138
i BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Oleh: Dr. SUPRIYANTA, SH., MHum. Penerbit Unisri Press © 2020

BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

i

BANTUAN HUKUM &

ALTERNATIF PENYELESAIAN

SENGKETA

Oleh:

Dr. SUPRIYANTA, SH., MHum.

Penerbit

Unisri Press © 2020

Page 2: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

ii

BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN

SENGKETA

Penulis:

Dr. SUPRIYANTA, SH., MHum.

Editor:

Ika Nur Afni

ISBN: 987-623-95479-0-5

Desain sampul : Anindyo Mahendra Prasetyo

Penerbit: UNISRI Press

Redaksi:

Jalan Sumpah Pemuda No 18. Joglo, Banjarsari, Kota Surakarta

[email protected]/ press.unisri.ac.id

Anggota APPTI

Dicetak oleh “Percetakan Kurnia” Solo

Cetakan Pertama, November 2020

Copyright © 2020

ISI MENJADI TANGGUNG JAWAB PENULIS

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 3: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

iii

KATA PENGANTAR

Dinamika masyarakat akibat kemajuan di bidang

teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini menyebabkan

munculnya persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks

dengan segala alternatif penyelesaiannya.

Buku yang berjudul Bantuan Hukum dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa ini disusun untuk menambah buku

kepustakaan serupa yang mungkin sudah banyak diterbitkan.

Kehadiran buku ini diharapkan bisa menjadi acuan awal bagi

mereka yang ingin mendalami ruang lingkup Bantuan Hukum dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 18 Tahun

2003 tentang Advokat, yang diberi kewenangan untuk

memberikan jasa hukum adalah mereka yang berprofesi sebagai

advokat. Karena itu profesi advokat ini disinggung dalam buku ini.

Lebih dari itu adalah mengenai aspek kerugian dan keuntungan

dari cara-cara penyelesaian perkara antara prosedur litigasi (dalam

persidangan) dan non litigasi (di luar persidangan) yang dikenal

dengan istilah alternatif penyelesaian sengketa atau "Alternative

Dispute Resolution" (ADR).

Akhirnya semoga buku ini memberi manfaat bagi pihak-

pihak yang memerlukan. Saran dan kritik yang membangun akan

diterima dengan senang hati.

Surakarta, November 2020

Dr. SUPRIYANTA, SH, M.Hum

Page 4: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

iv

BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA

Page 5: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ iii

DAFTAR ISI ............................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Pengertian Bantuan Hukum .......................................................... 1

B. Batuan Hukum Dalam Kaidah Hukum Positif .............................. 2

C. Bantuan Hukum Yang Diatur Dalam KUHAP (Undang Undang

No. 8 Tahun 1981, (LN, 1981 No. 76 Tgl 31 Desember 1981) .... 6

BAB II ADVOKAT ................................................................................10

A. Istilah Advokat .............................................................................10

B. Menurut Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003..............11

C. Istilah-Istilah Lain ........................................................................12

D. Pengangkatan Advokat ................................................................13

E. Status, Penindakan dan Pemberhentian Advokat .........................17

F. Hak dan Kewajiban Advokat .......................................................20

BAB III BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN

PIDANA BERDASARKAN KUHAP ....................................................23

A. Tahap Penyidikan ..........................................................................28

B. Tahap Penuntutan ..........................................................................43

C. Tahap Pemeriksaan Pengadilan .....................................................53

BAB IV BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA ........58

A. Surat Kuasa Untuk Advokat ........................................................60

B. Perihal Surat Gugatan ..................................................................62

C. Isi Surat Gugatan .........................................................................63

D. Strategi Pembuktian .....................................................................67

a. Perihal Bukti Tulisan .............................................................70

b. Alat Bukti Pengakuan ............................................................74

c. Alat Bukti Sumpah ................................................................76

BAB V PUTUSAN HAKIM DAN UPAYA HUKUM .........................84

A. Sifat Putusan Hakim ....................................................................84

B. Jenis-Jenis Putusan Hakim ...........................................................86

C. Upaya Hukum ..............................................................................87

BAB VI PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM (EKSEKUSI) ............94

A. Pengertian Eksekusi .....................................................................94

B. Azas-Azas Eksekusi .....................................................................95

C. Macam-Macam Eksekusi .............................................................97

BAB VII ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) ............106

A. Pengertian ..................................................................................106

B. Beberapa Proses Dalam ADR ....................................................109

C. Keunggulan ADR Dibanding Forum Pengadilan ......................115

Page 6: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

vi

BAB VIII SEKILAS TENTANG UNDANG-UNDANG BANTUAN

HUKUM ............................................................................................... 119

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 128

Page 7: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Bantuan Hukum

Istilah bantuan hukum dapat dikatakan masih merupakan hal

baru bagi bangsa Indonesia. Masyarakat baru mengenal dan

mendengarnya disekitar tahun tujuh puluhan (Yahya Harahap,

2001: 333).

Konsep bantuan hukum sendiri pada awalnya berasal dari

negara-negara barat. Di negara-negara maju istilah bantuan hukum

dipergunakan dalam dua arti yaitu Legal aid dan Legal assistance.

Disamping itu dikenal juga istilah Legal Service (Abdurrahman,

1980 : 116).

Istilah Legal aid dipergunakan dalam makna yang sempit

yaitu berupa jasa bantuan hukum kepada seseorang yang terlibat

dalam suatu perkara. Dalam konsep Legal aid ini motivasi

utamanya adalah menegakkan hukum dengan jalan membela

kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta

hukum.

Konsep Legal Assistance mengadung arti yang lebih luas

daripada Legal aid, sebab di samping memberi jasa bantuan

hukum kepada rakyat miskin secara cuma-cuma, juga memberi

jasa bantuan hukum kepada mereka yang mampu membayar

prestasi.

Bentuk ketiga adalah yang disebut legal service yang

mempunyai makna pemberian bantuan hukum yang mencakup

usaha-usaha seperti bantuan hukum untuk menjaga agar hak hak

Page 8: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

2

yang telah diakui oleh hukum tetap dihormati, usaha agar yang

menyangkut kepentingan orang miskin dapat dilaksanakan secara

lebih positif sehingga dapat mengeliminasi kenyataan-kenyataan

diskriminatif dalam penegakkan hukum, usaha-usaha untuk

mendayagunakan cara-cara penyelesaian sengketa melalui upaya

perdamaian dan sebagainya.

Demikian pengertian bantuan hukum yang dijumpai dalam

praktek di beberapa negara. Di Indonesia sendiri dalam kenyataan

sehari-hari jarang sekali membedakan ketiga istilah tersebut.

Dikalangan profesi dan praktisi hukum dan apalagi bagi

masyarakat awam hanya mempergunakan istilah bantuan hukum,

sedangkan menurut Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003

yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah jasa hukum yang

diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang

tidak mampu (Pasal 1 angka 9).

B. Batuan Hukum Dalam Kaidah Hukum Positif

Dalam sejarah hukum positif di Indonesia, bantuan hukum

dalam perkara pidana telah dikenal sejak masa berlakunya HIR

walaupun masih bersifat terbatas, karena hanya memperkenalkan

bantuan hukum kepada terdakwa di depan pengadilan. Sedang

kepada tersangka yang masih dalam proses pemeriksaan

penyidikan HIR belum memberi hak untuk mendapat bantuan

hukun. Jadi HIR belum memberi hak untuk mendapatkan dan

berhubungan dengan seorang penasihat hukum pada semua tingkat

pemeriksaan, hanya terbatas sesudah memasuki taraf pemeriksaan

di sidang pengadilan.

Demikian juga kewajiban bagi pejabat peradilan untuk

menunjuk penasihat hukum, hanya terbatas pada tindak pidana

yang diancam dengan pidana mati. Dalam sejarah selanjutnya

Page 9: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

3

ketentuan mengenai bantuan hukum diatur secara lebih luas dalam

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yaitu Undang-Undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Pada UU No. 14 Tahun 1970 ini terdapat

satu bab khusus yang memuat ketentuan tentang bantuan hukum

yaitu pada Bab VII yang terdiri dari Pasal 35 sampai dengan Pasal

38. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun

1970 telah menetapkan hak bagi setiap orang yang terkena urusan

perkara untuk memperoleh bantuan hukum.

Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun

1970 telah memperlihatkan azas bantuan hukum memang telah

diakui sebagai hal yang penting (lihat penjelasan Pasal 35).

Namun apa yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 tersebut

belum juga sampai pada taraf yang meletakan azas wajib

memperoleh bantuan hukum, masih pada taraf "hak" mendapatkan

bantuan hukum. Meskipun demikian hak memperoleh bantuan

hukum dalam perkara pidana ini sudah dibenarkan sejak saat

dilakukan penangkapan atau penahanan yang berupa "hak

menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum".Bagaimana

caranya menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum,

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 belum mengaturnya.

Jadi kesimpulannya UU No. 14 Tahun 1970 baru menetapkan

landasan dan azas umum dan belum mengatur tentang tata cara

pelaksanaannya. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ini telah

mengalami perubahan yaitu dengan Undang-Undang No. 35

Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Terakhir tahun 2004 bahkan Undang-Undang No. 14

Tahun 1970 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 35 Tahun

1999 telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004

Page 10: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

4

Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 8. Undang-Undang No.

4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini mulai berlaku

pada tanggal 15 Januari 2004.

Perihal bantuan hukum, ketentuan yang ada dalam Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004 ini diatur dalam Bab VII mulai Pasal

37 sampai dengan Pasal 40. Pasal-pasal tersebut beserta

penjelasannya dikutip dibawah ini:

Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman (selanjutnya disingkat UUKK):

“ Setiap orang yang tersangkut perkara berhak

memperoleh bantuan hukum" Penjelasan Pasal 37 ini

menyatakan cukup jelas".

Pasal 38 UUKK :

" Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat

dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak

menghubungi dan meminta bantuan advokat".

Penjelasan Pasal 38 menyatakan sejalan dengan azas bahwa

seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap

tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan

dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan.

Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan

pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam

Hukum Acara Pidana. Pasal 39 UUKK :

" Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian

perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan".

Penjelasan Pasal 39 menyatakan cukup jelas.

Page 11: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

5

Pasal 40 UUKK :

" Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan

Pasal 38 diatur dalam undang-undang".

Penjelasan pasal 40 menyatakan cukup jelas.

Demikian ketentuan bantuan hukum dalam UUKK No. 4

Tahun 2004. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun

2004 selanjutnya telah diganti dengan Undang-undang No. 48

Tahun 2009. Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 ini

perihal Bantuan Hukum diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57.

Pasal 56 menyatakan :

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh

bantuan hukum.

(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan

yang tidak mampu.

Pasal 57

(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum

kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam

memperoleh bantuan hukum.

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan

sampai putusan terhadap perkara tersebut telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-udangan.

Page 12: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

6

C. Bantuan Hukum Yang Diatur Dalam KUHAP (Undang

Undang No. 8 Tahun 1981, (LN, 1981 No. 76 Tgl 31

Desember 1981)

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) diatur secara khusus

bab mengenai Bantuan Hukum yaitu Bab VII mulai Pasal 69

sampai dengan Pasal 74.

Pasal 69 KUHAP menyatakan :

"Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak

saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat

pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam

undang-undang ini ".

Penjelasan Pasal 69 menyatakan cukup jelas.

Siapa yang dimaksud dengan penasihat hukum ditentukan

dalam Pasal 1 angka 13 KUHAP yaitu seorang yang memenuhi

syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk

memberi bantuan hukum. Pengertian bantuan hukum sendiri

dalam KUHAP tidak jelas dirumuskan. Namun jika berpegang

pada pengertian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13.

Menurut Yahya Harahap bantuan hukum yang dimaksud

KUHAP mencakup pemberian bantuan hukum secara profesional

dan formal dalam bentuk pemberian jasa bantuan hukum bagi

setiap orang yang terlibat dalam kasus tindak pidana baik secara

cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu dan miskin maupun-

memberi bantuan hukum kepada mereka yang mampu oleh para

advokat dengan jalan menerima imbalan jasa (Yahya Harahap,

2001: 337). Jadi jika dikaitkan dengan pengertian bantuan hukum

diatas, maka meliputi legal aid maupun legal assistance.

Page 13: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

7

Pasal 70 KUHAP menyatakan

(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69

berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka

pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk

kepentingan pembelaan perkaranya.

(2) Jika terdapat bukti penasihat hukum tersebut

menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan

tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan

penyidik, penuntut umum atau petugas, lembaga

pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat

hukum.

(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan maka

hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada

ayat (2).

(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan,

maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut

pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka

hubungan selanjutnya dilarang.

Penjelasan Pasal 70 menyatakan cukup jelas.

Pasal 71 KUHAP menyatakan:

(1) Penasihat hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan

dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh

penyidik, penuntut umum, atau petugas lembaga

pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.

(2) Dalam hal kejahatan terhadap kamanan negara, pejabat

tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.

Penjelasan Pasal 71 menyatakan cukup jelas.

Page 14: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

8

Pasal 72 KUHAP menyatakan:

Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat

yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan

untuk kepentingan pembelaannya.

Penjelasan Pasal 72 menyatakan yang dimaksud dengan

"untuk kepentingan pembelaannya" ialah bahwa mereka wajib

menyimpan isi berita acara tersebut untuk diri sendiri. Yang

dimaksud dengan "turunan" ialah dapat berupa foto copy. Yang

dimaksud dengan "pemeriksaan" dalam pasal ini ialah

pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, hanya untuk pemeriksaan

tersangka.

Dalam tingkat penuntutan ialah semua berkas perkara

termasuk surat dakwaan. Pemeriksaan di tingkat pengadilan

adalah seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim.

Pasal 73 KUHAP menyatakan:

“ Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat

dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya"

Penjelasan Pasal 73 menyatakan:

Apabila terbukti ada penyalahgunaan dalam pasal ini

diberlakukan ketentuan Pasal 70 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 74 KUHAP menyatakan:

“ Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat

hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70

ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang setelah

perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada

pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan

suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat

hukumnya serta pihak lain dalam proses.”

Penjelasan Pasal 74 menyatakan cukup jelas

Page 15: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

9

Disamping ketentuan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP

tersebut, masih ada beberapa ketentuan lagi khususnya yang

terkait dalam setiap tahapan proses peradilan pidana baik ditingkat

penyidikan, penuntutan maupun di sidang pengadilan. Mengenai

hal ini akan diuraikan tersendiri dalam bagian lain dari tulisan ini.

Page 16: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

10

BAB II

ADVOKAT

A. Istilah Advokat

Secara historis advokat termasuk salah satu profesi yang

tertua. Dalam perjalananya profesi itu bahkan dinamai sebagai

officium nobile, jabatan yang mulia (Luhut MP. Pangaribuan,

2002: 4).

Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan

kita pertama-tama ditemukan dalam Ketentuan Susunan

Kehakiman dan Kebijaksaan Mengadili (R0). lstilah advokat

merupakan padanan kata Advocaat (Belanda) yaitu seseorang yang

telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah

memperoleh gelar meester de rechten (Mr). Lebih jauh lagi,

sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin. Oleh karena itu

tidak mengherankan kalau hampir disetiap bahasa di dunia kata

(istilah) itu dikenal (Luhut MP. Pangaribuan, 2002: 4).

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat (selanjutnya akan disingkat dengan UUA)

dikenal advokat, pengacara, penasihat hukum dan konsultan

hukum. Pada praktek hukum di Indonesia mempunyai perbedaan

pengertian yang cukup bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris

semua istilah tersebut secara umum disebut sebagai lawyer atau

ahli hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran yang

diberikan oleh lawyer yang memakai istilah advokat, pengacara

dan penasihat hukum yang dalam bahasa lnggris disehut trial

lawyer atau secara spesifik. Sedangkan di Amerika dikenal dengan

Page 17: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

11

istilah attorney at law serta di Inggris dikenal istilah barrister dan

peran yang diberikan oleh lawyer yang menggunakan istilah

konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan istilah

counsellor at law atau di Inggris dikenal dengan istilah solicitor

(Yudha Pandu, 2004: 9).

Secara umum dalam praktek hukum di Indonesia advokat,

pengacara dan penasehat hukum adalah orang yang mewakili

kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat

kuasa yang diberikan baik yang bersifat litigasi (beracara di sidang

pengadilan) maupun yang bersifat non litigasi (non litigation).

Surat kuasa yang dimaksud yaitu di luar sidang pengadilan seperti

mendampingi atau mewakili klien menandatangani suatu

perjanjian, mewakili klien untuk bernegosiasi dalam proses

perdamaian dan sebagainya. Sedang konsultan hukum, adalah

orang yang bekerja di luar pengadilan yang bertindak memberikan

nasehat-nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan

hukum/perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan

kliennya (non litigator) (Yudha Pandhu, 2004: 9).

Adanya peran yang disebutkan diatas yaitu baik sebagai

litigator maupun non litigator (advokat, pengacara, dan penasihat

hukum) dan peran sebagai non litigator (konsultan hukum)

sehingga dalam praktek kita sering menemukan firma hukum atau

kantor hukum yang mencantutnkan kedua peran tersebut sekaligus

yaitu advokat dan konsultan hukum atau Advocates and Consellor

at law.

B. Menurut Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003

Sejak berlakunya Undang-Undang No.18 Tahun 2003 (UUA)

maka semua istilah yang diberikan kepada profesi praktisi hukum,

seperti yang diberikan kepada penasihat hukum, konsultan hukum,

Page 18: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

12

ataupun yang diistilahkan lainnya seperti kuasa hukum dan

pembela disepakati menjadi satu istilah yaitu advokat.

Pasal 1 angka 1 UUA menyatakan bahwa advokat adalah

orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam

maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan undang-

undang ini. Dimaksudkan dengan jasa hukum adalah jasa yang

diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan

melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien

(Pasal 1 angka 2). Sedangkan yang dimaksud dengan klien adalah

orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum

dari advokat (Pasal 1 angka 3).

Jadi dengan keluarnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat yang mulai berlaku pada tanggal 5 April 2003,

maka sudah jelas siapa yang oleh undang-undang diperkenankan

untuk memberi jasa hukum baik di dalam maupun diluar

pengadilan, yaitu advokat. Pasal 32 ayat (1) UUA menyatakan

bahwa advokat penasehat hukum, pengacara praktek, dan

konsultan hukum yang telah diangkat pada saat undang-undang ini

mulai berlaku, dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur

dalam undang-undang ini. Jadi sejak tanggal 5 April 2003 secara

formal advokat, penasihat hukum, pengacara praktek, dan

konsultan hukum yang telah diangkat, sebutan untuk mereka ini

adalah advokat.

C. Istilah-Istilah Lain

Disamping istilah advokat sebagai profesi hukum yang

mandiri, dikenal juga istilah emporate lawyer, legal officer dan in

house lawyer. Tiga istilah yang disebut terakhir ini diberikan

kepada ahli hukum yang bekerja secara terikat dalam suatu

Page 19: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

13

institusi atau korporasi. Posisi mereka bukan sebagai profesi

hukum yang mandiri, tetapi mereka adalah karyawan yang bekerja

di bidang hukum.

Peran dan tugas mereka hanya sebatas melakukan pekerjaan-

pekerjaan hukum dalam ruang lingkup internal yang berkaitan

dengan bidang usaha korporasi dimana mereka bekerja.

Contohnya seorang Corporate lawyer pada perusahaan properti

umumnya bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan hukum yang

berkaitan dengan bidang usaha properti seperti pembebasan tanah;

jual beli tanah, sewa menyewa gedung, perjanjian pembangunan

gedung dengan kontraktor dan lain sebagainya, seperti halnya juga

legal officer yang bekerja pada perusahaan penerbitan cenderung

menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan hak cipta,

perjanjian kontrak penerbitan, royalti dan lain sebagainya (Yudha

Pandu, 2004: 14).

D. Pengangkatan Advokat

Sebelum UUA berlaku pengangkatan pengacara praktek

dilakukan oleh Pengadilan Tinggi sedangkan advokat oleh Menteri

Kehakiman. Setelah berlakunya UUA ini maka kewenangan

pengangkatan advokat beralih kepada organisasi advokat. Pasal 2

avat (2) UUA menyatakan bahwa "Pengangkatan advokat

dilakukan oleh organisasi advokat".

Mengenai siapa yang dapat diangkat menjadi advokat, Pasal 2

ayat (1) UUA tnenyebutkan "yang dapat diangkat sebagai advokat

adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum

dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang

dilaksanakan oleh organisasi advokat".

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUA menyatakan bahwa "yang

dimaksud dengan berlatar belakang pendidikan tinggi hukum"

Page 20: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

14

adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi

hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Secara lebih

rinci Pasal 3 ayat (1) UUA menyatakan bahwa untuk dapat

diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

a. Warga negara Republik Indonesia.

b. Bertempat tinggal di Indonesia.

c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat

negara.

d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.

e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan

tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1).

f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat.

g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus

pada kantor advokat.

h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih.

i. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan

mempunyai integritas yang tinggi.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) hurul b menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan "bertempat tinggal di Indonesia" adalah bahwa

pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat orang tersebut

harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak

mengurangi kehebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat

untuk bertempat tinggal dimanapun.

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c menyatakan yang dimaksud

dengan "pegawai negeri" dan "pejabat negara" adalah pegawai

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-

Page 21: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

15

undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8

Th 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri

terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil

b. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan

c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa pejabat negara

terdiri dari:

a. Presiden dan Wakil Presiden

b. Ketua, wakil ketua dan anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat

c. Ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat

d. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada

Mahkamah Agung, serta ketua, wakil ketua dan hakim

pada semua badan peradilan

e. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pertimbangan

Agung

f. Ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa

Keuangan

g. Menteri dan jabatan yang setingkat menteri

h. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri

yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan

berkuasa penuh

i. Gubernur dan wakil gubernur

j. Bupati/walikota dan wakil bupati/walikota dan

k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-

undang

Page 22: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

16

Ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat

sebagaimana dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Penjelasan Pasal 3 avat (1) huruf f menyatakan yang dimaksud

dengan "Organisasi Advokat" dalam ayat ini adalah organisasi

advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4)

undang-undang ini. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf g

menyatakan bahwa magang dimaksud agar calon advokat dapat

memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan

ketrampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang

dilakukan sebelum calon advokat diangkat sebagai advokat, dan

dilakukan dikantor advokat. Magang tidak harus dilakukan pada

satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut

dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2

(dua) tahun.

Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah

menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di

sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya

(Pasal 4 ayat (1))

Lafal sumpah dan janji advokat berbunyi sebagai berikut:

"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji" :

- Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan

Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia.

- Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau

tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara

apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu

barang kepada siapapun juga.

Page 23: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

17

- Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai

pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil dan

bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan.

- Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam

atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau

menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan

atau pejabat lainnya agar memenangkan atau

menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan

saya tangani.

- Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan

menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan

martabat dan tanggung jawab saya sebagai advokat.

- Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan

pembelaan atau memberi jasa hukum didalam suatu

perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian dari

tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.

Demikian lafal sumpah advokat yang diatur dalam UUA.

Salinan berita acara sumpah tersebut selanjutnya oleh Panitera

Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada

Mahkamah Agung, Menteri dan Organisasi advokat.

E. Status, Penindakan dan Pemberhentian Advokat

Status, penindakan maupun pemberhentian advokat diatur

secara rinci oleh UUA Pasal 5 ayat (1) UUA menyatakan advokat

berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin

oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Wilayah kerja

advokat seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Maksud

advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah advokat sebagai

salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai

kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam

Page 24: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

18

menegakkan hukum dan keadilan. Sedang yang dimaksud bebas

adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut atau

perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi.

Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi

dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai

tindakan dengan alasan :

a. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;

b. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap

lawan atau rekan seprofesinya;

c. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau

mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak

hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,

atau pengadilan;

d. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban.

kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;

e. Melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan

dan/atau perbuatan tercela;

f. Melanggar sumpah/janji advokat dan atau kode etik

protesi advokat.

Demikian ditegaskan dalam Pasal 6 UUA. Penjelasan Pasal 6

huruf c UUA menyatakan bahwa ketentuan dalam huruf c ini

berlaku bagi advokat baik didalam maupun diluar pengadilan. Hal

ini sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum,

dimanapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap

hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.

Adapun jenis tindakan yanu dikenakan terhadap advokat dapat

berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tulisan;

Page 25: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

19

c. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga)

sampai 12 (dua belas) bulan ;

d. Pemberhentian tetap dari profesinya ( pasal 7 ayat (1))

Penindakan terhadap advokat dengan jenis tindakan seperti

tersebut diatas dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi

Advokat sesuai dengan kode etik advokat. Namun sebelum

advokat dikenai tindakan kepada yang bersangkutan diberikan

kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Ketentuan tentang

jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenai tindakan berupa

teguran lisan, teguran tulisan, pemberhentian sementara selama 3-

12 bulan, pemberhentian tetap dari profesinya diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (Pasal

7 avat (2) UUA).

Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara atau

pemberhentian tetap terhadap advokat maka Organisasi advokat

menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah

Agung (Pasal 8 ayat (2) UUA).

Dalam UUA ini sekaligus juga diatur mengenai

pemberhentian advokat. Advokat dapat berhenti atau

diberhentikan dari profesinya oleh organisasi advokat (Pasal 9

ayat (1) UUA).

Adapun alasan advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari

profesinya secara tetap karena alasan:

a. Permohonan sendiri;

b. Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam

dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih, atau;

c. Berdasarkan keputusan organisasi advokat (Pasal 10 ayat

(1)).

Page 26: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

20

Advokat yang telah diberhentikan tidak berhak menjalankan

profesi advokat (ayat 2). Salinan surat keputusan pemberhentian

advokat disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengadilan tinggi

dan lembaga penegak hukum lainnya. Yang dimaksud dengan

penegak hukum lainnya adalah pengadilan tinggi untuk semua

lingkungan peradilan, kejaksaan, dan kepolisian Negara Republik

Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan

advokat (Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UUA).

F. Hak dan Kewajiban Advokat

Undang-undang No.18 Tahun 2003 juga mengatur mengenai

hak dan kewajiban advokat. Pasal 14 UUA menyatakan advokat

bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela

perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang

pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan

peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu seorang advokat

juga bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela

perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang

pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan (Pasal

15).

Diatur juga dalam UUA ini bahwa advokat tidak dapat

dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan

tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan

klien dalam sidang pengadilan (Pasal 16). Berbeda dengan yang

diatur di Pasal 16 UUA ini dimana ketentuan tersebut berlaku

dalam sidang pengadilan yang oleh penjelasan Pasal 16 UUA

dimaksudkan dengan sidang pengadilan adalah sidang pengadilan

dalam setiap tingkan pengadilan di semua lingkungan peradilan.

Ketentuan Pasal 15 UUA dimaksudkan sebagai kekebalan

advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan

Page 27: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

21

kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi

kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat

(Penjelasan Pasal 15 UUA).

Berkaitan dengan akses terhadap data, informasi maupun

dokumen, advokat dalam hal ini berhak untuk memperoleh

informasi data dan dokumen lainnya baik dari instansi pemerintah

maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut

yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Advokat juga tidak boleh bersikap diskriminasi artinya dalam

menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan

terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,

keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. (Pasal 18

ayat (1) UUA). Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya

dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau

masyarakat (Pasal 18 ayat (2) UUA).

Rahasia klien juga wajib dijaga oleh advokat yaitu mengenai

segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena

hubungan profesinya, namun hal ini ada pembatasannya yaitu

sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 19 ayat

(1) UUA).

Advokat berhak atas kerahasiaan hubungan dengan klien,

termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya, terhadap

penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap

penyadapan atas komunikasi elektronik advokat (Pasal 19 ayat (2)

UUA).

Mengenai soal rangkap jabatan Undang-Undang Advokat

hanya menggariskan secara umum di Pasal 20 UUA yaitu bahwa

advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan

dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya (ayat 1).

Page 28: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

22

Advokat juga dilarang memegang jabatan lain yang meminta

pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat

atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan

tugas profesinya (ayat 2).

Namun dalam undang-undang ini tidak mengatur mengenai

bagaimana mekanismenya jika terjadi pelanggaran atas larangan

tersebut. Hanya di ayat 3 Pasal 20 UUA saja secara jelas

menentukan yaitu bagi advokat yang menjadi pejabat negara, tidak

melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan

tersebut. Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UUA menyatakan bahwa

ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan

perdata advokat tersebut dengan kantornya.

Page 29: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

23

BAB III

BANTUAN HUKUM DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA BERDASARKAN

KUHAP

Sejak diundangkannya undang-undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

yang menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) Stbl

1941 No. 44, maka di Indonesia menganut konsepsi integrated

criminal justice system. Keterpaduan dalam sistem peradilan

pidana yang didasarkan pada KUHAP ini menjadi suatu tuntutan

yang harus dipenuhi, sebab KUHAP pada dasarnya menganut asas

"diferensiasi fungsional" yang berarti ada penegasan pembagian

tugas dan wewenang yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.

Menurut Yahya Harahap, adanya asas diferensiasi füngsional

tersebut, berarti KUHAP meletakkan asas "penjernihan"

(clarification) dan "modifikasi" (modification) fungsi dan

wewenang antara setiap instansi penegak hukum, akan tetapi tetap

dimungkinkan adanya saling korelasi dan koordinasi dalam proses

penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan.

(Yahya Harahap, 1985: 43).

Prinsip koordinasi tersebut tidak hanya berlaku diantara aparat

penegak hukum (polisi, jaksa/penuntut umum, hakim dan petugas

pemasyarakatan) dalam kapasitasnya selaku pejabat penegak

hukum (Law enforcement official) tetapi juga dengan komponen

penasehat hukum yang meskipun bukan merupakan law

Page 30: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

24

enforcement official, tetapi mereka bersama-sama dengan polisi,

jaksa, hakim merupakan penegak hukum (Sukardjo Adidjojo,

1985: 84).

Dalam KUHAP, komponen penasihat hukum telah diberi

tempat untuk akses dalam setiap tahapan proses peradilan yaitu

sejak di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang

pengadilan. Dengan demikian keterpaduan dalam sistem peradilan

pidana yang didasarkan pada KUHAP secara ideal berarti juga

ikut sertanya komponen penasihat hukum dalam setiap tahapan

proses peradilan pidana tersebut.

Namun mengenai hal di atas, pengaturan yang ada dalam

KUHAP ternyata masih bersifat terbatas, sebab dalam KUHAP,

baru diletakkan asas "hak" untuk mendapatkan bantuan hukum.

Sedangkan asas "hak" dan "wajib" bantuan hukum hanya

ditujukan untuk tindak pidana- tindak pidana tertentu. Mengenai

hal ini bisa disimak ketentuan Pasal 56 KUHAP yang menegaskan

sebagai berikut:

(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati

atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi

mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima

tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum

sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk

penasihat hukum bagi mereka.

(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan

bantuannya dengan cuma-cuma.

Page 31: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

25

Penjelasan Pasal 56 ayat (1) menyatakan sebagai berikut:

" Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara

sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan

pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana

kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali

tindak pidana tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b, maka

untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima

tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima betas tahun,

penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan

perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat

hukum di tempat itu".

Sedangkan penjelasan ayat (1) menyatakan cukup jelas.

Pasal 56 KUHAP seperti dikutip di atas mengatur mengenai

perkara pidana yang wajib mendapat bantuan hukum yaitu:

a. Perkara yang tersangkanya diancam dengan pidana mati

atau pidana penjara lima belas tahun atau lehih; dan

b. Perkara yang tersangkanya tidak mampu yang diancam

dengan pidana lima tahun atau lebih tetapi kurang dari

lima betas tahun yang tidak mempunyai penasihat hukum

sendiri.

Namun disayangkan ketentuan dalam ayat (2) tersebut tidak

tegas menyatakan bahwa penasihat hukum yang ditunjuk itu wajib

memberi bantuan hukum yang diminta. Terhadap rumusan Pasal

56 KUHAP tersebut Bambang Widjojanto menyatakan

pendapatnya sebagai berikut :

" Terdapat dua hal yang menjadi dasar kelemahan dari pasal

tersebut pertama, mengenai kemampuan seseorang untuk

menaksir apakah dirinya mampu menyediakan penasihat

hukum dan kedua tidak adanya konsekuensi atas pengabaian

ketentuan ini" (Bambang Widjojanto, 1997: 5).

Page 32: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

26

Bila diperhatikan, ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut

memang tidak memuat sanksi apa yang bisa dikenakan, jika

petugas penegak hukum dalam praktek ternyata mengabaikan

ketentuan tersebut. Dibanding dengan HIR, ketentuan bantuan

hukum seperti yang ditentukan dalam Pasal 56 KUHAP di atas,

sudah merupakan kemajuan, sebab menurut HIR kemungkinan

penyediaan penasihat hukum oleh negara terbatas pada perkara

yang diancam hukuman mati dan kesediaan penasihat hukum yang

ditunjuk. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 250 ayat (5)

HIR yang menegaskan:

“Bila si terdakwa diperintahkan menghadap hakim karena

suatu kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati dan

dituduh baik dalam pemeriksaan oleh jaksa yang ditetapkan

dalam ayat 6 Pasal 83 h, baik kemudian hari menyatakan

kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh

seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum yang lain

yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu. Pekerjaan

itu masih dapat juga dilakukan dengan surat keputusan yang

terasing selama pemeriksaan sidang belum selesai, jika

tersangka menyatakan kehendak yang demikian itu juga. Akan

tetapi penunjukkan telah terjadi bila pada Pengadilan Negeri

itu tidak ada pegawai sarjana hukum atau ahli hukum yang

diperbantukan pada ketua atau tidak ada sarjana hukum atau

ahli hukum yang lain bersedia ."

Untuk memperjelas, berikut ini juga dikutip Pasal 83 h ayat

(6) HIR menegaskan.

" Jika seseorang dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang

dapat dihukum dengan hukuman mati maka jaksa

menanyakan kepadanya apakah ia berkehendak pada sidang

Page 33: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

27

pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli

hukum".

Pasal 250 HIR secara khusus mengatur hak untuk

mendapatkan pelayanan hukum secara cuma-cuma bagi mereka

yang miskin yang terkena perkara pidana dengan ancaman

hukuman mati, sepanjang tersedia penasihat hukum yang rela

untuk memberikan jasanya. Penunjukkan penasihat hukum itu

dilakukan oleh hakim.

Kembali pada ketentuan yang ada dalam Pasal 56 KUHAP,

menurut ketentuan tersebut tidak hanya terbatas untuk perkara

yang diancam hukuman mati, tetapi juga meliputi perkara pidana

yang diancam dengan pidana diatas lima belas tahun atau lebih

serta perkara pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau

lebih tetapi dibawah lima belas tahun, dalam hal

tersangka/terdakwa tidak mampu menyediakan penasihat hukum

sendiri. Kewajiban untuk menunjuk penasihat hukum tersebut juga

tidak terbatas pada hakim, tetapi berlaku juga untuk semua pejabat

dalam semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

Sebagai bahan perbandingan baik untuk dikemukakan di sini

mengenai ketentuan serupa yang ada di Amerika Serikat. Di

Amerika Serikat terdapat suatu ketentuan yang mengharuskan

setiap pejabat yang melakukan penangkapan untuk

memberitahukan, hak-hak tersangka sebelum ia diinterogasi.

Ketentuan yang disebut sebagai Miranda Rule tersebut

dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dan sekaligus

sebagai pedoman bagi pejabat penegak hukum untuk menghindari

melakukan kekerasan dalam proses pemeriksaan (The miranda

rule both to protect individual rights and to give law enforcement

officials guidelines to avoid coercive interrogation).

Page 34: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

28

Dalam Black Law Dictionary, hak-hak yang harus

diberitahukan tersebut:

1. Ia berhak diam (that he has a right to remain silent)

2. Setiap pernyataan atau ucapan dapat digunakan sebagai

bukti terhadapnya. (that any statement he does make may

be used as evidence against him)

3. Ia berhak didampingi oleh pembela. (that he has a right to

the presence of an attorney)

4. Jika ia tidak mampu, akan ditunjuk seorang pembela

baginya sebelum ia diinterogasi (that if he cannot afford

and attorney one will be appointed for him prior any

questioning if he so desires)

Apabila petugas mengabaikan ketentuan ini, akibat hukumnya

adalah: No evidence obtained in the interrogation may be used

against the accused kecuali bisa dibuktikan pada sidang bahwa

peringatan-peringatan itu sudah disampaikan. (Ifdhal Kasim,

1994)

Jadi jelaslah, bahwa menurut ketentuan Miranda tersebut

seorang penasihat hukum memiliki arti yang sangat besar bukan

hanya claim melindungi hak-hak yang dimiliki oleh

tersangka/terdakwa, tetapi juga memegang peranan penting bagi

keseluruhan rangkaian proses penyelesaian perkara pidana.

Mengenai pengaturan bantuan hukum dalam setiap tahap proses

peradilan pidana yang didasarkan pada KUHAP, diuraikan sebagai

berikut:

A. Tahap Penyidikan

Sebelum dikemukakan mengenai keterkaitan penasihat hukum

dalam tahap penyidikan, perlu diketahui bahwa KUHAP dengan

jelas membedakan istilah "penyidikan" dari "penyelidikan".

Page 35: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

29

Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan

penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

Adapun yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Sedangkan

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal

1 angka 5 KUHAP). Berbeda dengan penyidik yang terdiri dari

pejabat polisi negera RI dan PPNS yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang, maka penyelidik ini merupakan wewenang

pejabat polisi negara saja. Jadi perbedaan antara penyidik dan

penyelidik terletak pada personalianya.

Pada tahap penyelidikan, pembentuk undang-undang belum

menganggap perlu hadirnya seorang penasihat hukum untuk

mendampingi tersangka. Dalam hal ini ada pendapat bahwa pada

tahap ini sebenarnya kehadiran seorang penasihat hukum sudah

diperlukan. Hal ini didasarkan pada kewenangan yang dimiliki

oleh penyelidik seperti tercantum dalam Pasal 5 KUHAP yang

dianggap sudah menyentuh hak asasi manusia.

Penyelidik mempunyai kewajiban sehingga mempunyai

kewenangan. Kewenangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang

adanya tindak pidana;

Page 36: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

30

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan

menanyakan serta memriksa tanpa pengenalan diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggungjawab.

Adapun yang dimaksud dengan "tindakan lain" menurut

Penjelasan Resmi KUHAP adalah tindakan penyelidik untuk

kepentingan penyelidikan dengan syarat:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan

dilakukannya tindakan jabatan;

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk

dalam lingkungan jabatannya;

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan

memaksa;

e. Menghormati hak asasi manusia.

Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) sub b memperluas kewenangan

pejabat polisi RI meliputi:

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.

Bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) sub b diatas sesungguhnya

merupakan proses lanjutan dan sebagai konsekuensi logis dari

dilaksanakannya kewenangan yang ada pada pejabat polisi RI,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) sub a.

Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka Romli

Atmasasmita, mengajukan pendapat bahwa kewenangan yang

dimiliki oleh penyelidik sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat

Page 37: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

31

(1) sub a dan b, terutama kewenangan penyelidik untuk menyuruh

berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri serta mengadakan tindakan lain

menurut hukum sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam

Penjelasan Resmi KUHAP, maka jelas kedua macam kewenangan

penyelidik tersebut sudah mulai menyentuh kemerdekaan pribadi

seseorang.

Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam KUHAP baik dalam

Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa maupun dalam Bab VII

tentang Bantuan Hukum, tidak tampak sama sekali hak seorang

tersangka untuk menolak atau membela kepentingannya, misalnya

menolak menjawab pertanyaan pejabat penyelidik sebelum

didampingi pembela atau penasihat hukum, atau hak yang dimiliki

tersangka dalam menghadapi kewenangan seorang penyelidik

seperti tersebut diatas. (Romli Atmasasmita, 1996: 34).

Penulis kurang sependapat dengan Romli Atmasasmita,

khususnya mengenai kemungkinan dapat hadirnya penasihat

hukum pada tahap penyelidikan ini, sebab meskipun penyelidik

telah dilengkapi dengan kewenangan yang dalam praktek bisa

merupakan suatu intervensi terhadap kemerdekaan pribadi

seseorang, akan tetapi langkah tersebut sebenarnya adalah dalam

rangka tindakan preventif. Lebih dari itu, menurut Pedoman

Pelaksanaan KUHAP dikatakan bahwa penyelidikan bukanlah

merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi

penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau

metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului

tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan,

penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,

pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan

berkas perkara kepada penuntut umum.

Page 38: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

32

Latar belakang, motivasi dan urgensi diintroduksi fungsi

penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan

terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan

yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan

dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi yang dikaitkan

dengan kenyataan bahwa tidak setiap peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana menampakan bentuknya secara jelas sebagai

tindak pidana. Oleh karena itu sebelum melangkah lebih lanjut

dengan melakukan tindakan penyidikan dengan konsekuensi

digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu

berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil

penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai

tindak pidana itu benar merupakan tindak pidana sehingga dapat

dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.

Lebih lanjut ingin dikemukakan disini bahwa pada tahap

penyelidikan ini, seorang yang dicurigai sebagai tersangka

belumlah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang bersifat

yuridis, apalagi dalam tahap ini belum dilakukan upaya paksa

seperti penangkapan dan atau penahanan.

Berbeda dengan yang diuraikan di atas adalah pada tahap

penyidikan yang biasanya telah didahului dengan tindakan upaya

paksa seperti penangkapan dan atau penahanan. Dalam tahap ini

jelas bahwa kemerdekaan pribadi tersangka sudah secara nyata

dibatasi dan ia telah berhadapan dengan aparat penegak hukum,

yang memiliki kewenangan dan kekuasaan sehingga secara yuridis

ada keseimbangan kedudukan antara pihak tersangka dengan

penyidik, disinilah urgensi perlunya penasihat hukum

mendampingi tersangka. Selanjutnya mengenai keterlibatan

penasihat hukum pada tahap penyidikan ini akan diuraikan di

bawah ini.

Page 39: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

33

Apabila diteliti ketentuan yang ada dalam KUHAP, maka

terdapat dua ketentuan yang menurut penulis layak untuk

dicermati bersama. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 114

dan 115 KUHAP.

Pasal 114 KUHAP

" Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak

pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik,

penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang

haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia

dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ".

Selanjutnya penjelasan Pasal 114 KUHAP menyatakan

sebagai berikut:

" Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak

dalam taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan

bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum

pada pemeriksaan di sidang pengadilan".

Terhadap ketentuan Pasal 114 KUHAP tersebut Andi

Hamzah dan Irdan Dahlan memberi komentar dengan menyatakan

bahwa ketentuan tersebut merupakan pengecualian dari Pasal 56,

karena pasal ini mengatur bahwa sebelum dimulainya pemeriksaan

oleh penyidik, penyidik diwajibkan untuk memberitahukan kepada

tersangka akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau

didampingi oleh penasihat hukum. Dikemukakan selanjutnya

bahwa dalam Pasal 56 kewajiban penyidik untuk menunjuk

penasihat hukum bagi tersangka yang diancam pidana mati atau

ancaman pidana lima betas tahun atau lebih atau bagi mereka yang

tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.

(Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 98).

Page 40: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

34

Kewajiban memberitahukan kepada tersangka tentang haknya

untuk mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan Pasal 114

KUHAP dalam pelaksanaannya harus dibarengi dengan

pemenuhan secara riil atas hak-hak tersangka yang lain selama

dalam proses penyidikan. Menurut penulis hak tersangka yang

relevan untuk dilaksanakan secara simultan adalah hak tersangka

untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang

serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk

memperoleh bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya

dan hak berhubungan dengan keluarga sesuai dengan maksud

diatas. Dalam KUHAP hak ini dijamin oleh Pasal 59 dan Pasa160

KUHAP, Kedua pasal tersebut untuk jelasnya akan dikutip

dibawah ini :

Pasal 59 KUHAP berbunyi :

" Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan

berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya

oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada

keluarganya atau orang lain yang serumah dengan

tersangka/terdakwa atau pun orang lain yang

bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa

untuk mendapatkan bantuan hukum atas jaminan bagi

penangguhannya."

Penjelasan Pasal 59 KUHAP menyatakan cukup jelas.

Pasal 60 KUHAP berbunyi

" Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan

merima kunjungan dari pihak yang mempunyai

hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka

atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi

Page 41: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

35

penangguhan penahanan atau untuk usaha mendapatkan

bantuan hukum."

Penjelasan Pasal 60 KUHAP menyatakan cukup jelas.

Kedua ketentuan seperti telah dikutip diatas pada dasarnya

mengatur akses tersangka/terdakwa kepada keluarga dan orang-

orang lain yang tentu saja mengenal tersangka/terdakwa untuk

kepentingan memperoleh bantuan hukum atau untuk kepentingan

penangguhan pcnahanan jika ia menghendaki adanya

penangguhan penahanan. Kedua pasal tersebut dalam

pelaksanaannya tidak boleh terpisah dengan ketentuan Pasal 114

KUHAP. Bilamana pelaksanaan Pasal 114 KUHAP tersebut tidak

diikuti dengan penerapan Pasal 59 dan 60 KUHAP secara

konsisten, maka ketentuan Pasal 114 KUHAP tidak akan memiliki

makna seperti yang diharapkan.

Bagi tersangka, pemberitahuan oleh penyidik mengenai

haknya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak ada artinya jika

misalnya dalam praktek ia sendiri kesulitan untuk bisa akses

kepada keluarganya dan handai taulannya, karena justru dari

keluarga atau handai taulannya inilah diharapkan adanya informasi

mengenai bantuan hukum yang dianggap paling baik bagi

tersangka.

Akses penasihat hukum dalam tahap penyidikan ini juga

dijamin oleh Pasal 115 KUHAP yang menegaskan sebagai

berikut:

(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan

terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti

jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta

mendengar pemeriksaan.

Page 42: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

36

(2) Dalam hal kejahatan keamanan negara, penasihat

hukum dapat dengan cara melihat tetapi tidak dapat

mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.

Penjelasan Pasal 115 ayat (1) menyatakan bahwa penasihat

hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif. Sedangkan

penjelasan ayat (2) menyatakan cukup jelas. Jadi jelas sekali

menurut ketentuan dalam penjelasan pasal tersebut, maka

komponen penasihat hukum ditempatkan dalam sikap pasif.

Perumusan pasal tersebut, ternyata juga menimbulkan suatu

kritik keras dan sebagian ahli hukum di Indonesia ketika itu. RO

Tambunan menilai ketentuan pasal ini sebagai salah satu cacat,

karena belum memberikan dan meletakan landasan persamaan

derajat dan kedudukan antara penyidik dan penasihat hukum.

Adnan Buyung Nasution bahkan menilai bahwa pasal tersebut

belum bisa dikatakan sebagai hak penasihat hukum untuk

mendampingi tersangka dalam pemeriksaan penyidikan.

Ketentuan Pasal 115 KUHAP masih bersifat fakultatif. Sekurang-

kurangnya Pasal 115 belum mernberi "hak yang utuh" bagi

penasihat hukum. Pasal 115 telah menganulir pasal-pasal

sebelumnya, demikian ditegaskan oleh Adnan Buyung Nasution.

(Yahya Harahap, 1985: 132).

Kiranya perlu diperhatikan berbagai kritik dan analisis yang

dilontarkan oleh para ahli hukum tersebut, yang notabene banyak

berkecimpung dalam praktek. Secara teoritis, ketentuan Paul 115

KUHAP tersebut patut dicermati bersama. KUHAP haruslah

dilihat sebagai bangunan besar yang harus menjadi patokan atau

pedoman baik bagi petugas penegak hukum maupun bagi pencari

keadilan khususnya adalah tersangka/terdakwa. Petugas penegak

hukum harus sarat dengan semangat/ spirit keadilan.

Page 43: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

37

Disisi lain juga harus diingat bahwa para pencari keadilan

(tersangka/terdakwa) memiliki hak untuk dipertahankan dengan

sebaik-baiknya sebagai warga negara yang mempunyai harkat dan

martabat. KUHAP telah dilengkapi dengan berbagai landasan baik

filosofis maupun konstitusional yang mengakui dan

mengagungkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk

Tuhan yang harus diperlakukan berdasarkan perikemanusiaan

yang adil dan beradab. Lebih dari itu KUHAP juga memuat

landasan asas atau prinsip hukum seperti rule of law atau legalitas

yang mempersamakan manusia dihadapan hukum atau equality

before the law dan asas praduga tak bersalah atau presumption of

innocent yang telah mendapat pengakuan secara universal.

Pasal 115 KUHAP seperti dikutip diatas pada dasarnya

mengatur mengenai hubungan segitiga antara tersangka yang

sedang diperiksa oleh polisi dan penasihat hukum. Pasal 115

KUHAP ini memuat dua ketentuan yaitu pertama, suatu asas yang

menyatakan bahwa dalam pemeriksaan tersangka oleh polisi,

dihadiri oleh penasihat hukum. Sedangkan yang kedua adalah

yang tercantum dalam ayat (2) yang mengemukakan tentang

adanya perkecualian dan penyimpangan dari asas tersebut dalam

hal kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal ini memuat asas

within sight and within hearing yang berlaku bagi penasihat

hukum yang dapat menghadiri dan dapat mengikuti jalannya

pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan.

Menurut Oemar Senoadji, asas within sight and within

hearing dalam Pasal 115 KUHAP ini berkaitan dengan the right

relation with the investigation yang dapat dikatakan belum

merupakan ketentuan internasional. (Oemar Senoadji, 1991: 41).

Jadi kesimpulannya adalah bahwa ketentuan seperti Pasal 115

tersebut merupakan ketentuan yang khas Indonesia. Adanya

Page 44: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

38

perkecualian bahwa terhadap delik keamanan negara pihak

penasehat hukum hanya boleh melihat tetapi tidak boleh

mendengar pemeriksaan, jadi within sight, not within hearing

menurut kesimpulan Andi Hamzah, KUHAP menganut sitem

accusatoir yang terbatas (Gematigd Accusatoir). (Andi Hamzah,

1996 : 80).

Kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan di tingkat

penyidikan bersifat pasif dan dimaksudkan agar penasihat hukum

tersebut mencatat segala sesuatu yang ia lihat dan ia dengar sendiri

sesuai dengan prinsip within sight and within hearing, yang

kesemuanya itu dimuarakan demi kepentingan pembelaan setelah

perkara yang bersangkutan dilimpahkan ke persidangan

pengadilan.

Hadirnya penasihat hukum juga bisa dipahami sebagai

realisasi dari pemikiran perlunya keseimbangan hak dan

kewajiban di satu pihak yaitu pihak tersangka dan bantuan hukum

dan hak-hak serta kewajiban dari penyidik dalam melakukan

upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain dan

penuntut umum yang kemudian mengajukan ke persidangan

pengadilan sebagai pihak ketiga yang obyektif dan menghargai

posisi yang obyektif pula.

Di sinilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai asas

equal arms yang didasarkan pada pemikiran yang terutama

ditujukan kepada dan terhadap tersangka/terdakwa dengan hak

untuk memperoleh bantuan hukum dan yang hendak membagikan

suatu persamaan setidak-tidaknya persamaan derajat antara

tersangka/terdakwa dan pembelanya disatu pihak dan khususnya

penyidik dan penuntut umum dipihak lain. Sebagai konsekuensi

logis dari pemikiran diatas, maka penasihat hukum harus

Page 45: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

39

dilengkapi dengan seperangkat hak-hak, agar ia memiliki akses

yang cukup kepada tersangka.

Di samping hak untuk mengikuti jalannya pemeriksaan pada

tingkat penyidikan dengan segala kelemahannya seperti telah

dikemukakan diatas, hak penasihat hukum pada tingkat

penyidikan ini juga meliputi hak untuk menghubungi tersangka

sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan

(Pasal 69 KUHAP). Hak untuk menghubungi dan berbicara

dengan tersangka pada semua tingkat pemeriksaan dan setiap

waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (Pasal 70

KUHAP), hak untuk memperoleh turunan berita acara

pemeriksaan untuk kepentingan pembelaanya. Turunan ini dapat

berupa foto copy dan penasihat hukum wajib menyimpan berita

acara tersebut untuk diri sendiri.

Adapun berita acara pemeriksaan yang dapat diperoleh

turunannya itu adalah, pada tingkat penyidikan hanya pemeriksaan

tersangka. Pada tingkat penuntutan semua berkas perkara

termasuk surat dakwaan dan pada tingkat pemeriksaan pengadilan,

seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim (Pasal 72 KUHAP

beserta penjelasannya). Selanjutnya hak penasihat hukum yang

lain adalah hak untuk mengirim dan menerima surat dari tersangka

setiap kali dikehendaki olehnya (Pasal 73 KUHAP) serta hak

untuk meminta pemeriksaan praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP).

Sekedar untuk mengetahui apakah seperangkat hak penasihat

hukum tersebut telah selaras dengan kecenderungan internasional

selama ini, maka ada baiknya juga untuk dilihat beberapa

substansi yang telah diatur dalam instrumen internasional yang

terkait disini yaitu Basic Principles on the role of lawyers yang

telah diadopsi oleh Konggres Kejahatan kedelapan di Havana

tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990.

Page 46: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

40

Dalam instrumen internasional tersebut antara lain

dikemukakan bahwa dalam waktu 48 jam, seseorang yang ditahan

atau dikucilkan harus sudah memiliki akses kepada pengacara.

Dalam KUHAP pada Pasal 69 telah ditentukan bahwa seorang

penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat

ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan. KUHAP

mengatur jangka waktu penangkapan ini adalah selama 24 jam. Ini

berarti bahwa lebih dari 24 jam sudah termasuk dalam kategori

penahanan. Jadi menurut KUHAP akses penasihat hukum kepada

tersangka sudah dijamin dalam waktu 24 jam. Dengan demikian

ditinjau dari segi waktu kapan seseorang sudah bisa akses kepada

penasihat hukum, kiranya KUHAP tidak bertentangan dengan

instrumen internasional tersebut.

Instrumen internasional ini juga menentukan bahwa orang-

orang yang ditahan, dikucilkan dan dipenjarakan dijamin memiliki

kesempatan waktu dan fasilitas yang cukup untuk dikunjungi,

berkomunikasi dan berkonsultasi ke pengacara tanpa hambatan,

penyelaan atau sensor rahasia. Konsultasi tersebut bisa diawasi

oleh petugas penegak hukum, tetapi petugas tidak turut

mendengarkan konsultasi tersebut. Mengenai hal tersebut dalam

KUHAP tampaknya juga sudah memberi hak kepada penasihat

hukum untuk menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada

semua tingkat pemeriksaan dan setiap waktu demi kepentingan

pembelaan perkaranya.

Pengawasan terhadap penasihat hukum dalam berhubungan

dengan tersangka diatur datam Pasal 71 KUHAP yang

menetapkan bahwa penasihat hukum dalam berhubungan dengan

right of communication (tersangka) diawasi oleh penyidik,

penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa

mendengar isi pembicaraan. Jadi di sini bentuk komunikasi

Page 47: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

41

bersifat Within sight, not within hearing, dapat dilihat tanpa dapat

didengar. Hal ini memang penting setidaknya untuk menghindari

alat-alat bukti dihilangkan atau orang tersebut melarikan diri.

Sedangkan pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka

yang menjadi kliennya tersebut pada dasarnya bersifat rahasia dan

kofindensial.

Sayang sekali Pasal 71 KUHAP ini juga memuat suatu

perkecualian sebagaimana tercantum dalam ayat (2) yang

menentukan bahwa dalam hal kejahatan terhadap keamanan

negara, polisi, jaksa dan petugas Pemasyarakatan tersebut dapat

mendengar isi pembicaraan, jadi dalam bentuk Within sight within

hearing. Menjadi pertanyaan apakah ketentuan tersebut tidak

berarti mengurangi kebebasan hubungan antara penasihat hukum

dengan tersangka.

Lebih jauh lagi apakah hal itu tidak bertentangan dengan

rahasia jabatan seseorang penasihat hukum dimana ia harus

menyimpan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya?.

Meskipun hal ini tidak secara jelas diatur dalam suatu perundang-

undangan, tetapi Ilmu Hukum dan yurisprudensi telah mengakui

advokat (penasihat hukum, pen.) memiliki versehoningsrecht dan

mengkualifisir advokat sebagai pejabat yang wajib menyimpan

rahasia yang dipercayakannya. (Oemar Senoadji, 1992: 2).

Hal lain yang juga dicantumkan dalam instrumen

internasional tersebut adalah bahwa pihak berwenang menjamin

pengacara-pengacara memiliki akses yang cukup kepada

informasi, file atau dokumen yang disimpannya agar dapat bekerja

dengan baik. Dalam konteks penegakan hukum pidana, yang

dimaksud dengan pejabat berwenang ini tentu saja Jaksa, hakim,

maupun petugas Lembaga Pemasyarakatan. Pada tahap penyidikan

KUHAP telah memberi hak kepada penasihat mendapatkan

Page 48: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

42

turunan berita acara pemeriksaan tersangka, pada tahap

penuntutan semua berkas perkara termasuk surat dakwaan.

Sedangkan pada tahap ajudikasi (pemeriksaan di sidang

pengadilan), penasihat hukum memiliki hak untuk mendapatkan

turunan dari seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim

(Pasal 72 KUHAP beserta penjelasannya).

Dengan demikian sebelum suatu perkara disidangkan di

pengadilan; KUHAP telah menjamin bahwa penasihat hukum

tersehut sudah berhak mendapatkan semua berkas perkara

termasuk surat dakwaan. Ketentuan ini sangat menunjang tugas

penasihat hukum yang harus melakukan persiapan pembelaan di

sidang pengadilan.

Demikian seperangkat hak-hak yang dimiliki oleh penasihat

hukum yang diatur dalam KUHAP khususnya pada tahap

penyidikan. Namun harus segera ditambahkan di sini bahwa

pengaturan dalam suatu undang-undang bukan akhir dari

segalanya. Ia masih membutuhkan evaluasi dan masukan-masukan

dari dunia praktek demi kesempurnaan ketentuan yang

bersangkutan. Dalam kaitannya dengan hal itulah, menarik untuk

dikemukakan pendapat Bambang Widjojanto yang

mengemukakan bahwa posisi penasihat hukum yang pasif dalam

tahap penyidikan dan pemeriksaan terhadap tersangka menjadi

tidak optimal.

Dikemukakan bahwa dalam banyak kasus, penasihat hukum

tidak bisa melakukan tindakan apapun, kendati ia mengetahui

bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap kliennya

bertentangan dengan ketentuan prosedural. Sebagai contoh

dikemukakan oleh beliau bahwa pertanyaan dari penyidik yang

bersifat menjebak, sugestif dan tidak memberikan keleluasaan

pada orang yang disidik untuk memberikan jawaban. Berdasarkan

Page 49: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

43

hal di atas, maka diusulkan agar penasihat hukum diberi hak untuk

bisa memberikan suatu pendapat atau nasehat secara langsung

kepada tersangka tentang adanya pelanggaran-pelanggaran

terhadap prosedural penyidikan yang dilakukan oleh aparat

penyidik. (Bambang Widjojanto, 1997: 6)

Penulis setuju dengan pendapat diatas, yaitu agar dalam

KUHAP khususnya ketentuan mengenai hak bantuan hukum

dalam tingkat penyidikan ini sebaiknya dilengkapi dengan hak

penasihat hukum untuk bisa memberikan nasehat-nasehat yuridis

kepada tersangka, sebab seorang tersangka yang awam bukan

mustahil mengalami kesulitan yang bersifat yuridis. Dengan

demikian posisi penasihat hukum disini adalah sebagai yuridis

adviseur atau legal adviseur yang berarti sebagai pemberi nasehat

hukum. (Martiman Prodjohamidjojo, 1982 : 16)

B. Tahap Penuntutan

Penuntutan merupakan langkah penting dalam proses peradilan

pidana karena penuntutan itu menghubungkan penyidikan dengan

pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena itu kerja sama dan

koordinasi yang harmonis antara penuntut umum dan penyidik

harus dijalin dengan sebaik-baiknya. Wewenang untuk

melakukan penuntutan ini ada pada kejaksaan Republik

Indonesia. KUHAP membedakan dengan jelas istilah "jaksa" dan

"penuntut umum". Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP ditegaskan

bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Page 50: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

44

Batasan yang diberikan oleh KUHAP tersebut menegaskan

bahwa pengertian "Jaksa" dihubungkan dengan aspek jabatan,

sedangkan pengertian "penuntut umum" berhubungan dengan

aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam

persidangan pengadilan. Sesudah berlakunya KUHAP, jaksa dan

penuntut umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang

menyidik perkara, dari permulaan atau lanjutan, kecuali untuk

tindak pidana khusus. Ini berarti untuk tindak pidana umum jaksa

atau penuntut umum di Indonesia tidak pernah melakukan

pemeriksaan terhadap tersangka.

Menurut sistem yang dianut KUHAP, wewenang untuk

melakukan penyidikan ada di tangan pejabat polisi negara

Republik Indonesia, sebagai "instansi penyidik tunggal" (S.

Tanusubroto, 1983: 15). POLRI melakukan koordinasi dan

pengawasan dalam penyidikan (Pasal 7 ayat (2) KUHAP) dan

secara administratif organisatoris berada dalam suatu kesatuan

dan tidak terpecahpecah di bawah pimpinan KAPOLRI. Dengan

demikian kelancaran, ketertiban dalam penyidikan dan

penyelidikan kejahatan sampai pembuatan berita acara dengan

semua alat-alat pembuktian ada di tangan kepolisian, artinya

semuanya harus dikerjakan oleh dan menjadi tanggung jawab

sepenuhnya dari kepolisian. Bilamana proses pemeriksaan di

tingkat penyidikan berjalan lancar, maka segala pujian dan

kehormatan adalah untuk kepolisian, sebaliknya segala celaan

juga untuk kepolisian jika ternyata ada kekurangan-kekurangan

dan keluhan-keluhan mengenai tindakan penyidikan tersebut.

Ketika hukum acara pidana di Indonesia masih mendasarkan

diri pada HIR, keadaannya tidak seperti yang diuraikan diatas.

Menurut sistem HIR, maka pejabat-pejabat kepolisian yang

melakukan penyidikan bertindak dalam kedudukan sebagai

Page 51: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

45

pembantu jaksa (Hulprmagistraat) (Pasal 53 HIR), sehingga jika

polisi dan jaksa berbarengan mengusut suatu perkara, maka polisi

menghentikan kegiatannya dan menyerahkan kepada jaksa. Hal

ini diatur dalam Pasal 54 HIR. Jadi menurut sistem HIR polisi

mempunyai kekuasaan penyidikan yang bersifat derivatif

semacam pendelegasian kekuasaan dari jaksa penuntut umum. (S.

Tanusubroto, 1983 : 13)

Menurut sistem HIR, jaksa mempunyai kedudukan yang boleh

dikatakan centralfigur dan mencakup kegiatan yang berupa

penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan

penuntutan. Dengan demikian menurut sistem HIR, jaksa bisa

campur tangan dalam segala tindakan penyelesaian perkara sejak

awal perkara itu diungkap. Hal itu pada dasarnya dilakukan demi

kesempurnaan pemeriksaan perkara secara keseluruhan.Pada saat

sekarang, dengan berlakunya KUHAP, maka wewenang penuntut

umum diatur secara eksplisit dalam Pasal 14 KUHAP yaitu:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan

dari penyidik atau penyidik pembantu.

b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan

pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan

Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi

petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dari

penyidik.

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau

mengubah status penahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik.

d. Membuat surat dakwaan.

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.

Page 52: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

46

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa

tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang

disertai surat pemanggilan, baik kepada terdakwa

maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang

telah ditentukan.

g. Melakukan penuntutan.

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut

ketentuan undang-undang ini.

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Berdasarkan wewenang penuntut umum yang diatur dalam

Pasal 14 KUHAP seperti disebutkan diatas, Andi Hamzah

menyimpulkan bahwa KUHAP menganut sistem tertutup, artinya

tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan

penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara

berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknis

yuridisnya. (Andi Hamzah, 1996: 86-87)

Pendapat diatas tidak disetujui oleh Lilik Mulyadi dengan

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

" Menurut penulis sebenarnya Indonesia tidak menganut secara

murni sistem tertutup. Dalam hal-hal tertentu dapat saja

penyidikan dilakukan oleh pihak kejaksaan. Dalam praktek

peradilan di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat

(2) KUHAP beserta penjelasannya serta Pasal 32 huruf b.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 (LNRI 1991-1959;

TLNRI 3451) tentang Kejaksaan Republk Indonesia maka

terhadap perkara-perakara khususnya tindak pidana ekonomi

(Undang-Undang Nomor 7 drt. Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana

Page 53: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

47

Ekonomi) dan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971) masih dimungkinkan penyidikan

dilakukan oleh kejaksaan". (Lilik Mulyadi, 1996: 25)

Dalam hubungan ini penulis berpendapat bahwa pada

prinsipnya wewenang penyidikan memang ada ditangan pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia, sedangkan kejaksaan Republik

Indonesia yang meskipun masih dimungkinkan untuk melakukan

tindakan penyidikan untuk tindak pidana khusus, pada hakikatnya

hal tersebut adalah bersilat perkecualian. Konstruksi pemikiran ini

didasarkan pada suatu pemahaman bahwa mengenai pembedaan

fungsional antara kejaksaan dan kepolisian telah diatur secara

tegas dalam KUHAP sebagai induk hukum acara pidana di

Indonesia.

Sistem pengaturan demikian adalah penyempuraan dari aturan

sebelumnya yang ada dalam HIR, yang memungkinkan adanya

tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan dan

telah menempatkan kedudukan polisi sebagai subordinat jaksa.

Lebih dari itu didalam KUHAP juga masih dimungkinkan bagi

jaksa untuk terlibat didalam aktivitas penyidikan yang telah

dilakukan oleh kepolisian, meskipun bukan keterlibatan secara

fisik, tetapi secara yuridis.

Mengenai keterkaitan kejaksaan pada aktivitas penyidikan

yang diatur oleh KUHAP dapat dikemukakan beberapa ketentuan

sebagai berikut:

Pasal 109 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

" Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan

suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik

memberitahukan itu kepada penuntut umum" (1)

" Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak

terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata

Page 54: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

48

bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan

dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut umum" (2).

" Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan

oleh penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6

ayat (1) huruf b. Pemberitahuan mengenai hal itu segera

disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum" (3)

Dalam Pasal 109 ayat (1) seperti dikutip diatas hanya disebut

dengan kata-kata "penyidik memberitahukan ............" dan tidak

ada kata "wajib" memberitahukan kepada penuntut umum.

Rumusan demikian dianggap oleh Andi Hamzah sebagai suatu

kekurangan, karena seandainya hal itu tidak dilakukan oleh

penyidik hal ini tidak ada sanksinya yang bisa diterapkan kepada

penyidik. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Andi

Hamzah tersebut, namun sekiranya ada pengertian bersama antara

penyidik dan penuntut umum sesuai yang dikehendaki oleh

KUHAP, maka kekurangan itu sebenarnya bisa diatasi.

Keterkaitan kejaksaan pada kegiatan penyidikan juga bisa

dilihat dari ketentuan Pasal 110 KUHAP yang menegaskan

sebagai berikut:

" Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,

penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu

kepada penuntut umum" (1)

" Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil

penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap,

penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu

kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi" (2).

" Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan

dilengkapi, penyidik segera melakukan penyidikan

tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum" (3)

Page 55: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

49

" Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu

empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil

penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut

berakhir telah ada pernberitahuan tentang hal itu dari

penuntut umum" (4)

Ketentuan Pasal 110 KUHAP diatas tidak dapat dilepaskan

dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) KUHAP dan Pasal 138 ayat (2)

KUHAP. Di bawah ini dikutip kedua ketentuan tersebut. Pasal 8

ayat (3) KUHA P:

Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud ayat (2)

dilakukan:

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan

berkas perkara.

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,

penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka

dan barang bukti kepada penuntut umum.

Pasal 138 ayat (2) KUHAP:

" Dalam hal penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut

umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik

disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk

dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal

penerimaan berkas, penyidik harus sudah

menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada

penuntut umum."

Persoalan yang muncul dari berbagai ketentuan yang

disebutkan diatas adalah tidak ditentukannya batas berapa kali

penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara

timbal batik dari penyidik atau penuntut umum atau sebaliknya.

Hal ini menunjukkan berkas perkara bisa mondar-mandir dari

penyidik kepada penuntut umum dan sebaliknya, misalnya saja

Page 56: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

50

kalau penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan

tambahan yang dilakukan penyidik masih dinyatakan belum

lengkap.

Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan yang bisa diambil

adalah bahwa sesudah berlakunya KUHAP, pemeriksaan pada

tahap penuntutan ini bukan pemeriksaan secara fisik terhadap

tersangka, melainkan pemeriksaan terhadap berkas perkara yang

secara keseluruhan disusun oleh penyidik polisi negera RI. Hal ini

disebabkan wewenang jaksa atau penuntut umum untuk

melakukan penyidikan tambahan sudah tidak dikenal lagi didalam

KUHAP. Penyidikan tambahan menurut sistem KUHAP tetap ada

ditangan penyidik Polri meskipun dalam pelaksanaannya atas

perintah dari penuntut umum.

Jika disimak dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka didalamnya disebut-

sebut adanya kewenangan dari jaksa untuk melakukan penyidikan

tambahan, namum hal itu ternyata juga tidak boleh dilakukan

terhadap tersangka. Ketentuan selengkapnya mengenai hal ini

akan dikutip dibawah ini.

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI menyatakan di bidang pidana, kejaksaan

mernpunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan

putusan lepas bersyarat;

Page 57: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

51

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Menurut penjalasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dari undang-

undang dimaksud dikatakan bahwa. :

" Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan

dilakukan dengan mernperhatikan hal-hal sebagai berikut:"

1) Tidak dilakukan terhadap tersangka

2) Hanya terhadap perkara-perakara yang sulit

pembuktiaannya, dan atau dapat meresahkan

masyarakat, dan atau yang dapat membahayakan

keselamatan negara.

3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat

belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110

dan Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

Permasalahan yang muncul dalam hal ini adalah bagaimana

KUHAP mengatur posisi bantuan hukum pada tahap penuntutan

ini, dan selanjutnya berhubung kejaksaan tidak lagi melakukan

pemeriksaan secara fisik kepada tersangka, apakah relevansinva

bantuan hukum pada tahap penuntutan ini. Jika diteliti didalam

ketentuan KUHAP, ada beberapa pasal yang mencoba

menyinggung keterkaitan bantuan hukum/penasihat hukum dalam

tahap penuntutan ini.

Page 58: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

52

Mengenai hal ini akan dikutip dibawah ini :

Pasal 140 ayat (2) KUHAP:

a. Dalam hal penuntut utnum memutuskan untuk

menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup

bukti atau peristiwa tersebut tenwata bukan

merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi

hukum, penuntut urnum menuangkan hal tersebut

dalam surat ketetapan.

b. Isi surat ketetapan itu wajib diberitahukan kepada

tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera

dibebaskan.

c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada

tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat

rumah tahanan negara, penyidik, dan hakim.

Pasal 143 ayat (4) KUHAP:

" Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat

dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya

atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang

bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan

perkara tersebut ke pengadilan negeri".

Pasal 144 ayat (3) KUHAP:

" Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia

menyampaikan turunannya kepada tersangka atau

penasihat hukum dan penyidik"

Adapun yang dimaksud dengan surat "Pelimpahan perkara"

menurut penjelasan Pasal 143 KUHAP adalah surat pelimpahan

perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas

perkara.

Page 59: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

53

Dari beberapa pasal yang dikutip sebelumnya, bisa

disimpulkan bahwa pada tahap penuntutan ini, penasihat hukum

mempunyai hak untuk :

1. Memperoleh surat ketetapan penghentian penuntutan

atas nama tersangka.

2. Memperoleh surat pelimpahan perkara yang berisi

surat pelimpahan perkara itu sendiri, surat dakwaan,

dan berkas perkara.

3. Turunan perubahan surat dakwaan.

Namun pada hemat penulis, karena dalam tahap penuntutan ini

tersangka juga masih bisa dikenai penahanan selama menunggu

perkaranya dilimpahkan ke pengadilan, maka hak penasihat

hukum untuk berhubungan dengan tersangka harus tetap berjalan.

Mengenai hak penasihat hukum untuk mendapat turunan surat

ketetapan penghentian penuntutan atas nama tersangka, hal itu

akan merupakan kepastian bagi tersangka, sedangkan surat

pelimpahan perkara berserta kelengkapannya akan sangat

bermanfaat untuk kepentingan pembelaannya setelah perkara yang

bersangkutan diperiksa di persidangan pengadilan, demikian

halnya mengenai turunan perubahan surat dakwaan.

C. Tahap Pemeriksaan Pengadilan

Pada tahap ajudikasi atau pemeriksaan di sidang pengadilan,

peran penasihat hukum bersifat aktif. Dalam hal ini penasihat

hukum dapat menggunakan hak-haknya seperti hak untuk

mengajukan pembuktian seperti, saksi a de charge, surat-surat dan

sebagainya. Hak untuk mengajukan pembelaan atau yang dikenal

dengan pledoi. Dibawah ini dikutip beberapa pasal yang

berhubungan dengan penasihat hukum dalam tahap persidangan

pengadilan ini.

Page 60: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

54

Pasal 148 KUHAP berbunyi:

(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat,

bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang

pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk

wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan

surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan

lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan

surat penetapan yang memuat alasannya.

(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali

kepada penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri

yang bersangkutan menyampaikan kepada kejaksaan

negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum

dalam surat penetapan.

(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) disampaikan kepada terdakwa atau

penasihat hukum dan penyidik.

Pasal 156 KUHAP berbunyi:

“ Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan

keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili

perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat

dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi

kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan

pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan

tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”

Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP berbunyi:

" Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun

yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam

surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh

terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum

selama berlangsungnya sidang atau sebelum

Page 61: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

55

dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib

mendengar keterangan saksi tersebut."

Pasal 165 ayat (2) KUHAP berbunyi:

" Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan

perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan

untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi."

Pasal 172 ayat (1) KUHAP berbunyi:

" Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau

penasihat hukum atau penuntut umum dapat

mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang,

agar diantara saksi tersebut yang tidak mereka

kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang,

supaya saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua

sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang

demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya

saksi yang dikeluarkan tersebut."

Pasal 182 ayat (1) KUHAP berbunyi:

a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut

umum mengajukan tuntutan pidana.

b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum

mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh

penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa

atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.

c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atau pembelaan

dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera

diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya

kepada pihak yang berkepentingan.

Penjelasan pasal 182 ayat (1) huruf c, menyatakan bahwa apabila

terdakwa tidak dapat menulis, panitera mencatat pembelaannya.

Itulah beberapa ketentuan yang berhubungan dengan hak

Page 62: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

56

penasihat hukum pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.

Hak penasihat hukum pada tahap ajudikasi ini bisa dikatakan

setara dengan hak dari jaksa penuntut umum.

Atas dasar pemikiran ini, maka ada pendapat yang menyatakan

bahwa dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, KUHAP

menganut sistem accusatoir.Namun menurut Sudarto, dalam

pemeriksaan sidang pengadilan ini juga masih tetap inquisitoir

mengingat pemeriksaan di sidang pengadilan hakimnya masih

aktif. (Djoko Prakoso, 1985: 107)

KUHAP yang sudah merupakan hukum nasional memang masih

menempatkan posisi hakim dalam keadaan aktif. Hal ini berbeda

dengan yang berlaku di negara-negara dengan sistem common law.

Di negara yang menganut common law system, sistem peradilan

pidana mendasarkan pada adversary model, sehingga apa yang

disebut kebenaran ditentukan oleh kontes antara jaksa dan

penasihat hukum. Dalam sistem peradilan ini ditentukan secara

jelas alokasi tanggung jawab masing-masing pihak yang

bersangkutan dalam persidangan.

Pengungkapan fakta-fakta diserahkan kepada jaksa dan

penasihat hukum, penentuan kesalahan diserahkan kepada orang-

orang awam yang lebih dikenal dengan juri, sedangkan tugas

hakim adalah menetapkan tentang hukum dan hukuman. Jadi

dalam sistem peradilan yang dianut oleh negara-negara dengan

common law system ini, boleh dikatakan lebih memberi tempat

kepada penasihat hukum untuk berperan aktif, dan lebih dari itu

mampu memberi warna pada upaya penyelesaian perkara dengan

sebaik-baiknya.

Keadaan seperti diuraikan diatas, agak berbeda dengan sistem

peradilan yang dianut oleh negara-negara yang mewarisi sistem

hukum Eropa Kontinental seperti negara Indonesia. Secara jujur

Page 63: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

57

harus dikatan bahwa sistem peradilan yang berasal dari warisan

kolonial, telah menempatkan Hakim dalam posisi aktif. Sikap

hakim yang aktif dalam proses peradilan ini disisi lain telah

membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri, yang diantaranya

adalah meminggirkan fungsi-fungsi lain dalam persidangan.

Fungsi-fungsi lain dalam persidangan yaitu peran jaksa dan juga

penasihat hukum menjadi lebih bersifat komplementer belaka.

Proses pendengaran dan pemeriksaan bukti-bukti central.

Penentuannya terletak pada hakim. Konkritnya kalau jaksa dan

atau penasihat hukum hendak bertanya (cross direct examination)

harus melalui perantaraan hakim. Demikian juga seleksi saksi-

saksi yang diajukan dapat dilakukan hakim, termasuk di

dalamnnya pengajuan seorang ahli sepenuhnya sangat tergantung

dan ditentukan oleh hakim. Dengan demikian peran hakim dengan

sistem yang ada sekarang dapat dikatakan Monopolistik atas

seluruh aspek-aspek dan pemeriksaan suatu perkara di

persidangan. (Luhut M.P. Pangaribuan, 1986: 18)

Keadaan seperti diuraikan di atas membawa konsekuensi lebih

jauh bahwa pengajuan dan pengujian fakta-fakta, penentuan

kesalahan, dan penentuan hakim dan pemidanaan menjadi

monopoli dari hakim. Artinya bagi para pencari keadilan hanya

bisa melakukan koreksi melalui upaya hukum saja. Dalam kondisi

demikian ini peranan penasihat hukum dalam mekanisme

penyelesaian perkara pidana sangat tergantung pada sikap obyektif

hakim di persidangan.

Page 64: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

58

BAB IV

BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA

PERDATA

Dalam perkara perdata, advokat berkedudukan sebagai kuasa

atau wakil kliennya. Landasan hukumnya adalah Pasal 123 HIR

(Het Herziene Inlandsch Reglement).

Pasal 123 HIR ayat (1)

" Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau

diwakili oleh kuasa yang dikuasakannya untuk melakukan itu

dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi

kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa

itu dalam surat permintaan yang ditandatanganinya dan

dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika

gugatan dilakukan dengan lisan menurut Pasal 120, maka

dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan

dalam catatan yang dibuat dengan surat gugat ini".

Peran advokat dalam perkara perdata di pengadilan dalam hal

ini adalah membantu pihak-pihak yang berperkara dalam rangka

mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum perdata bagi

seorang advokat adalah perang interpetasi dan perang ilmiah,

karena itu sebagai advokat mencoba mempertahankan unsur-

unsurnya didalam hukum acara (Wawan Tunggul Alam, 209:

129).

Dengan demikian advokat harus memiliki kemampuan

berperkara yaitu kemampuan untuk menyusun surat-surat; seperti

surat gugatan, jawaban, replik, duplik maupun kemampuan

Page 65: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

59

memberikan jawaban secara lisan, kemampuan dalam memberikan

pembuktian, mengajukan konklusi akhir dan lain sebagainya yang

ada hubungannya dengan penyelesaian perkara di pengadilan.

Namun fungsi advokat sebenarnya tidak hanya terbatas pada

penyelesaian perkara di pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan.

Misi seorang advokat adalah memberikan bantuan hukum

berdasarkan undang-undang kepada kliennya. Pada masa modern

sekarang ini advokat juga bisa berperan dalam membuat

"memorandum hukum" atau legal audit (pemeriksaan hukum) dan

legal opinion (pendapat hukum), dalam menangani kasus yang

dihadapi klien. Walaupun legal audit dan legal opinion ini tidak

semata-mata menyangkut bidang hukum perusahaan tetapi pada

umumnya kedua tindakan tersebut diberlakukan dalam bidang

hukum yang berkait dengan perusahaan (corporate law). Sebagai

contoh adalah adanya kewajiban membuat legal audit dan legal

opinion bagi perusahaan yang akan go publik di pasar modal.

Legal audit biasanya dibuat setelah membaca seluruh dokumen

yang ada, dan untuk perusahaan biasanya terdiri dari kontrak-

kontrak, korespondensi, Anggaran Dasar Perusahaan beserta

perubahannya, dokumen-dokumen perusahaan lainnya, seperti izin

usaha, dan izin-izin lainnya, pajak, bukti kepemilikan, dokumen

pembukuan dan dokumen lainnya sejauh ada relevansinya dan

penting dengan kasus yang bersangkutan. Sedangkan Legal

opinion (pendapat hukum) merupakan pandangan-pandangan

hukum atau aspek-aspek hukum apa saja yang berkaitan dengan

permasalahan yang dihadapi perusahaan atau klien (Wawan

Tunggul Alam, 2004: 131).

Page 66: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

60

A. Surat Kuasa Untuk Advokat

Proses perkara perdata diawali dengan terjadinya suatu

sengketa yang kemudian disusul dengan diajukan gugatan oleh

pihak penggugat di pengadilan negeri. Jadi dalam hal ini ada

perselisihan antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Namun

perkara perdata sendiri sebenarnya tidak hanya berupa gugatan,

tetapi ada pula yang disebut permohonan. Bedanya dalam

permohonan tidak ada sengketa, disitu hakim sekedar memberi

penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir (Nawawi, 1987

: 20). Sebagai contoh permohonan pengangkatan anak dan

sebagainya. Dalam proses gugatan perdata di pengadilan negeri,

setiap penggugat maupun tergugat boleh maju sendiri di muka

persidangan dan boleh juga memberi kuasa kepada advokat.

Jadi jika penggugat dan tergugat menghendaki, dapat diwakili

oleh orang lain (advokat). Kuasa ini dapat diberikan secara lisan di

muka persidangan jika yang diberi kuasa dan yang memberi kuasa

hadir di persidangan (Nawawi, 1987: 63). Namun mengenai

perwakilan atau kuasa ini dapat juga diberikan secara tertulis

dengan suatu surat kuasa khusus. Disebut khusus karena harus

mencantumkan siapa-siapa yang bersengketa (nama penggugat

dan tergugat) serta disebutkan pula pokok sengketanya (perkara

dan persoalan apa), serta sejauh mana kuasa itu diberikan.

(Nawawi, 1987 : 63)

Surat kuasa sendiri ditinjau dari isinya ada yang disebut surat

kuasa umum, disamping surat kuasa khusus. Kuasa umum adalah

surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut

hanya untuk hal-hal yang bersifat umum saja. (Yudha Pandu, 2004

: 83) Secara umum ciri-ciri surat kuasa adalah diatas surat kuasa

tertera tanggal surat kuasa ditandatangani nama dan identitas

penerima kuasa, hal-hal atau perbuatan hukum yang akan

Page 67: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

61

dikuasakan, ketentuan pelimpahan kuasa (substitusi) tanda tangan

pemberi kuasa dan penerima kuasa. Mengenai pelimpahan kuasa

(substitusi) ini pihak penerima kuasa diberikan peluang

memberikan kekuasaannya kepada orang lain untuk melaksanakan

kewenangan yang diberikan kepadanya, kecuali bila hal tersebut

dilarang secara tegas dalam pemberian kuasa.

Dalam hal terjadinya pelimpahan kuasa, tanggung jawab

pemegang kuasa adalah :

(1) Bila dalam surat kuasa, pemberian kuasa tidak memuat

ketentuan substitusi, atau secara tegas melarang adanya

substitusi itu maka penerima kuasa bertanggung jawab

sepenuhnya atas segala sesuatu yang dilakukan oleh orang

lain.

(2) Bila dalam surat kuasa memuat ketentuan pemberian hak

substitusi, sekaligus menyebut nama penerima substitusi,

maka penerima kuasa kemudian temyata menunjuk

penerima substitusi untuk menggantikannya maka ia bebas

dari segala tanggung jawab mengenai pelaksanaan kuasa

selanjutnya.

(3) Bila dalam surat kuasa memuat ketentuan pemberian hak

substitusi, tetapi tidak menyebut dengan tegas nama

penerima substitusinya, maka penerima kuasa hanya

bertanggung jawab bila pemberi kuasa dapat membuktikan

bahwa orang yang ia tunjuk sebagai penerima substitusi

tersebut ternyata tidak cakap dan tidak mampu (Yudha

Pandu, 2004 : 84)

Bila penggugat dan tergugat bertindak sendiri sebagai pihak di

sidang pengadilan maka dikatakan bahwa mereka ini merupakan

"Pihak materiil" karena mempunyai kepentingan langsung dalam

perkara yang bersangkutan, sekaligus menjadi "pihak formil"

Page 68: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

62

karena mereka sendirilah yang maju berperkara di sidang

pengadilan.

Mengenai berakhirnya pemberian kuasa maka Pasal 1813 KUH

Perdata menyatakan bahwa pemberian kuasa berakhir disebabkan

oleh :

1. Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.

2. Pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa.

3. Meninggal, pengampuannya atau pailitnya, baik pemberi

kuasa maupun penerima kuasa.

4. Kawinnya si wanita yang memberikan atau menerima

kuasa.

B. Perihal Surat Gugatan

Pada prinsipnya gugatan adalah suatu tuntutan hak yang

mengandung sengketa atau perselisihan dan diajukan di

pengadilan untuk mendapatkan putusan. Dalam proses gugatan ini

ada yang disebut pihak "penggugat" atau eiser/plaintiff dan jika

penggugat ini lebih dari seorang disebut sebagai "para penggugat"

serta pihak yang digugat karena dianggap melanggar hak orang

lain disebut dengan "tergugat" atau gedagde/dependant dan bila

lebih dari seorang disebut "para tergugat". Di samping itu praktek

peradilan juga mengenal adanya "turut tergugat" yaitu ditujukan

kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi

demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum

sebagai pihak yang tunduk dan taut pada putusan hakim perdata.

Disamping itu praktek juga mengenal adanya gugatan

insidental berupa interventie yaitu masuknya pihak ketiga dalam

perkara yang sedang berjalan (diperiksa pengadilan) dimana pihak

ketiga tersebut disebut intervenient. Intervensi ini dapat berupa

voeging van personen/partijen yaitu masuknya pihak ketiga

Page 69: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

63

karena memihak penggugat atau tergugat bisa juga pihak ketiga ini

tidak memihak siapa-siapa yang lazim dikenal dengan istilah

"tussenkomst". Dalam praktek selain intervensi dikenal juga

Vrijwaring atau Garantiel penanggungan yaitu ditariknya pihak

ketiga kedalam suatu sengketa ketika sedang berlangsung.

Interventie dan Vriejwaring ini diperkenalkan apabila pihak

ketiga sungguh-sungguh mempunyai kepentingan sehingga

kepentingannya terganggu jika ia tidak ikut dalam proses perkara

itu. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan mempergunakan

"putusan sela" atau tussen-vonnis (Lilik Mulyadi, 1999: 44).

C. Isi Surat Gugatan

Dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur elemen dan

syarat-syarat mengenai bentuk, cara dan substansi terhadap surat

gugatan. Namun demikian praktek mencatat setidaknya surat

gugatan pada pokoknya memuat:

1. Identitas para pihak berperkara

Dalam hal ini identitas penggugat/para penggugat atau

tergugat/para tergugat atau turut tergugat harus lengkap

seperti, nama lengkap, pekerjaan dan alamat yang

berkualitas sebagai perseorangan/pribadi. Apabila

penggugat/para penggugat atau tergugat/para tergugat atau

turut tergugat mempunyai kualitas sebagai Badan Hukum

Privat/Badan Hukum Publik dalam praktek cukup disebut

nama Badan Hukumnya, tempat kedudukan, dan alamat

kantornya.

2. Fundamentum Petendi/Posita

Bagian in menjelaskan adanya hubungan hukum antara

kedua belah pihak yang menjadi dasar gugatan, yang

meliputi pertama, uraian tentang kejadian-kejadian atau

Page 70: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

64

peristiwa-peristiwa. Jadi merupakan penjelasan tentang

"duduknya perkara". Kedua, penguraian tentang

Hukumnya yang menjadi dasar yuridis gugatan (legal

grounds). Secara factual dalam praktek fundamentum

petendi lazim pula berisi hal-hal sebagai berikut:

a. Obyek perkara

Obyek perkara ini merupakan pokok sengketa.

Penguraian obyek perkara ini dapat meliputi uraian

sebab musabab mengapa surat gugatan tersebut

diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang

berwenang, misalnya karena menyangkut sengketa

perkawinan, jual beli, sewa beli, perjanjian

wanprestasi, dan sebagainya. Dalam obyek perkara

ini apabila gugatan menyangkut benda tetap (tidak

bergerak) hendaknya diuraikan secara detil dan

terperinci mengenai cara memperolehnya, luas dan

batas-batasnya secara tegas dan tepat serta hubungan

benda tersebut dengan penggugat. Bila obyek perkara

mengenai benda bergerak (tidak tetap) haruslah

diuraikan mengenai ciri-cirinya, nomor, jenis, cara

memperoleh dan lain-lain. Perincian dengan jelas dan

terang mengenai obyek gugatan ini guna menghindari

gugatan dinyatakan tidak dapat diterirna (Niel

Onvankelfk Verklaard)

b. Fakta-fakta Hukum

Fakta Hukum ini dapat meliputi penguraian terhadap

asal muasal penyebab sengketa seperti adanya

perbuatan melawan Hukum, wanprestasi, warisan dan

sebagainya.

Page 71: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

65

c. Kualifikasi perbuatan tergugat/para tergugat atau

turut tergugat. Kualifikasi perbuatan ini baik yang

bersifat melanggar undang-undang, perbuatan yang

bertentangan dengan kewajibannya, wanprestasi dan

lain-lain atau hal yang bertentangan dengan

kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan dan sebagainya.

d. Penguraian unsur kerugian dan permintaan lain akibat

tindakan tergugat/para tergugat. Penguraian unsur

kerugian in dapat diperinci berupa kalkulasi kerugian

yang diderita pihak tergugat/para penggugat baik

kerugian yang bersifat material dan non material,

adanya permintaan diwangsom sita jarninan

(conservatoir beslag) atau revindcatoir beslag atau

pun sita material, guna menjamin gugatan dan

sebagainya.

3. Tuntutan (Petitum)

Tuntutan/petitum merupakan perumusan secara tegas dan

jelas terhadap apa yang menjadi tuntutan penggugat

terhadap tergugat/para tergugat atau turut tergugat yang

akan diputus Hakim dalam amar putusannya.

Tuntutan/petitum dalam praktek peradilan dapat berupa

tuntutan pokok (primair) dan tuntutan tambahan

(subsidair). Tuntutan primair merupakan tuntutan

penggugat yang dimohonkan agar diputus dan dikabulkan

oleh hakim, sedangkan tuntutan subsidair biasanya berisi

menyerahkan keputusan kepada hakim yang dianggap

adil, atau bilamana majelis Hakim berpendapat lain,

mohon putusan yang seadil-adilnya.

Page 72: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

66

Itulah secara garis besar uraian mengenai isi surat gugatan

yang merupakan syarat material dari surat gugatan. Sedang secara

formal surat gugatan lazimnya juga berisi:

a. Tempat, tanggal dan bulan serta tahun sural gugatan

tersebut dibuat oleh penggugat atau kuasanya. Lazimnya

tempat gugatan dibuat adalah dimana penggugat/para

penggugat bertempat tinggal atau tempat domisili dari

kuasanya. Sedangkan, tanggal, bulan dan tahun surat

gugatan dibuat biasanya ada dipojok kanan atas atau di

halaman terakhir dari surat gugatan dan juga pada meterai.

Di samping itu juga dicantumkan perihal adanya

permohonan gugatan serta kepada Ketua Pengadilan

Negeri mana surat gugatan tersebut diajukan oleh

penggugat/para penggugat atau kuasanya.

b. Penyebutan secara jelas dan lengkap identitas Para Pihak

yang berperkara. Penyebutan identitas tersebut meliputi

nama, umur, pekerjaan dan alamat dari pihak

penggugat/Para penggugat dan pihak tergugat/para

tergugat atau turut tergugat dan jika menggunakan kuasa

disebutkan pula identitas lengkap kuasanya beserta

penyebutan dan pencantuman nomor dan tanggal surat

kuasa khusus yang telah dilegalisasi oleh Panitera

Pengadilan Negeri tempat gugatan tersebut diajukan.

c. Surat gugatan diberi meterai

Surat gugatan dibubuhi meterai dan pada meterai tersebut

diberi tanggal, bulan dan tahun dan juga berisikan bagian

tanda tangan dari penggugat/para penggugat.

Page 73: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

67

d. Surat gugatan ditandatangani

Dalam praktek penandatanganan surat gugatan in sangat

penting, jadi harus ditandatangani oleh penggugat sendiri

atau kuasanya sebagaimana dalam surat kuasa khusus.

D. Strategi Pembuktian

Seorang advokat harus tahu bukti-bukti apa saja yang dapat

diajukan setelah selesai acara gugatan dari pihak penggugat,

jawaban dari tergugat, replik dari penggugat dan duplik dari pihak

tergugat. Pada dasarnya proses pembuktian dilakukan terhadap

barang siapa mendalilkan terhadap suatu hak/peristiwa dan untuk

meneguhkan haknya atau guna membantah hak orang lain

haruslah dibuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (Pasal 163

HIR, Pasal 1865 KUH Perdata). Jadi konkretnya pembuktian

dilakukan jika ada dalil-dalil yang dikemukakan pihak satu

kemudian dibantah pihak lainnya.

Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya yang berjudul

"Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan

Indonesia" tahun 1999, penerbit Djambatan pada Halaman 150-

153 menyatakan bahwa akan tetapi dalam praktek subtansi

pembuktian ini diterapkan secara efektif. Dalam artian, tidak

semua fakta-fakta hukum harus dibuktikan di persidangan.

Adapun fakta-fakta hukum yang harus dibuktikan di

persidangan mencakup mengenai hal-hal:

a. Pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat

gugatan penggugat/para penggugat. Dalam konteks ini,

Hakim dibebaskan dari kewajibannya untuk membuktikan

fakta-fakta yang diakui oleh tergugat/para tergugat. Jadi

apa yang merupakan latar belakang pengakuan

Page 74: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

68

tergugat/para tergugat bagi hakim bukan merupakan

persoalan dalam memutus perkara itu.

b. Pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat

gugatan penggugat/para penggugat. Oleh karena Hukum

Acara Perdata Indonesia menganut asas kebenaran formal

maka apabila pihak tergugat/para tergugat sama sekali

tidak menyangkal atau membantah dalil-dalil

penggugat/para penggugat dianggap telah mencakup

kebenaran dalil surat gugatan. Dalam praktek disamakan

dengan tidak menyangkal gugatan ialah penyangkalan atas

dasar alasan-alasan yang tidak cukup. Misalnya pihak

tergugat/para tergugat hanya sekedar menyangkal atau

membantah gugatan penggugat/para penggugat tanpa

sama sekali diajukan alat-alat bukti lain guna memperkuat

dalil-dalil bantahannya.

c. Apabila majelis Hakim/hakim menjatuhkan putusan

verstek. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek (tanpa

kehadiran tergugat/para tergugat kesemuanya), maka

menurut ketentuan Pasal 125 H1R/149 RBg maka Majelis

Hakim/Hakim terlebih dahulu meneliti dalil-dalil gugatan

Penggugat/para penggugat, yang kemudian dalam

putusannya mengabulkan surat gugatan. Adapun salah

satu alasan sebagai dasar pengaturan verstek ialah dalam

proses perdata perlindungan kepada orang sepenuhnya

diserahkan kepada mereka masing-masing. Sehingga

apabila dalam proses ini, tergugat/para tergugat telah

dipanggil secara patut dan ternyata pada sidang pertama

tergugat/para tergugat tidak hadir atau tidak menunjuk

wakilnya yang sah untuk membela kepentingannya, maka

ia dapat dianggap tidak dapat atau tidak mau membantah

Page 75: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

69

dalil surat gugatan. Selintas lalu hal ini merupakan sualu

keganjilan dan merupakan keadaan yang merugikan pihak

tergugat/para tergugat, akan telapi apabila diteliti ternyata

bagi mereka yang diputus verstek dapat mengajukan

perlawanan (verzet) sebagaimana ditentukan Pasal 129

H1R/Pasal 153 RBg.

d. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah

decisoir/sumpah pemutus Dalam aspek ini tidak

diperlukan proses pembuktian. Sumpah decisoir dapat

dilakukan apabila selama proses pemeriksaan perkara

perdata sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti untuk

rnemperkuat suatu dalil (Onmogelfk heid Van bewijis,

Pasal 1936 KUH Perdata). Putusan Hakim digantungkan

terhadap siapa yang berani melalukan sumpah decisoir

dan pihak yang berani melakukannya akan dimenangkan

oleh majelis hakim/hakim dalam putusannya.

e. Apabila Majelis Hakim/Hakim karena jabatannya (ex

officio) dianggap telah mengetahui fakta-faktanya.

Adapun maksud konteks adalah bahwa Majelis

Hakim/Hakim karena jabatannya telah mengetahui fakta-

fakta tertentu dan kebenaran fakta-fakta ini dianggap telah

diketahui oleh Majelis Hakim/Hakim sehingga

pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini dapat dibagi

menjadi fakta-fakta prosesuil yaitu fakta-fakta yang terjadi

selama proses persidangan berjalan dan dilihat sendiri

oleh Majelis Hakim/Hakim yang bersangkutan seperti

dalam persidangan pihak penggugat/tergugat tidak hadir

persidangan. Pengakuan tergugat/para tergugat dalam

persidangan, salah satu pihak mengangkat sumpah, dan

sebagainya serta fakta-fakta notoir (natoire feiten,

Page 76: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

70

noticeable facts) yaitu fakta-fakta yang telah diketahui

umum seperti dalam keadaan inflasi harga barang-barang

mahal, hari Minggu kantor-kantor tutup, laut dan langit

berwarna biru, dan sebagainya.

Setelah mengetahui prinsip bahwa siapa yang mendalillan

harus membuktikannya, maka advokat harus mengetahui dan

memahami mengenai macam-macam alat bukti dan cara

membuktikannya. Menurut Pasal 164 HIR dikenal 5 macam alat

bukti utama dalam perkara perdata yaitu:

a. Bukti tulisan

b. Bukti saksi

c. Persangkaan

d. Pengakuan dan

e. Sumpah

Dalam kaitan ini majelis hakim/hakim tunggal yang

menyidangkan perkara perdata haruslah memberi kesempatan

seluas-luasnya kepada para pihak berperkara untuk mengajukan

alat bukti tersebut guna meneguhkan dalil-dalil gugatannya atau

dalil-dalil bantahannya.

a. Perihal Bukti Tulisan

Alat bukti tulisan atau surat dibagi menjadi dua yaitu akta

dari surat-surat lainnya yang bukan akta. Arti akta adalah surat

yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak

semula dengan sengaja, untuk pembuktian (Sudikno

Mertokusumo dalam Nawawi, 1987: 115).

Akta sendiri dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah

tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat dengan bentuk

sebagaimana ditentukan undang-undang oleh dan dihadapan

Page 77: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

71

seorang pegawai umum (hakim, notaris, jurusita/deurwaarder,

pegawai pencatat nikah, dan lain-lain) yang berwenang untuk itu

di tempat dimana akta tersebut dibuat dan merupakan bukti yang

cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta seluruh

orang mendapat hak daripadanya tentang apa yang tersebut

didalamnya, tentang apa yang disebutkan sebagai pemberitahuan

belaka, apakah yang disebut kemudian ini mempunyai hubungan

langsung dengan pokok soal tersebut (Pasal 165 HIR, Pasal 285

RBg atau Pasal 1870 KUH Perdata).

Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik dapat

diklarifikasikan menjadi 2 (dua) macam yaitu pertama, akta yang

dibuat oleh "Pegawai Umum", akta semacam ini lazim disebut

dengan istilah-istilah "akta Pejabat", acte amblelijk, "relasi akta"

atau procesverbaal acte misal akta yang dibuat oleh notaris,

camat, panitera, surat panggilan juru sita, putusan hakim dan

sebagainya merupakan akta otentik yang dibuat oleh pegawai

umum. Kedua, akta yang dibuat "dihadapan" pegawai umum,

akta semacam ini lazim disebut dengan istilah "akta partai" atau

acte party.

Dari aspek pembuatannya akta partai ini inisiatif ada pada

para pihak untuk membuatnya dan pegawai umum hanya

mendengarkan, menyaksikan, dan meletakkan perjanjian

tersebut. Misalnya akta yang dibuat "dihadapan" notaris tenlang

suatu perjanjian (sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya) dari

dua orang yaitu si A dan si B. Kemudian si A dan si B meminta

kepada notaris agar perjanjian tersebut dibuatkan/ dituangkan

dalam suatu akta. Maka notaris dalam hal ini hanya

mendengarkan, menyaksikan dan meletakkan perjanjian tersebut

dalam suatu akta.

Page 78: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

72

Kekuatan pembuktian dari akta otentik yang bersifat acte

ambtelijk merupakan suatu bukti sempurna dan mengikat (Pasal

165 HIR, Pasal 285 RBg, Pasal 1870 KUH Perdata) karena

merupakan bukti sempurna ia tidak memerlukan alat bukti lagi

karena akta otentik tersebut cukup membuktikan tentang

peristiwa atau hak. Disebut "mengikat" artinya bahwa apa yang

ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya hakim yakni harus

dianggap sebagai benar selama ketidakbenaran tersebut tidak

dibuktikan sebaliknya.

Sedangkan akta otentik bersifat "acte partij" maka

berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, Pasal

1870 KUHPerdala maka kesempurnaan hanya berlaku terhadap

kedua belah pihak dan ahli warisnya. Bagi pihak ketiga akta

tersebut tidaklah bersifat alat bukti sempurna melainkan sebagai

alat pembuktian bebas dimana penilaiannya diserahkan kepada

pertimbangan, rasa keadilan dan kebijaksanaan hakim.

Selanjutnya mengenai akta dibawah tangan merupakan akta

yang tidak dibuat "oleh" dan "dihadapan" pegawai umum yang

berwenang membuatnya. Jadi intinya akta dibawah tangan ini

dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pegawai umum.

Misalnya kuitansi, perjanjian utang-piutang, surat perjanjian

sewa menyewa, surat pernyataan dan sebagainya. Antara akta

otentik dan akta dibawah tangan terdapat persamaan dan

perbedaan.

Persamaannya adalah sama-sama merupakan akta yang

ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti

dari suatu perbuatan hukum. Kemudian terhadap pembuktian

pihak ketiga baik akta otentik maupun akta dibawah tangan

sama-sama bersifat alat pembuktian bebas. Sedangkan mengenai

perbedaannya antara akta otentik dan akta dibawah tangan

Page 79: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

73

adalah pertama, bahwa akta otentik itu dibuat dan ditandatangani

"oleh" dan "dihadapan" pejabat umum, sedangkan akta dibawah

tangan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak sendiri dan

tanpa dihadapan pejabat umum.

Kekuatan pembuktian dari akta otentik adalah sempurna dan

mengikat tentang apa yang diterangkan dan dimuat di dalamnya,

sehingga tidak memerlukan pengakuan dan penambahan

pembuktian lagi. Apabila disangkal kebenaran tanda tangannya

maka dibebankan kepada pihak yang menyangkal untuk

membuktikan ketidakbenaran tanda tangan tersebut. Akan tetapi

untuk akta dibawah tangan apabila tanda tangan dalam akta akta

di bawah tangan disangkal kebenarannya, maka pihak yang

mengajukan akta dibawah tangan harus berusaha membuktikan

kebenaran tanda tangan dengan alat-alat bukti lain.

Namun jika tanda tangan akta dibawah tangan diakui, maka

akta tersebut bagi yang menandatangani (mengakui), ahli

warisnya, dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka,

merupakan bukti sempurna sebagaimana kekuatan formal dan

materiil dari suatu akta otentik. Perbedaan kedua adalah dari

aspek tanggal pembuatan akta, bagi akta otentik tanggal

pembuatan akta sudah cukup terbukti dengan dikemukakannya

tanggal yang tercantum dalam akta tersebut.

Hal ini berbeda dengan akta dibawah tangan, apabila tanggal

dalam akta di bawah tangan disangkal, maka pihak yang

mempunyai akta dibawah tangan harus membuktikan

kebenarannya. Demikian halnya terhadap pihak ketiga, jika

tanggal akta dibawah tangan tersebut disangkal, maka pihak

yang mempunyai akta tersebut yang harus membuktikan

kebenaran tanggal dalam akta yang bersangkutan.

Page 80: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

74

b. Alat Bukti Pengakuan

Alat bukti pengakuan atau bekentenes confession diatur dalam

Pasal 174 HIR, Pasal 312, 313 RBg, Pasal 1923-1928 KUH

Perdata dan yurisprudensi. Pada dasarnya pengakuan merupakan

suatu pernyataan dengan bentuk terlulis atau lisan dari salah satu

pihak berperkara dimana isinya membenarlan dalil lawan baik

sebagian atau seluruhnya. Menurut pandangan doktrin pada

asasnya pengakuan (Pasal 1923 KUH Perdata) dapat dibagi

menjadi 2 (dua) jenis yaitu pertama pengakuan dimuka hakim di

persidangan (gereciztelijke bekentenis). Pengakuan dimuka

persidangan mempunyai kekuatan pembuktian "sempurna"

(volledig bewijs) dan mengikat yang bersangkutan atau dengan

perantara seorang yang khusus dikuasakan untuk itu. "Sempurna"

dalam arti bahwa disamping pengakuan tersebut tidak diperlukan

lagi adanya alat bukti lain untuk menganggap benar dalil-dalil

yang diakui dan "mengikat" artinya bahwa dalil-dalil tersebut

wajib dianggap benar dengan adanya pengakuan.

Pengakuan di depan persidangan dapat diberikan secara tegas

sehingga memberi kepastian kepada hakim dan dapat pula

diberikan secara diam-diam sehingga terhadap hal ini hakim bebas

menilainya. Pengakuan yang dilakukan di depan persidangan tidak

dapat ditarik/ dicabut kembali, kecuali jika dapat dibuktikan

bahwa pengakuan itu menimbulkan adanya unsur kekeliruan

(dwaling) terhadap kenyataan peristiwa (daadzaken). Kekeliruan

terhadap hukum tidak dapat dianggap sebagai alasan untuk

mencabut pengakuan (Pasal 1926 ayal (2) KUH Perdata).

Lebih dari itu pada azasnya pengakuan di depan persidangan

tidak boleh dipisah-pisahlan. Hakim dalam konteks ini tidak bebas

untuk misalnya hanya menerima sebagian dan menolak

selebihnya, akan tetapi harus menerima/ditolak seluruhnya. Kedua

Page 81: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

75

pengakuan di luar sidang, pengaluan diluar sidang pengadilan

dapat dilakulan dalam bentuk tertulis atau lisan dan diatur dalam

Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, dan Pasal 1927-1928 KUH

Perdata. Baik pengaluan secara lisan maupun secara tertulis diluar

sidang pada azasnya dapat dicabut/ditarik kembali, sedangkan

kekuatan pernbuktian dari alat bukti pengakuan di luar sidang

yang diberilan secara tertulis rnerupakan bukti bebas.

Menurut ilmu pengetahuan hukum selain pengakuan dengan

macam seperti tersebut diatas, ada juga jenis pengakuan lainnya

yaitu:

a) Pengakuan murni (aveu pur et simple): Pengakuan

murni ini sifatnya sederhana dan pada pokoknya

membenarkan semua dalil lawan (penggugat).

b) Pengakuan dengan kualifikasi (gequaliceerde

bekentenis/aveu Qualifie): Pada pokoknya pengakuan

dengan kualifikasi merupalan pengakuan-pengakuan

disertai penyangkalan sebagian dari dalil lawan.

Misalnya si A mendalilkan bahwa ia telah membeli

barang si B seharga Rp 50 juta tetapi ia telah

membayar seharga Rp 25 juta.

c) Pengakuan dengan klausula (Geclausuleelule

bekentenis/aveu complexe): pada dasarnya pengakuan

berklausula diberikan dengan melakukan keterangan

tambahan yang sifatnya membebaskan. Misalnya si A

membeli rumah si B seharga Rp 100 juta. Dalam dalil

gugatan si B (penggugat) mendalilkan bahwa ia

menjual rumahnya kepada si A (tergugat) seharga Rp

100 juta dan si A sama sekali belum membayar harga

rumah tersebut. Akan tetapi, dalam dalil bantahannya

si A memang membenarkan bahwa ia telah membeli

Page 82: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

76

rumah si B seharga Rp 100 juta akan tetapi si A telah

lunas membayarnya.

c. Alat Bukti Sumpah

Sebagai alat bukti, sumpah diatur dalam Pasal 155-158,

Pasal 177 HIR, Pasal 182-185, Pasal 314 RBg dan Pasal 1929-

1945 KUH Perdata. Pada pokoknya alat bukti sumpah dapat

diklasifikasikan menjadi:

i. Sumpah Pemutus

Dalam praktek jenis sumpah ini sering disebut dengan

istilah "sumpah menentukan", "sumpah decisoir" atau

decisoir eed yang diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183

RBg dan Pasal 1930-1939 KUH Perdata. Maksud dari

sumpah pemutus adalah sifatnya memutus perkara (litis

decisoir), dibebankan hakim kepada salah satu pihak atas

dasar permintaan lawannya karena tiadanya alat bukti.

Dalam menerapkan sumpah decisoir ini pada dasarnya

berlaku azas-azas bahwa pihak yang meminta pihal lawan

mengangkat sumpah dianggap telah melepaskan hak

terhadap hak-hak keperdataan khususnya dalam bidang

hak milik, warisan atau utang piutang. Prinsip lainnya

bahwa sumpah pemutus ini dapat diperintahkan hakim

terhadap setiap tingkat pemeriksaan yudex facti (Pasal

1930 KUHPerdata) baik ditingkat Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tinggi. Sumpah pemutus ini juga dapat

diperintahkan hakim meskipun tidak ada pembuktian sama

sekali dan sering kali digunakan sebagai upaya terakhir

dalam usaha pembuktian jika pihak bersangkutan tidak

mempunyai bukti sedikitpun. Perintah pengangkatan

sumpah decisoir dapat dikembalikan artinya pihak

Page 83: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

77

penerima sumpah dapat menuntut supaya pemberi

perintah tersebut sendiri mengangkat sumpah-sumpah

decisoir harus menyangkut hal-hal yang diperselisihkan,

misalnya kalau perselisihan menyangkut sudah atau belum

dibayarnya suatu harga barang, maka sumpah decisoir

harus terhadap pembayaran tersebut dan tidak boleh

rnenyangkut hal yang lainnya, dan sumpah decisoir yang

diperintah oleh hakim tersebut harus menyangkut

perbuatan yang bersifat pribadi dan lazim ditafsirkan

secara luas, yaitu terhadap segala sesuatu baik mengenai

diri pihak yang bersumpah maupun juga menyangkut

pengakuan terhadap aspek yang berkorelasi dengan pokok

perkara.

Dalam praktek peradilan ditolak atau dikabulkannya

pelaksanaan sumpah pemutus tergantung penilaian Majelis

Hakim/Hakim Tunggal yang menangani perkara, apakah

permintaan penggugat dilakukan sumpah tersebut bersifat

litis decisoir atau tidak. Jika permintaan tersebut bersifat

litis decisoir, maka pengabulan dilakukan melalui

"putusan sela/ tussen–vonnis " atau interlocutoir vonnis.

Terhadap putusan sela ini maka proses selanjutnya

tergantung pada sikap tergugat. Sikap tergugat dalam hal

ini bisa berupa, pertama jika tergugat bersedia

mengangkat sumpah maka akan dijatuhkan "putusan

akhir" dengan amar pada pokoknya menolak gugatan

penggugat dan menghukum penggugat membayar biaya

perkara.

Kedua, apabila tergugat menolak/tidak bersedia

mengangkat sumpah maka akan dijatuhkan "putusan

akhir" dengan amar pada pokoknya mengabulkan gugatan

Page 84: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

78

penggugat, menghukum tergugat untuk ..... dan

menghukum pula tergugat membayar biaya perkara.

Ketiga, apabila kemudian tergugat mengembalikan

sumpah tersebut dan kalau penggugat tidak bersedia

mengucapkan sumpah, maka diputus dengan bentuk

"putusan akhir" dengan amar menolak gugatan penggugat

dan penggugat dihukum pula membayar biaya perkara,

sedangkan apabila penggugat bersedia melakukan sumpah

decisoir juga diputus dengan bentuk "putusan akhir"

dengan amar mengabulan gugatan penggugat dan tergugat

dihukum membayar biaya perkara.

ii. Sumpah Pelengkap

Sumpah pelengkap atau disebut dengan istilah

"sumpah penambah", "sumpah supletoir" atau supletoire

eed. Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182

RBg, dan Pasal 1940 KUH Perdata dan diperintahkan

hakim pada salah satu pihak apabila hanya ada sedikit

bukti terhadap gugatan penggugat atau untuk menguatkan

kebenaran bantahan tergugat, akan tetapi bukti tersebut

belumlah cukup dan tidak ada kemungkinan menambah

bukti yang belum lengkap itu dengan bukti lain unluk

menyempurnakan pembuktian tersebut. Dalam hal seperti

ini hakim karena jabatannya dapat membebankan salah

satu pihak mengucapkan sumpah agar perlara dapat

diputus.

Pada dasarnya dalam pelaksanaan sumpah supleloir

ini berlalu azas-azas bahwa sumpah pelengkap ini

diperintahkan apabila terdapat permulaan pembuktian.

Jadi dalam konteks ini sumpah pelengkap dapat

diperintahkan hakim apabila tuntutan maupun bantahan

Page 85: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

79

tidak terbukti dengan sempurna dan tuntutan maupun

bantahan itu bukanlah sama sekali tidak terbukti. Sumpah

pelengkap tidaklah perlu menyangkut perbuatan-perbualan

yang bersifat pribadi, meskipun demikian sumpah tersebut

harus menyangkut hal-hal dimana diketahui oleh orang

yang harus mengangkat sumpah.

Sumpah Pelengkap harus dilakukan dihadapan hakim

yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Dalam

praktek apabila terdapal halangan ketua pengadilan negeri

dapat memerintahkan seorang hakim, untuk mengambil

sumpah itu di rumah orang yang bersumpah atau dapat

dilakukan dihadapan Hakim Pengadilan Negeri dalam

wilayah mana orang yang bersangkutan berdiam.

Sumpah harus diangkat sendiri secara pribadi dan

dalam hal ada alasan penting pengangkatan sumpah dapat

dikuasakan kepada orang lain yang khusus diberi kuasa

untuk itu. Sumpah pelengkap harus dilakukan dengan

dihadiri oleh pihak lawan atau sesudah pihak lawan

dipanggil secara sah untuk itu (Pasal 1944-1945 KUH

Perdata). Dalam praktek sumpah pelengkap ini dapat

dibebankan oleh hakim baik kepada penggugat atau

tergugat dengan bentuk "putusan sela". Sumpah supletoir

setelah dilalukan secara formal harus dimuat dalam berita

acara persidangan pengadilan negeri dan apabila tidak

dicatat maka pengucapan sumpah tersebut diulangi lagi.

iii. Sumpah Penaksir

Dalam praktek sumpah penaksir disebut dengan istilah

"sumpah tazxatoir", aestimatoir eed; waar deringseed

atau schattingseed yaitu sumpah yang diperintahkan

hakim kerena jabatannya kepada penggugat (penggugat

Page 86: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

80

dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi) untuk

menentukan besarnya jumlah uang pengganti kerugian.

Sumpah penaksir diatur dalam pasal 155 HIR, Pasal 182

RBg dan Pasal 1940 KUH Perdata. Dalarn praktek

penjatuhan sumpah penaksir dilakukan dengan "putusan

sela".

Disamping 5 (lima) alat bukti sebagaimana tersebut dalam

Pasal 164 HIR terdapat pula alat-alat bukti diluar ketentuan Pasal

164 HIR yaitu:

1. Pemeriksaan setempat (gerechtelijke plattsopneming/

Descente)

Menurut doktrin selain istilah diatas maka pemeriksaan

setempat lazim disebut juga istilah Plattselijke anderzoek

atau Local investigation. Pada dasarnya pemeriksaan

setempat adalah pemeriksaan perkara yang dilalukan hakim

diluar persidangan pengadilan negeri atau di lolasi

pemeriksaan setempat dilakukan sehingga hakim dapat

secara lebih tegas dan terperinci memperoleh gambaran

terhadap peristiwa yang menjadi pokok sengketa. Meskipun

dilaksanakan di luar sidang pengadilan, tetapi hal ini identik

dengan sidang di Pengadilan Negeri. Pemeriksaan ini

dilalukan oleh hakim karena jabatannya, atau dapat juga

diajukan oleh para pihak sendiri. Mengenai bentuk perintah

hakim unluk diadakan pemeriksaan setempat ada yang

dituangkan melalui bentuk "penetapan" tersendiri ada pula

dengan bentuk dicatat dalam "Berita Acara Sidang". Setelah

dilakukan pemeriksaan setempat, maka panitera/panitera

pengganti diharuskan untuk membuat berita acara untuk itu

sebagai bahan formal bagi Majelis Hakim guna menyusun

putusannya.

Page 87: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

81

Permohonan untuk dilakukan pemeriksaan setempat ini

merupakan wewenang mutlak (pengadilan Negeri dan

Pengadilan Tinggi). Dalam hal pemeriksaan setempat ini

berlaku azas bahwa pemeriksaan setempat oleh hakim tidak

bersifat limitatif artinya seorang juru sita atau wakilnya

yang ditunjuk secara sah oleh hakim pengadilan Negeri

untuk melakukan pemeriksaan setempat berwenang penuh

melaksanakan perintah hakim tersebut dan hasil

pemeriksaannya dapat menjadi keterangan bagi hakim yang

bersangkutan dalam pemeriksaan dan memutus perkara

yang dihadapinya itu.

2. Keterangan Ahli

Hakikat dan keterangan/saksi ahli adalah memberikan

pendapat terhadap hal-hal yang diajulan kepadanya sesuai

dengan keahliannya dan bertujuan untuk memperjelas

duduknya perkara. Pada ketentuan Pasal 154 HIR, Pasal 181

RBg lebih detail mengatur tentang keterangan/saksi ahli

sebagai berikut:

a. Apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya

akan dapat dijelaskan dengan suatu pemeriksaan atau

peninjauan oleh seorang ahli, maka ia dapat atas

perrnintaan para pihak atau karena jabatan,

mengangkat ahli tersebut.

b. Dalam hal yang demikian, ditetapkan hari sidang

dimana para ahli akan mengutarakan laporan mereka,

baik secara tertulis atau secara lisan dan menguatkan

laporan itu dengan sumpah.

c. Tidak boleh diangkat menjadi ahli, mereka yang

sedianya tidak akan dapat didengar sebagai saksi.

Page 88: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

82

d. Pengadilan tidak sekali-kali diwajibkan mengikuti

pendapat ahli apabila keyakinannya bertentangan

dengan itu.

Keterangan saksi ahli diberikan dibawah sumpah yang

lazimnya berbunyi "saya bersumpah bahwa saya akan

memberikan pendapat soal-soal yang dikemukakan menurut

pengetahuan saya sebaik-baiknya".

Pada dasarnya fungsi dari keterangan/kesaksian ahli ini adalah

agar hakim memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam

tentang suatu hal yang bersifat teknis, kebiasaan-kebiasaan dalam

lalu lintas dagang dan lain sebagainya. Jadi kekuatan pembuktian

tergantung pada kebijaksanaan dan keyakinan hakim. (Lilik

Mulyadi, 1999: 190)

Antara keterangan saksi dan keterangan saksi ahli terdapat

perbedaan yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Dari aspek kedudukan, maka seorang saksi ahli jika

berhalangan atau tidak bersedia memberi keterangan/

kesaksian dapat digantikan dengan keterangan ahli yang

lain sedangkan terhadap saksi tidak diperkenankan.

b. Dari prinsip unus testis nullus testis maka azas ini tidak

berlaku bagi keterangan ahli (jadi satu keterangan ahli pun

dapat dianggap cukup) sedangkan terhadap saksi berlaku

asas tersebut.

c. Dari aspek akademis, maka seorang ahli harus mempunyai

keahlian/pengetahuan tertentu sedangkan saksi cukup

berdasarkan pengalaman terhadap apa yang dilihat,

dialami dan dirasakan.

d. Dari aspek bentuknya keterangan ahli bisa diberikan

secara lisan dan tertulis kalau diberikan secara tertulis

eksistensinya tetap merupakan keterangan ahli, bukan

Page 89: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

83

sebagai alat bukti surat, sedangkan keterangan saksi hanya

dilakukan secara lisan dan jika dilakukan secara tertulis

maka kategorinya menjadi alat bukti surat.

e. Dari sudut kekuatan pembuktiannya maka hakim terikat

mendengarkan keterangan saksi yang dianggap relevan

sedangkan keterangan ahli hakim bebas untuk mendengar,

menilai dan mempertimbangkan sesuai dengan

keyakinannya.

Setelah diketahui mengenai macam-macam alat bukti, maka

tinggal bagaimana memanfaatkan dan mempergunakan alat bukti

tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kepentingan

penanganan perkara yang bersangkutan.

Page 90: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

84

BAB V

PUTUSAN HAKIM DAN UPAYA HUKUM

A. Sifat Putusan Hakim

Putusan hakim merupakan puncak dari proses perkara

perdata. Menurut Purwoto S. Gandasubrata, putusan hakim yang

baik harus memenuhi 2 persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan

teoritis maupun praktis. Yang dimaksud kebutuhan teoritis adalah

bahwa menilik kepada isi beserta pertimbangannya maka putusan

tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum

(harus juridisch en filosofisch verantwoord), bahkan tidak jarang

dengan putusan yang berbentuk yurisprudensi yang dapat

menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum).

Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah

bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan

persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat

diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maupun masyarakat

pada umumnya karena dirasakan adil, benar, dan berdasarkan

hukum (dapat diterima secara sosiologis) (Purwoto S.

Gandasubrata dalam Lilik Mulyadi, 1999: 209).

Putusan hakim dalam perkara perdata menurut sifatnya ada

yang disebut dengan "putusan deklarator" atau Declaratoir vonnis

atau Declaratory judgement yakni putusan yang sifatnya

menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.

Contohnya adalah A anak angkat yang sah dari B dan C; atau A,

B, dan C adalah ahli waris almarhum X (Retnowulan Sutantio

dalam Nawawi, 1987: 131). Demikian juga penetapan sebidang

Page 91: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

85

tanah tertentu adalah milik penggugat/tergugat, penetapan

kelahiran seseorang dan sebagainya, adalah contoh-contoh putusan

yang sifatnya deklarator.

Menurut Sudikno Mertokusumo (Lilik Mulyadi, 1999: 208)

dikatakan bahwa tiap putusan yang bersifat menolak gugatan

merupakan putusan deklarator. Bahkan menurut Ny. Retnowulan

Sutantio dikatalan bahwa pada umumnya suatu putusan hakim

memuat beberapa macam keputusan, dengan lain perkataan

merupakan penggabungan dari putusan declaraloir dan putusan

constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dan

condenmatoir dan sebagainya (Lilik Mulyadi, 1999 209).

Disamping; putusan deklarator juga ada putusan hakim yang

bersifat konstitutif atau constitutive vonnis atau constitutive

judgement yaitu putusan hakim yang sifatnya meniadakan suatu

keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.

Contoh putusan pembatalan suatu perjanjian, putusan yang

memutuskan perkawinan, dan sebagainya.

Ketiga adalah putusan hakim yang bersifat condemnatoir atau

condemnatoir vonnis atau condemnatory judgement yaitu putusan

yang menghukum salah satu pihak. Contoh putusan hakim yang

berupa menghukum tergugat untuk mengembalikan sesuatu

barang kepada penggugat atau untuk membayar sejumlah uang

tertentu kepada penggugat sebagai pembayaran utangnya, dan

sebagainya.

Pada hakekatnya putusan condemnatoir juga merupakan

putusan deklarator, sebab sebelum hakim menghukum harus juga

menetapkan terlebih dahulu hubungan hukum antar pihak-pihak

yang berperkara (Lilik Mulyadi, 1999: 210). Setelah diketahui

mengenai macam-macam sifat putusan hakim tersebut, maka

harus juga diketahui bahwa diktum keputusan yang bersifat

Page 92: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

86

deklarator tidak dapat dieksekusi, demikian pula yang bersifat

konstitutif. Oleh karena itu dalam menyusun gugatan harus hati-

hati terlebih kalau ada tuntutan penggugat kepada tergugat yang

berupa melakukan perbuatan hukum seperti pengosongan tanah

sengketa. Pemahaman tentang macam sifat putusan hakim ini

mempunyai arti penting dalam kailannya dengan permohonan

pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) karena pihak yang kalah

tidak mau, mematuhi secara sukarela isi putusan.

B. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Jenis putusan hakim dalam perkara perdata yaitu:

1. "Putusan sela" atau "Putusan antara", Tussen Vonnis,

"Putusan sementara" atau Interlocutor Vonnis. Yaitu

putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memutus

pokok perkaranya, hal ini dimaksudkan untuk

mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan

sela ini diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk

umum dan dicatat dalam acara berita persidangan.

2. "Putusan akhir" atau lazim disebut dengan istilah Eind

vonnis atau final judgment yaitu putusan yang dijatuhkan

oleh hakim sehubungan dengan pokok perkara dan

mengakhiri perkara pada tingkat peradilan tertentu.

Termasuk ke dalam "putusan akhir" ini adalah ketiga

putusan yang telah diuraikan diatas (putusan deklaralor,

constitutif, dan condemnatory) juga putusan kontradictor

(contradictoir vonnis) yaitu putusan yang dijatuhkan oleh

hakim dalam hal lergugat pernah datang menghadap di

persidangan walau sekalipun ia tidak memberi

perlawanan/pengakuan. Contoh si A (penggugat)

menggugat si B (tergugat) karena masalah utang piutang

Page 93: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

87

di Pengadilan Negeri. Setelah dipanggil dengan sah dan

patut si B (tergugat) pada persidangan datang dan untuk

selanjutnya tidak pernah datang lagi hingga perkara

selesai diperiksa. Terhadap perkara tersebut dimana si B

(Tergugat) pernah datang menghadap, maka perkara

tersebut diputus dengan putusan contradictoir atau contoh

lainnya si A (penggugat) melakukan gugatan kepada para

tergugat yaitu B, C, D dan E dalam persidangan yang

hadir hanya E saja. Sedangkan B, C, dan D tidak pernah

hadir sama sekali di persidangan. Terhadap para tergugat

tersebut (B, C, D dan E) maka perkara diputus dengan

kontradiktor.

Putusan akhir juga bisa berupa putusan verstek (verstek

vonnis) yaitu putusan dijatuhkan oleh hakim dalam hal

tergugat/semua tergugat tidak pernah hadir dipersidangan

meskipun telah dipanggil dengan patut untuk datang

menghadap di persidangan. Contoh si A (penggugat)

mengajukan gugatan kepada B, C, D, E, dan F (para tergugat)

karena masalah warisan. Dalam persidangan ternyata para

tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sama sekali di

persidangan. Dalam hal ini maka bisa dijatuhkan putusan

verstek.

C. Upaya Hukum

Pemahaman terhadap jenis putusan hakim tersebut diatas,

berkaitan erat dengan jenis upaya hukum yang harus diajukan oleh

pihak yang tidak puas atas putusan hakim. Mengenai upaya

hukum ini dibedakan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum

luar biasa.

Page 94: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

88

1. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa ini terdiri dari perlawanan (verzel),

banding (revisi) dan kasasi (cassatie).

a. Verzet (perlawanan)

Upaya hukum verzet ini merupakan upaya hukum

untuk melawan putusan verstek. Verzet diajukan oleh

tergugat kepada ketua Pengadilan Negeri yang

menjatuhkan putusan verstek. Upaya hukum verzet ini

harus diajukan oleh pihak yang dijatuhkan putusan verstek

atau pihak-pihak dalam perkara. Tenggang waktu untuk

mengajukan verzet (Pasal 129 ayat, (1) HIR, Pasal 153

ayat (1) RBg) adalah:

a) Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari

terhitung sejak putusan verstek diberitahukan

kepada tergugat secara sah;

b) Sampai dengan hari kedelapan setelah dilakukan

peringatan pelaksanaan putusan sebagaimana

ketentuan Pasal 196 HIR, Pasal 207 RBg dalam

hal pemberitahuan putusan verstek tidak

diberitahukan kepada tergugat itu sendiri ; dan

c) Apabila tergugat tidak datang menghadap setelah

dipanggil dengan patut sampai dengan hari

kedelapan setelah eksekusi menurut ketentuan

Pasal 197 HIR.

b. Banding (Revisi)

Banding merupakan peradilan "ulangan" atau "revisi"

dari putusan Pengadilan Negeri. Jadi dalam hal ini

Pengadilan Tinggi memeriksa kembali perkara perdata

dalam keseluruhannva baik mengenai fakta, maupun

Page 95: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

89

penerapan hukumnya. Yang dapat mengajukan banding

ialah yang bersangkutan baik penggugat maupun tergugat.

Upaya hukum banding ini diatur dalam Undang-Undang

No. 20 Tahun 1947 yang berlaku untuk Jawa dan Madura

dan bagi luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-

205 RBg.

Permohonan banding dalam perkara perdata dapat

diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah

putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan dalam hal

putusan tersebut diucapkan di luar hadir (verstek).

Selanjutnya permohonan banding harus dinyatakan di

hadapan panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan

putusan, kemudian pembanding menandatangani akta

pernyataan banding dan pengadilan kemudian mencatat

permohonan banding tersebut. Dalam mengajukan

permohonan banding ini pihak pembanding bisa

menyampaikan alasan-alasan diajukannya banding yang

dituangkan dalam memori banding. Akan tetapi memori

banding ini bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu

hak.

Sekiranya akan dibuat suatu meniori banding maka

pada hakikatnya alasan-alasannya dapat diklasilikasikan

ke dalam 2 (dua) alasan yaitu alasan yang bersifat formal

dan bersifat material (Lilik Mulyadi, 1999: 234). Alasan

memori banding yang bersifat formal biasanya meliputi

hal-hal seperti surat kuasa khusus untuk banding tidak

memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh undang-

undang, ketidakwenangan pengadilan (kompetensi)

mengadili perkara perdata tersebut baik mengenai

kompetensi absolut maupun relatif, surat gugatan

Page 96: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

90

penggugat obscuur libel (kabur), juga dalam hal misalnya

putusan Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan dimana

subyek tergugat tidal lengkap digugat. Sedangkan alasan-

alasan permohonan banding yang bersifat material

lazimnya meliputi hal-hal seperti; putusan Pengadilan

Negeri harus dibatalkan karena didasarkan pertimbangan

yang kurang lengkap (onvoldoende gemotiveerd), putusan

Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum pembuktian

atau hukum acara pada umumnya, Pengadilan Negeri

telah memutus melebihi dari tuntutan atau memutus

terhadap hal yang tidak dituntut (Vide Lilik Mulyadi,

1999: 234 — 242).

c. Kasasi (Cassatie)

Pemeriksaan kasasi tidak merupakan pemeriksaan

tingkat ketiga, karena dalam tingkat kasasi ini tidak

dilakukan suatu pemeriksaan kembali terhadap perkara

tersebut melainkan hanya diperiksa masalah

hukumnya/penerapan hukumnya. Yang dapat mengajukan

permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-

pihak berperkara atau wakilnya yang khusus dikuasakan

untuk itu.

Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang

waklu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan

atau diberitahukan dalam hal putusan tersebut diucapkan

di luar kehadiran salah satu pihak. Dalam mengajukan

kasasi, maka pernohon diwajibkan untuk membuat

memori kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 14

(empal belas) hari setelah pernyataan kasasi di

kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana tanggal

Page 97: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

91

penerimaan memori kasasi tersebut dicatat dalam surat

keterangan panitera yang ditandatangani olehnya.

Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar

pengajuan kasasi adalah bahwa Yudex facti (Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Tinggi) tidak berwenang atau

melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau

melanggar hukum yang berlaku dan lalai memenuhi

syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

putusan yang bersangkutan. (Vide Lilik Mulyadi, 1999:

250-254).

2. Upaya Hukum Luar Biasa

Dalam perkara perdata ada dua macam upaya hukum luar

biasa, yaitu:

a. Perlawanan atau bantahan pihak ketiga

Pada dasarnya derden verzet adalah upaya hulum luar

biasa yang dilakukan pihak ketiga melawan putusan hakim

yang merugikannya. Dalam praktek peradilan perlawanan

pihak ketiga ini dapat dilakukan terhadap sita conservatoir,

sita revindicatoir dansita eksekusi atas dasar hak milik.

Permohonan perlawanan pihak ketiga ini diajukan kepada

Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang

secara nyata menyita (Pasal 195 ayat (6) HIR, Pasal 206

ayat (6) RBg). Yang harus diperhatikan dalam proses

perlawanan ini adalah bahwa pihak pelawan harus bisa

membuktikan bahwa barang yang disita itu merupakan

miliknya. Apabila berhasil maka pelawan akan dinyatakan

sebagai pelawan yang benar/jujur, dan sita diperintahkan

untuk diangkat. Sebaliknya jika pelawan tidak bisa

membuktikan sebagai pemilik barang maka pelawan akan

Page 98: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

92

dinyatalan sebagai pelawan yang tidak benar/tidak jujur dan

sita akan tetap dipertahankan.

b. Peninjauan Kembali

Upaya hukum peninjauan kembali (request civil)

merupakan suatu upaya agar putusan Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang telah

mempunyai kekuatan Hukum telap (in kracht van gewijsde)

mentah kembali. Pada prinsipnya peninjauan kembali tidak

menangguhkan eksekusi. Peninjauan kembali ini harus

diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli

warisnya atau seorang walinya yang khusus dikuasakan

untuk itu. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat

diajukan 1 (satu) kali dan ditujukan kepada Mahlamah

Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus

perkara dalam tingkat pertama.

Mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai

dasar pengajuan peninjauan kembali beserta tenggang

waktu pengajuannya adalah sebagai berikut:

a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan

atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui

setelah perkara diputus atau didasarkan bukti yang

kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. Dalam

hal ini tenggang waktu pengajuan peninjauan kembali

adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diketahui

adanya kebohongan, tipu muslihat atau sejak putusan

hakim pidana telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b) Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat

bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu

perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Ini yang

disebut dengan novum. Dalam hal ini tenggang

Page 99: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

93

waktunya adalah 180 (seratus delapan puluh) hari

semenjak ditemukannya novum dimana hari dan

tanggal ditemukan novum dibuat dibawah sumpah serta

disahkan pejabat berwenang.

c) Apabila telah dikabulkan mengenai suatu hal yang

tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut. Dalam

hal ini tenggang waktunya adalah 180 (seratus delapan

puluh) hari terhitung sejak putusan mernperoleh

kekuatan hukum tetap dan telah diberitahulan kepada

para pihak berperkara.

d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum

diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. Dalam

hal ini tenggang waktu pengajuan peninjauan kembali

adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan

memperoleh kekuatan hukum tetap serta telah

diberilahukan kepada pihak berperkara.

e) Putusan bertentangan antara satu dengan lainnva.

Dalam hal ini terdapat hal-hal: pihak-pihak yang sama;

mengenai soal yang sama; atas dasar yang sama; oleh

pengadilan yang sama; atau; dan sama tingkatnya.

Terhadap hal ini maka tenggang waktunya adalah 180

(seralus delapan puluh) hari sejak putusan terakhir

yang bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum

tetap dan diberitahukan kepada pihak berperkara.

f) Apabila dari suatu putusan terdapat suatu kekhilafan

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Tenggang

waktu pengajuan peninjauan kembali untuk alasan ini

adalah 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung

putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan

telah diberitahukan kepada pihak berperkara.

Page 100: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

94

BAB VI

PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM

(EKSEKUSI)

A. Pengertian Eksekusi

Eksekusi artinya melaksanakan putusan Hakim. Eksekusi

putusan perdata berarti melaksanakan putusan dalam perkara

perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia

melaksanakan secara sukarela. Eksekusi dalam perkara perdata

merupakan proses yang cukup menyita waktu, tenaga dan biaya

serta pikiran. Perkara perdata tidak hanya berhenti sesudah

putusan Hakim berkekuatan hukum tetap (keputusan hitam di atas

putih). Ia barulah merupakan titik acuan untuk mendapatkan hak

yang diperjuangkannya secara nyata.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat

dimintakan eksekusi oleh pihak yang menang dengan catatan

apabila pihak yang kalah tidak dengan sukarela mau

melaksanakan amar putusan. Yang dapat dimintakan eksekusi

adalah hanya putusan yang amarnya menghukum (condemnatoir),

sementara amar putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif

tidak dapak dimintakan eksekusi.

Mengenai keputusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap dapat berupa:

i. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan

banding atau kasasi karena telah diterima oleh kedua belah

pihak;

Page 101: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

95

ii. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak dimintakan

kasasi ke Mahkamah Agung;

iii. Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung

atau putusan peninjauan kembali dari Mahlamah Agung;

iv. Putusan verstek dari pengadilan tingkat pertama yang

tidak di verzet; dan

iv. Putusan hasil perdamaian dari semua pihak berperkara.

Adapun dasar hukum eksekusi adalah Pasal 195-Pasal 208

HIR, Pasal 224 HIR, atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBg.

Sedangkan Pasal 225 HIR/ 259 RBg mengatur tentang putusan

yang menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu

perbuatan tertentu. Ada pula ketentuan tentang eksekusi

pengecualian terhadap putusan serta merta dan provisi diatur

dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg.

B. Azas-Azas Eksekusi

Dikenal 5 (lima) azas dalam eksekusi yaitu sebagai berikut:

1. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan

hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht

van gewijsde). Dalam putusan yang sudah berkekuatan

hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum

yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Oleh

karena itu hubungan hukum tersebut wajib ditaati dan

dipenuhi oleh pihak yang di hukum (tergugat). Meskipun

demikian dalam kasus-kasus tertentu undang-undang

juga memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang

belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagai

contoh adalah elsekusi terhadap bentukbentuk hukum

yang dipersamakan sebagai putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya

Page 102: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

96

pelaksanaan putusan provisi, putusan serta merta, akta

perdamaian dan eksekusi terhadap grose akta.

2. Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat

menghukum (condernnatoir). Putusan yang bersifat

condemnatoir adalah putusan yang amar atau dictumnya

mengadung unsur menghukum, seperti:

a) Menyerahkan sesuatu barang.

b) Mengosongkan sebidang tanah atau rumah.

c) Melakukan suatu perbuatan tertentu.

d) Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan.

e) Membayar sejumlah uang.

3. Putusan hakim tidak dijalankan secara sukarela.

Asas ini mengandung pengertian bahwa eksekusi adalah

pilihan hukum yang dilakukan apabila pihak yang kalah

(tergugat) tidak mau menjalankan atau mematuhi isi

putusan secara sukarela. Jika pihak tergugat bersedia

menaati dan menjalanlan putusan secara sukarela, maka

tindakan eksekusi menjadi tidak diperlukan lagi. Namun

sebaliknya pihak pengadilan (juru sita) harus aktif

melaksanakan Hal-hal sebagai berikut:

a) Membuat berita acara pelaksanaan putusan dengan

sukarela tersebut

b) Disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

c) Pembuatan berita acara dan kesaksian tersebut

dilakukan di tempat putusan dijalankan.

d) Berita acara ditandatangani oleh juru sita, para saksi

dan, pihak-pihak (penggugat dan tergugat).

Pembuatan berita acara terhadap putusan yang dilakukan

secara sukarela ini adalah untuk atau sebagai bukti bagi

pengadilan bahwa putusan tersebut telah dijalankan

Page 103: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

97

secara sukarela oleh tergugat. Andaikata di belakang hari

penggugat mohon eksekusi, maka berdasarkan bukti

tersebut pengadilan dapat menolak permohonannya.

(Wildan Suyuthi, 2004: 66)

4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua

Pengadilan, yang dilaksanakan oleh panitera dan juru

sita pengadilan yang bersangkutan. Kewenangan

menjalankan eksekusi adalah ada pada pengadilan

tingkat pertama. Hal ini diatur dalam Pasal 195 ayal (1)

HIIR atau Pasal 206 ayat (1) RBg. Dengan demikian

Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak

mempunyai kewenangan menjalankan eksekusi sehingga

meskipun putusan yang hendak dieksekusi itu adalah

hasil putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung

eksekusinya tetap berada di bawah kewenangan

pengadilan tingkat pertama.

5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.

Eksekusi tidak boleh menyimpang dari amar putusan,

karena jika terjadi penyimpangan dari amar putusan atau

dictum/isi putusan, maka pihak tereksekusi bisa menolak

pelaksanaannya.

C. Macam-Macam Eksekusi

Dalam perkara perdata menurut Praktek peradilan dikenal

adanya 3 (tiga) macam eksekusi, yaitu eksekusi riil, eksekusi

pembayaran sejumlah uang, dan eksekusi untuk melakukan

sesuatu perbuatan.

Page 104: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

98

Adapun penjelasan terkait macam- macam eksekusi akan

diuraikan di bawah ini:

i. Eksekusi Riil

Eksekusi riil adalah penghukuman pihak yang kalah untuk

melakukan perbuatan tertentu, misalnya penyerahan barang,

pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran,

menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi

riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata,

sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Perlu

ditambahkan di sini bahwa menurut Pasal 1033 Rv disebutkan

bahwa: "Jikalau putusan pengadilan yang memerintahkan

pengosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang

yang dihukum, maka ketua akan memerintahkan dengan surat

kepada juru sita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara,

barang tidak bergerak itu dikosonglan oleh orang yang

dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya".

Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1033 Rv

bahwa yang harus meninggalkan barang tidak bergerak yang

dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak

saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena

dalam hal sebuah rumah disita dan di atasnya telah diletakkan

perjanjian sewa menyewa sebelum rumah itu disita maka pihak

penyewa dilindungi oleh azas koop breekst geen huur yakni

azas jual beli tidak menghapuskan sewa menyewa sebagaimana

ditentukan Pasal 1576 KUH Perdata (Lilik Mulyadi, 1999:

279).

ii. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.

Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan

untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, Pasal 208

RBg). Eksekusi ini dilaksanakan melalui penjualan lelang

Page 105: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

99

terhadap barang-barang milik pihak yang kalah dalam perkara

sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar

sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim tersebut

ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi

(Lilik Mulyadi, 1999: 277).

Dalam praktek, barang-barang pihak yang kalah diletakkan

sita eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu sebelum

penjualan lelang dilakukan, kemudian proses eksekusi dimulai

dari barang-barang bergerak dan jikalau barang-barang

bergerak tidak ada ataukah tidak mencukupi barulah dilakukan

terhadap barang-barang yang tidak bergerak (barang tetap).

iii. Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan.

Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg

yaitu apabila seseorang dihukum melakukan perbuatan akan

tetapi tidak, melakulan perbuatan tersebut dalam waktu yang

ditentukan maka pihak yang menang dalam putusan itu dapat

meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar perbuatan yang

sedianya dilakukan/ dilaksanakan oleh pihak yang kalah

perkara dinilai dengan sejumlah uang.

Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata

dalam hal ini menyatakan bahwa "Menurut Pasal 225 HIR

yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus

dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Tergugat lalu

dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti

daripada pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar putusan

hakim yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua

Pangadilan Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, maka

dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak

berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula

ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti

Page 106: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

100

Putusan tersebut dengan putusan lain. Perlu dicatat, bahwa

bukan putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi putusan

Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pun dapat

diperlakukan demikian, tegasnya putusan yang sedang

dilaksanakan itu yang lebih menarik perhatian adalah

perubahan putusan ini dilakukan atas kebijaksanaan Ketua

Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi tersebut,

jadi tidak dalam sidang terbuka" (dalam Lilik Mulyadi, 1999:

277-278).

Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya

didasarkan pada putusan pengadilan, tetapi bisa juga

didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang

disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap seperti grose akta pengakuan hutang.

Pada ekseskusi pembayaran sejumlah uang ini untuk

mendapatkan uang, harta tergugat harus terlebih dahulu

dilelang, sebelum dilelang harus melalui tahap executorial

beslag (sita eksekusi). Proses lelang tersebut juga harus

melibatkan jawatan lelang dengan mengikuti aturan tata tertib

yang berlaku. Hal-hal seperti ini bila terjadi bila tergugat

misalnya tidak mempunyai sejunilah uang tunai.

iv. Tata Cara Eksekusi

Dalam hal eksekusi riil prosedur yang harus ditempuh

adalah pertama harus ada permohonan dari penggugat

(pemenang perkara) kepada Ketua Pengadilan Negeri apabila

pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara

sukarela. Jika penggugat tidak mengajukan permohonan maka

eksekusi tidak dapat dilaksanakan.

Proses selanjutnya adalah yang disebut pemberian

peringatan (aanmaning). Aanmaning ini adalah tindakan yang

Page 107: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

101

dilakukan Ketua Pengadilan berupa "teguran" kepada tergugat

(pihak yang kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara

sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah Ketua

Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari penggugat.

Ketua Pengadilan melakukan aanmaning kepada tergugat agar

ia melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari

terhitung sejak aanmaning dilalukan (pasal 207 ayat (2) RBg).

Proses aanmaning adalah sebagai berikut :

a. Melakukan panggilan terhadap tergugat (pihak yang

kalah) dengan menentukan hari/tanggal, dan jam

dalam surat panggilan.

b. Memberikan peringatan dengan cara ;

a) Diberikan pada waktu pelaksanaan sidang

insidentil, dimana dalam sidang insidentil ini

dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera, dan

tergugat (pihak yang kalah).

b) Memberikan peringatan/teguran supaya ia

menjalankan putusan dalam tempo 8 (delapan)

hari.

c) Membuat berita acara aanmaning, yaitu mencatat

semua peristiwa yang terjadi dalam sidang

tersebut, sebagai bukti otentik bahwa aanmaning

telah dilakukan. Berita acara ini merupakan

landasan bagi perintah eksekusi selanjutnya.

Apabila tergugat tidak hadir setelah dipanggil dengan patut,

dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, maka ia

harus dipanggil lagi untuk di aanmaning sekali lagi. Namun

jika ketidakhadirannya tersebut tanpa alasan yang dapat

dipertanggung jawabkan, maka konsekuensinya adalah haknya

untuk di aanmaning menjadi gugur, sehingga tidak perlu

Page 108: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

102

dipanggil kembali dan dalam hal ini Ketua Pengadilan

langsung mengeluarkan surat perintah eksekusi berupa

penetapan (beschiking) terhitung sejak tergugat tidak

memenuhi panggilan.

Apabila tenggang waktu 8 (delapan) hari terlampaui ternyata

pihak tergugat tetap tidak mau melaksanakan putusan hakim,

maka Ketua Pengadilan membuat suatu penetapan

mengabullan permohonan eksekusi dengan mengeluarkan surat

perintah eksekusi dengan ketentuan perintah harus merupalan

penetapan (beschiking), perintah ditujukan kepada panitera

atau jurusita dengan menyebutkan namanya, isi perintah adalah

agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.

Setelah adanya penetapan eksekusi dari Ketua Pengadilan,

selanjutnya panitera menentukan kapan eksekusi akan

dilaksanakan. Panitera akan membuat surat pemberitahuan

tentang kepastian hari diadakannya eksekusi dan ditujukan

kepada pemohon eksekusi, termohon eksekusi, kepala desa

setempat, kecamatan dan kepolisian. Setiap perintah yang

dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau panitera harus dalam

bentuk tertulis dan memperhatilan tenggang waktu yang patut

sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum dijalankan sesuatu

tindakan terhadap tereksekusi. Perintah tersebut harus

disampaikan dan diketahui oleh pihak tereksekusi.

Berdasarkan perintah eksekusi yang dibuat oleh Ketua

Pengadilan tersebut, panitera atau juru sita dapat menjalankan

eksekusi dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita

(Pasal 209 RBg).

b) Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut panitera atau

jurusita dibantu oleh 2 (dua) orang saksi (Pasal 210

Page 109: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

103

RBg) dengan syarat warga negara Indonesia berumur

minimal 21 tahun dan dapat dipercaya.

c) Eksekusi dilaksanakan di tempat obyek/barang

berada.

d) Membuat berita acara dengan ketentuan:

1. Dalam berita acara harus dicatat:

1) Barang/jenis yang dieksekusi

2) Letak/ukuran yang dieksekusi

3) Hadir/tidaknya tereksekusi

4) Penjelasan/keterangan pengawas barang

5) Penjelasan non bevinding bagi yang tidak

sesuai amar putusan

6) Penjelasan dapat/tidaknya eksekusi itu

dijalankan

7) Hari/tanggal, jam, Bulan dan tahun

pelaksanaan

8) Diserahkan kepada pemohon eksekusi

2. Berita acara ditandatangani oleh

1) Pejabat pelaksana eksekusi (Panitera atau

jurusita)

2) 2 (dua) orang saksi yang membantu

pelaksanaan eksekusi.

3) Kepala desa/lurah setempat atau camat

4) tereksekusi

3. Memberitahukan isi berita acara tereksekusi

(Pasal 209 RBg). Pemberitahuan ini dapat

dilakukan dengan cara menyerahkan

salinan/fotocopy berita acara tersebut di tempat

eksekusi dilaksanakan (bagi yang hadir pada

Page 110: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

104

waktu pelaksanaan eksekusi) atau di tempat

tinggalnya (bagi yang tidak hadir).

Surat perintah untuk menyita barang-barang dari pihak yang

kalah (tergugat) tersebut dimulai dari barang-barang bergerak

(tidak tetap) dan kalau barang-barang itu tidak ada atau tidak

mencukupi baru dapat dilakukan penyitaan barang-barang tidak

bergerak dari pihak yang kalah sehingga kiranya cukup untuk

membayar jumlah yang disebutkan dalam keputusan itu dan

biaya-biaya eksekusi.

Keluarnya surat perintah untuk menyita barang-barang dari

yang kalah tersebut, biasanya harus diawali pula dengan

adanya permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon

eksekusi (pihak yang menang,) baik itu dilakukan sendiri

maupun melalui kuasanya. Hal ini dimaksudkan agar

pengadilan dapat mengetahui apakah dalam batas waktu yang

telah ditetapkan tersebut pihak yang kalah sudah memenuhi

atau mematuhi isi putusan tersebut (Wildan Suyuthi, 2004: 76-

77).

Setidaknya ada dua alasan mengapa pemohon eksekusi

mengajukan lagi permohonan eksekusi lanjutan, padahal

permohonan eksekusi sudah diajukan. Pertama, dari sisi isi dan

maksud, surat permohonan lanjutan tersebut akan dijadilan

dasar Ketua Pengadilan untuk mempertimbangkan dalam surat

penetapan tentang penyitaan eksekusi. Sebab surat penetapan

tentang penyitaan eksekusi ini merupalan tahapan kedua

setelah dileluarkan surat penetapan tegoran (aanmaning).

Kedua; sesuai dengan prinsip bahwa dalam penyelesaian

perkara perdata, Hakim/Pengadilan adalah pasif sehingga

pengajuan permohonan untuk setiap tahapan proses eksekusi

perlu dilakukan.

Page 111: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

105

Demikian uraian secara singkat mengenai proses eksekusi riil,

untuk eksekusi pembayaran sejumlah uang dalam perkara yang

menjadi wewenang pengadilan adalah aanmaning (peringatan),

penetapan sita eksekusi (jika sebelumnya belum ada sita jaminan),

perintah penjualan lelang, pengajuan lelang (setelah dilakukan

pengumuman sesuai ketentuan yang berlaku) dan terakhir

penyerahan uang hasil lelang. Sedangkan prosedur eksekusi untuk

melakukan perbuatan tertentu diawali dengan permohonan agar

putusan tersebut dinilai dengan uang kemudian tereksekusi di

aanmaning selanjutnya Ketua Pengadilan menetapkan jumlah

sebagai pengganti putusan yang bersangkutan (Wildan Suyuthi,

2004: 77-78).

Page 112: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

106

BAB VII

ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION

(ADR)

A. Pengertian

Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10

yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah

lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi atau penilaian ahli.

Dimaksudkan dengan para pihak dalam hal ini adalah subyek

hukum, baik menurut Hukum perdata maupun hukum publik

(Pasal 1 angka 2 UU No. 30 Tahun 1999). Alternative Dispute

Resolution (ADR) sendiri bukanlah sesuatu yang sama sekaki

baru, sebab dalam praktek pada umumnya sebelum sesuatu

perkara dibawa ke persidangan pengadilan yang dikenal sebagai

jalur litigasi, biasanya seorang advokat akan menganjurkan para

pihak untuk menempuh jalur perdamaian terlebih dahulu. Pada

saat ini mengenai ADR telah diatur dalam Undang-Undang No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa yaitu di Bab II tentang Alternalif Penyelesaian Sengketa

yang sayangnya hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 6

yang terdiri dari sembilan ayat.

Page 113: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

107

Adapun Pasal 6 yang dimaksud selengkapnya akan dikutip di

bawah ini:

Pasal 6

i. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh

para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang

didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

ii. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif

penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya

dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

iii. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas

kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat

diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli

maupun melalui seorang mediator.

iv. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14

(empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih

penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak

berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil

mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat

menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga

penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

v. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau

lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling

lama 7 (tujuh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk

tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

vi. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui

mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan

Page 114: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

108

memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk

tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

vii. Kesepalatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara

terlulis adalah final dan mengikat para pihak untuk

dilalsanakan dengan itikat baik serta wajib didaftarkan di

Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari sejak penandatanganan.

viii. Kesepakatan penyelesalan sengketa atau beda pendapat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai

dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari

sejak pendaftaran.

ix. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para

pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat

mengajukan usaha pcnyelesaian melalui lembaga arbitrase

atau arbitrase ad hoc.

Alteratif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution

atau ADR) merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar

pengadilan dengan prinsip musyawarah dan mufakat, yang

merupakan bagian penting yang menjiwai ADR. ADR dalam

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 hanya disinggung sedikit saja

sehingga sebetulnya kita perlu memikirkan adanya peraturan yang

secara komprehensif mengatur semua proses atau mekanisme

dalam ADR.

Page 115: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

109

B. Beberapa Proses Dalam ADR

Beberapa proses dalam ADR adalah sebagai berikut:

1. Negosiasi

Hakikat sebuah negosiasi adalah komunikasi dan tawar

menawar (bargaining), jadi dalam proses negosiasi ini terlibat

dua pihak atau lebih yang berkepentingan untuk rnencapai

suatu kesepakatan. Menurut Fisher dan Ury (Yudha Pandu

2004: 133-134) ada dua pendekatan fundamental dalam proses

negosiasi.

Pertama, positional bargainer yaitu negosiator yang

sangat radikal untuk mencapai suatu target dalam bernegosiasi

karena mereka sadar bahwa posisinya berada di "atas angin".

Memulai penyelesaian perkara dengan suatu penawaran dan

solusi bersamaan dengan permintaan sesuatu hal tertentu.

Meyakinkan pihak lain bahwa solusi mereka adalah yang

terbaik dari kemungkinan yang ada. Sasarannya adalah

menang, memaksimumkan keuntungan, menghindari

kompromi, berusaha sedikit mungkin untuk memberi dan

selalu menawar pada titik yang terendah. Pendekatan yang

digunakan oleh negosiator ini adalah untuk sasaran jangka

pendek yang tidak mengharapkan hubungan berkelanjutan.

Oleh karena itu model pendekatan ini sangat berpotensi

menghilangkan kepercayaan (trust).

Kedua interest-based negotiation ialah negosiasi yang

mengutamakan kepuasan para pihak adalah solusi yang

terbaik. Dasar dari prinsip negosiasi yang mereka gunakan

adalah menonjolkan kebersamaan dalam menyelesaikan

konflik daripada kesempatan mencapai kemenangan di satu

pihak dengan cara memperternukan kepentingan masing-

masing. Sasaran mereka adalah menemukan suatu solusi yang

Page 116: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

110

saling memuaskan, memaksimumkan keuntungan para pihak,

tercapainya suatu kompromi adalah yang terbaik dari semua

pilihan. Kepentingan mereka tercapai tetapi diterima oleh

pihak lain dan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan

yang lain sampai solusi yang terbaik disetujui bersama.

Pendekatan yang digunakan oleh negosiator yang kedua ini

adalah pendekatan untuk sasaran jangka panjang dimana unsur

kepercayaan dalam suatu hubungan tetap eksis, sehingga

keinginan bekerjasama pada masa akan datang mudah

terwujud kembali.

2. Mediasi

Mediasi adalah suatu proses dimana para pihak secara

bersama-sama dengan dibantu oleh mediator atau penengah

berusaha mengisolasikan perkara agar dapat mengembangkan

dan mempertimbangkan pilihan-pilihan dalam mencapai

kesepakatan yang pada akhirnya dapat mengakomodasi

kepentingan mereka masing-masing. Mediator dalam hal ini

berfungsi mengontrol dan mengatur jalannya proses mediasi.

Peranan mediator disini, adalah sebagai berikut:

a. Secara sistematis berusaha mengisolasi issue-issue

dalam konflik agar tidak melukai para pihak, dimana

jika proses mediasi tidak berhasil, para pihak masih

dapat didorong nienyelesaikan konfliknya dalam

bentuk lain seperti arbitration;

b. Mengembangkan dan mencari berbagai kemungkinan

yang dapat menyelesaikan konflik.

c. Mencari kesepakatan yang dapat mengakomodasi

kepentingan masingmasing (Yudha Pandu, 2004:

134).

Page 117: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

111

Dalam proses mediasi ini masing-masing pihak telah

mempunyai advokat sebagai penasihat hukum yang bertugas

mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan,

membantu klien bernegosiasi secara efektif, memberi, nasihat

dan pandangan secara hukum dan merancang syarat dan

kondisi dalam setiap dokumen-dokumen atau kesepakatan

apapun yang tercapai. Jadi dalam proses mediasi ini mediator

tidak termasuk memberikan konsultasi hukum kepada pihak-

pihak yang bersengketa.

Dalam proses mediasi selalu ada resiko yang selalu

mendominasi yang menurut Gregory Tillet adalah akibat dari:

a. Power imbalance, adanya ketidakseimbangan

kekuatan pada salah satu pihak yang dapat

menimbulkan kekhawatiran;

b. Coercion, adanya penggunaan ancaman dan kekerasan

oleh salah satu pihak;

c. Lack of skill, kurang cakap dalam berpartisipasi secara

efektif;

d. Trauma, mengalami peristiwa buruk selama atau

sebelum proses mediasi;

e. Conflict escalation, konflik akan meluas disebabkan

adanya ekspresi pendapat atau perasaan berlebihan;

f. Position entrenchment, para pihak berpandangan

bahwa proses mediasi adalah suatu pertempulan

dimana mereka harus berdebat dan sekuat-kuatnya

mempertahankan posisi sehingga akhirnya terbentuk

kubu-kubuan;

g. Injustice, karena mediasi dilakukan secara tertutup

maka mungkin saja solusi yang diambil

Page 118: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

112

nienguntungkan para pihak tapi sesungguhnya

merugikan kepentingan masyarakat umum;

h. Misuse of process, proses mediasi disalah gunakan

oleh salah satu pihak dengan pura-pura berpartisipasi

agar terlihat dapat bekerjasama mencari solusi tetapi

sesungguhnya berusaha menggagalkan setiap solusi

yang akan dicapai. Karena tujuan mereka

berpartisipasi hanya untuk mendapatkan dan

mengetahui informasi penting dan argumentasi lawan

selanjutnya akan mereka gunakan pada proses

persidangan di pengadilan ; dan

i. Dangerous disclosure, mediasi mendorong

keterbukaan para pihak, tetapi mungkin saja salah satu

pihak terpancing membuka informasi pribadinya yang

sangat sensitif dikemudian hari dapat digunakan pihak

lain untuk mempermalukan (Yudha Pandu, 2004: 135-

136).

3. Konsiliasi (Conciliation)

Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian perselisihan

atau konflik berdasarkan konsensus para pihak untuk bertemu

dengan konsiliator dalam rangka membahas kemungkinan-

kemungkinan penyelesaian yang dapat diterima masing-

masing (Yudha Pandu, 2004: 137). Jadi dalam proses

konsiliasi ini, konsiliator harus memberikan masukan-

masukan dan rumusan yang dapat dipertimbangkan para pihak

untuk dijadikan penyelesaian. Dengan demikian peranan

konsiliator ini bersifat aktif.

4. Fasilitasi (Facilitation)

Fasilitasi lebih dibutuhkan dalam suatu perkara yang

melibatkan lebih dari dua pihak (multi party). Dalam hal ini

Page 119: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

113

dibutuhkan pihak ketiga sebagai fasilitator untuk membantu

pihak yang berperkara mencari jalan keluar bersama-sama

untuk menyelesaikan perkara mereka.

Dalam hal ini fasilitator hanya memberikan fasilitas

seperti penghubung, penterjemah sekretariat bersama, tempat

pertemuan yang semuanya itu dalam rangka membangun

komunikasi yang efektif sehingga para pihak menemukan

kesepahaman dalam penyelesaian perkara mereka.

5. Proses Penilaian independen (Independent Expert

Appraisal)

Dalam proses ini pihak penilai independen sebagai pihak

ketiga yang tidak memihak dan bekerja memberikan pendapat

atau fakta-fakta yang ada dalam perkara. Pihak-pihak

berperkara menyetujui pendapat penilai independen menjadi

suatu keputusan final dan mengikat semua pihak. Sehingga

penilai independen ini selain mempunyai peranan investigasi

tetapi juga pembuat keputusan. Bisa juga pihak-pihak yang

bersengketa itu menjadikan saran atau pendapat dari penilai

independen sebagai bahan pertirnbangan dalarn negosiasi

selanjutnya.

Pendapat penilai independen dihasillan berdasarkan

penilaian profesional oleh suatu profesi yang berkaitan dengan

issue-issue dalam perkara. Misalnya perkara yang timbul atau

tidak diterimanya suatu prkerjaan konstruksi dari suatu

bangunan karena salah satu pihak menganggap tidak

memenuhi persyaratan atau standar umum yang berlaku.

Untuk mencari penyelesaianya para pihak setuju menunjuk

konsultan konstruksi independen untuk melakukan penilaian

secara profesional.

Page 120: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

114

Dalam kaitan ini para pihak bersengketa harus menyetujui

hal-hal yang perlu dimintakan pendapat penilai independen,

cara penunjukan penilai, prosedur dalam memberikan

informasi relevan kepada penilai sebagai bahan investigasi.

Pihak penilai independen juga harus mengungkapkan metode

dan prosedur yang mereka gunakan dalam penilaian.

6. Proses Arbitrase

Arbitrasi adalah suatu penyelesaian perkara oleh seorang

atau beberapa arbiter (hakim) yang diangkat berdasarkan

persetujuan para pihak dan disepakati bahwa putusan yang

diambil arbiter bersifat mengikat dan final. Ciri-ciri arbitrase

adalah:

a. Suka rela;

b. Memilih sendiri arbiternya;

c. Menerima, tunduk pada putusan ; dan

d. Putusan bersifat mengikat dan final.

Dalam praktek ruang lingkup arbitrase adalah khusus

hanya sebatas perkara bisnis, sehingga hal-hal lain dalam

hukum perdata seperti perkara perceraian, perburuhan,

warisan dan tidak dapat diajukan pada arbitrase (Yudha

Pandu, 2004: 138-139).

Arbitrase ada dua macam yaitu arbitrase ad hoc dan

arbitrase institusional (permanen). Arbitrase ad hoc adalah

arbitrase yang dipilih sendiri oleh para pihak hanya untuk

suatu perkara tertentu. Jila perkara itu selesai dengan suatu

putusan maka selesai pulalah tugasnya, arbitrase ini bubar

dengan sendirinya.

Sedangkan arbitrase instutisional adalah arbitrase yang

telah dilembagakan dan bersifat permanen. Arbitrase ini

secara resmi telah mempunyai peraturan dan tata cara

Page 121: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

115

pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan dan

persidangan secara nasional. Contoh arbitrase institusional

adalah BANI atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia.

Menyelesaikan perkara dalam proses ADR, harus

didahului dengan suatu investigasi untuk mengumpulkan

informasi sebagai dasar analisa berupa dokumen-dokumen

yang berasal dari internal maupun eksternal, wawancara dan

para saksi dan para ahli dengan memperhatikan:

a. Adequate information, informasi yang cukup

memadai;

b. Identifying the percention of the parties, mengenali

pandangan para pihak baik secara positif dan negatif;

c. Identifying the needs of the parties, mengenali

keinginan maksimum dan minimum para pihak.

d. Identifying the positions of the parties, mengenali

posisi pro dan kontra para pihak;

e. Evaluating the capacity of the parties, menilai

kapasitas para pihak;

f. Identifying relevant external factors, menilai pengaruh

luar yang relevan.

Hasil investigasi setidaknya harus bisa menghasilkan sebuah

analisa yang dapat meliputi seperti apa yang menjadi perkara?

siapa saja yang terlibat? Bagaimana kronologi terjadi perkara? dan

adakah hal-hal yang perlu dikhawatirkan dalam penyelesaiannya.

C. Keunggulan ADR Dibanding Forum Pengadilan

Forurn ADR lebih tepat sesuai untuk perkara yang berkaitan

dengan hubungan bisnis karena mekanisme ADR dalam

menyelesaikan perkara didesain efektif dan efisien serta

memberikan peluang para pihak untuk dapat mengendalikan

Page 122: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

116

proses dan hasil putusannya. David dan Cavanagh sebagaimana

dikutip oleh Yudha Pandu dalam buku "Klien dan Advokat" tahun

2004 hal 143-144 menyebutkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. The parties have nothing to lose, para pihak tidak merasa

kehilangan muka;

b. They process can be as fast as the parties want, proses

dapat dipercepat atas dasar keinginan para pihak;

c. Less expensive than litigation, biayanya lebih murah

daripada forum sidang di pengadilan;

d. The parties can walk out at any time, para pihak dapat

menghentikan proses setiap saat;

e. The proceedings and their contents are entirely

confidential, proses pemeriksaan dan segala isinya dijaga

kerahasiaan;

f. The outcome has no procedential value, putusan tidak

menjadi suatu preseden;

g. The parties choose the third party neutral, para pihak

dapat memilih pihak ketiga yang tidak memihak;

h. There is 'hearing' certainty in terms of date with no

frustrating adjournments, adanya kepastian jadwal tanpa

adanya penundaan;

i. The relationship between the parties is likely to be

enhance, proses justru akan mempetkuat hubungan para

pihak;

j. There are more available remedies, ada banyak

kemungkinan cara pemulihan;

k. The parties can determine their own procedure, para

pihak dapat menentukan sendiri prosedur penyelesaian

yang akan digunakan;

Page 123: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

117

l. The parties retain control, para pihak mengendalikan

jalannya proses penyelesaian;

m. The processes are likely to facilitate an early settlement,

proses memudahkan perkara diselesaikan lebih awal;

n. Nothing is versted and if the process does not lead a

satisfactory and litigation, tidak ada yang mubazir

walaupun tidak tercapainya keputusan yang memuaskan,

informasi yang telah terkumpul dapat digunakan pada

proses litigasi selanjutnya;

o. The processes encourage a narrowing of the issues in

dispute, proses mendorong, pembahasan issue-issue

perkara yang paling pokok;

p. The processes encourage a clarifying the issues in dispute,

proses memborong para pihak memberikan klarifikasi

terhadap isue yang diperselisihkan;

q. Neither party need expose evidence that it wishes to

remain concealed from the other sick, tidak diperlukan

mengungkapkan bukti yang ingin tetap disimpan;

r. Parties can demonstrate their belief in the strength of

their own case, para pihak dapat menunjukkkan dalil atau

keyakinan dalam perkara mereka;

s. Processes promote with/win solutions, proses dapat

menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan para

pihak;

t. The process suitable for resolving multy party dispute,

proses sesuai untuk konflik yang melibatkan lebih dari

dua pihak;

u. Complex issues can be raised and dealt with, isue-isue

yang rumit sekalipun dapat diajukan untuk diselesaikan;

Page 124: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

118

v. Processes allow finality in the resolution of the dispute,

proses memungkinkan penyelesaian tuntas;

w. Eliminate fear, menghilangkan rasa kekhawatiran;

x. Wider issues can be taken into account, meluasnya isue-

isue dalam perkara dapat dikendalikan;

y. Settlements that are commercially sound and viable can

be reached, penyelesaian secara komersil dan terbuka

dapat dicapai; dan

z. The parties retain their credibility, para pihak tetap dapat

mempertahankan kredibilitas mereka.

Page 125: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

119

BAB VIII

SEKILAS TENTANG UNDANG-UNDANG

BANTUAN HUKUM

Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

disahkan pada tanggal 31 Oktober 2011 dan diundangkan pada

tanggal 2 November 2011. Undang-undang Bantuan Hukum

tersebut mulai berlaku sejak diundangkan, sehingga tanggal mulai

berlakunya Undang-undang Bantuan Hukum tersebut adalah sejak

tanggal 2 November 2020. Beberapa alasan dikeluarkannya

undang-undang bantuan hukum tersebut sebagaimana tercantum

dalam bagian pertimbangan adalah sebagai berikut :

a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi

manusia;

b. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian

bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan

akses terhadap keadilan;

c. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang

diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada

terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan.

Secara universal, hak atas bantuan hukum dijamin dalam

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)).

Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak

Page 126: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

120

memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari

segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR,

memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-

kepentingan keadilan dan 2) tidak mampu membayar Advokat.

Demikian antara lain ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-

undang tentang Bantuan Hukum.

Ditegaskan juga bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum,

negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap

individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan

pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan

upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi

negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak

asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan

(access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality

before the law).

Tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas bantuan

hukum kepada warga negara khususnya bagi orang atau kelompok

orang miskin diimplementasikan melalui pembentukan Undang-

Undang Bantuan Hukum ini. Melalui Undang-undang tentang

Bantuan Hukum ini, diharapkan ada akses keadilan dan kesamaan

di hadapan hukum. Bagi orang atau kelompok orang miskin harus

dibantu dalam memperoleh akses ke keadilan ini.

Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang

tentang Bantuan Hukum ini antara lain mengenai: pengertian

Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan

Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan

tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan

ketentuan pidana. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-

Page 127: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

121

Undang Bantuan Hukum memberikan arti beberapa istilah sebagai

berikut : Pasal 1 Undang-undang tentang Bantuan Hukum :

Angka 1 : Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang

diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum

secara cuma-cuma kepada Penerima

Bantuan Hukum

Angka 2 : Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau

kelompok orang miskin.

Angka 3 : Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga

bantuan hukum atau organisasi

kemasyarakatan yang memberi layanan

Bantuan Hukum.

Angka 4 : Menteri adalah menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum dan hak asasi manusia.

Angka 5 : Standar Bantuan Hukum adalah pedoman

pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum

yang ditetapkan oleh Menteri.

Angka 6 : Kode Etik Advokat adalah kode etik yang

ditetapkan oleh organisasi profesi advokat

yang berlaku bagi Advokat.

Menurut Ketentuan Pasal 3 Undang-undang tentang Bantuan

Hukum, Bantuan Hukum tersebut berasaskan :

a. keadilan;

b. persamaan kedudukan di dalam hukum;

c. keterbukaan;

d. efisiensi;

e. efektivitas; dan

f. akuntabilitas.

Page 128: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

122

Penjelasan atas pasal tersebut menyatakan : “Pasal 2 Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” menempatkan hak dan

kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan

tertib. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas persamaan

kedudukan di dalam hukum” adalah bahwa setiap orang

mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta

kewajiban menjunjung tinggi hukum. Huruf c Yang dimaksud

dengan “asas keterbukaan” adalah memberikan akses kepada

masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar,

jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan

atas dasar hak secara konstitusional”

Pasal 3 menentukan bahwa penyelenggaraan Bantuan Hukum

bertujuan untuk:

a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan

Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara

sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam

hukum;

c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum

dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara

Republik Indonesia; dan

d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat

dipertanggungjawabkan.”

Adapun mengenai Ruang Lingkup Bantuan Hukum, Pasal 4

UU Bantuan hukum mengatur sebagai berikut : bahwa Bantuan

Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang

menghadapi masalah hukum. Bantuan Hukum meliputi masalah

hukum keperdataan, pidana dan tata usaha negara baik litigasi

maupun nonlitigasi.

Page 129: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

123

Jasa Bantuan Hukum meliputi tindakan-tindakan sebagai

berikut :

1. menjalankan kuasa,

2. mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima

Bantuan Hukum.

3. Penerima Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau

kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak

dasar secara layak dan mandiri.

4. Hak dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang,

layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan

berusaha, dan/atau perumahan,

Pasal 1 Angka 3 menyatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum

adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan

yang memberi layanan Bantuan Hukum. Pemberi Bantuan Hukum

ini harus memenuhi persyaratan yan ditentukan. Adapun syarat-

syarat Pemberi Bantuan Hukum adalah sebagai berikut :

a. berbadan hukum;

b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;

c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

d. memiliki pengurus; dan

e. memiliki program Bantuan Hukum

Dalam Undang-undang tentang Bantuan Hukum ini juga diatur

tentang hak dan kewajiban pemberi bantuan hukum. Hak pemberi

bantuan hukum adalah sebagai berikut :

a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen,

dan mahasiswa fakultas hukum;

b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;

c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum,

dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan

Page 130: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

124

penyelenggaraan Bantuan Hukum;

d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan

Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;

e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela

perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang

pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah

ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan

perkara; dan

g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan,

dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan

Hukum.

Sedangkan Kewajiban Pemberi Bantuan Hukum Adalah

Sebagai Berikut :

a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan

Hukum;

b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang

digunakan untuk pemberian Bantuan Hukum;

c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan

Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas

hukum yang direkrut;

d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan

yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan

dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan

lain oleh undang-undang; dan

e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan

Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan

dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai,

kecuali ada alasan yang sah secara hukum.

Page 131: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

125

Pemberi Bantuan Hukum memiliki hak kekebalan yang disebut

sebagai hak imunitas. Hak Imunitas Pemberi Bantuan Hukum

tersebut secara tegas dinyatakan dalam Pasal 11 UU tentang

Bantuan Hukum. Pasal 11 menyatakan bahwa :

“Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata

maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang

menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad

baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar

Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan

dan/atau Kode Etik Advokat.”

Ukuran atau parameter hak imunitas tersebut adalah iktikad

baik. Artinya hak imunitas tersebut tidak berlaku jika dalam

memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya

tersebut dilakukan tidak dengan iktikad baikBerikutnya dalam

Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini juga diatur tentang

hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum yaitu :

Penerima Bantuan Hukum berhak :

a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya

selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang

bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;

b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar

Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan

c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan

dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan kewajiban penerima bantuan hukum adalah :

Penerima Bantuan Hukum Berkewajiban :

a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan

perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum;

Page 132: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

126

b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.

Dalam UU tentang Bantuan Hukum juga ditentukan tentang

syarat untuk memperoleh bantuan hukum. Adapun syarat tersebut

adalah sebagai berikut :

a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-

kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai

pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;

b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan

c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa,

atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon

Bantuan Hukum.

Permohonan dapat diajukan secara lisan jika tidak mampu

menulis. Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan

Bantuan Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum. Pemberi

Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari

kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap

harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan

Bantuan Hukum. Dalam hal permohonan Bantuan Hukum

diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum

berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari Penerima Bantuan Hukum.

Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan

Hukum mencantumkan alasan penolakan. Ketentuan mengenai hal

ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Undang-undang tentang Bantuan Hukum ini dijelaskan

bahwa dana bantuan hukum bersumber dari :

1. APBN

2. HIBAH, SUMBANGAN DAN ATAU

3. SUMBER PENDANAAN LAIN YANG SAH DAN

TIDAK MENGIKAT

Page 133: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

127

Demikian ditegaskan dalam ketentan Pasal 16 UU Bantuan

Hukum. Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaran

bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum dialokasikan pada

anggaran Kementerian yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (Pasal 17).

Ketentuan lebih lanjut tentang penyaluran dana banuan hukum

kepada penerima bantuan hukum diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah. Sementara itu daerah dapat mengalokasikan

anggaran penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Selanjutnya Pasal 20 UU tentang Bantuan Hukum menegaskan

adanya larangan bagi pemberi bantuan hukum. Pemberi Bantuan

Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari

Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan

perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum. Sanksi

terhadap pelanggaran ketentuan ini ada pada Pasal 21 UU tentang

Bantuan Hukum menyatakan : “Pemberi Bantuan Hukum yang

terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima

Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara

yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau

denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

Page 134: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

128

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum

Acara Pidana Baru di Indonesia, Alumni, Bandung,

1980

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Arikha

Media Cipta, Jakarta, 1996

Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP, HIR

dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984

Bambang Widjojanto, Perlunya Revisi Atas Hak Bantuan

Hukum KUHAP (Telaah Kritis Masalah Bantuan

Hukum Dalam Perkara Pidana) Makalah Seminar

Nasional, UMS Surakarta, 1997

Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di Dalam KUHAP,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985

Ifdhal Kasim, Perdebatan di Sekitar Pembaharuan KUHAP,

Harian Bernas, 11 April 1994

Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan

Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Exepsi, dan Putusan

Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,

Djambatan, Jakarta, 1999

Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court (Satu

Proles di Dewan Kehormatan Profesi), Djambatan,

Jakarta, 1996

Martiman Prodjohamdjojo, Penasihat dan Bantuan Hukum

Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982

Page 135: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

129

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP, Pustaka Sinar Kartini, Jakarta, 1985

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2001

Nawawi, Taktik dan Strategi Membela Perkara Perdata, Fajar

Agung, Jakarta, 1987

Oernar Senoadji, Profesi Advokat, Erlangga, Jakarta, 1991 Oemar

Senoadji, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta, 1992

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme), Bina Cipta,

Bandung, 1996

S. Tanusubroto, Peranan Pra-Peradilan Dalam Hukum Acara

Pidana, Alumni, Bandung, 1983

Sukardjo Adidjojo, Profesi Advokat, Dalam Bulletin Informasi

BAHANA No. 3 Tahun 1985

Wawan Tunggul Alam, Memahami Profesi Hukum Milinea

Populer, Jakarta, 2004

Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi (Praktek Kejurusitaan

Pengadilan), PT. Tata Nusa, Jakarta, 2004

Yudha Pandhu, Klien dan Advokat Dalam Praktek Indonesia,

Legal Center Publishing, 2004

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 8 Tahuh 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman

Page 136: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

130

Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan--

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Page 137: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

131

Catatan tentang penulis.

SUPRIYANTA, lahir di Sleman, 12 Agustus 1966.

Menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) 4

Yogyakarta Tahun 1985. Kemudian melanjutkan pendidikan di

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang lulus Tahun

1990. Pada Tahun 1991 sampai sekarang sebagai Dosen di

Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta.

Tahun 1995 melanjutkan studi di Program Pascasarjana (S2)

Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan

mengambil Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana.

Pada Tahun 2012 menyelesaikan studi pada Program Doktor Ilmu

Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Posisi

yang pernah dipercayakan adalah Kepala Biro Skripsi, Kepala

Laboratorium Hukum, Ketua Bagian Hukum Pidana, Sekretaris

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Ketua Dewan Kehormatan dan Etika

Pegawai Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Page 138: BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA