: Environmental Science, Earth as living planet,

4th edition, 2003

4 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

Tabel 1. Pengembangan Reklamasi

dengan KLB 1,53

NAMA PULAU

LUAS PENG-HUNI TETAP

TENAGA

KERJA

JML (orang)

Pulau 2A (Golf

Island)

287,5 ha 18.498 246.422 264.920

Pulau 1 (Resort Island)

286,7 ha 16.059 195.357 211.416

Pulau 2B (Marina Island)

247,1 ha 14.922 190.249 205.171

821,3 ha 49.479 632.028 681.507

Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2007 3.1. Penghijauan untuk Memenuhi

Kebutuhan Oksigen (O2)

Manusia membutuhkan oksigen

(O2) untuk pernapasan demi keber

langsungan hidupnya. Setiap orang

membutuhkan oksigen 2,9 kg/hari atau

0,12 kg/jam. Kebutuhan oksigen ini

harus dapat dipenuhi oleh vegetasi

dengan berbagai jenis yang ada di

ruang terbuka hijau kawasan reklamasi

JIR.

Dari data jumlah penduduk tetap

dan penduduk bergerak yang ada di

setiap pulau maka dapat dihitung

kebutuhan oksigennya. Kebutuhan

oksigen untuk penduduk setiap pulau

maupun seluruh pulau dapat dilihat

pada tabel 2. Dengan asumsi jumlah

penghuni seluruh kawasan JIR 681.507

Tabel 2. Kebutuhan Oksigen (O2)

Pengembangan Reklamasi dengan KLB

1,53

NAMA PULAU/

BLOK LUAS

PDDK TETAP

TENA-GA

KERJA JML

Pulau 2A (Golf

Island)

287,5 ha

18.498 2. 219,76

kg

246.422 29.570,64 kg

264.920 31.790,40 kg

Pulau 1 (Resort Island)

286,7 ha

16.059 1.927,08

kg

195.357 23.442,84 kg

211.416 25.369,92 kg

Pulau 2B (Marina Island)

247,1 ha

14.922 1.790,64

kg

190.249 22.829,88 kg

205.171 24.620,52 kg

821,3 ha

49.479 5.937,48

kg

632.028 75.834,36 kg

681.507 81.780,84 kg

Sumber: Hasil Analisis, 2007

orang (KLB 1.53), maka dibutuhkan

oksigen sejumlah 81.780,84 kg/jam

atau 1.962.740,16 kg/hari. Kebutuhan

oksigen tersebut dapat dipenuhi dengan

penanaman tanaman penghujauan

sejumlah 48.106 pohon dengan

kategori besar (dapat memproduksi

1,7 kg O2/jam) atau 96.212 pohon

dengan kategori pohon sedang (dapat

memproduksi 0,850 kg O2/jam).

Khusus untuk Pulau 1 (International

Resort Island), dengan jumlah pendu

duk tetap dan bergerak 211.416 orang

dengan kebutuhan oksigen 25.369,92

kg/jam maka diperlukan 14.923 pohon

dengan kategori pohon besar atau

29.846 pohon dengan kategori pohon

sedang.

5 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

3.2. Penghijauan untuk Menyerap

Karbondioksida (CO2)

Jumlah kendaraan/moda angkutan

yang beroperasi di kawasan reklamasi

(KNI) berdasarkan bangkitan dan tarik

an perjalanan (tripgen) dengan KLB

1,53 jumlah kendaraan berbagai moda

angkutan yang beroperasi diperkirakan

berjumlah 48.890 unit, terdiri dari

internal 15.572 unit (31,85%) dan

eksternal 33.318 unit (68,15%). Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 3. Bangkitan dan Tarikan Perjalanan (Trip Gen) dengan Pengembangan KLB 1,53

NAMA PULAU

LUAS TRIP GEN

Internal

TRIP GEN

Eksternal JML

Pulau 2A

(Golf Island)

287,5 ha 6.058 12.959 19.071

Pulau 1 (Resort Island)

286,7 ha 4.827 10.328 15.155

Pulau 2B

(Marina Island)

247,1 ha 4.687 10.031 14.718

821,3 ha

15.572 (31,85%)

33.318 (68,15%)

48.890 (100%)

Sumber: Hasil Analisis Konsultan, 2007 Dari data tersebut dapat diperkirakan

produk karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan oleh kendaraan/moda ang

kutan yang harus dieliminir oleh vege

tasi (ruang terbuka hijau) di kawasan

reklamasi.

Penghijauan untuk menyerap kar

bon dioksida (CO2) dengan KLB

1,53

Dari berbagai referensi dapat

diasumsikan, bahwa rata-rata ken

daraan/moda angkutan dapat menge

luarkan 3,4 kg CO2 per kendaraan

(kontribusi pencemaran udara) dalam

proses pembakaran mesin kendaraan.

Dengan jumlah kendaraan/moda ang

kutan 48.890 unit maka CO2 yang

dihasilkan mencapai kurang lebih

166.266 kg. Jumlah ini harus dapat

dielimenir oleh RTH dengan unsur

vegetasinya untuk menciptakan ling

kungan yang bersih dan sehat. Untuk

menyerap karbon di oksida sejumlah

tersebut diperlukan vegetasi sejumlah

72.272 pohon dengan kategori pohon

besar (dapat menyerap 2,30 kg CO2

/jam). Atau dapat menanam pohon

penghijauan sejumlah 144.544 pohon

dengan kategori sedang (dapat

menyerap 1,150 kg CO2/jam).

Khusus untuk Pulau 1 (International

Resort Island) yang akan segera di

bangun diperlukan 22.043 pohon

besar, atau 44.806 pohon sedang untuk

menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh

kendaraan. Berikut contoh tanaman

pantai yang dapat menjalankan proses-

proses ekologis.

6 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

Gambar 4. Tanaman Pantai yang dapat menjalankan

proses-proses Ekologis.

3.3. Pembangunan Badan Air Pada

Kawasan Reklamasi

Sesuai perencanaan kawasan

reklamasi JIR, pada setiap pulau ter

dapat kolam yang berfungsi sebagai pe

nampungan air untuk menjaga Sali

nitas, sistem drainase, menjaga iklim

mikro dan fungsi ekologis lainnya.

Dengan curah hujan tertinggi harian

317 mm dan rata-rata tahunan 1.700

mm (data BMG 2007), maka volume

curah hujan yang dapat ditampung di

kawasan reklamasi seperti terlihat pada

tabel berikut:

Tabel 4. Volume air hujan berdasarkan

curah hujan harian tertinggi 317 mm

(awal Januari 2008) NAMA

PULAU LUAS

VOLUME AIR

HUJAN

Pulau 2A

(Golf

Island)

287,5 ha 91.353,06 m3

Pulau 1

(Resort

Island)

286,7 ha 91.169,20 m3

Pulau 2B

(Marina

Island)

247,1 ha 77.760,10 m3

821,3 ha 260.282,36 m3

Sumber: Hasil Analisis, 2007

Tabel 5. Volume air hujan berdasarkan

curah hujan rata-rata tahunan 1.700

mm

NAMA

PULAU LUAS

VOLUME AIR

HUJAN

Pulau 2A

(Golf

Island)

287,5 ha 489.906 m3

Pulau 1

(Resort

Island)

286,7 ha 488.920 m3

Pulau 2B

(Marina

Island)

247,1 ha 417.010 m3

821,3 ha 1.395.836 m3

Sumber: Hasil Analisis, 2007

Dari tabel tersebut dapat diketahui

bahwa kontribusi air hujan di kawasan

reklamasi selama satu tahun dengan cu

rah hujan rata-rata tahunan 1.700 mm

untuk fungsi eko-hidrologis sebanyak

1.395.836 m3.

Barringtonia sp. Bruquiera sp.

Hibiscus tiliacius

7 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

IV. KESIMPULAN

Sesuai dengan rencana tata guna

lahan reklamasi KNI, maka kebutuhan

tanaman/vegetasi untuk pemenuhan

oksigen (O2) dan penyerapan karbon

dioksida (CO2) akan didistribusikan

pada lahan Ruang Terbuka Hijau

(RTH) baik yang bersifat publik

maupun privat yang berada di atas

tanah (landed). Ruang terbuka hijau

dibangun dapat berupa taman-taman

lingkungan, halaman bangunan, jalur

hijau jalan, jalur hijau tepi air, hijau

bangunan dan lahan hijau lainnya.

Catatan: dengan adanya rencana JIR Sumber: Konsultan, 2007

Disamping itu untuk menghijaukan

pantai Muara Angke (bagi pening

kakan kualitas lingkungan pantai)

dengan penambahan hutan bakau

sepanjang 1.790 m dengan ketebalan

100 m (luas 17,90 hektar), dapat

mengkontribusi pohon dengan kategori

sedang sejumlah 19.888 pohon (diper

lukan lahan 9m2/ph).

Adanya badan-badan air seperti ko lam

retensi dan saluran drainase pada

kawasan reklamasi, dapat dipergu

nakan sebagai penampungan curah

hujan yang berfungsi untuk menjaga

salinitas dan men ciptakan iklim mikro

kawasan reklamasi. Disamping itu

badan-badan air tersebut dapat ber

fungsi sebagai eko-hidrologi kawasan

reklamasi.

V. SARAN

Dengan adanya keterbatasan luas

lahan reklamasi, maka perlu diper

timbangkan beberapa alternatif distri

busi penghijauan di kawasan KNI

sebagai media penanaman. Alternatif

lain dalam pemenuhan penghijauan

untuk fungsi penyerapan karbon

dioksida (CO2) dan kebutuhan oksigen

(O2), selain penanaman pada lahan

peruntukan Ruang Terbuka Hijau se

bagai Hijau Alami yang berada diatas

tanah (landed), juga dapat dikembang

kan Hijau Kanopi seperti Taman Atap

(Roof Garden /Eco-roof), Taman

Gantug (Hanging Garden), Peng

hijauan di Atas Tanggul dan Peng

hijauan Vertikal (Green Wall/ Verti

cal Landscape / Verti culture).

8 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

Dengan disribusi Ruang Terbuka

Hijau dan Penghijauan berdasarkan

kajian ekologis, diharapkan kawasan

reklamasi Jakarta International Resort

dapat menjadi kawasan lingkungan

binaan yang berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan (sustainable built

environment).

Gambar 5. MASTER PLAN KAWASAN REKLAMSI JAKARTA INTERNATIONAL RESORT Sumber: Jakarta Konsultindo, 2007

Gambar 6. PERSPEKTIF KAWASAN REKLAMSI JAKARTA INTERNATIONAL RESORT Sumber: Jakarta Konsultindo, 2007

9 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

DAFTAR PUSTAKA

A.N. Rao & Wee Yeow Chin, 1989,

Singapore Trees. Singapore

Institute of Biology.

Botkin & Keller, 2003, Environmental

Science, Earth as living planet,

4th edition. John Wiley &Sons.

Girardet, Herbert, 1992, Cities; New

Direction for Sustainable Urban

Living. Anchor Book Doubleday.

Grove, AB&RW, Creswell, 1983, City

Landscape, Butterworth, Lon

don.

Leitman, Josef, 1999, Sustaining

Cities, Environmental Planning

and Management in Urban

Design, Mc.Graw Hill Book

Company.

Mc.Harg, Ian.L, 1992, Design With

Nature, John Willey & Sons, Inc.

Simonds, John Ormsbee, 1994,

Garden Cities 21, Creating A

Livable Urban Environment,

Mc. Graw Hill Book Company.

Stren, Richard (ed), 1992, Sustainable

Cities; Urbanization and The

Enviroment in International

Perspective. Westview Press.

Undang Undang Republik Indonesia,

Nomor 26 Tahun 2007, tentang

Penataan Ruang, Departemen

Pekerjaan Umum, Direktorat

Jenderal Penataan Ruang.

10 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Iwan Ismaun

LANDSCAPE SUSTAINABILITY DALAM

PENGEMBANGAN KAWASAN LANSEKAP PROSPEKTIF KOTA

Quintarina Uniaty Jurusan Arsitektur Lansekap – FALTL – Universitas Trisakti

[email protected]

Abstract

The trend world wide is towards urbanization. By the year 2000, more than half of the world’s population is expected to live in urban areas. Of this, the greater part, nearly two-thirds will be found in developing countries. Many cities in developing world are experiencing environmental problem which often lack direction at the strategic level to address them. At the most obvious, a sustainable city will imply ecological sustainability. Stated otherwise, it will imply working with the natural environment; that seeing nature as a system, planning and design in accordance with its proccesses and cycles. The sustainable city, at the second level, implies economic sustainability; the issues of how to achieve production that will have a low impact on the environment, and low energy use-in one sense they are the same issues that arise in ecological sustainability. A third level of understanding of the sustainable city would typically focus on cultural sustainability, in the face of an increasingly global civilization; that local culture and diversity have to be sustained. Landscape is strength of a concept lies in the way in which it focuses on the interaction between people and nature. Landscape is both a way of viewing the environment which is more than objectively scientific, and a means of describing the world about natural and the human aspects. The notion of landscape has certain distinctive characteristics ;

• It contains both natural and cultural values and features, and focuses on the relationship between these;

• It is both physical and metaphysical, with social, cultural and artistic association. While landscape is how we see the world, it must more than mere scenery and appearance.

• While we can experience landscape only in the present, it is the sum of all past changes to the environment it is where past and present meet.

• Landscape is universal – it exists throughout each country • Landscape gives identity to place, and hence diversity to the setting places of our

lives To develop an urban lanscape prospective we need to build ‘sustainable-city concept’ in approaching landscape sustainability and will support in strategy for sustainable development that ensuring a better quality of life for everyone, now and future generations to come. Key Words; Sutainable Development, Sustainable City, Landscape Sustainability, Prospective Landscape, Urban Landscape Design.

11 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

*)

I. PENDAHULUAN

Prospektif lansekap perkotaan me

rupakan basis potensi bagi kawasan

yang ingin membangun dirinya sebagai

sebuah pembangunan kawasan berba

sis lingkungan dan berkelanjutan. Bebe

rapa pemikiran dan konsep pemba

ngunan merupakan pertimbangan bagi

keberhasilannya.

Sustainable Development adalah

pembangunan yang mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat masa kini tanpa

mengabaikan kemampuan generasi

yang akan datang didalam memenuhi

kebutuhan mereka (WCED - Piagam

Brundtland, 1987). Sustainable Deve

lopment merupakan perkembangan

yang melahirkan pelayanan terhadap

lingkungan, sosial dan ekonomi tanpa

membahayakan keberadaan sistem

alam, sosial dan lingkungan terbangun

sebagai tempat hidup dan bergantung.

Sustainable Development bertujuan

meningkatkan kualitas hidup manusia

dalam segala aspek dengan tidak mem

boroskan sumberdaya alam yang tidak

terbarukan serta tidak melampaui

kapasitas dan daya dukung lingkungan.

Sosialisasi pembangunannya harus me

lalui mekanisme pengawasan masyara

kat yang dilakukan secara vertikal dan

horizontal, sehingga dapat menjadi

satu kesatuan sustainable management

yang akan menghasilkan kepercayaan

masyarakat dan hasil pembangunan

yang efektif dan efisien.

Dokumen Caring for the Earth

dalam Strategy for Sustanable Living,

1991 sebagai usulan dari UNEP,

IUNC, WWF, menyebutkan; bahwa

antara pembangunan dan konservasi

sumber daya alam haruslah seimbang.

Konservasi bukan dimaksudkan seba

gai penghambat, tetapi merupakan

pendukung utama dari pembangunan.

Konservasi akan menjamin kebutuhan

masa datang, untuk memastikan pem

bangunan dapat berlanjut. Dengan

demikian suatu kawasan perlu menjaga

keseimbangan perkembangannya me

lalui nilai-nilai dan fungsinya dengan

baik. Makna sustainable harus me

menuhi prasyarat utama terhadap kon

disi surplus atau minimal sama; antara

total natual capital stock sebagai total

resources masa yang akan datang.

Dengan demikian pemahaman

sustainable (Stern, 1992 dalam

Srinivas, 1997) harus berpijak pada

tiga aspek utama, yaitu; sistem eko

logi, ekonomi dan sosial.

Sistem perkotaan terpadu adalah

perkotaan yang mampu membangun

sinergi antara elemen terbangun, ling

kungan dan sosial, yang akan menjadi

tolak ukur keberhasilan perkembangan

kota masa depan. (Srinivas,1997)

12 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Permasalahan ruang kota dapat

dilihat dari komponen pembentuknya,

yaitu ; komponen lingkungan sosial

(socio-environment), komponen lingku

ngan alam (natural environment) dan

komponen lingkungan buatan (built

environment).

II. PENDEKATAN KEPADA

KONSEP SUSTAINABLE CITY

Kota adalah wadah aktifitas ma

nusia dimana mereka merupakan kon

sumen terbesar terhadap sumber daya

alam. Perkembangan pembangunan ber

kelanjutan merupakan hal yang esen

sial bagi kota-kota di dunia, demikian

pula bagi kota-kota di Indonesia. Kare

na aktifitas manusia tidak dapat selalu

memanfaatkan sumber daya alamnya

tanpa upaya penyelamatannya untuk

generasi penerus.

Pembangunan berkelanjutan didasar

kan pada dua konsep terkait, yaitu ;

• Konsep kebutuhan (the concept of

needs) ; menciptakan kondisi yang

menjaga tetap terpenuhinya kebu

tuhan hidup yang memadai bagi

masyarakat.

• Konsep keterbatasan (the concept

of limits) ; memperhatikan dan men

jaga kapasitas lingkungan untuk da

pat memenuhi kebutuhan masa kini

dan masa yang akan datang.

Dalam wacana lingkungan, ‘sus

tainable’ sering digunakan sebagai

istilah umum untuk merujuk pada

istilah ‘ecologically sustainable’ atau

‘environmentally sustainable’. Pada

pertengahan abad kedua puluh manusia

mulai memahami sepenuhnya bahwa

keberlangsungan keberadaan manusia

bergantung pada jaringan proses-

Gambar.1 Diagram Elemen sustainable development

13 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

ECONOMY

ENVIRONMENT

SOCIETY

Human Well Being

Environmental Sustainability Ecosystem integrity Carrying capacity Biodiversity

Economic Sustainability Growth Development Productivity Trickle-down

Social Sustainability

Cultural identity Empowerment

Accessibility Stability

Equity

Sumber; Jenks, M., Birton. E., William, K, 1996

proses alam. Kapasitas sistem ini untuk

mendukung kehidupan terbatas dan

sangat mungkin untuk dikurangi oleh

tuntutan-tuntutan yang ada.

Aktivitas manusia dapat dianggap

‘ecologically sustainable’, jika akti

vitas-aktivitas tersebut tidak mengu

rangi kapasitas sistem alam untuk men

dukung kehidupan. Aktivitas tersebut

dianggap ‘ecologically unsustainable’,

jika ia tidak dapat dilanjutkan dalam

jangka panjang tanpa membahayakan

sistem-sistem yang memungkinkan ada

nya kehidupan. Istilah ‘carrying capa

city’ telah digunakan dalam ekologi un

tuk merujuk jumlah maksimum spesies

yang dapat didukung oleh sebuah kawa

san dalam jangka waktu tertentu.

Sustainable City mengakomodasi

prinsip-prinsip pembangunan ber

kelanjutan yang mengutamakan integ

rasi pembangunan terhadap lingkungan

alam, ekonomi dan sosial. Dalam

lingkup urban sustainability; pemaham

an sustainable city dapat digambarkan

seperti diagram berikut dibawah ini:

III. LANDSCAPE SUSTAINABILITY

Aplikasi konsep sustainability ke

dalam pembangunan kota disebutkan

sebagai berikut ; sebuah keberlanjutan

memiliki implikasi penting pada ben

tuk perkotaan, basis material kehidup

an perkotaan, dan pada hubungan

sosial masyarakat yang harus dieks

presikan sebagai ukuran praktis dalam

perencanaan. Ukuran ini haruslah

menegaskan efisiensi penggunaan

ruang perkotaan, mengurangi peng

gunaan sumber daya material dan

energi, meningkatkan kenyamanan hi

Gambar 2. Diagram Pendekatan Urban Sustainability dan Ruang Lingkup Pemahaman Sustainable City

14 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

SUSTAINABLE CITY

Ecological sustainability Melihat alam sebagai sebuah sistem, serta merencanakan dan merancang sesuai dengan daur dan prosesnya

Economic sustainability Mewujudkan produksi dengan tingkat penggunaan energi rendah dan dampak yang relatif rendah terhadap lingkungan

Cultural sustainability Merupakan bagian dari sejarah dan identitas manusia yang harus dijaga oleh manusia sendiri.

Sumber: Foo, A.F. & Yuen, Belinda, 1999

dup masyarakat, dan mengatur proses-

proses administratif dan perencanaan

yang dapat bersinggungan secara sen

sitif dan komprehensif dengan adanya

kompleksitas ekologis dan sosial

ekonomi.

Karakteristik lansekap sebuah kawa

san terdiri dari aspek-aspek yang kasat

mata (tangible) dan tidak kasat mata

(intangible). Aspek-aspek ini secara

individual ataupun kolektif memberi

karakter historis pada lansekap dan

membantu pemahaman akan arti pen

ting nilai kebudayaan. Karakteristik lan

sekap sangat beragam, dari pola ber

skala besar hingga hal-hal yang ber

hubungan dengan detil dan material pa

da sebuah kawasan. Di bawah ini ada

lah komponen dalam karakteristik lan

sekap (Page, Robert. R, Cathy Gilbert,

Susan A. Dolan, 1998, p; 53) ya itu ;

• Sistem dan ciri alam (Natural

Systems and Features); ciri-ciri

alam yang mempengaruhi perkem

bangan lansekap dan bentukan

yang dihasilkan alam pada kawa

san (geomorfologi, geologi, hidro

logi, ekologi, iklim, vegetasi se

tempat).

• Organisasi keruangan (Spatial

Organization); pengaturan elemen

elemen pencipta bidang dasar, bi

dang vertikal dan bidang atap yang

membentuk dan menegaskan sis

tem keruangan dalam skala tapak

maupun kawasan.

• Penggunaan lahan (Land Use); or

ganisasi, bentuk dan bentukan lan

sekap terkait dengan penggunaan

lahan.

• Tradisi budaya (Cultural Tradi

tions); kegiatan kegiatan yang mem

pengaruhi penggunaan dan pola

pembagian lahan, bentuk bangun

an, dan penggunaan material.

• Penataan kluster (Cluster Arrange

ment); lokasi bangunan dan struk

tur lain dalam kawasan.

• Sirkulasi (Circulation); ruang-ru

ang, fitur-fitur, dan material-materi

al yang membentuk sistem per

gerakan.

• Topografi (Topography); konfigura

si tiga dimensi permukaan lansekap

yang dicirikan oleh struktur yang

terbentuk dan orientasinya.

• Vegetasi (Vegetation); tanaman-

tanaman asli atau baru berupa po

hon, semak, tanaman rambat, rum

put, dan tanaman herbal.

• Bangunan dan struktur (Buildings

and Structures); konstruksi tiga

dimensi seperti bangunan umum, ja

lan, rumah, jembatan.

• View dan vista (Views and Vistas);

fitur-fitur alami atau buatan yang

15 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

dapat menciptakan kontrol pandang

an.

• Fitur-fitur air buatan (Constructed

Water Features); fitur buatan dan

elemen-elemen air untuk tujuan

fungsional dan estetika.

• Fitur-fitur berskala kecil (Small

Scale Features); kombinasi fungsi

dan estetik dengan elemen-elemen

detil yang memberikan keanekara

gaman.

• Kawasan arkeologis (Archeological

Sites); kawasan yang di dalamnya

terdapat sisa peninggalan masa

lampau bernilai historis.

Gambar 3. Diagram Dimensi sustainable development

IV. KASUS : LANSEKAP

PROSPEKTIF KOTA

SAWAHLUNTO, POTENSI DAN

PERMASALAHAN

Permasalahan lingkungan global

yang terjadi secara umum adalah me

nurunnya daya dukung lingkungan

akibat peningkatan aktifitas manusia

dengan eksploitasi sumberdaya alam

dan akibat-akibat yang ditimbulkan

nya. Permasalahan yang kemudian

muncul adalah makin meningkatnya

frekuensi dan cakupan bencana, ling

kungan kumuh, menurunnya kualitas

lingkungan ; banjir, kekeringan, pence

maran udara, air dan tanah.

Kota-kota di Indonesia pada umum

nya merupakan warisan sejarah Islam

16 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Keberlanjutan Ekologis (Ecological Sustainability)

Pembangunan berjalan selaras dengan proses-proses ekologis Biodiversity/Keberagaman makhluk hidup

Konservasi dan perlindungan sumber daya alam

Keberlanjutan Ekonomi

Pembangunan efisien dan kompetitif secara

ekonomi.

Pembangunan juga memperhitungkan

kebutuhan generasi yang akan datang.

Keberlanjutan Sosial

Pembangunan meningkatkan kontrol

individu terhadap kehidupan mereka masing-masing.

Hasil pembangunan

didistribusikan secara merata.

Keberlanjutan Kultural

Pembangunan selaras dengan konsep budaya

setiap orang yang terlibat di dalamnya.

Sumber: Benson, John F and Maggie H Roe, 2000

dan pendudukan Belanda. Kota-kota

kolonial umumnya berkembang dari

kombinasi antara kota administratif

dan perdagangan. Sebagai warisan seja

rah kolonial Sawahlunto memiliki ciri

khusus, bukan hanya karena kebera

daannya, tetapi juga dari sejarah kota,

pertumbuhan bentuk serta fisik kota

nya. Pemerintahan Belanda memba

ngun Sawahlunto sebagai kota dengan

kegiatan ekonomi melalui pembangun

an tambang batubara Ombilin, jaringan

kereta api dan pelabuhan Teluk Bayur.

Produksi tambang batubara meningkat

hingga tahun 1985.

Alam memiliki keterbatasan daya

tampung dan daya dukung terhadap

beban dari setiap akibat dalam berba

gai aspek. Terutama kota dan pemuki

man yang seluruh kegiatannya sangat

bergantung pada sumberdaya alam.

Melalui potensi kesejarahan dan

fisik kota serta keunikan budaya

masyarakat yang berkembang, diharap

kan Sawahlunto dapat dikembangkan

sebagai kota pariwisata, sebagai antisi

pasi bagi alternatif pembangunan per

ekonomian kota dari ketergantungan

nya pada pertambangan batubara.

Perubahan iklim akan merubah sifat

alam dan perilaku manusia. Kearifan lo

kal yang dimiliki Sawahlunto sebagai

sebuah kota yang mewarisi sejarah

kota dengan tatanan fisik; perpaduan

antara peninggalan sejarah pendudukan

Belanda dimasa lalu dengan arsitektur

tradisional Sumatera Barat didukung

oleh lingkungan alam yang spesifik.

Sebagai sebuah kota orang rantai; po

tensi budaya kota merupakan aset nasi

onal yang perlu mendapat perhatian

dalam upaya konservasi dan preserva

si kota dalam pengembangan urban

heritage, cultural heritage dan land

scape heritage (warisan kesejarahan

kota, budaya dan lansekap).

Untuk keberhasilan pembangunan

kotanya diharapkan disusun pedoman

rancangan kota Sawahlunto yang

mengedepankan aspek lingkungan da

lam konsep sustainable city, dimana

lansekap prospektif kawasan kota perlu

diangkat sebagai potensi kawasan un

tuk dikembangkan sesuai dengan

karakteristiknya.

Sebagai kota tambang tertua di

Indonesia Sawahlunto memiliki pening

galan sejarah yang menarik didukung

oleh fisik kota dan sosial budaya yang

beragam. Namun karena menurunnya

kapasitas produksi tambang batubara,

dikhawatirkan Sawahlunto akan menja

di kota mati. Lokasi bekas galian tam

bang dipastikan akan menjadi problem

lingkungan yang sangat serius dalam

waktu dekat. Perlu disadari dan disepa

kati bahwa antara pembangunan dan

koservasi sumberdaya alam harus meru

17 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

pakan keseimbangan sistem, dimana

konservasi akan mendukung pemba

ngunan dan menjamin kebutuhan masa

datang.

Perlu dilakukan perubahan men

dasar dalam sistem perencanaan, yaitu

perencanaan berwasasan lingkungan de

ngan konsep pembangunan berkelan

jutan, yang memperhatikan; 1) unit ana

lisis mencakup satu kesatuan region, 2)

perhitungan neraca lingkungan sebagai

alokasi pemanfaatan sumberdaya, 3)

perhatian terhadap daya dukung dan

daya tampung lingkungan, 4) alokasi

ruang yang sesuai antara jenis kegiatan

dan karakteristik ruang serta karakteris

tik lokal sebagai local values 5) penyu

sunan detail tata ruang dan pedoman

rancang bangun untuk operasionalisasi

rencana umum, 6) konsistensi antar

tingkatan rencana kota, 7) keterlibatan

pemangku kepentingan dalam setiap

penyusunan rencana tata ruang,

Dibawah ini dikemukakan kondisi

fisik kota Sawahlunto yang mewakili

potensi dan permasalahan kawasan

kotanya.

Gambar 4. Lansekap kota Sawahlunto

(sumber : dokumen pribadi, 2008)

Lansekap kota Sawahlunto berada

pada cekungan diantara perbukitan.

Panorama yang merupakan natural

scenery.

Gambar 5. Pemandangan alam perbukitan

(sumber : dokumen pribadi, 2008)

Pemandangan alam perbukitan me

rupakan potensi visual yang belum di

manfaatkan secara optimal.

Gambar 6. Komposisi alam, budaya dan

arsitektur (sumber : dokumen pribadi, 2008)

Pengelolaan sumber daya alam

kota yang perlu ditingkatkan. Arsitek

tur lokal keberadaannya semakin pu

nah memerlukan upaya pelestarian. Po

tensi alam, nilai-nilai kesejarahan kawa

san yang merupakan genius loci dan

lansekap prospektif bagi pengembang

an fisik kawasan kota sebagai sebuah

setting places yang tidak terlupakan.

Gambar 7. Arsitektur kolonial dan

arsitektur lokal (sumber : dokumen pribadi, 2008)

18 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Arsitektur kolonial dan arsitektur

lokal menyatu dalam satu setting

places; sebuah potensi dan aset kota

yang unik membentuk citra kota; perlu

dilakukan revitalisasi, preservasi, reha

bilitasi terhadap aset fisik dan ling

kungan alam kota. Pengembalian ben

tuk dan keberadaan arsitektur lokal

sebagai kekayaan dan nilai lokal perlu

dibangun kembali dipadu-padankan

dengan lingkungan fisik yang ada.

Gambar 8. Unsur unsur kota (sumber : dokumen pribadi, 2008)

Unsur unsur kota membentuk

setting places dan image yang spesifik

yang perlu dikelola dengan pertimbang

an terhadap orientasi kota dan penga

laman keruangan yang tercipta dari

atraksi perkotaannya dalam bentuk

serial vision. Perlu peninjauan kemba

li terhadap pemugaran peninggalan ba

ngunan dan aset arsitektural yang telah

dilakukan.

Gambar 9. Bangunan yang menonjol dan

fasad yang atraktif (sumber : dokumen pribadi, 2008)

Menara masjid sebagai landmark

kawasan perlu lebih ditonjolkan, de

ngan pengembangan konsep skyline

dan pembingkaian membentuk vista.

Fungsi masjid sebagai tempat ibadah

dapat dikembangkan menjadi pusat ke

giatan masyarakat atau Islamic Centre

yang multifungsi. Salah satu detail

atraktif fasad bangunan peninggalan

kolonial sebagai atraksi sejarah kota.

Gambar 10. kekayaan seni dan budaya

(sumber : dokumen pribadi, 2008)

19 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Percampuran etnik, seni dan bu

daya merupakan salah satu atraksi

dalam living museum kota; kekayaan

percampuran budaya lokal yang perlu

dipertahankan dan dikelola dalam

bentuk atraksi budaya pada kegiatan

pariwisata.

Gambar 11. Bekas galian tambang

(sumber : dokumen pribadi, 2008)

Lokasi bekas galian tambang,

kawasan Kandi. Kondisi lahan yang se

makin kritis, cepat atau lambat akan

menjadi problem bagi kawasan dan

lingkungan kota. Sistem reboisasi yang

telah dilakukan membuktikan ketidak

tepatan pada sistem penghutanan dan

penentuan jenis tanaman penghijauan,

sehingga upaya pelestarian lingkungan

dan konservasi lahan dan air menjadi

tidak efektif. Diperlukan Studi Kelayak

an dan Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan, perencanaan kawasan ber

basis lingkungan dengan konsep sus

tainability.

Gambar 12. Banjir dikawasan Kandi

(sumber : dokumen pribadi, 2008)

Debit air yang terus meningkat pada

musim hujan, erosi dan pengikisan ta

nah, sedimentasi dan banjir di kawasan

Kandi dikhawatirkan akan menjadi per

masalahan yang semakin meluas dan

mempengaruhi sistem lingkungan kota

dan kawasan.

Gambar 13. Bangunan di pinggir sungai (sumber : dokumen pribadi, 2008)

Pembangunan di tepi sungai tidak

mengindahkan garis sempadan, me

merlukan penataan kembali sebagai

upaya antisipasi dampak lingkungan.

Pedoman Rancang Kota dan Urban

Landscape Guidelines perlu dilaksana

kan sebagai bentuk antisipasi permasa

lahan fisik kota.

Gambar 14. Bekas pabrik pengolahan batu bara. (sumber : dokumen pribadi, 2008

20 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Lahan bekas pengolahan dan indus

tri batubara dapat difungsikan sebagai

tempat wisata dan/atau rekreasi dengan

pemanfaatan sebagai tempat rekreasi

dan museum dengan konsentrasi pada

ruang terbuka hijau. Aspek pembelaja

ran kepada masyarakat akan sejarah

kota dan pemahaman akan pentingnya

lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Lahan bekas pabrik dan indutri

yang terbengkalai merupakan salah

satu potensi bagi lansekap prospektif

dalam arti dapat dimanfaatkan bagi

pembangunan untuk park-park/taman

kota, sebagai antisipasi kondisi iklim

mikro dan perbaikan sistem lahan dan

tata air kawasan kota. Upaya

peningkatan prosentase lahan hijau

akan meningkatkan kenyamanan dan

keindahan kota.

Perlu dilakukan Studi dan kajian

terhadap substansi permasalahan ling

kungan untuk membangun dan me

nentukan strategi Lansekap regional ba

gi penanganan masalah kawasan kota.

Ketidaksesuaian antara faktor-faktor

pembangunan; ekonomi, sosial budaya

dan pelestarian lingkungan dikhawatir

kan akan mempengaruhi keberlanjutan

pembangunan kota.

Dalam Urban Landscape Design;

doperlukan harmonisasi urban land

scape heritage antara man-made

scenery dan natural scenery dalam

pembentukan harmonisasi living

culture. Berbagai pertimbangan yang

telah dibahas merupakan bagian

integral dari kriteria bagi kesatuan

perencanaan-perancangan kota.

Penyusunan perancangan kota mem

butuhkan teknik pengintegrasian krite

ria-kriteria yang telah dijelaskan seba

gai solusi pemecahan untuk menghasil

kan konsep sustainability (keberlan

jutan sungan); yaitu hidup selaras

dengan batasan alam melalui

pertimbangan-pertimbangan bahwa

lingkungan terbangun tidak hanya

berorientasi pada aspek ekonomi dan

struktur fisik, melainkan dalam

terbentuknya aspek edukasi tentang

kepedulian dan pemahaman pelestarian

lingkungan.

Gambar 15. Lahan bekas pabrik dan industri (sumber : dokumen pribadi, 2008)

21 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

FALSAFAH DAN STRATEGI

PERENCANAAN-PERANCANGAN

Dalam Perda No.2 tahun 2001

tercantum visi kota Sawahlunto untuk

dapat mewujudkan diri menjadi Kota

Wisata Tambang Berbudaya tahun

2020.

Upaya revitalisasi kawasan perlu

dicanangkan dengan tujuan; 1) pening

katan vitalitas kota melalui pening

katan kualitas lingkungan, 2) pertim

bangan aspek sosial budaya dan karak

teristik kawasan, 3) Meningkatkan per

tumbuhan perekonomian kota, 4) meng

hidupkan kembali aktivitas yang per

nah ada serta rekstruturisasi aktivitas

ekonomi kota.

Perencanaan Lansekap prospektif pa

da kawasan kota tua, bekas tambang

batu bara, daerah aliran sungai, pen

gembangan Ruang Terbuka Hijau dan

seluruh komponen kota secara teliti

dan seksama akan melahirkan kondisi

kota yang diharapkan. Falsafah pe

rancangan kota perlu dibangun dalam

pendekatan konsep preservasi dan kon

servasi meliputi ; nilai-nilai heritage,

kekayaan sosial-budaya, estetika

lingkungan, konteks kota, perkotaan

dan kawasan regional, sumberdaya

lansekap, keanekaragaman arsitek

tural, ‘genius loci-the sense of place’,

untuk pengembangan pariwisata yang

menekankan pada pembangunan eko-

wisata (eco-tourism development).

Conservation:

Land – (lahan)

Water – (perairan)

Historic – (kesejarahan)

Landscape Design Guidelines LDGL

Cultural Heritage

Landscape Heritage

Urban Heritage

Kota Tua/Kota Lama Down town

SKENARIO RENCANA INDUK LANSEKAP

KAWASAN

Kawasan DAS Daerah Aliran Sungai

Kawasan Sumber Daya Air

LANSEKAP PROSPEKTIF

ECO - TOURISM

Urban Landscape Design Guidelines ULDGL

KOTA KONSERVASI The living museum

Gambar 16. Diagram Falsafah Perencanaan Lansekap Prospektif

22 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Tatanan budaya dan sosial masyarakat

yang berkaitan dengan upaya pe

lestarian lingkungan kota dan alamnya

merupakan aset yang perlu dijaga

untuk keberlangsungan pembangunan

kota, agar senantiasa tercapai keseim

bangan kebutuhan manusia dalam me

manfaatkan kapasitas lingkugan kota

nya; seperti nilai sosial budaya, potensi

alam dan lingkungan serta meminimal

kan dampak penggunaan material dan

energi.

Dukungan terhadap pengembangan

lansekap prospektif adalah penyusun

an perencanaan lansekap wilayah kota

Sawahlunto; sebagai panduan rancang

kota yang didukung oleh Urban Land

scape dan Urban Landscape Design

Guidelines.

Dengan itikad dan pelaksanaan

pembangunan berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan Sawahlunto dapat

mengajukan dirinya untuk dinobatkan

se bagai Kota Konservasi. Dengan

demi kian the living museum Sawah

lunto akan mencapai target sebagai

Kota Wisata Tambang Berbudaya

ditahun 2020.

Keberlangsungan pembangunan ko

ta didukung oleh konsep sustainability

akan melahirkan kearifan lokal sebagai

warisan bangsa yang perlu secara me

nerus dipertahankan, meliputi; keutuh

an dan kelangsungan kualitas alam dan

Sasaran Strategi Ekonomi

Sasaran Strategi Lansekap Regional

Tema Pedoman Perencanaan Regional

Managemen sumber daya berkelanjutan

Buangan mineral non-energi

Meningkatkan aset dan potensi lingkungan kawasan

Perlindungan dan perbaikan aset-aset lingkungan

Lingkungan alami Tepian Sungai, Bangunan

Tua/Bersejarah, Ruang Terbuka hijau perkotaan

Meningkatkan dan memelihara wilayah yang dilalaikan

Reklamasi dan penggunaan kembali lahan terlantar

Lahan yang tidak stabil, terlantar dan terkontaminasi

Meningkatkan dan memelihara kualitas air

Peningkatan kualitas lingkungan (air, udara, tanah)

Kualitas udara dan air ; Lansekap di pinggiran kota

Meningkatkan citra kawasan dengan promosi dan pemasaran aset-aset

kota

Membangun citra positif kawasan

Membangun sektor pariwisata dan rekreasi

Meningkatkan kesempatan untuk berwisata dan berekreasi

Wisata , Rekreasi dan olah raga Ruang hijau perkotaan

Gambar 17. Diagram Sasaran Strategi Lansekap Regional

23 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

lingkungan, keberlangsungan vitalitas

living culture, kehidupan perekonomi

an, dan terpeliharanya harmonisasi an

tara pemanfaatan ruang dalam kota ter

hadap aktifitas masyarakat yang mem

bentuk setting places dalam kota serta

infra struktur pendukungnya.

Lansekap kawasan tidak akan

dinilai hanya melalui nilai politis, tam

pilan estetika atau nilai ekonominya sa

ja, tetapi terhadap potensi ekologis

yang tidak terpisahkan dengan keber

lanjutan aliran energi pada setiap ta

pak, distrik, ekosistem atau bioma.

Sebagai parameter dan dukungan ke

berhasilan perencanaan dan perancang

an kota berwawasan lingkungan diper

lukan dukungan konsep sustainable

landscape melalui strategi lingkup

regional, distrik maupun kawasan atau

tapak terbatas untuk memperhitungkan,

merencanakan dan merancang kawasan

berdasar perhitungan keseimbangan

energi dan daur energi kawasan.

Upaya Konservasi dan Revitalisasi

kawasan tidak dapat hanya menitik

beratkan pada preservasi dan rehabi

litasi fisik bangunan saja, melainkan

perlu dilaksanakan secara sistem da

lam satu kesatuan sinergi dalam kebija

kan preservasi dan konservasi terhadap

alam, fisik kota dan sosial budayanya.

Sehingga tujuan visi dan misi sebuah

kota bagi peningkatan kualitas dan

keberlangsungan kehidupan dan peng

hidupan kota sebagai wadah aktifitas

masyarakat dapat dicapai dan dapat

mendukung stabilitas perekonomian

kota.

PENUTUP

Penerapan the green park system de

velopment (pembangunan sistem park

dan kawasan hijau) sebagai salah satu

pendekatan utama perancangan per

kotaan, mengisyaratkan kepada kita

perlunya pembangunan kembali

kawasan hijau dalam bentuk hutan,

kawasan lindung (wilderness areas,

protected areas, national park areas),

ruang-ruang terbuka hijau binaan

(urban park areas, recreational areas

dan urban development open spaces)

sebagai sistem pengkondisian dan

antisipasi kawasan agar dapat mening

katkan daya dukung dan daya tam

pung lingkungannya dalam hal keseim

bangan sistem tata lingkungan, lahan

dan ketersediaan sumber daya alam.

Landasan faktor-faktornya adalah

pada ketersediaan dan keberlangsung

an sumber daya air, faktor hutan, lahan

produksi, faktor tepian, ruang-ruang

terbuka, faktor tuntunan agama mau

pun budaya; sebagai sebuah pemikiran

bijak yang memerlukan dukungan pe

nuh dalam kebijakan politik nasional,

24 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

sehingga manfaatnya dapat dibangun

secara sistemik dan menerus.

Dengan demikian penekanan aspek

dalam perencanaan-perancangan kota

perlu menitikberatkan pada hal-hal

berikut ;

• Aspek lingkungan atau environ

mental aspect yang di dukung oleh

pemikiran terhadap sistem ekologi,

restorasi sistem alam, penggunaan

sumberdaya alam secara efisien,

mengurangi polusi, limbah dan ben

cana.

• Aspek pemanfaatan lahan yang

kompak dan efisien serta kebijakan

batasan pertumbuhan kawasan,

• Aspek ‘employment atau economy’

yang berkelanjutan, baik pada sek

tor formal dan informal yang meng

utamakan; restorasi ekonomi,

human-centered economy dan eko

nomi berorientasi lokal,

• Aspek engagement atau partisipasi

dan keterlibatan warga kota dan

stakeholders, serta sistem dan meka

nisasi pengawasan pembangunan

oleh masyarakat,

• Aspek equity, yaitu persamaan hak,

kesetaraan dan keadilan.

• Prinsip energy conservation, terha

dap pemanfaatan sumber daya

alam terbarukan, penggunaan ener

gi, termasuk industri, transportasi

dan kebutuhan fasilitas umum,

• ‘Development Ethics’ atau etika

pembangunan yang berwawasan

lingkungan, dan preservasi nilai-

nilai serta budaya lokal,

• Pengembangan estetika dan kein

dahan baik alam maupun kawasan

terbangun,

• ‘Enforcement’ atau penegakan hu

kum, dukungan peraturan dan per

undang-undangan,

• ‘Enjoyment’ atau kenikmatan atau

kenyamanan hidup dan kenyama

nan lingkungan hidup.

Kesembilan aspek tersebut men

cerminkan pendekatan baru bagi ter

ciptanya eco-societies dalam prinsip

sustainability, melalui pembentukan

civil society dan good governance yang

akan melibatkan peran masyarakat dan

pelaku pembangunan (stakeholders)

yang partisipatif.

Dukungan intensif dari perilaku

hijau melahirkan Urban Landscape

Guidelines (Pedoman Lansekap Perko

taan) yang diharapkan dapat menjadi

alat kendali bagi pembangunan kawas

an kota. Pengembangan kawasan pro

duktif dan prospektif lansekap terhadap

kota kota lain di Indonesia dapat men

jadi acuan bijak bagi perencanaan-pe

25 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

rancangan kota, dalam sistem dan me

kanisme pengawasan pembangunan

yang seksama.

DAFTAR PUSTAKA

Battle Guy and Christopher Mc.

Carthy, 2001, Sustainable Eco

systems and the Built Envi

ronment, Wiley Academy,John

Wiley and Sons Ltd., New

York.

Benson, John. F, and Maggie H Roe,

2000, Landscape and Sustaina

bility, Spon Press, London.

Chapman, David, 1996, Creating

Neighbourhoods and Places in

the Built Environment, E &

FN Spon, London.

Cohen, Nahoum, 1999, Urban Conser

vation, the MIT Press, Cam

bridge.

Erman, Erwisa, 2005, Membaranya

Batubara, Konflik Kelas dan

Etnik; Ombilin Sawahlunto Su

matera Barat (1892-1996)

Foo, A.F., Belinda Yuen, Oct. 1992,

Sustainable Cities Editorial,

Environment and Urbaniza

tion, Vol.4, p.3.

Foo, A.F, Belinda Yuen, 1999, Sustai

nable Cities in the 21st Cen

tury, Faculty of Architecture,

Building&Real Estate, National

University of Singapore, Singa

pore University Press.

Hall, Peter and Ulrich Pfeiffer, 2000,

Urban Future 21, A Global

Agenda For Twenty First Cen

tury Cities, Federal Minis try of

Transport, Building and Hou

sing, E&FN Spon, New York.

Jack Todd, Nancy and John Todd,

1994, From Eco-Cities to Li

ving Machines, Principles of

Ecological Design, North At

lantic Book, Berkeley, Califor

nia.

Jenks, M. Burton, E. William, K.,

1996, The Compact City; A

Sustainable Form? SPON

Press, London UK.

Katz, Peter, 1994, The New Urbanism

Toward an Architecture Com

munity, McGraw-Hill Inc,

New York.

Leccese, Michael and Kathleen Mc.

Cormick. Editor, 2000, Charter

of The New Urbanism, Cong

ress for The New Urbanism,

Mc. Graw Hill, London.

Leilman, Josef, 1999, Sustaining Ci

ties, Environmental Planning

and Management in Urban

Design, Mc. Graw Hill Book

Company, New York.

Page, Robert. R, Cathy A. Gilbert,

Susan A. Dolan , 1998. A

26 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

Guide To Cultural Landscape

Reports; Contents, Process

and Techniques, U.S. Depart

ment of Interior National Park

Service, Cultural Resource Ste

wardship and Partnerships;

Park Historic Structures and

Cultural Landscapes Program,

Washington, DC

Parfect, Michael and Gordon Power,

1997. Planning for Urban

Quality, Urban Design in

Towns and Cities, Routledge,

London and New York.

Srinivas, Hari, 1997, Information

System in Urban Environ

mental Management, Interna

tional Seminar, Groningen.

Uniaty, Quintarina, 2008, INTEN

SIVE GREENERY SYSTEM;

Telaah Teoritik terhadap Pena

taan Ruang Kawasan Jakarta-

Bogor-Depok-Tangerang- Be

kasi-Puncak-Cianjur; Sebuah

Pendekatan Penataan Kawas

an Yang Berkelanjutan, Work

shop Asosiasi Profesi “Telaah

Kritis Terhadap Peraturan Presi

den No. 54 tahun 2008, tentang

Penataan Ruang Kawasan JA

BODETABEK-BOPUNJUR,

IAP-Dept PU, Hotel Borobudur

Jakarta

Uniaty, Quintarina, 2009, Eco City

and Urban Sustainability, The

International Symposium of

Green City ; The Future Chal

lenge, Department of Land

scape Architecture, Faculty of

Agriculture, Bogor Agriculture

University.

27 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Quintarina Uniaty

PENELUSURAN PENYEBAB DAN UPAYA PENANGGULANGAN

MASALAH BANJIR DI JAKARTA

Silia Yuslim Dosen Arsitektur Lansekap

Jurusan Arsitektur Lansekap, FALTL-Usakti

Abstract Water is very important for life. The existence of water in the earth should be always kept in balance because there is air cycling. Now, when everything is using modern technology, Jakarta as a big city is facing into a chronic problem related to the availability of water. In rainy season, we are surplus water, which causes flood. Based on the flood in the year of 1996, 2002 and 2007 in Jakarta, there are 2 main factors which caused the flood. First, the natural condition of Jakarta which has declivity position and has passed by 13 rivers with the bad treatment from the communities who live around the rivers. They do not have totality awareness to take care the balanced environment and it makes Jakarta become worst. By doing the integrated concept of zone structuring and totality processing of water resources starting from upper to lower course as one river, one plan and one integrated process with external control mechanism followed by clear action and cooperation between related department also participation from the communities, we hope Jakarta could be free from flood in the future. Key word : The flood, cause, and solution

PENDAHULUAN

Air memiliki arti penting bagi ke

hidupan makhluk hidup di bumi.

Siklus air menyebabkan keberadaan air

di bumi selalu tersedia. Keberlangsung

an siklus air secara berkesinambungan

menjaga ketersediaan air di bumi. Na

mun, adanya campur tangan manusia

yang tidak bertanggung jawab dalam

mengelola lingkungan menyebabkan

keberlangsungan siklus air terganggu.

Pesatnya pembangunan di perkotaan

menyebabkan kota menjadi hutan

beton. Luasan lahan terbangun yang re

latif tinggi menghambat terjadinya pe

resapan air yang merupakan salah satu

tahapan dalam siklus air. Akibatnya,

saat musim hujan, terutama jika curah

hujannya besar, terjadilah banjir dan

ketika musim kemarau air bersih sulit

diperoleh.

Wilayah Jakarta yang sebagian be

sar merupakan hutan beton (kedap air)

tidak dapat meresapkan air. Akibatnya,

air hujan yang jatuh menjadi aliran per

mukaan (runoff). Keadaan ini semakin

diperparah jika daerah di sekitar Jakar

ta, seperti Bogor dan Depok, juga se

dang hujan deras. Air kiriman dari Bo

gor dan sekitarnya dengan volume air

28 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

mencapai jutaan kubik mengalir

melalui beberapa sungai masuk wila

yah Jakarta. Sistem drainase yang ada

tidak mampu menampung volume air

yang menyerbu Jakarta. Keadaan ini ju

ga disebabkan karena sistem drainase

yang buruk; masih banyak drainase

yang tidak berfungsi. Keberadaan ban

jir kanal barat dan banjir kanal timur

yang sudah dimulai pembangunannya

juga tidak mampu menampung (Sindo

Pagi 13 Februari 2007) berakibat banjir

besar tidak tehindarkan.

Menurut data BMG (Badan Meteo

rologi dan Geofisika) curah hujan ter

tinggi pada saat banjir tahun 1996 ada

lah 113 mm dan 210 mm pada tahun

2002, sedangkan curah hujan tertinggi

pada saat Jakarta dilanda banjir awal

Februari 2007 ini mencapai 339 mm,

tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir.

Banjir siklus lima tahunan sebagai aki

bat dari curah hujan yang semakin me

ningkat dan akibat yang ditimbulkan

nya dapat di lihat pada tabel 1.

Tabel 1.Perkembangan Wilayah Terendam Banjir di Jakarta dengan Curah Hujan Kumularif pada Bulan Terjadinya Banjir

No Waktu Curah Hujan/

tahun (mm)

Akibat Bencana Banjir

Ketinggian Banjir Wilayah terendam

1.

Feb. 1996 : 5 hr terakhit

10 hr terakhir 20 hr terakhir 29 hr terakhir

221,4 285.7 341.7 442.1

40-100 cm

40%

2.

Jan. 2002 5 hr terakhit

10 hr terakhir 20 hr terakhir 29 hr terakhir

232,9 361.7 572.7 668

40-120 cm

50%

3.

Feb. 2007 5 hr terakhit

10 hr terakhir 20 hr terakhir 29 hr terakhir

327 401.5 427 427

50-500 cm

70%

Sumber: BMG : Banjir 2007 Bukan Terbesar, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/02/09/brk

29 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

Dengan intensitas hujan tersebut

banjir besar melanda Jakarta awal Feb

ruari 2007. Banjir ini menenggelam

kan hampir 70% kota Jakarta dan kota

kota di sekitarnya seperti Bekasi,

Tangerang, Depok dan Bogor, ter

genang banjir dengan beragam

ketinggian dari 50 sentimeter sampai 5

meter (Kompas, 9 Februari 2007)

dengan wilayah yang meliputi kawasan

pemukiman, perkantoran, kawasan per

dagangan dan jasa, serta sarana dan pra

sarananya ; Jakarta porak poranda dan

lumpuh total.

Dengan kata lain, banjir banyak

mendatangkan kerugian bagi warga

yang sangat meresahkan warga dan

pemerintah.

Banjir besar yang menimpa Ibu kota

Jakarta sebenarnya telah terjadi sejak

tahun tahun 1996, awal tahun 2002,

dan awal Februari 2007. Hal tersebut

merupakan permasalahan yang selalu

berulang secara periodik, sehingga

diperlukan upaya pemikiran yang

mendasar untuk menghasilkan suatu

pemecahan efektif.

Diharapkan bencana banjir besar

yang pernah melanda Jakarta dapat

dihindari atau minimal dapat di

kurangi. Dengan demikian, kecemasan

warga dan pemerintah dapat teratasi.

ISI

Penyebab Banjir Di Jakarta

Banjir di Jakarta terjadi karena

kondisi yang tidak seimbang, yaitu

ketidakseimbangan antara volume

curah hujan yang menyerap ke dalam

tanah dan volume curah hujan yang

menjadi run-off, volume runoff jauh

lebih besar dibandingkan yang menye

rap ke dalam tanah. Sebagian

penyebab terjadinya kondisi tersebut

bersifat alamiah dan sebagian lagi

merupakan dampak aktifitas manusia,

yang kedua nya saling berhubungan.

Jakarta berada di bagian utara dari

pulau Jawa dengan kondisi landai dan

merupakan tempat bermuaranya 13

sungai. Pulau Jawa yang memiliki ka

rakteristik lahan dengan pegunungan

di bagian tengah, memanjang dari

Timur ke Barat dan landai pada bagian

Selatan dan Utara serta jarak antara

puncak gunung menuju ke arah Utara

/Selatan relatif pendek menyebakan air

yang mengalir akan cepat sampai ke

bawah (Budihardjo,1997). Keadaan

yang cukup curam dengan aliran

sungai yang pendek, tingginya curah

hujan serta solum tanah yang dalam

tapi tidak stabil, menyebabkan usaha

pertanian di daerah aliran sungai

bagian hulu berlangsung secara

ekstensif, tapi tidak mapan. Ini meng

30 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

akibatkan tanah di sekitar aliran sungai

mengalami tingkat erosi yang cukup

tinggi, yang menyebabkan pelumpuran

pada sungai (Puslitbang pengairan,

1984). Keberadaan Jakarta yang landai

dengan ketigabelas sungainya menye

babkan terjadinya pendangkalan pada

hilir sungai akibat dari pelumpuran.

Hal tersebut menyebabkan debit air

yang dapat di tampungnya menjadi

berkurang, dan akhirnya terjadilah

banjir.

Dampak aktifitas manusia yang juga

sangat berperan dalam mengakibatkan

terjadinya banjir, salah satunya adalah

kebijakan Tata Ruang Kota yang ku

rang mengakomodasi aspek ekologi.

Peruntukan lahan lebih diutamakan

untuk kegiatan yang bernilai ekonomi

dan produktif, seperti peruntukan,

kawasan komersial, jasa, & CBD, ka

wasan real-estate, kawasan perkantoran

dan kawasan industri.

Ruang terbuka hijau seperti taman-

taman, jalur hijau dan kawasan alami

dianggap tidak produktif dan tidak

bernilai ekonomi menjadi terabaikan.

Kebijakan ekonomi sering melupakan

pertimbangan ekologi, sehingga

banyak ruang terbuka hijau beralih

fungsi.

Banjir merupakan hal berhubungan

dengan siklus hidrologi. Keberadaan

ruang terbuka hijau sebagai lahan-

lahan alami untuk meresapkan air

hujan telah banyak dirubah menjadi

lahan terbangun, diantaranya, menjadi

perumahan, perkantoran, dan mall-

mall yang kini menjamur di wilayah

DKI Jakarta.

Jika melihat perkembangan pem

bangunan Jakarta dari tahun ke tahun

(1973-2005), terlihat bahwa perkem

bangan keberadaan ruang terbuka

hijau sebagai daerah alami yang dapat

menjalankan fungsi-fungsi ekologis,

termasuk hidro-orologis, telah berubah

menjadi kawasan terbangun yang

kedap air. Dengan luasan wilayah

661,62 km2, lahan terbangun

sebanyak 608,61 km2. Hanya 8,01 %

sisa wilayah Jakarta tidak tertutup

bangunan. (Kompas, 9 Februari)

Menurut Walhi, luas ruang terbuka

hijau kota Jakarta secara keseluruhan

cenderung menurun dari tahun ke

tahun dan dapat terlihat pada tabel 2.

Ber dasarkan RTRW, target RTH di

Jakarta di tahun 2010 adalah 13,94%

(Kom pas, 21 April 2007). Padahal

luas minimal RTH Kota yang telah

disepakati dalam KTT Bumi di

Johannesburg (Rio+10) adalah 30%

dari luas kota.

31 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

Tabel 2. Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Jakarta

No Tahun Keberadaan

Tata Ruang Jakarta Lahan Terbangun (%) RTH (%)

1. 1985 71,24 28,76

2. 1995 75,12 24,88

3. 2005 80,62 9,38

Sumber : Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tahun 2007

Pranata untuk pengendalian pem

bangunan yang belum kuat, menyebab

kan fungsi-fungsi metropolitan me

lakukan ‘invasi’ ke daerah sekitarnya

untuk memenuhi berbagai kepentingan.

Tata ruang yang terjadi merupakan

suatu gambaran yang murni dari ke

kuatan sosial dan ekonomi yang me

nentukan tata ruang atas kepentingan

masing-masing, yang sering disertai de

ngan benturan-benturan (Poerbo, 1989)

Adanya pembangunan pada area di

sepanjang pantai yang memanfaatkan

hutan bakau menjadi vila, restoran dan

hotel, serta menjadi suatu pemukiman

dengan segala fasilitasnya, seperti sa

lah satu contohnya Pantai Indah Kapuk

yang mengakibatkan berkurangnya da

ya retensi air (tempat penampungan air

sebelum ke laut), menyebabkan be

ralihnya fungsi kawasan pesisir dan ter

ancam punahnya ekosistem pesisir. Hal

ini menambah buruk keadaan, karena

“tempat parkir air” sementara yang se

makin berkurang menyebabkan air

mencari tempat lain untuk “parkir”

yang celakanya merupakan hunian,

jalan atau tempat bisnis.

Akibat adanya kebutuhan air yang

cukup tinggi, menyebabkan terjadinya

pemakaian air tanah yang berlebihan di

Jakarta. Menurut Salim(1990), terdapat

lebih dari 2500 buah sumur bor yang

memompa sebanyak 3,1 m per-detik

air dari lapisan tanah tertekan yang

berada antara 40-250 m. Selain itu, air

tanah dangkal yang terdapat pada

kedalaman kurang dari 40 m juga telah

banyak dimanfaatkan untuk mencukupi

kebutuhan air penduduk setempat, de

ngan jumlah yang di taksir 3,6 m per

detik. Dari hasil penelitian diketahui

bahwa potensi air di Jakarta memiliki

debit air aman yakni banyaknya air

yang diperkenankan untuk diambil

tanpa menimbulkan dampak yang

32 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

merugikan adalah di bawah 3,6 m per

detik. Keadaan ini menyebabkan

(Hehanussa, 1980):

• Terjadinya penyusupan air laut pada

lapisan tanah akifer yang terdapat di

kedalaman kurang dari 100 m

• Terjadinya penurunan muka tanah,

karena pada lapisan akifer yang ter

dapat pada kedalaman 100-250 m

penyusupan air laut tidak terjadi,

sehingga menyebabkan berkurang

nya tekanan pada lapisan tersebut

yang diikuti oleh pemampatan

Hal tersebut tidak dapat diabaikan.

Keamblesan yang sebenarnya merupa

kan peristiwa alamiah menjadi di

percepat dengan adanya kenyataan

terlalu banyaknya pemakaian air tanah

sementara laju peresapan air kedalam

tanah banyak berkurang sebagai efek

dari pembangunan. (Kompas, 19 April

1996). Keamblesan ini lebih lanjut

menyebabkan letak Jakarta semakin

rendah terhadap permukaan air sungai

dan laut, akibatnya bahaya banjir men

jadi semakin tinggi.

Dampak perbuatan manusia yang

lain dan juga sangat berperan dalam

mengakibatkan terjadinya banjir adalah

pengambilan pasir dan batu dari alur

sungai dengan menggunakan alat-alat

berat, menimbulkan kerusakan di

sepanjang alur. Akibatnya kikisan arus

sungai, pelumpuran dan pendangkalan

di bagian hilir menimbulkan banjir

(Salim, 1990).

Menurut Notohadiprawiro (1989),

air erat hubungannya dengan konser

vasi dan pembangunan sumber daya

hutan. Ketika hujan turun, air akan ter

tahan oleh akar-akar pohon, menyubur

kan hutan dan melindungi tanahnya

dari erosi. Rusaknya lahan konservasi

yang merupakan daerah resapan air

karena pesatnya pembangunan, seperti

yang terjadi di bagian hulu DAS

sungai Ciliwung yaitu daerah Puncak,

menyebabkan ke seimbangan ekologis

terganggu atau mengakibatkan banjir

dan longsor. Hal ini diperburuk oleh

adanya pembuangan limbah industri

dan limbah rumah tangga ke sungai.

Akibatnya, daerah hilir akan mendapat

efek akumulatif berupa sedimen, sam

pah dan polusi. Pada waktu debit air

besar, pendangkalan yang telah terjadi

secara alamiah akibat keberadaan kota

Jakarta dan didukung oleh ulah masya

rakat yang tidak bertanggung jawab

semakin memperburuk keadaan se

hingga banjir tidak terhindarkan lagi.

Kenyataan lain adalah banjir di

Jakarta juga disebabkan karena belum

adanya sistem jaringan yang memadai.

Jaringan tersebut meliputi jalan, drai

nase, maupun pembuangan air limbah.

Menurut hasil penelitian Pusat

33 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

Penelitian Pengem bangan Wilayah

dan Kota (P3WK) ITB, perbandingan

perkembangan kota dengan sistem

jaringan yang ada tidak seimbang.

Untuk ukuran kota besar seperti

Jakarta, sistem jaringan jalan, drai

nase, maupun air limbah seharusnya

mencapai 20 %, tapi sekarang sistem ja

ringan yang dimiliki Jakarta hanya 5 %

(Republika, 12 Februari 1996).

Hal lain yang juga harus diper

timbangkan adalah dampak dari pema

nasan global yang menyebabkan terjadi

nya perubahan iklim, antara lain tidak

menentunya musim kemarau dan peng

hujan, perubahan curah hujan dan me

ningkatnya intensitas badai. Di Asia

Tengara peningkatan curah hujan yang

tinggi telah terjadi. (Kompas, 14 Febru

ari 1996). Pengaruhnya telah dialami

Jakarta dan mengakibatkan banjir yang

lebih dahsyat pada awal tahun 2007.

Kondisi Jakarta dengan berumpuk per

masalahan, menjadikan Jakarta tak ter

elakan dari bencana banjir yang mulai

menjadi tardisi.

Upaya Penanggulangan Bencana

Banjir

Dalam rangka mengantisipasi ben

cana banjir khususnya di Kota Jakarta,

ada beberapa upaya penanggulangan

yang dapat dilakukan; yang langsung

dapat dikerjakan dan dikenal dengan

sebutan upaya penanggulangan jangka

pendek serta upaya penanggulangan

jangka panjang.

Upaya penanggulangan jangka

pendek. pertama adalah dengan mem

perdalam dan memperlebar muara-mu

ara sungai yang ada serta mengeruk su

ngai/waduk, membuat atau memper

tinggi tanggul dan memperbaiki pintu

air yang ada. Hasil kerukan tersebut

dapat dimanfaatkan dalam program re

klamasi, seperti yang pernah dikemuka

kan oleh Presiden. (Kompas, 15 Febru

ari 1996). Upaya ini sebagian besar te

lah dilakukan, tapi ternyata laju penge

rukan lebih rendah daripada laju pen

dangkalan, sehingga dilakukanlah pe

ninggian tanggul. Akibatnya Jakarta se

makin berada dibawah sungai dan

bahayanya telah dirasakan bersama pa

da saat banjir yang terjadi di awal ta

hun 2007 ini, di mana hampir seluruh

wilayah kota Jakarta tergenang air

dengan kedalaman lebih dari satu me

ter untuk beberapa hari lamanya. Upa

ya lain yang dapat dilakukan adalah

pembangunan Banjir Kanal Timur.

Pembangunan dapat dipercepat agar se

gera berfungsi menampung dan mem

percepat aliran air menuju ke laut, di

samping dilakukan perbaikan jaringan

drainase disertai pengawasan pemeliha

raannya.

34 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

Sebagai upaya penanggulangan jang

ka pendek yang kedua adalah mewajib

kan setiap bangunan rumah tangga me

miliki sumur resapan. Ketentuan ini

harus dimasukkan kedalam persyaratan

IMB yang akan dikeluarkan. Adapun

sumur resapan ialah suatu sistem

resapan buatan yang dapat menampung

air hujan, baik dari permukaan tanah

maupun air hujan yang disalurkan

melalui atap bangunan. Fungsi sumur

resapan tersebut, sebagai wadah untuk

menahan air hujan dalam waktu yang

cukup lama, sehingga laju infiltrasi

dapat ditingkatkan. Dengan laju infil

trasi tinggi tidak hanya akan me

ningkatkan jumlah air tanah yang ter

simpan di dalam tanah, tapi juga

mengurangi besarnya resiko banjir dan

erosi yang diakibatkan oleh ‘run-off ‘

(Hakim,1986). Bentuknya dapat beru

pa sumur, kolam dengan resapan, salur

an resapan dan sejenisnya. Menurut

BBLH (1994), pembangunan sumur

resapan rumah tangga, antara lain juga

untuk mengatasi masalah ketidakseim

bangan antara penggunaan air tanah

dan masuknya air hujan kedalam tanah

di kota-kota besar seperti kota Jakarta

khususnya, dan di pesisir pulau Jawa

pada umumnya.

Dalam memasyarakatkan peraturan

ini, pemerintah sangat mengharapkan

kesadaran masyarakat untuk melak

sanakannya; sehingga pembuatan su

mur resapan tidak hanya ada secara

tergambar di IMB tetapi dilaksanakan

dengan baik. Untuk itu, perlu adanya

informasi mengenai keuntungan dan

arti penting keberadaan sumur resapan

bagi mereka dan lingkungan.

Disamping itu, sebagai alternatif

jangka pendek lainnya pemerintah juga

mengharapkan partisipasi masyarakat

dalam menjaga keutuhan lingkungan

sekitarnya maupun dalam menjaga

kebersihan lingkungan. Wujudnya da

pat berupa kerja bakti dari warga misal

nya membersihkan selokan dari sum

batan sampah yang dilaksanakan seca

ra gotong-royong maupun pembentuk

an kesadaran masing-masing warga

akan pentingnya lingkungan bersih.

Pembangunann kesadaran ini dapat di

lakukan dalam bentuk penyuluhan, per

aturan setempat dilaksanakan secara

displin dan tegas.

Untuk upaya penanggulangan ben

cana banjir jangka panjang dapat di

lakukan dengan mulai melaksanakan

pembenahan terhadap penataan ruang

secara terpadu antar kota terkait seba

gai suatu kesatuan ekosistem. Dalam

penataan ruang, berbagai jenis ruang

terbuka hijau dengan berbagai fungsi

dan manfaatnya, harus diintegrasikan

dengan rencana tata ruang kota, tata

ruang wilayah dan rencana tata ruang

35 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

regional sebagai satu kesatuan sistem

(Regional Park System). Dengan demi

kian akan tampak jelas keterkaitan

antara kota dengan wilayah yang lebih

luas disekitarnya (hinterland). Dengan

demikian pendekatan tata ruang berwa

wasan lingkungan dan berkelanjutan

seharusnya tidak didasarkan batas-ba

tas administratif suatu daerah tetapi

didasarkan pada batas-batas ekologis.

Inilah yang disebut “tata ruang yang

berbasis ekosistem” (Ismaun, 2006).

Wilayah DKI Jakarta yang secara fi

sik berada di cekungan artois Jakarta

dialiri 13 sungai yang berhulu di

wilayah Bogor Jawa Barat; secara

ekologis merupakan satu kesatuan sis

tem daerah aliran sungai. Oleh sebab

itu, penataan ruang daerah hulu yang

merupakan kewenangan pemerintah da

erah Bogor, Jawa Barat harus dapat

terintegrasi dengan penataan ruang

wilayah DKI Jakar ta (RTRW 2010),

sehingga dapat dihasilkan suatu keten

tuan ratio taman yang diperuntukan

bagi lahan hijau dan ratio pembangun

an yang harus dipatuhi bersama (Kom

pas, 11 Februari 2007). Dengan adanya

koordinasi dan pengawasan terhadap

kebijakan tata ruang antar wilayah se

cara terpadu diharapkan dapat membe

rikan manfaat bagi masing-masing

daerah.

Kebijakan tata ruang yang ditujukan

untuk peningkatan kualitas hidup dan

kesejahteraan masyarakat juga tidak

terlepas dari pandangan terhadap pro

ses-proses alam sebagai nilai (value),

karena setiap lahan mempunyai nilai

intrinsiknya masing-masing. Daerah

cekungan yang selalu tergenang air le

bih cocok untuk situ atau danau yang

berfungsi untuk retensi air dan dapat

digunakan untuk area rekreasi. Daerah

dengan jenis tanah dengan berper

meabilitas tinggi, sesuai untuk daerah

hijau, karena dapat meresapkan air

hujan secara optimum untuk mengisi

air tanah. Keadaan ini juga dapat

ditingkatkan dengan mengoptimalkan

keberadaan ruang terbuka hijau, me

lalui penataan dengan penerapan kom

posisi tanaman secara berstrata. Ini

dimaksudkan agar kondisi ruang ter

buka hijau yang ada di Jakarta, yang

luasnya masih jauh dari luas ruang

terbuka yang diharapkan, yaitu 30%

dari luas DKI Jakarta, dapat berfungsi

secara optimal. Dengan demikian, pro

ses inflitrasi air dapat dilakukan secara

optimal dan run-off dapat dikurangi.

Salah satu konsep pembangunan

lingkungan binaan yang berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan adalah

dengan “Pendekatan PCD”(PCD-App

roach)-(Simonds,1994).

36 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

Pendekatan ini perlu dilakukan baik

dalam skala regional/wilayah, skala

lokal/ kota, maupun skala tapak, kare

na dalam sistem ekologi wilayah

maupun lokal saling berkait memben

tuk suatu ekosistem. Pada pendekatan

ini, menurut Ismaun, 2006, perlu suatu

suatu studi yang mendalam (landscape

assessment) terhadap kawasan yang

harus dilindungi (Preservation), kawas

an yang harus di konservasi (Conser

vation) dan kawasan yang boleh di

bangun (potential Development); me

lalui penetapan daerah atau kawasan

agar dapat menjalankan fungsi-fungsi

ekologis, dan diharapkan dapat terca

pai keseimbangan lingkungan. Dengan

demikian, wilayah-wilayah yang secara

geografis menjadi satu kesatuan eko

logi diintegrasikan dalam satu kebija

kan tata ruang terpadu, untuk memini

malkan dampak yang melanda Jakarta

maupun daerah lainnya dan

menghindari bencana alam seperti

banjir.

PENUTUP

Berdasarkan kenyataan bahwa

Jakarta masih dilanda banjir yang

cukup besar pada awal tahun 2007 ini,

maka permasalahan kompleks yang

dihadapi sekarang dalam mengan

tisipasi bencana banjir di Jakarta, men

jadi bertambah berat dan harus dita

ngani secara serius. Beberapa upaya

penanggulangan banjir yang diungkap

kan berikut jangka waktu pelaksanaan,

selain membutuhkan biaya yang cukup

tinggi juga membutuhkan adanya koor

dinasi secara terpadu antar lembaga

terkait. Melalui penerapan konsep pe

ngembangan penataan wilayah secara

terpadu dan pengelolaan sumber daya

air secara utuh mulai dari hulu sampai

ke hilir sebagai satu sungai, satu

rencana dan satu pengeloaan terpadu

dengan mekanisme ‘external control’

yang disertai dengan tindakan tegas,

dan kerjasama antar instansi terkait

dengan masyarakat, pelaksanaan upaya

penanggulangan banjir diharapkan

dapat memberikan manfaat secara

nyata bagi masyarakat luas, sehingga

kerja keras dan biaya yang dikeluarkan

tidak sia-sia. Dengan demikian

masyarakat kota Jakarta tidak perlu

mengalami penderitaan yang lebih

parah lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Bina Lingkungan Hidup. Program

Sumur Resapan Sebagai Upaya

Penegasan Defisit Air Tanah.

BBLH : 1994.

BMG : Banjir 2007 Bukan Terbesar,

dalam

http://www.tempointeraktif.com/

hg/nasional/2007/02/09/brk

37 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

Budihardjo, Eko. Arsitektur, pemba

ngunan dan konservasi. Jakarta,

Djembatan, 1997.

Hakim, Nurhajati, dkk. Dasar-dasar

Ilmu Tanah. Lampung, Badan Pe

nerbit Unila L : 1986.

Hehanussa. Pengaruh Kedudukan

Muka Hidrostatika terhadap Pen

yusupan Air Laut ke dalam Ce

kungan Artois Jakarta. Ban dung,

Riset LIPI :1980

Har/Inn. Daerah Hulu segera diper

baiki. Kompas, 11 Februari 2007.

Ito. Jakarta Dilanda Banjir Lebih

Hebat Lagi. Republika, 12 Feb

ruari 1996.

Ism. Drainase Harus Terintegrasi.

Sindo Pagi, 13 Februari 2007.

Ismaun, Iwan. “Pendekatan PCD

dalam Sistem Ruang Terbuka

Hijau Metropolitan”, dalam Se

minar Peluang dan Tantangan

Pengelolaan Megalopolis dalam

Perspektif Publik. FALTL-

Usakti, 11 Juli 2006.

Ksp. Warga Jakarta Diwajibkan

Membuat Sumur Resapan.

Kompas, 19 April 1996.

Manan, M.Effendy. Klimatologi

Pertanian Dasar. Bagian Klima

tologi, Dep.Ilmu Pengetahuan

Alam, Fakultas Petanian-IPB :

1980.

Notohadiprawiro, Tejoyuwono. Tanah

dan Lingkungan. Dikti. Dep.

Pendidikan dan Kebudayaan :

1989.

Poerbo, Hassan. Lingkungan Binaan

untuk Rakyat. Jakarta, Djem

batan. 1989.

Puslitbang Pengairan. Monitoring Sedi

mentasi dan erosi Sungai-

sungai di Pulau Jawa dan Bali.

Laporan Teknik No.170/LA-

14/1984. Jakarta : 1984 Rie.

Presiden:“Kembalikan Daerah

Puncak” Kompas, 15 Februari

1996.

Salim, Emil. Kualitas Lingkungan di

Indonesia. Kantor Menteri

Negara Kependudukan dan Ling

kungan Hidup. Jakarta : 1990.

Simonds, John Ormsbee. Garden

Cities 21 Creating a Livable Ur

ban Environment. McGraw-Hill

Company. 1994

Soemarwoto, Otta. Banjir Jakarta.

Kom pas, 14 Februari 1996.

Syukri, Ahmad. Air, Hutan dan

Wilayah Pesisir. Kompas 19

April 1996.

Utami, Ruth Hesti. Ruang Terbuka

Hijau Tersingkir, Jakarta pun

Banjir. Kompas, 21 April 2007

Walhi. Forum Pembaca Kompas :

Banjir Ja karta 2007. Kompas, 9

Februari 2007

38 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Silia Yuslim

PENANGGULANGAN LAHAN PASCA PEKERJAAN ENGINEERING:

LANDASAN KONSEPTUAL RENCANA DAN RANCANGAN LANSEKAP

I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S. Hamzah

Lembaga Bina Lansekap dan Lingkungan Universitas Trisakti

Abstract

The collide between engineering developers and environmental developers has been a dillema for a long time. Environmentalists protest on the developing of roads across forest area or conservation area due to their lack of respect on environmental aspects. Environment became the victims of concrete structures and asphalt construction cross along the line, consume the areas and green hills existed. Those actions cause new threats on the area; like erosion and landslide, while the preventive actions haven’t done yet. Sad as it is, but it happen as a fact. Everyone did nothing but watching while it happen, but if we willing to be wiser as the actors of the development itself, this issue can be prevented before the development concept was proposed. Researches on environmental impact need to be done earlier so that the development concepts will refer to environmental and sustainable principles instead of environmental destruction concepts. “Natural and Engineering in Harmony” is something that we should establish , without having to give a higher value on one of them, but more on giving the ideal value to both. So that the harmony of nature and engineering can be accomplished and each aspect could give more positive values to the natural and sustainable development.

Keywords: rehabilitation, sustainable development, succession, green construction

PENDAHULUAN

Seiring dengan strategi dan ke

bijakan Pembangunan Berkelanjutan

yang berwawasan lingkungan, maka

disadari bahwa setiap pembangunan

yang ada dituntut untuk lebih memiliki

konsep-konsep yang mengedepankan

sisi ekologis. Issue dunia mengenai

“Global Warming” mungkin merupa

kan tindakan manusia yang mulai sadar

terhadap bahaya yang akan ditimbul

kan terhadap dirinya dan lingkungan

hidupnya.

Perilaku pembangunan yang di

lakukan secara sadar oleh manusia se

bagai pelaku pembangunan seringkali

tidak mengindahkan sisi-sisi ataupun

aspek-aspek ekologis. Secara sadar tin

dakan-tindakan ini mereka lakukan de

mi kepentingan ekonomi semata. Ke

pentingan lingkungan seringkali tera

baikan akibat pemahaman-pemahaman

yang salah dan sempit dalam meng

artikan hubungan pembangunan ekono

mi dan lingkungan. Sebagian besar

menggangap bahwa pembangunan

39 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

identik dengan perusakan lahan,

sebaliknya mempertahankan lingku

ngan identik dengan tidak adanya

pembangunan yang nyata.

Hal ini menjadi suatu dilema ber

kepanjangan, sebagai contoh adalah

pelaku pembangunan di bidang engin

eering yang berbenturan dengan pelaku

pembangunan di bidanglingkungan.

Pembangunan Jalan yang melewati

Kawasan Hutan ataupun Kawasan

Konservasi sebagai satu contoh kasus,

seringkali mendapat banyak protes

karena pembangunan tersebut dinilai

tidak mengindahkan aspek lingkungan.

Lingkungan akan menjadi korban oleh

terbangunnya struktur beton dan

asphalt yang melintas sepanjang jalur,

memakan lahan-lahan dan bukit-bukit

hijau yang ada. Bahaya-bahaya baru

akan timbul seperti erosi dan lo ngsor,

sementara tindakan-tindakan pence

gahan belum juga usai dilaksana kan.

Memang menyedihkan tetapi ini sudah

ada yang terjadi, saat ini semua nya

bisa hanya menyaksikan, dan bila

mana kita mau lebih bijaksana sebagai

pelaku pembangunan, seharusnya per

masalahan ini sebelumnya dapat dianu

lir, disaat konsep pembangunan jalan

ini akan diajukan Sebaiknya pelaku

pembangunan terlebih dahulu meng

adakan kajian-kajian yang dalam

mengenai dampak yang akan timbul

terhadap lingkungan hidup, sehingga

konsep pembangunan yang mengacu

pada prinsip-prinsip berwawasan ling

kungan dan berkelanjutan-lah yang di

hasilkan, bukan konsep perusakan ling

kungan yang muncul.

Telah banyak terdapat terori-teori

dan konsep engineering penuh dengan

contoh-contoh praktis ataupun kasus

mengenai bagaimana memperta

hankan dan menanggulagi lahan pasca

pekerjaan engineering dan banyak pula

riset akademis yang relevan dalam

pengoperasian konsep tersebut.

Dibawah ini dikemukakan sebuah

hasil studi yang bertujuan untuk mem

buat beberapa kontribusi pada rencana

lansekap yang konseptual. Pertama

studi ini mencoba untuk menyediakan

ulasan awal dari hasil temuan dan

analisa kedalam suatu rumusan yang

mencakup pola, sistem dan konsepsi

lansekap yang tepat dan efektif dalam

bentuk definisi dan karakteristik. Ke

dua, studi ini mencoba untuk meng

optimalkan konsep perbaikan pada bu

kaan-bukaan lahan dari dampak pemba

ngunan struktur-struktur jalan dan jem

batan melalui penyediaan media untuk

percepatan suksesi vegetasi.

Ketiga, studi ini mencoba untuk

menyusun arahan konseptual Rencana

dan Panduan Rancangan Lansekap

Koridor jalan.

40 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

Natural and Engineering in Harmony

Pendekatan Natural and Engi

neering in Harmony, merupakan sebu

ah konsep dasar yang perlu dikaji dan

dipelajari lebih dalam. Alam dan engi

neering merupakan suatu keharmoni

san yang harus kita bina tanpa kita

harus memberikan nilai yang mana le

bih tinggi dari keduanya, tetapi bagai

mana kita memberikan nilai yang ideal

terhadap keduanya, sehingga keharmo

nisan keduanya dapat berjalan dan

masing-masing aspek tersebut dapat

memberikan nilai tambah yang positif

terhadap konsep pembangunan berwa

wasan lingkungan dan berkelanjutan.

Dalam kasus Sumatera Barat–Riau,

tuntutan akan kelancaran jalur distri

busi ekonomi di wilayah-wilayah stra

tegis seperti halnya jalur ekonomi

menjadi sangatlah penting. Jalur trans

portasi darat menjadi jantung dari

keberhasilan suatu pembangunan wila

yah dan kota, dimana dalam studi ini

wilayah Sumatera Barat sebagai Pro

dusen, sedangkan wilayah Provinsi

Riau sebagai konsumen produk-produk

Agro-Pertanian Tanaman Pangan. Sela

yaknya jalur-jalur transportasi ekonomi

ini harus selalu diperbarui mengikuti

tingkat perkembangan dan kebutuhan

ekonomi di kedua wilayah tersebut,

sehingga keberadaan jalur penghu

bung; Jembatan Kelok 9 yang tengah

dibangun saat ini akan sangat penting

untuk kelancaran jalur distribusi ekono

mi pada kedua wilayah tersebut seba

gai salah satu contoh keberhasilan

yang telah dihasilkan oleh pelaku pem

bangunan bangsa ini.

Secara Arsitektur dan Engineering

Jembatan ini merupakan suatu maha

karya spektakuler anak bangsa yang

manakjubkan, mungkin saja akan

mengalahkan karya sebelumnya yaitu

jalan kelok 9 yang dibangun oleh Peme

rintah Kolonial Belanda tahun 1932.

Dari segi engineering dan Arsitekutral

keberadaan jembatan ini mungkin akan

menjadi suatu icon baru, dari segi trans

portasi dan ekonomi keberadaan jemba

tan kelok 9 ini akan sangat membantu

kelancaran jalur distribusi ekonomi di

kedua wilayah tersebut. Sedangkan da

ri segi lingkungan, pembangunan jem

batan kelok 9 ini akan menjadi tolok

ukur keberhasilan pelaku pembangun

an dalam mengharmonisasikan alam

dan engineering. Keberadaan jembatan

yang tepat berada pada kawasan suaka

alam menjadikan pembangunan pro

yek tersebut harus sangatlah hati-hati,

bila terjadi kesalahan akan berakibat

sangat fatal terhadap lingkungan.

Pendekatan Natural and Engi

neering in Harmony merupakan landa

san konseptual lansekap yang perlu di

41 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

ajukan dalam penanggulangan dan per

baikan lahan pasca pekerjaan enji

nering guna mempertahankan lingku

ngan kawasan konservasi alam ter

sebut.

Perbaikan Lahan

Perbaikan terhadap bukaan-bukaan

lahan dari dampak pembangunan struk

tur konstruksi jembatan kelok 9 men

jadi sangat penting karena keberadaan

proyek ini di dalam bagian kawasan

konservasi suaka alam Air Putih.

Perbaikan lahan ini diupayakan

semaksimal mungkin agar keaslian dan

fungsi kawasan konservasi tetap terja

ga. Upaya-upaya perbaikan yang te

ngah dilakukan antara lain dengan pe

ningkatan kualitas visual, perbaikan te

bing-tebing lereng/lahan dan perbaikan

vegetasi pada bukaan-bukaan lahan.

Permasalahannya adalah bagaimana

mengembalikan lahan yang sudah ru

sak akibat suatu kegiatan pembangun

an fisik struktur kontstruksi kepada ben

tukan aslinya sangatlah sulit yang me

merlukan waktu cukup lama. Apalagi

kerusakan lahan tersebut memiliki ting

kat kerusakan kritis dan berada pada

kawasan konservasi.

Kondisi lahan yang berbukit yang

memiliki tingkat kemiringan lereng

yang curam (>40%) akan sangat men

yulitkan dalam proses perbaikan, untuk

itu perlu diambil langkah-langkah yang

tepat sehingga kondisi lahan yang

kritis tersebut dapat segera diperbaiki

dan teratasi secara fungsi maupun

visual. Langkah-langkah ataupun ta

hap-tahapan tersebut berupa kerangka

konseptual rencana dan panduan ra

ncangan. Tetapi hal yang perlu disepa

kati sebelum masuk kedalam tahapan-

tahapan tersebut hendaknya perlu

adanya pemahaman-pemahaman me

ngenai teori-teori dan pergertian-

pergertian yang berhubungan erat deng

an perbaikan lahan. Sehingga kerangka

perbaikan lahan yang akan diajukan

semaksimal mungkin dapat dihasilkan

secara tepat dan nyata (layak kerap).

Gambar 1. Suasana Lahan saat pembangunan konstruksi jembatan kelok – 9. Terlihat lahan-

lahan yang rusak dan kritis Sumber : Hasil Survey Lapangan,2008

Peningkatan Visual

Menurut Zainuddin Noor (1997),

kualitas visual merupakan persepsi se

seorang terhadap suatu rangsangan ya

ng dilihatnya berdasarkan interaksi ma

ta dan emosional serta intelegensia dan

42 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

skemata yang dimilikinya, sehingga

manusia dapat menetapkan/menilai vi

sual tersebut baik atau buruk. Terdapat

perbedaan dalam pandangan visual dari

masing-masing individu manusia,

sehingga hal yang dilihat dan di

usulkan dalam perbaikan visual adalah

kepada satuan visual yang normatif

dalam setiap pandangan. Seperti

halnya orang menikmati suatu

panorama alam pedesaan, dimana hal

utama yang akan diingat setiap orang

adalah hamparan padi yang hijau di

sawah.

Dalam konteks koridor Kelok – 9,

rangsangan yang diterima sangatlah

variatif akibat pergerakan dan beragam

objek dalam satuan waktu yang ter

batas. Namun obyek-obyek dominan

saja yang akan tertangkap dan mem

bentuk kesan yang kuat, sedangkan

bukaan-bukaan lahan berupa pemang

kasan tebing lereng yang terjadi; secara

pandangan (Visual) ketika orang melin

tas didaerah ini akan sangat meng

gangu. Kesan ektrim dari bukaan le

reng tersebut dengan kemiringan le

reng > 90% akan sangat menggangu

pandangan, menjadikan orang berfikir

bahwa lereng-lereng tersebut akan run

tuh menimpanya.

Hal yang penting dalam pena

nganan kualitas visual adalah bagai

mana terciptanya serial visual dan

gerak (serial vision and motion) harus

direncanakan dan dirancang sebagai

suatu rangkaian panorama dari satu

titik ke titik lainya. Sejalan dengan hal

tersebut, maka pengembangan koridor

jalan; khususnya daerah tepian jalan

perlu dirancang secara rinci sama

seperti segi-segi jalan raya umumnya.

Gambar 2. Implementasi Rancangan Lansekap Koridor Kelok – 9 Sumber : Hasil Rancangan, 2008

43 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

Pertimbangan akan suatu keindah

an mutlak menjadi perhatian, dan un

tuk kepentingan tersebut seringkali per

lu melakukan pengorbanan biaya dan

jarak tempuh untuk memperolehnya.

Perbaikan Tebing-tebing kritis pada

Lereng

Menurut Abramson, L.W., Lee,

T.S., Sharma, S., and Boyce, G.M.,

(1996); kestabilan lahan berlereng ber

variasi sepanjang waktu. Hal ini dise

babkan antara lain karena adanya mu

sim hujan dan kering sehingga terdapat

perubahan musiman dari permukaan

air tanah atau terjadi perubahan keku

atan geser material yang diakibatkan

proses pelapukan. Penurunan kestabi

lan lereng dapat juga terjadi secara dras

tis apabila terjadi perubahan yang tiba-

tiba, seperti hujan lebat dengan inten

sitas yang tinggi, erosi pada lereng atau

pembebanan pada permukaan lereng.

Kondisi kestabilan lereng berda

sarkan tahapannya dapat dibagi men

jadi tiga, yaitu :

• Sangat stabil; pada tahap ini lereng

mempunyai tahanan yang cukup be

sar untuk mengatasi gaya-gaya yang

menyebabkan lereng menjadi tidak

stabil.

• Cukup stabil; pada kondisi lereng-

lereng yang mempunyai kekuatan

tahanan sedikit lebih besar daripada

gaya-gaya yang menyebabkan lereng

menjadi tidak stabil, serta kemungki

nan untuk terjadi keruntuhan lereng

pada suatu waktu apabila gaya-gaya

yang menyebabkan terjadinya long

soran mencapai suatu nilai tertentu.

• Tidak stabil; lereng dinyatakan ber

ada dalam kondisi tidak stabil apabila

terdapat pergerakan secara kontinu.

Pembagian ketiga tahapan kondisi

kestabilan tersebut sangat berguna da

lam mempelajari penyebab-penyebab

ketidakstabilan lereng dan membagi

nya menjadi 2(dua) berdasarkan fungsi

nya yaitu :

• Faktor-faktor penyebab pendahuluan

yaitu faktor-faktor yang dapat me

nyebabkan lereng menjadi rentan ter

hadap longsoran sehingga merubah

kondisi kestabilan lereng dari aman

menjadi cukup aman.

• Faktor-faktor pemicu longsoran yaitu

faktor-faktor yang memicu sehingga

terjadi pergerakan pada lereng atau

lereng mengalami longsoran. Faktor

pemicu akan menurunkan kestabilan

lereng dari cukup aman menjadi

tidak stabil.

Hal yang penting dalam pena

nganan perbaikan tebing-tebing yang

terbuka pada lereng adalah bagaimana

mengetahui kestabilan lereng, sehingga

perbaikan yang diusulkan merupakan

44 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

suatu kerangka konseptual yang tepat,

dimana lahan-lahan tersebut akan tetap

stabil, dan bahaya-bahaya erosi permu

kaan dan longsor dapat diminimalkan

serta penanganan terhadap bukaan-

bukaan lahan tersebut cepat dilakukan.

Pergerakan formasi bebatuan alam

akibat gravitasi tidak selalu ber

langsung secara tiba-tiba. Pergerakan

batuan tersebut terkadang hanya ber

langsung sebesar satu atau dua centi

meter pertahun. Pergeseran gerakan

dari formasi bebatuan atau lapisan ta

nah yang terlepas biasa disebut creep.

Indikasi terjadinya gerakan pergeseran

tersebut dapat diamati dari perubahan

tata letak elemen-elemen yang berada

diatasnya.

Wujud pembatas yang memisahkan

lapisan bebatuan yang lebih muda dari

lapisan yang lebih tua meng ekspose

gejala erosi, gejala ini sering dikenal

denga sebutan unconformity.

Sebuah lapisan sedimen biasanya

terlapisi oleh lapisan terbaru, partikel

partikel saling menekan akibat be

ratnya beban yang ada diatasnya, ter

kadang lapisan mineral seperti quarst

atau calcite, mengisi rongga-rongga

diantara partikel. Apabila hal ini ter

jadi, maka lapisan sedimentasi tersebut

merekat dengan kuat antar sesamanya.

Formasi bebatuan terbentuk ketika

sebuah lapisan sedimen menjadi solid

dan terwujudlah sebuah cedimentary

rock.

Gambar 3. Rekomendasi rekayasa tebing dan

lereng dengan terasering Sumber : Abramson, L.W., Lee, T.S., Sharma, S., and

Boyce, G.M., (1996);

Perbaikan Vegetasi

Vegetasi secara fungsional dapat di

rekomendasikan sebagai pelapis muka

lahan gundul akibat dari bukaan lahan

yang ditimbulkan, baik itu sebagai sua

tu cara bagi kepentingan teknis dalam

menjaga kestabilan lahan, ekologi ling

kungan maupun penampilan visual

yang dapat diberikan oleh tanaman.

Tanaman pada dasarnya terbagi atas

beberapa kelompok besar, yaitu pohon,

semak dan perdu serta tanaman

penutup tanah dan rumput (ground

cover). Secara fungsi vegetasi, strata ta

naman paling bawah yang akan banyak

berfungsi sebagai dasar perbaikan vege

tasi dan dapat mengantisipasi erosi,

selain fungsi teknis dan estestis; dima

na vegetasi berupa pohon akan banyak

berfungsi sebagai pembentuk ruang

lansekap.

45 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

Fungsi vegetasi menjadi penting da

lam proses perbaikan terhadap bukaan-

bukaan lahan pada objek studi, karena

fungsi vegetasi diharapkan dapat mem

bantu menjaga kestabilan lereng. Tek

nologi rekayasa lansekap pada bukaan-

bukaan ruang dengan percepatan suk

seksi vegetasi merupakan hal yang

tepat, dimana percepatan sukseksi ini

secara prinsip akan menggunakan

tanaman lokal yang terdapat dalam

kawasan suaka alam, sehingga diharap

kan vegetasi yang ditanam akan mem

punyai kemampuan tumbuh kuat dan

cepat, sedangkan secara konservasi;

sukseksi vegetasi akan dapat menjaga

keaslian vegetasi kawasan suaka alam

tersebut.

Penentuan Titik-Titik Kritis Lahan

Klasifikasi tingkat kerusakan lahan

perlu dilakukan dan dipelajari sehing

ga dapat segera di diatasi dan secara

maksimal di perbaiki.

Berdasarkan survey dan pengamat

an lapangan pada obyek studi; faktor

kemiringan lereng yang cukup terjal

diatas > 50%. Merujuk dari laporan

Revisi Studi Amdal pembangunan jem

batan kelok - 9, terjadi sedikit long

soran walaupun keadaan lereng tetap

stabil dan tidak ada dampak pelaksa

naan kegiatan terhadap aspek geologi

setempat.

Hal yang perlu dianalisis adalah

bagaimana kekuatan lapisan tanah ba

gian atas lereng. Jika dilihat dan diper

hatikan, lapisan tanah tersebut rawan

terhadap erosi, sehingga diperlukan

adanya penanganan aliran air permuka

an agar aliran tersebut dapat diarahkan

dan erosi permukaan dapat dimini

malkan.

a

b Gambar 4. Bukaan Tebing yang rawan

terhadap erosi Sumber : Hasil Survey,2009

Bukaan-bukaan lahan dan pember

sihan lahan yang diperuntukan bagi

konstruksi jembatan telah menimbul

kan gangguan terhadap kestabilan

tanah dan vegetasi. Walaupun pada

saat pembukaan lahan dampak tersebut

telah dicoba untuk diminimalisasir, na

mun kerusakan tidak bisa dihindarkan.

46 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

Hal yang perlu diusulkan dalam hal

pengatasan masalah kerusakan lahan

ini adalah percepatan sukseksi ve

getasi, sehingga ketika bukaan-bukaan

lahan bisa tertutup dengan tanaman,

kestabilan lahan dapat sedikit ber

tambah. Namun perlu diperhatikan bah

wa vegetasi yang direkomendasikan

harus tanaman lokal setempat, me

ngingat kawasan ini merupakan kawa

san suaka alam.

Rekayasa Lansekap akan sedikit me

ngalami kesulitan, dilihat dari ke

miringan lahan dan jenis batuan yang

keras. Hal pertama yang harus segera

diatasi dan direkomendasikan adalah

penyempurnaan kemiringan dengan

melakukan terasering pada lereng, di

mana lereng-lereng yang terjal sedikit

dilandaikan, sehingga aliran air per

mukaan dapat diatur, dan tanaman-ta

naman dapat berpijak lebih kuat dalam

pertumbuhan akarnya.

Pendekatan Perancangan Lansekap

Berbagai pendekatan dapat di

lakukan dalam perancangan landasan

konseptual dan panduan rancangan lan

sekap koridor jembatan kelok - 9, baik

melalui pertimbangan teknis, sosial

ekonomi, ekologis, maupun estetis, di

mana hal tersebut merupakan pendekat

an perancangan yang dilakukan secara

komprehensif.

Terkadang untuk mendapatkan ke

nyamanan yang lebih baik, dikorban

kan jarak dan biaya yang lebih besar.

Kenyataan tersebut telah ditunjukkan

dari sejak awal konsep pembangunan

jembatan kelok-9, dimana kenyaman

an pemakai jalan dan konsep arsitek

tural dan struktur yang berwawasan

lingkungan telah menjadi perhatian pen

ting. Kesadaran ini telah mendorong

para perancang jalan untuk tidak hanya

berpikir secara teknis melainkan juga

mengedepankan pertimbangan estetis

dan ekologis, sekalipun bahasan ten

tang ini masih sangat terbatas. Dalam

kedudukan tersebut maka pertimbang

an terhadap koridor yang menyenang

kan perlu dijadikan perhatian lebih sek

sama, baik dalam pemilihan alinyemen

menarik atau menjaga keberadaan land

scape scenery unggulan.

Kesan pada koridor jalan dapat

terjadi akibat rangsangan yang di tim

bulkan dari apa yang tertangkap atau

tervisualisasi. Dalam kaitan ini rang

sangan elemen dominan merupakan

faktor yang paling berpengaruh. Objek

yang terlihat akan diolah dan berin

teraksi antara pikiran, emosi dan ting

kat intelektual dan melahirkan kesan

yang kemudian dapat disimpulkan baik

atau buruk. Melandasi pengertian terse

47 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

but, maka pendekatan visual dijadikan

acuan dalam studi ini, karena kualitas

visual yang buruk, monoton dan men

jemukan dan lebih cepat memicu kele

lahan. Kondisi yang tidak mengun

tungkan tersebut memungkinkan terja

dinya kelengahan dan menurunkan

tingkat kewaspadaan serta tidak jarang

menimbulkan hypnosis travelling dan

dapat mengakibatkan kecelakaan lalu

lintas yang tidak diharapkan.

Menyadari bahwasanya jalan

merupakan ruang pergerakan yang di

namis dan selalu berubah, maka kori

dor jalan merupakan rangkaian ruang

dari satu titik ke titik lainnya atau me

rupakan rangkaian visual dan mem

bentuk kesan dinamis. Dalam upaya

menampilkan visual setting yang dapat

mengantarkan pengemudi dan penum

pangnya mencapai tujuan secara aman,

lancar, dan menyenangkan, diperlukan

kajian visual yang dapat meningkatkan

kualitas visual yang signifikan ter

hadap setiap koridor jalan. Oleh kare

nanya pemahaman berbagai teori yang

berkait dengan aspek visual menjadi

penting. Bertumpu pada teori vision

and motion pendekatan rancangan ini

di lakukan, dimana karakter alinyemen

dan karakter visual dari suatu segmen

dijadikan pertimbangan dalam menilai

elemen dan fasilitas yang terdapat pada

koridor jalan tersebut.

Konsep perancangan secara umum

dilakukan melalui upaya memberikan

kemungkinan visual yang terbaik dan

termudah bagi pengemudi untuk me

ngenali tanda, alinyemen jalan dan

kondisi atau situasi yang ada disekitar

jalan. Untuk menjawab kebutuhan dan

tuntutan tersebut, maka diperlukan se

suatu yang dapat membangkitkan kesa

daran secara terus menerus dari ruang

terbentuk pada internal view ataupun

external view. Obyek-obyek menarik

atau ruang terbuka berpanorama indah

seyogyanya dapat dijadikan sarana

penggugah kesadaran, karena variasi

yang terbentuk memungkinkan penge

mudi menjadi lebih siap dan lebih

waspada dalam menghadapi berbagai

kemung kinan yang akan terjadi.

Mengacu pada konsep natural and

engineering in harmony, dimana alam

dan engineering adalah suatu harmoni

yang harus kita bina tanpa harus mem

berikan nilai yang mana lebih tinggi

dari keduanya, melainkan bagaimana

kita memberikan nilai yang harmonis

terhadap keduanya, sehingga keharmo

nisasian keduanya dapat berjalan dan

masing-masing aspek tersebut dapat

memberikan value yang tinggi terha

dap konsep pembangunan berwa wasan

lingkungan dan berkelanjutan. Imple

mentasinya pada setiap ruas jalan dan

segmen jalan harus dijabarkan lebih

48 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

rinci dengan memperhatikan alinye

men, elemen dan karakter dominan

dari ruang yang terbentuk. Upaya pene

rapan konsep dapat dilakukan dengan

menggunakan elemen alamiah, binaan

ataupun variasi dari keduanya, yang

terpenting adalah nilai obyek tersebut

secara kuantitatif maupun kualitatif

dapat menggugah kesan yang melihat

nya.

Konseptual Rencana Lansekap

Dalam rangka pengembangan pro

duk, maka hal yang akan didahulukan

dalam konsep rencana adalah perbaik

an terhadap bukaan lahan terbangun

yang timbul saat ini sehingga perlu

mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut :

a. Model Perbaikan Lahan

Perbaikan lahan terhadap bukaan-

bukaan lahan akan diatasi dengan rang

kaian model rekayasa lansekap se

bagai berikut :

• Terasering

Model terasering di rekomendasi

kan untuk lahan-lahan yang mem

punyai tingkat kemiringan yang

ektrim yaitu >50 %. Model ini

dimaksudkan mengatasi bahaya ero

si atau pun longsoran dari atas agar

tidak langsung jatuh ke jalan. Se

lain itu model terasering juga da

pat meningkatkan kestabilan. Diha

rapkan dengan model terasering

ini, kecuraman lereng dapat lebih

dapat dikurangi, dimana pada per

mukaan terasering yang datar akan

dibuat cekungan-cekungan dengan

penambahan media tanah, sehingga

vegetasi dapat lebih mudah ber

kembang dan lebih stabil terhadap

tekanan. Diantara cekungan terse

but akan dibuat selokan yang

berfungsi mengalirkan air permuka

an. Dengan metoda ini diharapkan

erosi dan longsoran permukaan

dapat diminimalkan.

Gambar 5. Konsep Perbaikan Bukaan-bukaan pada lahan dengan upaya penyelesaian tebing dan pertahanan/penguatan lereng, membentuk lereng menjadi trap-trap, dimana kecuraman

yang ada coba dilandaikan dari segi keamanan lereng akan menjadi lebih stabil. Sumber Gambar : Zainuddin Noor (1997)

• Pengaliran aliran Permukaan

Pengaliran aliran air pada per

mukaan tanah dilakukan dengan

membuat selokan pada daerah trap-

Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal jenis Semak dan ground cover dengan konsep Jaring Jala

Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal dari jenis semak dan perdu, dan mencegah longsoran jatuh kejalan

Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal dari jenis Pohon dan Perdu, lahan dibuat cekungan sehingga media tanah dapat ditempatkan

Daerah yang akan ditanami dengan Vegetasi Lokal

49 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

trap pada terasering. Dimaksudkan

supaya air tidak terlalu banyak ma

suk kedalam rongga struktur tanah

dan batuan, sehingga kejenuhan

struktur dibawah tidak terbentuk.

Gambar 6. Perbaikan Bukaan-bukaan pada lahan dengan upaya penyelesaian tebing dan

pertahanan/penguatan lereng, membentuk selokan-selokan untuk mengalirkan aliran air

permukaan. Sumber Gambar : Zainuddin Noor (1997)

• Jaring Jala

Model Jaring Jala direkomendasi

kan untuk lahan-lahan yang mem

punyai tingkat kemiringan yang

ektrim >50 %. Model ini dimak

sudkan untuk menjaga sukseksi

percepatan vegetasi, dengan meng

unakan bahan sejenis nilon ataupun

serat sejenis pertumbuhan akar ta

naman dan tegakan-tegakan vege

tasi sejenis semak dan ground co

ver pada lereng akan lebih stabil ter

hadap arus dan aliran air permu

kaan. Jaring jala memiliki daya ke

kuatan terhadap pelapukan untuk

waktu yang cukup lama, diper

kirakan ketika akar-akar tanaman

telah kuat, jaring jala ini baru akan

hancur. Pengunaan jaring jala ini

dinilai lebih bersahabat dengan ling

kungan dalam kata arti lebih ramah

lingkungan.

Selokan-selokan yang dibentuk, berfungsi untuk mengalirkan aliran air permukaan.

Gambar 7. Masterplan Lansekap Koridor Jembatan dan Jalan Kelok – 9

Sumber : Hasil Rancangan, 2008

50 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

Implementasi Rancangan Lansekap

Bentuk implementasi rancangan

lansekap yang dibangun bertumpu

pada potensi alam, karena kawasan

obyek studi adalah bagian dari

kawasan suaka alam, dengan demikian

implementasinya akan diarahkan

kepada kerharmonisan antara alam dan

engineering. Rancangan arsitek tural

berfungsi sebagai faktor pe nunjang

sedangkan nilai alam dan pelestarian

merupakan faktor utama yang akan

dipertahankan.

Ilustrasi akan disajikan dalam

bentuk-bentuk sketsa suasana, sehing

ga implementasi ide dan gagasan lebih

mudah dipahami dan ditangkap untuk

pengembangan rancangan kedepan.

Berdasarkan pembagian zonasi, ka

wasan akan dikembangkan berdasar

kan ;

• Zona penyangga; zona ini berada

diluar kawasan suaka alam Air

Putih, yang berbatasan dengan

kawasan suaka alam, dimana

pengembangannya direncanakan

sebagai publik area. Fungsi

kegiatannya adalah sebagai rest

area, dan sebagai zona penerima

dan pusat informasi. Pengembangan

zona tidak terlepas dari kegiatan

zona inti, sehingga keberadaan zona

inti secara fungsi konservasi tetap

terjaga. Orientasi pendekatan

rencana yang diusulkan didukung

oleh konsep Community Based

Conservation.

Gambar 8. Implementasi Desain Lansekap Koridor Jembatan dan Jalan Kelok – 9

Sumber : Hasil Rancangan, 2008

51 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

• Zona Inti; zona ini berada di dalam

kawasan suaka alam Air Putih,

merupakan kawasan objek studi,

dimana pengembangan zona

diarahkan sebagai area terbatas.

Fungsi kegiatannya adalah sebagai

rekreasi alam, dengan pembagian

area meliputi; Laboratorium Alam,

Museum Alam, Guest House,

Menara Pengamatan/Pandang, Stu

dio Alam, Gerai Cindera Mata,

Canopy Trail (jembatan gantung),

Area Service.

KESIMPULAN

• Interprestasi Lansekap sebagai

Kekayaan menjadi interprestasi

yang dinilai tepat karena objek studi

memiliki suatu nilai yang tinggi

secara ekologi/lingkungan dalam

kawasan suaka alam. Nilai yang

tinggi terlihat dari panorama alam,

tipologi lansekapnya, dan konsep

pendekatan engineering yang

dibangun.

• Melalui pendekatan Natural and

Engineering in Harmony;

Sehingga keharmonisan keduanya

dapat berjalan dan masing-masing

aspek tersebut dapat memberikan

values yang tinggi terhadap

konsep pembangunan wawasan

lingkungan dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Baud-Bovy, M. and F. Lawson. 1977.

Tourism and Recreation

Development. A Handbook of

Physical Planning. Boston:

CBI. Publishing Company.

Departemen Kehutanan. 1994. Surat

Keputusan Menteri Kehutan

an Nomor 446 tahun 1994

tentang Tata Cara Permohon

an, Pemberian dan Pencabut

an Ijin Pengusahaan Pari

wisata Alam di Zona Peman

faatan Taman Nasional dan

Blok Pemanfaatan Taman wi

sata Alam dan Taman Hutan

Raya.

Departemen Kehutanan. 1994. Surat

Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor 167 tahun

1994 tentang Sarana dan

Prasara Pengusahaan

52 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

Gambar 9. Implementasi Rancangan Lansekap Koridor Jembatan dan Jalan Kelok – 9

Sumber : Hasil Rancangan, 2008

Pariwisata Alam di Kawasan

Pelestarian Alam.

Direktorat Jenderal PHPA. 1996. Surat

Keputusan DJ PHP A Nomor

129 tahun 1996 tentang Pola

Pengelolaan Kawasan Suaka

Alam, Kawasan Pelestarian

Alam, Taman Buru, dan Hutan

Lindung.

Gold, S.M. 1980. Recreation Planning

and Design. New York:

McGraw-Hill Book Company.

Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning :

Basics, Concepts, and Cases.

Third Edition. Washington DC:

Taylor and Francis.

Hendler, B. 1989. Caring for the Land:

Environmental Principles for

Site Design and Review.

American Society of Planning

Official.

McHarg, I.L. 1969. Design with Nature.

New York: Natural History

Press. Pemerintah Indonesia.

1990. Undang-Undang Nomor 5

talmn 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

Pemerintah Indonesia. 1994. Peraturan

Pemerintah Nomor 18 tahun

1994 tentang Pengusahaan

Pariwisata Alam di Zona

Pemanfaatan Taman Nasional

dan Blok Pemanfaatan Taman

Wisata Alam dan Taman

Hutan Raya.

Pemerintah Indonesia. 1997. Undang-

Undang Nomor 23 tahun 1997

tentang Lingkungan Hidup.

Sekartjakrarini, S. 2001. Perencanaan

Ekoturisme. Workshop oleh

CRMP-NRM. Balikpapan,

27-28 Nopember 2001.

Simonds, J.O. 1961. Landf}cape

Architecture. An Ecological

Approach to Environmental

Planning. New York:

McGraw-Hill Book Company.

United States Department of the

Interior. 1993. Guiding

Principles of Sustainable

Design. National Pa'rk

Service. Denver Service

Center.

World Tourism Organization dan

United Nations Environment

Programme. 1992. Guide

lines: Development of Natio

nal Parks and Protected

Areas for Tourism. WTO/

UNEP Joint Publication.

53 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 I.B. Rabindra, Arri Gunarsa, Ahmad S.Hamzah

VISUAL ASSESSMENT AND FACTORS AFFECTING VISUAL RATINGS OF HUMAN-MADE LANDSCAPE ELEMENTS IN

WETLAND

MOHD KHER, H., NOORIZAN, M., AWANG NOOR, A.G., AND KAMARIAH, D.

Department of Landscape Architecture, Faculty of Design And Architecture, Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor, Malaysia. Email:

[email protected] . Tel./Fax: 603-89464092.

Abstract

Visual quality of landscape is becoming an important element in eco-friendly design for nature-based tourism areas in Malaysia. However, the majority of the human-made landscape elements of nature-based tourism areas such as buildings do not harmonize with the natural environment and are considered as not eco-friendly in design. A study was conducted in Paya Indah Wetlands aimed to determine factors that affect visual rating of human-made landscape and to determine visual rating of human-made landscape at the study site. This study used selected photographs of the human-made landscape elements in Paya Indah Wetlands representing different types of buildings, park furniture, parking features, pedestrian facilities, drainage and signage. The scoring scheme for visual quality and landscape features was valued using the six basic design elements, namely, form, line, colour, texture, shape and space. Data were gathered from 100 experts using a structured questionnaire with surrogated photos, distributed equally among landscape architects and architects. The results of regression analysis revealed that the visual rating was affected significantly by the respondents’ age, sector of employment and professional memberships in certified bodies. From the result, it showed that more than 60% of the respondents give visual ratings to the human-made landscape elements in Paya Indah Wetlands ranging from scores of 1 to 3 (means from 1.51 to 3.2). INTRODUCTION Human-made landscape in wetlands

refers to the structure incorporated into

the landscape such as building, park

furniture, boardwalk, pavement, park

ing features, drainage, signage and

others. These types of structures form

an integral part of creating and in

creasing the functionality of outdoor

space in wetland development areas.

Human-made landscape in wetlands

can also be interpreted as the elements

designed and built by humans to fulfil

the landscape functions and for beauty.

The purpose of human-made landscape

is to support the human needs where

the natural landscape cannot give the

effects and to give complimentary

effects to enhance the beauty of natural

landscape. It provides comfort and

ease to those who prefer a more leisure

ly journey through the wetlands.

54 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Figure 1. Signage and wakaf as examples of human-made landscape in wetland area

Zube (1993) says that Albert Good

defines harmonious relationships in

natural park developments as the sub

ordination of a structure to the envi

ronment and having buildings blended

in with the landscape. His definition

is based on the use of local materials

and a scale and form that appear fitting

to the existing landscape context.

Materials used for human-made land

scape in wetlands must reflect regional

materials and be sympathetic with tradi

tional forms and the existing land

scape.

To have the harmonious design, the

visible construction materials must

relate to the surrounding landscape. It

also should be a continuity of form,

materials, colours and details among

the structures within the wetland area.

Understanding the nature of the wet

land is vital to the landscape and visual

quality. This should include a consi

deration of alternatives and a clear

description of the components of the

development that will affect the land

scape. All stages of the development

project should be addressed: site pre

paration, construction, operation and

decommissioning. These writers’ be

lieved that by understanding the nature

and going through the design process

especially at the early stage of design

(in terms of identifying the patterns

found in the existing landscape) will

help designers in producing eco-

friendly and harmonious designs.

Wakaf

Signage

55 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Techniques for assessing landscape

attractiveness are becoming increasing

ly important in environmental plan

ning. They are a manifestation of the

growing need to monitor landscape

deterioration, to help preserve natural

beauty, to learn about our cultural

perceptions, and to satisfy an ever-

increasing body of environmental laws

(Kane,1981). Without great expec

tations or justification we have often

acted to preserve, protect, and even

create beautiful and unique landscapes.

Numerous national parks, green belts,

parklands, wilderness areas and scenic

preserves have already been set aside.

But this is not enough because such

preservation has been, for the most

part, largely unplanned and irrational

(Kane, 1981). For these reasons, we

as human beings who live in the fragile

planet are responsible for managing

and changing any unplanned and

irrational framework (without thinking

about negative effects on surrounding

areas and the development itself) with

a more structured one for our better

life. A structured development would

lead to sustainable development that

more stressed on environment, social

and economy effects that enhance

better life to human and other living

things (plants, wildlife, etc.)

From the literature review, some

research indicated several variables

hypothesized to influence landscape

preferences. The variables that have

been identified are professional

training (Zube, 1973; Zube et al., 1975;

Daniel and Boster, 1976; Buhyoff et

al., 1978), familiarity of the respondent

either with the actual sites under

evaluation or similar sites (Beckett,

1974; Jackson et al., 1978; Buhyoff et

al., 1978; Nieman, 1980; Wellman and

Buhyoff, 1980), socio-economic such

as age and sex (Brush, 1976;Clamp,

1976; Penning-Rowsell et al., 1977;

Macia, 1979). Hence, the objective of

the study was to assess the influence of

various socio-economic variables, age,

education, sector of work, experience

and professional memberships, on

landscape assessment. To summarise,

the objectives of the study were;

(a) To determine factors that affect

visual rating of human-made land

scape; and

(b) To determine visual rating of

human-made landscape at the study

site.

56 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Figure 2. Part of view could be seen in

beautiful Paya Indah Wetland area

RESEARCH METHODOLOGY

ADOPTED

Numerous methods have been

devised by the researchers on the

subjective assessments of landscape

quality. The Macaulay Institute (2003)

has split assessment into three cate

gories:

(i) descriptive inventories that

include ecological and formal aesthetic

models, (ii) public preference models,

such as psychological and phenomeno

logical model, and (iii) quantitative

holistic techniques which use a mixture

of subjective and objective methods

and include psychophysical and

surrogate component models. What

ever method is used, the goal is to

protect and minimise the negative

visual impact of development on the

landscape and environment.

The method used in this study was a

descriptive inventory through an

adaptation of BLM’s VRM system

using surrogate pictures. Experts,

mainly landscape architects, mostly

applied this method. It is practical to

carry out this method in terms of time

and budget constraints. This method

was also efficient for evaluating the

visual quality of landscape features

(natural and human-made) where

quality is assumed as inherent in the

land. Experts were selected as the

respondents in this study as there was a

lack of documented information on this

area and a lack of knowledge on

potential impacts especially in cases

where there was disagreement on the

visual values of natural resources. The

use of experts was because they could

produce evaluations of complex land

scape with a high levelof accuracy by

relying on their professional judgment

to rate the relevant criteria (Amir and

Gidalizon, 1990).

View at the Nypha Lake

View at the jetty area

57 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

SURVEY METHOD

The instrument used in the study

was a structured questionnaire. The

questionnaire consisted of three

sections: background of the study, the

socio-demography and landscape

evaluation. The second section covered

socio-demography of the respondents

which included gender, age, ethnicity,

and occupation, sector category of

employer, education level, income,

experience and membership of any

professional body. The third section

pertained to human-made landscape

evaluation and consisted of three parts.

The first part was an instruction to the

evaluators on how to do the evaluation

process together with the explanation

about the scores and the variables. The

second part was the score boxes for the

evaluators to fill in the visual rating

scores according to the human-made

landscape element types and variables

(form, line, colour, texture, shape and

space). The last part was for the

evaluators to give any comment

regarding the study. To enable the

evaluators to evaluate the human-made

landscape elements, each of the

evaluators was given a set of

photographs. The photos were taken

from the study site during field work

under existing conditions. These

photos were categorized into six types,

namely, buildings (administration

building, toni’s bistro, rumah melayu,

commercial percinct, chalets and the

albatross), park furniture (gazebo,

shelter, benches, rubbish bin, wakaf),

parking features (rubbish collector,

lighting pole, guard house, covered

parking), pedestrian facilities

(boardwalk, jetty, covered walkway,

pedestrian path), drainages (parking

drainage, building drainage) and

signage’s (direction, information,

location and road signage). They were

taken from four different views. Each

photo was printed in size of 7cm x

5cm. All the photos were mounted on

A4 size paper and compiled according

to their types as an attachment together

with the questionnaire. The sample

size of the respondents was based on

the formula of Tabachnick and Fidell

(1996) in which N>50+8m, where m is

the number of independent variables

tested in the regression model (the 6

variables were: AGE, GEN, EDU,

SEC, EXP, and PROF). In the first

selection, the total number of

respondents willing to participate was

98. However, at the end of the survey,

another 2 respondents volunteered to

become respondents, making the total

number to 100 respondents.

Statistically, the sample size was

58 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

considered to be expert representative

because it had 19% number of experts

in the professional body (more than

10% minimum was required for data

analysis). The respondents were

selected “judgemental” through a

company list of Institute Landscape

Architect Malaysia (ILAM) and

Malaysian Architect Association

(PAM). They were called and asked

whether they were willing to become

respondents for this survey. When

they agreed, explanations were given

to them personally and then the

evaluation forms together with photos

to evaluate also were given. The

respondents self administered the

evaluation process. The evaluation

forms together with the photos were

collected after two days to give enough

time for evaluators to do their

evaluation. The evaluation procedures

that were used in the study are as

follows:

i. The entire process was limited to

the human-made landscape

elements in the Paya Indah

Wetland corridor.

ii. The human-made landscape

elements of buildings, park

furniture, parking features,

pedestrian facilities, drainages and

signage’s were identified and

categorized according to their types

and functions.

iii. The photos were taken using a

digital camera between 10.00 am

and 2.30 pm on clear days from

four different angles.

iv. Only clear photos were selected for

evaluation. All the selected photos

were mounted on A4 size paper

and compiled according to their

categories.

v. Each image was assessed using six

basic design elements (form, line,

colour, texture, shape and space as

shown in Table 1. The experts were

trained to observe and judge spe

cific landscape attributes based on

the principles of art, design,

resource management and ecology.

vi. Based on the photo showing the

human-made landscape elements of

Paya Indah Wetlands, evaluators

were asked to evaluate and give a

score in the score forms according

to their types and descriptions

based on the variables in Table 1.

vii. Evaluators were asked to do the

evaluation sincerely and in

dependently based on their

professionalism without any ex

ternal interference when giving the

score for each photo.

59 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

viii. After the evaluation, Visual

Rating (VR) was calculated as

follows:

ijVR = ijBT + ijPF + ijPFe + ijPA +

ijDR + ijSG where :

VR = Visual rating for a personal and

subjective assessment of aesthetic

satisfaction derived from a land scape

type

BT = Total scores of building types,

BTij = ∑==

6,6

1,1 jiija

PF = Total scores of park furniture,

PFij = ∑==

6,5

1,1 jiija

PFe = Total scores of parking features,

PFeij = ∑==

6,4

1,1 jiija

PA = Total scores of pedestrian

facilities, PAij = ∑==

6,4

1,1 jiija

DR = Total scores of drainage, DRij =

∑==

6,2

1,1 jiija

SG = Total scores of signage, SGij =

∑==

6,4

1,1 jiija

i = Elements of man-made landscape, i

= 1,….,6

j = Basic design elements, j = 1,….,6

The data gathered are analysed

manually as well as using SPSS

package. To determine the factors

affecting visual rating, the following

regression model was used:

VR =

f ( ,AGE ,GEN ,EDU ,SEC ,EXP

PROF ).

The functional relationship of the

above model is defined as follows:

iVR = α + 1β iAGE + 2β iGEN

+ 3β iEDU + 4β iSEC + 5β iEXP +

6β iPROF + iε where :

α , 1β ,...., 6β are parameters, ε is

normally distributed random errors

with mean zero and common variance

(i.e., iε ∼ iid, N (0, σ2) and i is index

for observation.

where:

VR = Total scores of visual rating,

AGE = Age of respondents in year,

GEN = Dummy for gender: 1 = Male,

0 = Female,

EDU = Dummy for respondents’

qualification: 1 = Bachelor, 0 =

Graduate (MS & PhD).

SEC = Dummy for respondents’

working sector: 1 = Government,

0 = Private

EXP = Experience of the respondents

in year.

PROF = Dummy for respondents’

memberships in professional bodies:

1 = Yes, 0 = No.

60 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Table 1: Explanation of Variable and Rating Score

Variable Score Criteria

Form 5 form blends with the environment and has a spirit of place (genius loci)

4 form reflects regional and existing landscape context

3 form partially fits the existing landscape context

2 form slightly respects the natural character of landscape

1 form does not respect the natural character of landscape

Line 5 utilizes natural lines of forces

4 major lines of force recognize some effort to mitigate contrast

3 lines partially utilize natural lines of force

2 lines slightly break natural lines of force

1 break natural lines of force causing tension and starkly contrasting boundaries

Colour 5 complements nature and existing landscape

landscape 4 in harmony with the surrounding, deliberately simple and natural

3 colours blend with the surroundings but moderately complement existing

2 colours are not in sharp contrast to natural landscape colours

1 does not complement nature

Texture 5 pleasing, comfortable feeling and touch

4 blends with the existing landscape

3 moderate feeling and touch through human’s view

2 deliberately pleasing and blends with the existing landscape

1 too contrasting with the surrounding

Shape 5

follows natural forms and is concerned with the variation of lines and

edges of planes and volumes

4 moderate, follows natural forms and is partially concerned with the

variation of lines and edges of planes and volumes

3 deliberately follows natural forms and relates to existing landscape

2 is slightly concerned with the natural forms of landscape

1 does not concern with the natural forms of landscape

Space 5 the structural composition is parallel to the line of vision that evokes a landscape

4 object’s background gives a visual sense of space

3 the structural composition is partially parallel to the line of the density and gradient

of background textures

2 Object’s background slightly gives a visual sense of space

1 The structural composition does not concern with the sense of space and landscape

background

61 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

The estimated regression model is:

iVR∧

= ∧

α + 1

β iAGE + 2

β iGEN +

3

β iEDU + 4

β iSEC + 5

β iEXP +

6

β iPROF

where, ,∧

α ,1

β ..., 6

β are parameters to

be estimated. It is expected that ∧

α >0,

1

β <0 as the older the respondents, the

lower the rating. It was expected that

GEN = 1 (Male), iVR = α + 2β (1),

give higher rating ( iVR = α + 2β )

compare GEN = 0 (Female), iVR = α

+ 2β (0), give lower rating ( iVR =α ).

It was also expected that EDU = 1

(Bachelor), iVR = α + 3β (1),

bachelor respondents give higher rating

( iVR = α + 3β ), and EDU = 0

(Graduate), iVR = α + 3β (0),

graduate respondents give lower rating

( iVR =α ). Also expected that SEC =

1(Government), iVR =α + 4β (1),

give higher rating ( iVR = α + 4β ),

compare SEC = 0 (Private), iVR =α +

4β (0), private give lower rating

( iVR =α ). However, it was expected

that 5

β < 0 as the more experience the

respondents had, the lower the rating.

Lastly, it was expected that PROF =

1(Yes), iVR =α + 6β (1), those

respondents joined the professional bo

dies gave higher rating ( iVR =α

+ 6β ), and PROF = 0 (No), iVR =α +

6β (0), those respondents who were

not members of the professional bodies

gave lower rating ( iVR =α ). The

model was estimated using the

Ordinary Least Square (OLS)

technique. OLS were used in order to

minimize the sum of the square of

differences between the actual value of

each case and predicted value. It could

also show the best estimator possible

under a set of fairly restrictive assump

tions (Studenmund, 1997).

RESULTS

A) Visual rating for human-made

landscape elements

The results of the visual rating of

the human-made landscape elements

for Paya Indah Wetlands by the res

pondents are shown in Table 2.

62 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Table 2: Visual Rating (VR) of Man-Made Landscape Elements

Item % Respondents (n)

1 2 3 4

Mean

Building Types (BT) -

1

15

51

33

3.2

Park Furniture (PF) 6

2

34

46

12

2.7

Parking Features (PFe) 56

-

37

7

-

1.51

Pedestrian Facilities (PA) 10

3

28

43

16

2.74

Drainage (DR) 30

1

37

26

6

2.11

Signage (SG) 48

-

40

8

4

1.68

Note: Mean = ij

x∑

N

From Table 2, the results show that

more than 60% of the respondents give

visual ratings to human-made land

scape elements in Paya Indah ranging

from scores of 1 to 3 (means from 1.51

to 3.2). Score 1 means ‘not harmo

nious at all’ to 5 which means

‘harmonious and blend with the

environment’. The results show that

the visual quality of building types

(administration building, Toni bistro,

Rumah Melayu, commercial precinct,

chalets and the albatross) is moderate

(mainly score 3, mean = 3.2). Parking

features (rubbish collectors, lighting

poles, covered parking and guard

house) and signages (direction signage,

information signage, location signage

and road signage) were rated the

lowest (mainly score 1, means =1.51

and 1.68 respectively) which revealed

that the designs of these two elements

are not harmonious with the surround

ing environment of the wetlands.

63 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk.

Figure 3. Human-made landscapes in Paya Indah Wetlands

have been rated as moderate in visual quality.

This study revealed that on the

whole the human-made landscape

elements were moderately comple

menting and harmoniously blended

with wetland environment. However,

some of the elements such as parking

features and signage were considered

as not harmonious with the surround

ing environment. The average mean

rating of below 3.2 shows that the

respondents tend to consider the visual

quality to be of moderate or poor

quality. Based on their professional

background, the respondents preferred

three human-made landscape elements;

(i) building types (administration

building, toni’s bistro, Rumah Melayu,

commercial precinct, chalets and The

Albatross), (ii) park furniture (gazebo,

shelter, benches, wakaf and rubbish

bins) and (iii) pedestrian facilities

(boardwalk, jetty, covered walkway

and pedestrian path) as partially

appropriate for the existing landscape

context in terms of form. These three

elements were rated as partially

utilizing natural lines of forces, for

example, association of roof lines and

vegetation lines. In terms of colour

application for those three elements,

the evaluators thought that these

elements blended with the surrounding

but only moderately complementary.

These three elements tend to be rated

as inducing moderate feeling and

touch. This is probably due to the way

they are used in the existing park

environment of Paya Indah Wetlands.

The results also revealed that

parking features (rubbish collectors,

lighting poles, covered parking, and

guard house) and signage had poor

visual quality. Evaluators unanimous

ly agreed that the form of these

elements did not suit the natural land

scape. Furthermore, their structure

broke the natural lines of force causing

stark contrasting boundaries. The

Shelter Chalet Toni’s Bistro

64 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

colour application for these elements

did not complement with the wetland

nature and the texture was too

contrasting with the surrounding

environment. They also rated the shape

of parking features and signage as not

harmonious with the natural forms of

the landscape. The low rating of these

two elements was based on space and

location as the respondents believed

that the composition of these facilities

did not blend with the sense of space

and landscape.

Figure 4. Parking features of Paya Indah Wetlands have been rated as poor visual quality.

For the overall results, the mean VR

which is below 3.2 revealed that the

basic design elements were not

creatively manipulated by the

designers to improve the visual quality

during the design process. The designs

that were not well integrated into this

park were the elements that had been

rated the lowest: form, colour, texture

and space. Probably, the designers did

not go to the field before designing and

they did not use the form, colour,

texture and space according to the site

condition. Zube (1993) mentioned that

the facilities designed for a park should

concern form, colour, materials, and

concerns for issues such as landscape

degradation, preservation of the natural

process, and protection of biological

diversity if we wanted to increase the

visual quality of the park. The Paya

Indah management should make more

efforts to increase the visual quality of

this wetland especially concerning

elements that have low scores such as

park furniture and signage through

upgrading of activities or replacement

of furniture. They have to rethink

about the basic design elements and the

architectural character of the park

facilities especially for future develop

ment.

Covered parking Lighting poles Rubbish collector

65 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

B) Factors Affecting Visual Rating

Regression analysis was performed

using SPSS programme to determine

factors that affecting the visual rating

of human-made landscape elements in

Paya Indah Wetlands. The descriptive

statistics of the variables used in the

analysis are given in Table 3. From

the table, the mean scores of the visual

rating were 385.77 while the minimum

visual rating scores were 223, and the

maximum score were 577.

The estimated coefficients and

corresponding t-values are presented in

Table 4. From the table, the R square

value was 0.20, indicating that only

twenty percents of the variation of the

visual rating scores were explained by

the independent variables. Eighty

percents of the variation in visual

rating scores might be influenced by

other factors that were not accounted

for in the model. R square also might

be influenced by dummy variables that

were used in the regression model (too

many dummy variables) and also types

of measures of the variables. The

regression coefficients indicated that

not all the signs of the coefficients

were present as expected. From Table

4, the estimated sign coefficients for

AGE and EDU were positive, while

GEN, SEC, EXP and PROF

coefficients were negative. The value

of F (3.95) means that the regression

model as a whole was significant at 5%

level.

Table 3: Descriptive Statistics of Variables Used in the Analysis Variables N Mean Standard

Deviation

Minimum Maximum

VR 100 385.77 76.68 223 577

AGE 100 33.30 5.72 25 56

GEN 100 - 0.49 0 1

EDU 100 - 0.40 0 1

SEC 100 - 0.50 0 1

EXP 100 8.12 5.62 2 31

PROF 100 - 0.48 0 1

Notes: - VR = visual rating

- AGE = age

- GEN = gender

- EDU = education

- SEC = sector of employer

- EXP = experience

- PROF = professional memberships

66 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Table 4 also reveals that the visual

rating was affected significantly by the

age of the respondents (AGE), the

sector of employers (SEC) and

professional membership (PROF).

AGE significantly affected the visual

rating and indicating that the older the

respondents, the higher the visual

rating. The increase in age, made the

respondents understand more the

design foundation and become more

aware of the environment. SEC

significantly affected the visual ratings

at the level of 5% where the visual

ratings were rated lower by the

government respondents: SEC =

1(Government), iVR =α + 4β (1) =

223.29 + (-)0.30 = 223.29 – 0.30 =

222.99 compared to SEC = 0 (Private),

iVR =α + 4β (0) =α = 223.29.

PROF also significantly affected the

visual ratings where those respondents

who joined the professional bodies

gave lower ratings: PROF = 1(Yes)

=α + 4β (1) = 223.29 + (-) 0.26 =

223.29 – 0.26 = 223.03 compared to

those who did not join any professional

body.

Table 4: Results of the Regression Analysis Variable Parameter Coefficient Standard Error t-value

(Constant) ∧

α 223.29 74.80 2.99**

AGE 1

β 0.54 2.75 2.66**

GEN 2

β -0.13 15.09 -1.39 ns

EDU 3

β 0.13 20.62 1.17 ns

SEC 4

β -0.30 15.66 -2.92**

EXP 5

β -0.35 2.88 -1.66 ns

PROF 6

β -0.26 16.84 -2.42**

Observation 100

R2 0.20

F 3.95

Notes: ns - Not significant at the 5% level ** - Significant at the 5% level - AGE = age

- GEN = gende

- EDU = education - SEC = sector of employer - EXP = experience - PROF = professional memberships

67 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Based on the regression results

presented above, age was found to be

significant because as age increased,

the visual rating score was higher ( iVR

= α + 1β iAGE = 223.29 + 0.54 =

223.83). This result shows that the

visual rating increases when the age of

a respondent increases. Age is seen to

be having a great influence on the

evaluation. This is due to with age, the

respondents have a stronger philoso

phy, understanding designs better, and

know the application of basic design

elements to harmoniously blend with

nature. Their evaluation is according

to their experience on past works and

familiarity in assessing landscape

visual quality. Based on the regression

results, if the respondents’ number was

added, the visual rating scores in this

study should increase to 0.54 according

to the age of respondents.

This results are similar with the

study results done by Asakawa, et al.

(2004), where they found in their study

relating to perceptions of urban stream

corridors within the greenway system

of Sapporo, Japan, that the age factor

was significant for the factors tested

(recreational use, participation, nature

and scenery, sanitary management, and

water safety). They found that younger

people’s scores for participation were

lower, while the scores increased with

age.

Regarding to the sector category of

a respondent’s employer, it was found

that the government sector tended to

give a lower rating while the private

sector gave a higher rating (SEC =

1(Government), iVR =α + 4β (1) =

223.29 + (-0.30)(1) = 222.99, SEC =

0(Private), iVR =α + 4β (0) = 223.29

+ (-0.30)(0) = 223.29). This result

shows that the government sector has

great influenced on the rating scores in

this study. There was a decrease in the

visual rating scores to 0.30 by the

government respondents. Thus, the

type of employment of the respondents

has affected the evaluation because the

two groups have their own characteris

tics and interpretation in assessing

landscape visual quality. The gover

nment and private sectors have

different views when they want to

develop tourism projects. This is true

when landscape is considered

differently as an image, a construct of

the mind or feeling (Arriaza, M., et al.,

2004).

Furthermore, the regression results

also indicate that professional

memberships of the respondents can

affect the visual rating. Based on the

regression results, it was shown that

68 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

the respondents who were registered

with professional bodies gave a lower

rating than those who are not registered

with any (PROF = 1(Yes), iVR =α +

6β (1) = 223.29 + (-0.26)(1) = 223.03,

PROF = 0(No), iVR =α + 6β (0) =

223.29). From the regression results, it

is clearly seen that those who are

motivated to join professional bodies

have influenced the rating scores in the

study due to their environmental

awareness. Their visual rating scores

were reduced to 0.26 for the

respondents registered with

professional bodies. The code of

professional conduct has influenced

their members to exert every effort

towards the preservation and protection

of natural resources. Those who are

registered with professional bodies are

more aware of visual quality.

This finding is similar to the results

found by Dearden (1984) where he

revealed that members of Sierra Club

(members of an environmental lobby

group) had significantly higher

preference for wilderness scenes

compared to groups of professional

(planners) and park users who were not

member of environmental clubs.

The results reveal that if we want to

prevent the degradation of visual

quality in our natural environment, the

factors of age, sector of employer and

memberships of professional bodies of

a designer must be taken into

consideration during the early stage of

design. This consideration is to ensure

that visual quality, landscape

degradation, and preservation of

natural resources are included in the

development of a project.

CONCLUSION

The survey for the park reveals that

the respondents seem to consider that

the human-made landscape elements in

the park do not suit the site. The

respondents gave a slightly lower

visual rating for these elements

(parking features, drainage and

signage). They tended to give moderate

quality for most of the elements

(building types, pedestrian facilities

and park furniture). Some of them

gave poor quality to parking features

and signage. They rated the visual

quality of those elements in the range

of score 1 to score 3. Clearly the

designers had not manipulated

successfully the form, line, colour,

texture, shape and space of the

buildings, park furniture, parking

features, pedestrian facilities, drainage

and signage in order to produce a good

69 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

visual quality. They also were not

concerned with the natural enviro

nment; instead they ignored the “sense

of place” of the site.

This study reveals that the

perception of the landscape differs

from one person to another and has

been affected by socio-demography.

The respondents with difference socio-

demographic characteristics have

shown the differences in visual rating.

The factors are age, education

background, sector of a respondent’s

employer, and respondents’ member

ships with professional bodies. The

degree of specialization of the

respondents whether in landscape

architecture or architecture has influen

ced their rating. Even though they

have the same foundation in basic

design, they have different preferences

on certain architecture characteristics.

Therefore, the field of study of

landscape architecture or architecture

must be taken into consideration in the

development of natural areas. The

place where the respondents work,

government or private sector, has also

influenced their visual rating.

Therefore, the park management

should have good relationships with

the professionals in building the

environment especially landscape

architects and architects from both the

private and government sectors. This

is important in order to get better

advice in developing the park. They

should also set objectives toward a

more eco-friendly design for the park.

Respondents’ memberships with certifi

ed professional bodies should also be

considered in appointing the designers

to design the park. Likely those pro

fessionals who are motivated to join

professional bodies have better

awareness of the environment and will

positively affect the design product

since the regression analysis reveals

that age does influence the visual

rating assessment. The older the

respondent, the higher is the visual

rating. Thus, the older professionals

are needed in designing the park

together with young professionals in

order to get better “design fit” for eco-

friendly designs. This study shows

that visual quality of the human-made

landscape elements in the park plays

important role in providing good visual

quality. Based on the results, the

human-made landscape elements in

this park were rated as moderate. The

management should establish and

coordinate a design team before

developing the proposed area. Efforts

should be made to develop design

themes and provides guidelines for

environmental friendly designs in order

70 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

to develop a park of high visual

quality.

The visual quality of Paya Indah

Wetlands depends on their flora and

fauna, is supported by facilities that are

harmoniously blended with the existing

landscape. Currently, the visual quality

of this area has become degraded due

to unsuitable facilities and the area is

considered as not eco-friendly in

design. The rating of visual quality for

Paya Indah Wetlands is in the range of

score 1 to score 3 (score 1 means not

harmoniously at all to score 5 which is

harmoniously blending with the

environment). The used of form, line,

colour, texture, shape and space have

not been applied successfully by the

designers to produce a good visual

quality. Factors significantly influ

encing the visual rating in this study

are respondents’ age, sector of

employment and professional member

ship. The differences in the visual

rating are with regards to education,

employer and professional member

ship.

Finally, further research is needed

to indicate whether different pro

fessional teams such as planners and

engineers have different perceptions

and procedures in assessing the visual

quality of the wetland landscapes. The

same methodology can be applied to

other areas in order to assess the scenic

beauty of landscapes. The information

obtained by the model can enrich the

decision-making process in order to

evaluate competing sites for the

location of park accommodation that is

of high environmental concern and

eco-friendly. This study reveals that it

is better to have a design team in built-

environment so as to establish the

know-how process successfully.

Guidelines should be established for

the sake of healthy life and sustainable

development. Visual quality

evaluation of the landscape is impor

tant for reducing landscape degra

dation, preserving the natural re

sources, and protecting the biological

diversity.

REFERENCES

Amir, S. and Gidalizon, E. (1990).

Expert-based Method for the

Evaluation of Visual Absorption

Capacity of the Landscape.

Journal of Environmental

Management, 30, 251-263.

Arriaza, M., Ortega, J.F.C., Madueno,

J.A.C and Aviles, P.R.. (2004).

Assessing the Visual Quality of

Rural Landscapes. Landscape

71 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

and Urban Planning 69 (2004)

115-125.

Asakawa, S., Yoshida, K., and Yabe,

K. (2004). Perceptions of Urban

Stream Corridors Within the

Greenway System of Sapporo,

Japan. Landscape and Urban

Planning Journal, 68 (167-182).

Beckett, P.H.T. (1974). Interaction

Between Knowledge And

Aesthetic Appreciation. Land

scape Res., 1:5-7.

Bell, S. (1993). Elements of Visual

Design in the Landscape. E &

FN Spon, London.

Brush, R.O. (1976). Perceived

Quality of Scenic And

Recreational Environments. In:

K.H. Craik and E.H. Zube

(Editors), Environmental Quality.

Plenum Press, New York, pp. 47-

58.

Buhyoff, G.J., Wellman, J.O., Harvey,

H. and Fraser, R.A. (1978).

Landscape Architects’

Interpretation of People’s Land

scape Preferences. J. Environ.

Manage., 6: 255-262.

Bureau of Land Management (1980).

Visual Resources Management

Program. U.S.Department of

Interior, Washington D.C.

Clamp, P., (1976). Evaluating English

Landscapes – Some Recent

Developments. Environ. Plann.

A, 8:79-92

Daniel, T.C. and Boster, R.S. (1976).

Measuring Scenic Beauty: The

SBE Method. USDA For. Serv.,

Rocky Mount. For. Range Exp.

Stn., Fort Collins, CO.

Dearden, P. (1984). Factors

Influencing Landscape Prefe

rences: An Empirical Inves

tigation. Landscape Planning,

11, 293-306.

Jackson, R.H., Hudman, L.E. and

England, J.L. (1978).

Assessment of the Environmental

Impact of High Voltage Power

Tranmission Lines. J. Environ.

Manage., 6: 153-170.

Kane, P.S. (1981). Assessing

Landscape Attractiveness: A

Comparative Test of Two New

Methods. Applied

Geography, 1, 77-96.

Macia, A. (1979). Visual Perception

of Landscape: Sex and

Personality Differences. In:G.H.

Elsner and R.C. Smardon

(Editors), Our National Land

scape. Pacific Southwest Forest

and Range Experiment Station,

Berkeley, pp. 279-285.

Mohd Kher, H. (2005). Unpublished

MSc. Thesis “Visual Assessment

of the Quality of Landscape

72 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Design In Paya Indah Wetlands,

Malaysia. Universiti Putra

Malaysia, Malaysia.

Nieman, T.J. (1980). The Visual

Environment of the New York

Coastal Zone: User Preferences

and Perceptions. Coastal Zone

Manage., J., 8: 45-61.

Penning-Rowsell, E., Gullett, G.H.,

Searle, G.H. and Witham, S.A.

(1977). Public Evaluation of

Landscape Quality. Plann. Res.

Group Rep. 13, Middlesex

Polytechnic, Enfield, England.

Studenmund. (1997). Using

Econometrics: A practical guide

(Third Edition). Addison-Wesley

Educational Publishers, the

United States of America.

Tabachnick and Fidell. (1996). Using

Multivariante Statistics (3rd

edition). HarperCollins. New

York

Wellman, J.D. and Buhyoff, G.J.

(1980). Effects of Regional

Familiarity on landscape Prefe

rences. J. Environ. Manage., 11:

105-110.

Zube, E.H. (1993). The Search for

Harmony in Park Development.

Visual Quality of Built

Environments in National Parks.

Department of Geography and

Regional Development, Univer

sity of Arizona, Tucson, the

United States of America.

Zube, E.H. (1973). Rating The

Everyday Rural Landscape of the

Northeastern U.S. Landscape

Arch., 63: 370-376.

Zube, E.H., Pitt, D.G. and Anderson,

T.W. (1975). Perception and

Prediction of Scenic Resource

Values of the Northeast. In: E.H.

Zube, R.O. Brush and J.G. Fabos

(Editors), Landscape Assess

ment: Values, Perceptions and

Resources. Dowden, Hutchinson

and Ross, Stroudsburg, pp. 151-

168.

73 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Mohd Kher, H., Noorizan, M., dkk

Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Ilmiah Arsitektur Lansekap

1. Kriteria Naskah

• Naskah harus asli dan belum per

nah dipublikasikan di media lain.

• Naskah dapat berupa hasil

penelitian, studi kepustakaan yang

bersifat obyektif, sistematis, ana

litis dan deskriptif, atau karya lain

yang bersifat ilmiah yang layak di

publikasikan.

2. Struktur Penulisan

• Sistematika penulisan sesuai deng

an bidang ilmu masing-masing. Ter

diri dari: Judul, Abstrak, Penda

huluan (berisi latar belakang, per

masalahan, tujuan, ruang lingkup,

teori dan metodologi), Isi (tinjauan

pustaka, data dan pembahasan),

Penutup (kesimpulan dan saran)

dan Daftar Pustaka.

3. Tata Tulis

• Abstrak ditulis dalam Bahasa Ing

gris, menggunakan font Times

New Roman 11, spasi 1, dan jum

lah maksimal 500 kata.

• Naskah ditulis dengan program

MS-Word, menggunakan font

Times New Roman 12, spasi 1½,

awal paragraf menjorok ke dalam

0,5 cm dan jumlah halaman antara

10 s/d 15 lembar ukuran kuarto

(termasuk gambar, tabel, ilustrasi

dan daftar pustaka).

• Format penulisan terdiri dari 2

(dua) kolom dengan jarak antar

kolom 0,5 cm, margin kiri dan

bawah kertas 3 cm, dan margin

kanan dan atas kertas 2,5 cm.

• Naskah ditulis dengan menggu

nakan Bahasa Indonesia yang baku,

baik dan benar, dengan kalimat-

kalimat yang sederhana, lugas,

komunikatif (mudah dimengerti)

dan tidak rancu.

• Jika menggunakan bahasa asing,

penggunaannya dengan tanda petik

atau dalam kurung setelah

diterjemahkan. Diperkenankan

menggunakan kata serapan setelah

di Indonesiakan.

• Judul harus singkat dengan kata-

kata atau fraksa kunci yang

mencerminkan isi tulisan, namun

tidak lebih dari 12 (dua belas) kata.

• Abstrak ditulis dalam Bahasa

Inggris untuk makalah yang ditulis

dalam Bahasa Indonesia, begitu

pula sebaliknya.

• Pencantuman sumber kutipan dila

kukan langsung pada tulisan yang

74 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Pedoman Penulisan Naskah Jurnal

dikutip dengan menuliskan nama,

tahun serta halaman.

• Daftar pustaka disusun tanpa no

mor dan berurutan berdasarkan ab

jad dari nama pengarang. Teknis

penulisan terdiri dari nama penga

rang, tahun penerbitan, judul, pener

bit dan kota penerbitan. Cara lain

dengan menulis nama pengarang,

judul, penerbit, kota penerbit dan

tahun penerbitan. Nama pengarang

ditulis tanpa gelar.

• Sumber Tulisan.

• Judul gambar dan Sumber-

sumbernya.

4. Lain-lain

• Naskah diserahkan pada redaksi

berupa hard copy naskah lengkap

sebanyak 2 (dua) eksemplar dan

soft copy dalam bentuk CD.

• Isi tulisan bukan tanggung jawab

redaksi. Redaksi berhak mengedit

redaksional penulisan, tanpa mengu

bah arti.

• Redaksi berhak menolak naskah

yang dianggap tidak layak untuk di

terbitkan.

• Tidak dilakukan surat menyurat ke

cuali melalui email atau pos jika

pengiriman tulisan yang disertai

dengan perangko; akan dikembali

kan pada penulis jika tidak meme

nuhi persyaratan atau perlu

diperbaiki lagi.

• Keterangan lebih lengkap dapat

menghubungi redaksi jurnal

Arsitektur Lansekap, pada alamat

yang terlera pada sampul jurnal.

75 JAL, Vol.2 No.1, Desember 2008 Pedoman Penulisan Naskah Jurnal