Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
BANTUAN HUKUM &
ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
Oleh:
Dr. SUPRIYANTA, SH., MHum.
Penerbit
Unisri Press © 2020
ii
BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
Penulis:
Dr. SUPRIYANTA, SH., MHum.
Editor:
Ika Nur Afni
ISBN: 987-623-95479-0-5
Desain sampul : Anindyo Mahendra Prasetyo
Penerbit: UNISRI Press
Redaksi:
Jalan Sumpah Pemuda No 18. Joglo, Banjarsari, Kota Surakarta
[email protected]/ press.unisri.ac.id
Anggota APPTI
Dicetak oleh “Percetakan Kurnia” Solo
Cetakan Pertama, November 2020
Copyright © 2020
ISI MENJADI TANGGUNG JAWAB PENULIS
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii
KATA PENGANTAR
Dinamika masyarakat akibat kemajuan di bidang
teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini menyebabkan
munculnya persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks
dengan segala alternatif penyelesaiannya.
Buku yang berjudul Bantuan Hukum dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa ini disusun untuk menambah buku
kepustakaan serupa yang mungkin sudah banyak diterbitkan.
Kehadiran buku ini diharapkan bisa menjadi acuan awal bagi
mereka yang ingin mendalami ruang lingkup Bantuan Hukum dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sejak diundangkannya Undang-undang No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat, yang diberi kewenangan untuk
memberikan jasa hukum adalah mereka yang berprofesi sebagai
advokat. Karena itu profesi advokat ini disinggung dalam buku ini.
Lebih dari itu adalah mengenai aspek kerugian dan keuntungan
dari cara-cara penyelesaian perkara antara prosedur litigasi (dalam
persidangan) dan non litigasi (di luar persidangan) yang dikenal
dengan istilah alternatif penyelesaian sengketa atau "Alternative
Dispute Resolution" (ADR).
Akhirnya semoga buku ini memberi manfaat bagi pihak-
pihak yang memerlukan. Saran dan kritik yang membangun akan
diterima dengan senang hati.
Surakarta, November 2020
Dr. SUPRIYANTA, SH, M.Hum
iv
BANTUAN HUKUM & ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Pengertian Bantuan Hukum .......................................................... 1
B. Batuan Hukum Dalam Kaidah Hukum Positif .............................. 2
C. Bantuan Hukum Yang Diatur Dalam KUHAP (Undang Undang
No. 8 Tahun 1981, (LN, 1981 No. 76 Tgl 31 Desember 1981) .... 6
BAB II ADVOKAT ................................................................................10
A. Istilah Advokat .............................................................................10
B. Menurut Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003..............11
C. Istilah-Istilah Lain ........................................................................12
D. Pengangkatan Advokat ................................................................13
E. Status, Penindakan dan Pemberhentian Advokat .........................17
F. Hak dan Kewajiban Advokat .......................................................20
BAB III BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN
PIDANA BERDASARKAN KUHAP ....................................................23
A. Tahap Penyidikan ..........................................................................28
B. Tahap Penuntutan ..........................................................................43
C. Tahap Pemeriksaan Pengadilan .....................................................53
BAB IV BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA ........58
A. Surat Kuasa Untuk Advokat ........................................................60
B. Perihal Surat Gugatan ..................................................................62
C. Isi Surat Gugatan .........................................................................63
D. Strategi Pembuktian .....................................................................67
a. Perihal Bukti Tulisan .............................................................70
b. Alat Bukti Pengakuan ............................................................74
c. Alat Bukti Sumpah ................................................................76
BAB V PUTUSAN HAKIM DAN UPAYA HUKUM .........................84
A. Sifat Putusan Hakim ....................................................................84
B. Jenis-Jenis Putusan Hakim ...........................................................86
C. Upaya Hukum ..............................................................................87
BAB VI PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM (EKSEKUSI) ............94
A. Pengertian Eksekusi .....................................................................94
B. Azas-Azas Eksekusi .....................................................................95
C. Macam-Macam Eksekusi .............................................................97
BAB VII ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION (ADR) ............106
A. Pengertian ..................................................................................106
B. Beberapa Proses Dalam ADR ....................................................109
C. Keunggulan ADR Dibanding Forum Pengadilan ......................115
vi
BAB VIII SEKILAS TENTANG UNDANG-UNDANG BANTUAN
HUKUM ............................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 128
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Bantuan Hukum
Istilah bantuan hukum dapat dikatakan masih merupakan hal
baru bagi bangsa Indonesia. Masyarakat baru mengenal dan
mendengarnya disekitar tahun tujuh puluhan (Yahya Harahap,
2001: 333).
Konsep bantuan hukum sendiri pada awalnya berasal dari
negara-negara barat. Di negara-negara maju istilah bantuan hukum
dipergunakan dalam dua arti yaitu Legal aid dan Legal assistance.
Disamping itu dikenal juga istilah Legal Service (Abdurrahman,
1980 : 116).
Istilah Legal aid dipergunakan dalam makna yang sempit
yaitu berupa jasa bantuan hukum kepada seseorang yang terlibat
dalam suatu perkara. Dalam konsep Legal aid ini motivasi
utamanya adalah menegakkan hukum dengan jalan membela
kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta
hukum.
Konsep Legal Assistance mengadung arti yang lebih luas
daripada Legal aid, sebab di samping memberi jasa bantuan
hukum kepada rakyat miskin secara cuma-cuma, juga memberi
jasa bantuan hukum kepada mereka yang mampu membayar
prestasi.
Bentuk ketiga adalah yang disebut legal service yang
mempunyai makna pemberian bantuan hukum yang mencakup
usaha-usaha seperti bantuan hukum untuk menjaga agar hak hak
2
yang telah diakui oleh hukum tetap dihormati, usaha agar yang
menyangkut kepentingan orang miskin dapat dilaksanakan secara
lebih positif sehingga dapat mengeliminasi kenyataan-kenyataan
diskriminatif dalam penegakkan hukum, usaha-usaha untuk
mendayagunakan cara-cara penyelesaian sengketa melalui upaya
perdamaian dan sebagainya.
Demikian pengertian bantuan hukum yang dijumpai dalam
praktek di beberapa negara. Di Indonesia sendiri dalam kenyataan
sehari-hari jarang sekali membedakan ketiga istilah tersebut.
Dikalangan profesi dan praktisi hukum dan apalagi bagi
masyarakat awam hanya mempergunakan istilah bantuan hukum,
sedangkan menurut Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003
yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah jasa hukum yang
diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang
tidak mampu (Pasal 1 angka 9).
B. Batuan Hukum Dalam Kaidah Hukum Positif
Dalam sejarah hukum positif di Indonesia, bantuan hukum
dalam perkara pidana telah dikenal sejak masa berlakunya HIR
walaupun masih bersifat terbatas, karena hanya memperkenalkan
bantuan hukum kepada terdakwa di depan pengadilan. Sedang
kepada tersangka yang masih dalam proses pemeriksaan
penyidikan HIR belum memberi hak untuk mendapat bantuan
hukun. Jadi HIR belum memberi hak untuk mendapatkan dan
berhubungan dengan seorang penasihat hukum pada semua tingkat
pemeriksaan, hanya terbatas sesudah memasuki taraf pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Demikian juga kewajiban bagi pejabat peradilan untuk
menunjuk penasihat hukum, hanya terbatas pada tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati. Dalam sejarah selanjutnya
3
ketentuan mengenai bantuan hukum diatur secara lebih luas dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yaitu Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Pada UU No. 14 Tahun 1970 ini terdapat
satu bab khusus yang memuat ketentuan tentang bantuan hukum
yaitu pada Bab VII yang terdiri dari Pasal 35 sampai dengan Pasal
38. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun
1970 telah menetapkan hak bagi setiap orang yang terkena urusan
perkara untuk memperoleh bantuan hukum.
Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 telah memperlihatkan azas bantuan hukum memang telah
diakui sebagai hal yang penting (lihat penjelasan Pasal 35).
Namun apa yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970 tersebut
belum juga sampai pada taraf yang meletakan azas wajib
memperoleh bantuan hukum, masih pada taraf "hak" mendapatkan
bantuan hukum. Meskipun demikian hak memperoleh bantuan
hukum dalam perkara pidana ini sudah dibenarkan sejak saat
dilakukan penangkapan atau penahanan yang berupa "hak
menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum".Bagaimana
caranya menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 belum mengaturnya.
Jadi kesimpulannya UU No. 14 Tahun 1970 baru menetapkan
landasan dan azas umum dan belum mengatur tentang tata cara
pelaksanaannya. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ini telah
mengalami perubahan yaitu dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Terakhir tahun 2004 bahkan Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 35 Tahun
1999 telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004
4
Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 8. Undang-Undang No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini mulai berlaku
pada tanggal 15 Januari 2004.
Perihal bantuan hukum, ketentuan yang ada dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 ini diatur dalam Bab VII mulai Pasal
37 sampai dengan Pasal 40. Pasal-pasal tersebut beserta
penjelasannya dikutip dibawah ini:
Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disingkat UUKK):
“ Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum" Penjelasan Pasal 37 ini
menyatakan cukup jelas".
Pasal 38 UUKK :
" Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat
dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak
menghubungi dan meminta bantuan advokat".
Penjelasan Pasal 38 menyatakan sejalan dengan azas bahwa
seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap
tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan
dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan.
Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan
pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam
Hukum Acara Pidana. Pasal 39 UUKK :
" Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian
perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan".
Penjelasan Pasal 39 menyatakan cukup jelas.
5
Pasal 40 UUKK :
" Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan
Pasal 38 diatur dalam undang-undang".
Penjelasan pasal 40 menyatakan cukup jelas.
Demikian ketentuan bantuan hukum dalam UUKK No. 4
Tahun 2004. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun
2004 selanjutnya telah diganti dengan Undang-undang No. 48
Tahun 2009. Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 ini
perihal Bantuan Hukum diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57.
Pasal 56 menyatakan :
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan
yang tidak mampu.
Pasal 57
(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum
kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam
memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan
sampai putusan terhadap perkara tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-udangan.
6
C. Bantuan Hukum Yang Diatur Dalam KUHAP (Undang
Undang No. 8 Tahun 1981, (LN, 1981 No. 76 Tgl 31
Desember 1981)
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP) diatur secara khusus
bab mengenai Bantuan Hukum yaitu Bab VII mulai Pasal 69
sampai dengan Pasal 74.
Pasal 69 KUHAP menyatakan :
"Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak
saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini ".
Penjelasan Pasal 69 menyatakan cukup jelas.
Siapa yang dimaksud dengan penasihat hukum ditentukan
dalam Pasal 1 angka 13 KUHAP yaitu seorang yang memenuhi
syarat yang ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk
memberi bantuan hukum. Pengertian bantuan hukum sendiri
dalam KUHAP tidak jelas dirumuskan. Namun jika berpegang
pada pengertian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13.
Menurut Yahya Harahap bantuan hukum yang dimaksud
KUHAP mencakup pemberian bantuan hukum secara profesional
dan formal dalam bentuk pemberian jasa bantuan hukum bagi
setiap orang yang terlibat dalam kasus tindak pidana baik secara
cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu dan miskin maupun-
memberi bantuan hukum kepada mereka yang mampu oleh para
advokat dengan jalan menerima imbalan jasa (Yahya Harahap,
2001: 337). Jadi jika dikaitkan dengan pengertian bantuan hukum
diatas, maka meliputi legal aid maupun legal assistance.
7
Pasal 70 KUHAP menyatakan
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka
pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika terdapat bukti penasihat hukum tersebut
menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan
tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan
penyidik, penuntut umum atau petugas, lembaga
pemasyarakatan memberi peringatan kepada penasihat
hukum.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan maka
hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada
ayat (2).
(4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan,
maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut
pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka
hubungan selanjutnya dilarang.
Penjelasan Pasal 70 menyatakan cukup jelas.
Pasal 71 KUHAP menyatakan:
(1) Penasihat hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan
dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh
penyidik, penuntut umum, atau petugas lembaga
pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal kejahatan terhadap kamanan negara, pejabat
tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.
Penjelasan Pasal 71 menyatakan cukup jelas.
8
Pasal 72 KUHAP menyatakan:
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat
yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan
untuk kepentingan pembelaannya.
Penjelasan Pasal 72 menyatakan yang dimaksud dengan
"untuk kepentingan pembelaannya" ialah bahwa mereka wajib
menyimpan isi berita acara tersebut untuk diri sendiri. Yang
dimaksud dengan "turunan" ialah dapat berupa foto copy. Yang
dimaksud dengan "pemeriksaan" dalam pasal ini ialah
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, hanya untuk pemeriksaan
tersangka.
Dalam tingkat penuntutan ialah semua berkas perkara
termasuk surat dakwaan. Pemeriksaan di tingkat pengadilan
adalah seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim.
Pasal 73 KUHAP menyatakan:
“ Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat
dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya"
Penjelasan Pasal 73 menyatakan:
Apabila terbukti ada penyalahgunaan dalam pasal ini
diberlakukan ketentuan Pasal 70 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 74 KUHAP menyatakan:
“ Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat
hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70
ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71 dilarang setelah
perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada
pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan
suratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat
hukumnya serta pihak lain dalam proses.”
Penjelasan Pasal 74 menyatakan cukup jelas
9
Disamping ketentuan Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP
tersebut, masih ada beberapa ketentuan lagi khususnya yang
terkait dalam setiap tahapan proses peradilan pidana baik ditingkat
penyidikan, penuntutan maupun di sidang pengadilan. Mengenai
hal ini akan diuraikan tersendiri dalam bagian lain dari tulisan ini.
10
BAB II
ADVOKAT
A. Istilah Advokat
Secara historis advokat termasuk salah satu profesi yang
tertua. Dalam perjalananya profesi itu bahkan dinamai sebagai
officium nobile, jabatan yang mulia (Luhut MP. Pangaribuan,
2002: 4).
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan
kita pertama-tama ditemukan dalam Ketentuan Susunan
Kehakiman dan Kebijaksaan Mengadili (R0). lstilah advokat
merupakan padanan kata Advocaat (Belanda) yaitu seseorang yang
telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah
memperoleh gelar meester de rechten (Mr). Lebih jauh lagi,
sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin. Oleh karena itu
tidak mengherankan kalau hampir disetiap bahasa di dunia kata
(istilah) itu dikenal (Luhut MP. Pangaribuan, 2002: 4).
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat (selanjutnya akan disingkat dengan UUA)
dikenal advokat, pengacara, penasihat hukum dan konsultan
hukum. Pada praktek hukum di Indonesia mempunyai perbedaan
pengertian yang cukup bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris
semua istilah tersebut secara umum disebut sebagai lawyer atau
ahli hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran yang
diberikan oleh lawyer yang memakai istilah advokat, pengacara
dan penasihat hukum yang dalam bahasa lnggris disehut trial
lawyer atau secara spesifik. Sedangkan di Amerika dikenal dengan
11
istilah attorney at law serta di Inggris dikenal istilah barrister dan
peran yang diberikan oleh lawyer yang menggunakan istilah
konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan istilah
counsellor at law atau di Inggris dikenal dengan istilah solicitor
(Yudha Pandu, 2004: 9).
Secara umum dalam praktek hukum di Indonesia advokat,
pengacara dan penasehat hukum adalah orang yang mewakili
kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat
kuasa yang diberikan baik yang bersifat litigasi (beracara di sidang
pengadilan) maupun yang bersifat non litigasi (non litigation).
Surat kuasa yang dimaksud yaitu di luar sidang pengadilan seperti
mendampingi atau mewakili klien menandatangani suatu
perjanjian, mewakili klien untuk bernegosiasi dalam proses
perdamaian dan sebagainya. Sedang konsultan hukum, adalah
orang yang bekerja di luar pengadilan yang bertindak memberikan
nasehat-nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan
hukum/perbuatan hukum yang akan dan yang telah dilakukan
kliennya (non litigator) (Yudha Pandhu, 2004: 9).
Adanya peran yang disebutkan diatas yaitu baik sebagai
litigator maupun non litigator (advokat, pengacara, dan penasihat
hukum) dan peran sebagai non litigator (konsultan hukum)
sehingga dalam praktek kita sering menemukan firma hukum atau
kantor hukum yang mencantutnkan kedua peran tersebut sekaligus
yaitu advokat dan konsultan hukum atau Advocates and Consellor
at law.
B. Menurut Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003
Sejak berlakunya Undang-Undang No.18 Tahun 2003 (UUA)
maka semua istilah yang diberikan kepada profesi praktisi hukum,
seperti yang diberikan kepada penasihat hukum, konsultan hukum,
12
ataupun yang diistilahkan lainnya seperti kuasa hukum dan
pembela disepakati menjadi satu istilah yaitu advokat.
Pasal 1 angka 1 UUA menyatakan bahwa advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan undang-
undang ini. Dimaksudkan dengan jasa hukum adalah jasa yang
diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien
(Pasal 1 angka 2). Sedangkan yang dimaksud dengan klien adalah
orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa hukum
dari advokat (Pasal 1 angka 3).
Jadi dengan keluarnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat yang mulai berlaku pada tanggal 5 April 2003,
maka sudah jelas siapa yang oleh undang-undang diperkenankan
untuk memberi jasa hukum baik di dalam maupun diluar
pengadilan, yaitu advokat. Pasal 32 ayat (1) UUA menyatakan
bahwa advokat penasehat hukum, pengacara praktek, dan
konsultan hukum yang telah diangkat pada saat undang-undang ini
mulai berlaku, dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini. Jadi sejak tanggal 5 April 2003 secara
formal advokat, penasihat hukum, pengacara praktek, dan
konsultan hukum yang telah diangkat, sebutan untuk mereka ini
adalah advokat.
C. Istilah-Istilah Lain
Disamping istilah advokat sebagai profesi hukum yang
mandiri, dikenal juga istilah emporate lawyer, legal officer dan in
house lawyer. Tiga istilah yang disebut terakhir ini diberikan
kepada ahli hukum yang bekerja secara terikat dalam suatu
13
institusi atau korporasi. Posisi mereka bukan sebagai profesi
hukum yang mandiri, tetapi mereka adalah karyawan yang bekerja
di bidang hukum.
Peran dan tugas mereka hanya sebatas melakukan pekerjaan-
pekerjaan hukum dalam ruang lingkup internal yang berkaitan
dengan bidang usaha korporasi dimana mereka bekerja.
Contohnya seorang Corporate lawyer pada perusahaan properti
umumnya bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan hukum yang
berkaitan dengan bidang usaha properti seperti pembebasan tanah;
jual beli tanah, sewa menyewa gedung, perjanjian pembangunan
gedung dengan kontraktor dan lain sebagainya, seperti halnya juga
legal officer yang bekerja pada perusahaan penerbitan cenderung
menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan hak cipta,
perjanjian kontrak penerbitan, royalti dan lain sebagainya (Yudha
Pandu, 2004: 14).
D. Pengangkatan Advokat
Sebelum UUA berlaku pengangkatan pengacara praktek
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi sedangkan advokat oleh Menteri
Kehakiman. Setelah berlakunya UUA ini maka kewenangan
pengangkatan advokat beralih kepada organisasi advokat. Pasal 2
avat (2) UUA menyatakan bahwa "Pengangkatan advokat
dilakukan oleh organisasi advokat".
Mengenai siapa yang dapat diangkat menjadi advokat, Pasal 2
ayat (1) UUA tnenyebutkan "yang dapat diangkat sebagai advokat
adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang
dilaksanakan oleh organisasi advokat".
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUA menyatakan bahwa "yang
dimaksud dengan berlatar belakang pendidikan tinggi hukum"
14
adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi
hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Secara lebih
rinci Pasal 3 ayat (1) UUA menyatakan bahwa untuk dapat
diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. Warga negara Republik Indonesia.
b. Bertempat tinggal di Indonesia.
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat
negara.
d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.
e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan
tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1).
f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat.
g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus
pada kantor advokat.
h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.
i. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan
mempunyai integritas yang tinggi.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) hurul b menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan "bertempat tinggal di Indonesia" adalah bahwa
pada waktu seseorang diangkat sebagai advokat orang tersebut
harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak
mengurangi kehebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat
untuk bertempat tinggal dimanapun.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c menyatakan yang dimaksud
dengan "pegawai negeri" dan "pejabat negara" adalah pegawai
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-
15
undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8
Th 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri
terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa pejabat negara
terdiri dari:
a. Presiden dan Wakil Presiden
b. Ketua, wakil ketua dan anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat
c. Ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat
d. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada
Mahkamah Agung, serta ketua, wakil ketua dan hakim
pada semua badan peradilan
e. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pertimbangan
Agung
f. Ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa
Keuangan
g. Menteri dan jabatan yang setingkat menteri
h. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan
berkuasa penuh
i. Gubernur dan wakil gubernur
j. Bupati/walikota dan wakil bupati/walikota dan
k. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-
undang
16
Ketua, wakil ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penjelasan Pasal 3 avat (1) huruf f menyatakan yang dimaksud
dengan "Organisasi Advokat" dalam ayat ini adalah organisasi
advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4)
undang-undang ini. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf g
menyatakan bahwa magang dimaksud agar calon advokat dapat
memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan
ketrampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang
dilakukan sebelum calon advokat diangkat sebagai advokat, dan
dilakukan dikantor advokat. Magang tidak harus dilakukan pada
satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut
dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2
(dua) tahun.
Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah
menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya
(Pasal 4 ayat (1))
Lafal sumpah dan janji advokat berbunyi sebagai berikut:
"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji" :
- Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
- Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau
tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu
barang kepada siapapun juga.
17
- Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai
pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil dan
bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan.
- Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam
atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan
atau pejabat lainnya agar memenangkan atau
menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan
saya tangani.
- Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan
martabat dan tanggung jawab saya sebagai advokat.
- Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan
pembelaan atau memberi jasa hukum didalam suatu
perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian dari
tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.
Demikian lafal sumpah advokat yang diatur dalam UUA.
Salinan berita acara sumpah tersebut selanjutnya oleh Panitera
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada
Mahkamah Agung, Menteri dan Organisasi advokat.
E. Status, Penindakan dan Pemberhentian Advokat
Status, penindakan maupun pemberhentian advokat diatur
secara rinci oleh UUA Pasal 5 ayat (1) UUA menyatakan advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin
oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Wilayah kerja
advokat seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Maksud
advokat berstatus sebagai penegak hukum adalah advokat sebagai
salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam
18
menegakkan hukum dan keadilan. Sedang yang dimaksud bebas
adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut atau
perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi.
Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi
dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai
tindakan dengan alasan :
a. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap
lawan atau rekan seprofesinya;
c. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau
mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak
hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,
atau pengadilan;
d. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban.
kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. Melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan
dan/atau perbuatan tercela;
f. Melanggar sumpah/janji advokat dan atau kode etik
protesi advokat.
Demikian ditegaskan dalam Pasal 6 UUA. Penjelasan Pasal 6
huruf c UUA menyatakan bahwa ketentuan dalam huruf c ini
berlaku bagi advokat baik didalam maupun diluar pengadilan. Hal
ini sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum,
dimanapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap
hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.
Adapun jenis tindakan yanu dikenakan terhadap advokat dapat
berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tulisan;
19
c. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga)
sampai 12 (dua belas) bulan ;
d. Pemberhentian tetap dari profesinya ( pasal 7 ayat (1))
Penindakan terhadap advokat dengan jenis tindakan seperti
tersebut diatas dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat sesuai dengan kode etik advokat. Namun sebelum
advokat dikenai tindakan kepada yang bersangkutan diberikan
kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Ketentuan tentang
jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenai tindakan berupa
teguran lisan, teguran tulisan, pemberhentian sementara selama 3-
12 bulan, pemberhentian tetap dari profesinya diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (Pasal
7 avat (2) UUA).
Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara atau
pemberhentian tetap terhadap advokat maka Organisasi advokat
menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah
Agung (Pasal 8 ayat (2) UUA).
Dalam UUA ini sekaligus juga diatur mengenai
pemberhentian advokat. Advokat dapat berhenti atau
diberhentikan dari profesinya oleh organisasi advokat (Pasal 9
ayat (1) UUA).
Adapun alasan advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari
profesinya secara tetap karena alasan:
a. Permohonan sendiri;
b. Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih, atau;
c. Berdasarkan keputusan organisasi advokat (Pasal 10 ayat
(1)).
20
Advokat yang telah diberhentikan tidak berhak menjalankan
profesi advokat (ayat 2). Salinan surat keputusan pemberhentian
advokat disampaikan kepada Mahkamah Agung. Pengadilan tinggi
dan lembaga penegak hukum lainnya. Yang dimaksud dengan
penegak hukum lainnya adalah pengadilan tinggi untuk semua
lingkungan peradilan, kejaksaan, dan kepolisian Negara Republik
Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan
advokat (Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UUA).
F. Hak dan Kewajiban Advokat
Undang-undang No.18 Tahun 2003 juga mengatur mengenai
hak dan kewajiban advokat. Pasal 14 UUA menyatakan advokat
bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu seorang advokat
juga bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang
pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan (Pasal
15).
Diatur juga dalam UUA ini bahwa advokat tidak dapat
dituntut, baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan
klien dalam sidang pengadilan (Pasal 16). Berbeda dengan yang
diatur di Pasal 16 UUA ini dimana ketentuan tersebut berlaku
dalam sidang pengadilan yang oleh penjelasan Pasal 16 UUA
dimaksudkan dengan sidang pengadilan adalah sidang pengadilan
dalam setiap tingkan pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Ketentuan Pasal 15 UUA dimaksudkan sebagai kekebalan
advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan
21
kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi
kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat
(Penjelasan Pasal 15 UUA).
Berkaitan dengan akses terhadap data, informasi maupun
dokumen, advokat dalam hal ini berhak untuk memperoleh
informasi data dan dokumen lainnya baik dari instansi pemerintah
maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut
yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Advokat juga tidak boleh bersikap diskriminasi artinya dalam
menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan
terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. (Pasal 18
ayat (1) UUA). Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya
dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau
masyarakat (Pasal 18 ayat (2) UUA).
Rahasia klien juga wajib dijaga oleh advokat yaitu mengenai
segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena
hubungan profesinya, namun hal ini ada pembatasannya yaitu
sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 19 ayat
(1) UUA).
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungan dengan klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya, terhadap
penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap
penyadapan atas komunikasi elektronik advokat (Pasal 19 ayat (2)
UUA).
Mengenai soal rangkap jabatan Undang-Undang Advokat
hanya menggariskan secara umum di Pasal 20 UUA yaitu bahwa
advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan
dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya (ayat 1).
22
Advokat juga dilarang memegang jabatan lain yang meminta
pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat
atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan
tugas profesinya (ayat 2).
Namun dalam undang-undang ini tidak mengatur mengenai
bagaimana mekanismenya jika terjadi pelanggaran atas larangan
tersebut. Hanya di ayat 3 Pasal 20 UUA saja secara jelas
menentukan yaitu bagi advokat yang menjadi pejabat negara, tidak
melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan
tersebut. Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UUA menyatakan bahwa
ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan
perdata advokat tersebut dengan kantornya.
23
BAB III
BANTUAN HUKUM DALAM PROSES
PERADILAN PIDANA BERDASARKAN
KUHAP
Sejak diundangkannya undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
yang menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) Stbl
1941 No. 44, maka di Indonesia menganut konsepsi integrated
criminal justice system. Keterpaduan dalam sistem peradilan
pidana yang didasarkan pada KUHAP ini menjadi suatu tuntutan
yang harus dipenuhi, sebab KUHAP pada dasarnya menganut asas
"diferensiasi fungsional" yang berarti ada penegasan pembagian
tugas dan wewenang yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.
Menurut Yahya Harahap, adanya asas diferensiasi füngsional
tersebut, berarti KUHAP meletakkan asas "penjernihan"
(clarification) dan "modifikasi" (modification) fungsi dan
wewenang antara setiap instansi penegak hukum, akan tetapi tetap
dimungkinkan adanya saling korelasi dan koordinasi dalam proses
penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan.
(Yahya Harahap, 1985: 43).
Prinsip koordinasi tersebut tidak hanya berlaku diantara aparat
penegak hukum (polisi, jaksa/penuntut umum, hakim dan petugas
pemasyarakatan) dalam kapasitasnya selaku pejabat penegak
hukum (Law enforcement official) tetapi juga dengan komponen
penasehat hukum yang meskipun bukan merupakan law
24
enforcement official, tetapi mereka bersama-sama dengan polisi,
jaksa, hakim merupakan penegak hukum (Sukardjo Adidjojo,
1985: 84).
Dalam KUHAP, komponen penasihat hukum telah diberi
tempat untuk akses dalam setiap tahapan proses peradilan yaitu
sejak di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Dengan demikian keterpaduan dalam sistem peradilan
pidana yang didasarkan pada KUHAP secara ideal berarti juga
ikut sertanya komponen penasihat hukum dalam setiap tahapan
proses peradilan pidana tersebut.
Namun mengenai hal di atas, pengaturan yang ada dalam
KUHAP ternyata masih bersifat terbatas, sebab dalam KUHAP,
baru diletakkan asas "hak" untuk mendapatkan bantuan hukum.
Sedangkan asas "hak" dan "wajib" bantuan hukum hanya
ditujukan untuk tindak pidana- tindak pidana tertentu. Mengenai
hal ini bisa disimak ketentuan Pasal 56 KUHAP yang menegaskan
sebagai berikut:
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan
bantuannya dengan cuma-cuma.
25
Penjelasan Pasal 56 ayat (1) menyatakan sebagai berikut:
" Menyadari asas peradilan yang wajib dilaksanakan secara
sederhana, cepat dan dengan biaya ringan serta dengan
pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana
kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali
tindak pidana tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b, maka
untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima
tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima betas tahun,
penunjukan penasihat hukumnya disesuaikan dengan
perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat
hukum di tempat itu".
Sedangkan penjelasan ayat (1) menyatakan cukup jelas.
Pasal 56 KUHAP seperti dikutip di atas mengatur mengenai
perkara pidana yang wajib mendapat bantuan hukum yaitu:
a. Perkara yang tersangkanya diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara lima belas tahun atau lehih; dan
b. Perkara yang tersangkanya tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih tetapi kurang dari
lima betas tahun yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri.
Namun disayangkan ketentuan dalam ayat (2) tersebut tidak
tegas menyatakan bahwa penasihat hukum yang ditunjuk itu wajib
memberi bantuan hukum yang diminta. Terhadap rumusan Pasal
56 KUHAP tersebut Bambang Widjojanto menyatakan
pendapatnya sebagai berikut :
" Terdapat dua hal yang menjadi dasar kelemahan dari pasal
tersebut pertama, mengenai kemampuan seseorang untuk
menaksir apakah dirinya mampu menyediakan penasihat
hukum dan kedua tidak adanya konsekuensi atas pengabaian
ketentuan ini" (Bambang Widjojanto, 1997: 5).
26
Bila diperhatikan, ketentuan Pasal 56 KUHAP tersebut
memang tidak memuat sanksi apa yang bisa dikenakan, jika
petugas penegak hukum dalam praktek ternyata mengabaikan
ketentuan tersebut. Dibanding dengan HIR, ketentuan bantuan
hukum seperti yang ditentukan dalam Pasal 56 KUHAP di atas,
sudah merupakan kemajuan, sebab menurut HIR kemungkinan
penyediaan penasihat hukum oleh negara terbatas pada perkara
yang diancam hukuman mati dan kesediaan penasihat hukum yang
ditunjuk. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 250 ayat (5)
HIR yang menegaskan:
“Bila si terdakwa diperintahkan menghadap hakim karena
suatu kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati dan
dituduh baik dalam pemeriksaan oleh jaksa yang ditetapkan
dalam ayat 6 Pasal 83 h, baik kemudian hari menyatakan
kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh
seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum yang lain
yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu. Pekerjaan
itu masih dapat juga dilakukan dengan surat keputusan yang
terasing selama pemeriksaan sidang belum selesai, jika
tersangka menyatakan kehendak yang demikian itu juga. Akan
tetapi penunjukkan telah terjadi bila pada Pengadilan Negeri
itu tidak ada pegawai sarjana hukum atau ahli hukum yang
diperbantukan pada ketua atau tidak ada sarjana hukum atau
ahli hukum yang lain bersedia ."
Untuk memperjelas, berikut ini juga dikutip Pasal 83 h ayat
(6) HIR menegaskan.
" Jika seseorang dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang
dapat dihukum dengan hukuman mati maka jaksa
menanyakan kepadanya apakah ia berkehendak pada sidang
27
pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli
hukum".
Pasal 250 HIR secara khusus mengatur hak untuk
mendapatkan pelayanan hukum secara cuma-cuma bagi mereka
yang miskin yang terkena perkara pidana dengan ancaman
hukuman mati, sepanjang tersedia penasihat hukum yang rela
untuk memberikan jasanya. Penunjukkan penasihat hukum itu
dilakukan oleh hakim.
Kembali pada ketentuan yang ada dalam Pasal 56 KUHAP,
menurut ketentuan tersebut tidak hanya terbatas untuk perkara
yang diancam hukuman mati, tetapi juga meliputi perkara pidana
yang diancam dengan pidana diatas lima belas tahun atau lebih
serta perkara pidana yang diancam dengan pidana lima tahun atau
lebih tetapi dibawah lima belas tahun, dalam hal
tersangka/terdakwa tidak mampu menyediakan penasihat hukum
sendiri. Kewajiban untuk menunjuk penasihat hukum tersebut juga
tidak terbatas pada hakim, tetapi berlaku juga untuk semua pejabat
dalam semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
Sebagai bahan perbandingan baik untuk dikemukakan di sini
mengenai ketentuan serupa yang ada di Amerika Serikat. Di
Amerika Serikat terdapat suatu ketentuan yang mengharuskan
setiap pejabat yang melakukan penangkapan untuk
memberitahukan, hak-hak tersangka sebelum ia diinterogasi.
Ketentuan yang disebut sebagai Miranda Rule tersebut
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dan sekaligus
sebagai pedoman bagi pejabat penegak hukum untuk menghindari
melakukan kekerasan dalam proses pemeriksaan (The miranda
rule both to protect individual rights and to give law enforcement
officials guidelines to avoid coercive interrogation).
28
Dalam Black Law Dictionary, hak-hak yang harus
diberitahukan tersebut:
1. Ia berhak diam (that he has a right to remain silent)
2. Setiap pernyataan atau ucapan dapat digunakan sebagai
bukti terhadapnya. (that any statement he does make may
be used as evidence against him)
3. Ia berhak didampingi oleh pembela. (that he has a right to
the presence of an attorney)
4. Jika ia tidak mampu, akan ditunjuk seorang pembela
baginya sebelum ia diinterogasi (that if he cannot afford
and attorney one will be appointed for him prior any
questioning if he so desires)
Apabila petugas mengabaikan ketentuan ini, akibat hukumnya
adalah: No evidence obtained in the interrogation may be used
against the accused kecuali bisa dibuktikan pada sidang bahwa
peringatan-peringatan itu sudah disampaikan. (Ifdhal Kasim,
1994)
Jadi jelaslah, bahwa menurut ketentuan Miranda tersebut
seorang penasihat hukum memiliki arti yang sangat besar bukan
hanya claim melindungi hak-hak yang dimiliki oleh
tersangka/terdakwa, tetapi juga memegang peranan penting bagi
keseluruhan rangkaian proses penyelesaian perkara pidana.
Mengenai pengaturan bantuan hukum dalam setiap tahap proses
peradilan pidana yang didasarkan pada KUHAP, diuraikan sebagai
berikut:
A. Tahap Penyidikan
Sebelum dikemukakan mengenai keterkaitan penasihat hukum
dalam tahap penyidikan, perlu diketahui bahwa KUHAP dengan
jelas membedakan istilah "penyidikan" dari "penyelidikan".
29
Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Adapun yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Sedangkan
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal
1 angka 5 KUHAP). Berbeda dengan penyidik yang terdiri dari
pejabat polisi negera RI dan PPNS yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang, maka penyelidik ini merupakan wewenang
pejabat polisi negara saja. Jadi perbedaan antara penyidik dan
penyelidik terletak pada personalianya.
Pada tahap penyelidikan, pembentuk undang-undang belum
menganggap perlu hadirnya seorang penasihat hukum untuk
mendampingi tersangka. Dalam hal ini ada pendapat bahwa pada
tahap ini sebenarnya kehadiran seorang penasihat hukum sudah
diperlukan. Hal ini didasarkan pada kewenangan yang dimiliki
oleh penyelidik seperti tercantum dalam Pasal 5 KUHAP yang
dianggap sudah menyentuh hak asasi manusia.
Penyelidik mempunyai kewajiban sehingga mempunyai
kewenangan. Kewenangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana;
30
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memriksa tanpa pengenalan diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
Adapun yang dimaksud dengan "tindakan lain" menurut
Penjelasan Resmi KUHAP adalah tindakan penyelidik untuk
kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) sub b memperluas kewenangan
pejabat polisi RI meliputi:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.
Bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) sub b diatas sesungguhnya
merupakan proses lanjutan dan sebagai konsekuensi logis dari
dilaksanakannya kewenangan yang ada pada pejabat polisi RI,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) sub a.
Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka Romli
Atmasasmita, mengajukan pendapat bahwa kewenangan yang
dimiliki oleh penyelidik sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat
31
(1) sub a dan b, terutama kewenangan penyelidik untuk menyuruh
berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri serta mengadakan tindakan lain
menurut hukum sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam
Penjelasan Resmi KUHAP, maka jelas kedua macam kewenangan
penyelidik tersebut sudah mulai menyentuh kemerdekaan pribadi
seseorang.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam KUHAP baik dalam
Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa maupun dalam Bab VII
tentang Bantuan Hukum, tidak tampak sama sekali hak seorang
tersangka untuk menolak atau membela kepentingannya, misalnya
menolak menjawab pertanyaan pejabat penyelidik sebelum
didampingi pembela atau penasihat hukum, atau hak yang dimiliki
tersangka dalam menghadapi kewenangan seorang penyelidik
seperti tersebut diatas. (Romli Atmasasmita, 1996: 34).
Penulis kurang sependapat dengan Romli Atmasasmita,
khususnya mengenai kemungkinan dapat hadirnya penasihat
hukum pada tahap penyelidikan ini, sebab meskipun penyelidik
telah dilengkapi dengan kewenangan yang dalam praktek bisa
merupakan suatu intervensi terhadap kemerdekaan pribadi
seseorang, akan tetapi langkah tersebut sebenarnya adalah dalam
rangka tindakan preventif. Lebih dari itu, menurut Pedoman
Pelaksanaan KUHAP dikatakan bahwa penyelidikan bukanlah
merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi
penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau
metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului
tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan
berkas perkara kepada penuntut umum.
32
Latar belakang, motivasi dan urgensi diintroduksi fungsi
penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan
terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan
yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan
dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi yang dikaitkan
dengan kenyataan bahwa tidak setiap peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana menampakan bentuknya secara jelas sebagai
tindak pidana. Oleh karena itu sebelum melangkah lebih lanjut
dengan melakukan tindakan penyidikan dengan konsekuensi
digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu
berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil
penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai
tindak pidana itu benar merupakan tindak pidana sehingga dapat
dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Lebih lanjut ingin dikemukakan disini bahwa pada tahap
penyelidikan ini, seorang yang dicurigai sebagai tersangka
belumlah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang bersifat
yuridis, apalagi dalam tahap ini belum dilakukan upaya paksa
seperti penangkapan dan atau penahanan.
Berbeda dengan yang diuraikan di atas adalah pada tahap
penyidikan yang biasanya telah didahului dengan tindakan upaya
paksa seperti penangkapan dan atau penahanan. Dalam tahap ini
jelas bahwa kemerdekaan pribadi tersangka sudah secara nyata
dibatasi dan ia telah berhadapan dengan aparat penegak hukum,
yang memiliki kewenangan dan kekuasaan sehingga secara yuridis
ada keseimbangan kedudukan antara pihak tersangka dengan
penyidik, disinilah urgensi perlunya penasihat hukum
mendampingi tersangka. Selanjutnya mengenai keterlibatan
penasihat hukum pada tahap penyidikan ini akan diuraikan di
bawah ini.
33
Apabila diteliti ketentuan yang ada dalam KUHAP, maka
terdapat dua ketentuan yang menurut penulis layak untuk
dicermati bersama. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 114
dan 115 KUHAP.
Pasal 114 KUHAP
" Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak
pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik,
penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia
dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ".
Selanjutnya penjelasan Pasal 114 KUHAP menyatakan
sebagai berikut:
" Untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak
dalam taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan
bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum
pada pemeriksaan di sidang pengadilan".
Terhadap ketentuan Pasal 114 KUHAP tersebut Andi
Hamzah dan Irdan Dahlan memberi komentar dengan menyatakan
bahwa ketentuan tersebut merupakan pengecualian dari Pasal 56,
karena pasal ini mengatur bahwa sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh penyidik, penyidik diwajibkan untuk memberitahukan kepada
tersangka akan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau
didampingi oleh penasihat hukum. Dikemukakan selanjutnya
bahwa dalam Pasal 56 kewajiban penyidik untuk menunjuk
penasihat hukum bagi tersangka yang diancam pidana mati atau
ancaman pidana lima betas tahun atau lebih atau bagi mereka yang
tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.
(Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 98).
34
Kewajiban memberitahukan kepada tersangka tentang haknya
untuk mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan Pasal 114
KUHAP dalam pelaksanaannya harus dibarengi dengan
pemenuhan secara riil atas hak-hak tersangka yang lain selama
dalam proses penyidikan. Menurut penulis hak tersangka yang
relevan untuk dilaksanakan secara simultan adalah hak tersangka
untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang
serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk
memperoleh bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya
dan hak berhubungan dengan keluarga sesuai dengan maksud
diatas. Dalam KUHAP hak ini dijamin oleh Pasal 59 dan Pasa160
KUHAP, Kedua pasal tersebut untuk jelasnya akan dikutip
dibawah ini :
Pasal 59 KUHAP berbunyi :
" Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan
berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya
oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan
tersangka/terdakwa atau pun orang lain yang
bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa
untuk mendapatkan bantuan hukum atas jaminan bagi
penangguhannya."
Penjelasan Pasal 59 KUHAP menyatakan cukup jelas.
Pasal 60 KUHAP berbunyi
" Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan
merima kunjungan dari pihak yang mempunyai
hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka
atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi
35
penangguhan penahanan atau untuk usaha mendapatkan
bantuan hukum."
Penjelasan Pasal 60 KUHAP menyatakan cukup jelas.
Kedua ketentuan seperti telah dikutip diatas pada dasarnya
mengatur akses tersangka/terdakwa kepada keluarga dan orang-
orang lain yang tentu saja mengenal tersangka/terdakwa untuk
kepentingan memperoleh bantuan hukum atau untuk kepentingan
penangguhan pcnahanan jika ia menghendaki adanya
penangguhan penahanan. Kedua pasal tersebut dalam
pelaksanaannya tidak boleh terpisah dengan ketentuan Pasal 114
KUHAP. Bilamana pelaksanaan Pasal 114 KUHAP tersebut tidak
diikuti dengan penerapan Pasal 59 dan 60 KUHAP secara
konsisten, maka ketentuan Pasal 114 KUHAP tidak akan memiliki
makna seperti yang diharapkan.
Bagi tersangka, pemberitahuan oleh penyidik mengenai
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak ada artinya jika
misalnya dalam praktek ia sendiri kesulitan untuk bisa akses
kepada keluarganya dan handai taulannya, karena justru dari
keluarga atau handai taulannya inilah diharapkan adanya informasi
mengenai bantuan hukum yang dianggap paling baik bagi
tersangka.
Akses penasihat hukum dalam tahap penyidikan ini juga
dijamin oleh Pasal 115 KUHAP yang menegaskan sebagai
berikut:
(1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta
mendengar pemeriksaan.
36
(2) Dalam hal kejahatan keamanan negara, penasihat
hukum dapat dengan cara melihat tetapi tidak dapat
mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.
Penjelasan Pasal 115 ayat (1) menyatakan bahwa penasihat
hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif. Sedangkan
penjelasan ayat (2) menyatakan cukup jelas. Jadi jelas sekali
menurut ketentuan dalam penjelasan pasal tersebut, maka
komponen penasihat hukum ditempatkan dalam sikap pasif.
Perumusan pasal tersebut, ternyata juga menimbulkan suatu
kritik keras dan sebagian ahli hukum di Indonesia ketika itu. RO
Tambunan menilai ketentuan pasal ini sebagai salah satu cacat,
karena belum memberikan dan meletakan landasan persamaan
derajat dan kedudukan antara penyidik dan penasihat hukum.
Adnan Buyung Nasution bahkan menilai bahwa pasal tersebut
belum bisa dikatakan sebagai hak penasihat hukum untuk
mendampingi tersangka dalam pemeriksaan penyidikan.
Ketentuan Pasal 115 KUHAP masih bersifat fakultatif. Sekurang-
kurangnya Pasal 115 belum mernberi "hak yang utuh" bagi
penasihat hukum. Pasal 115 telah menganulir pasal-pasal
sebelumnya, demikian ditegaskan oleh Adnan Buyung Nasution.
(Yahya Harahap, 1985: 132).
Kiranya perlu diperhatikan berbagai kritik dan analisis yang
dilontarkan oleh para ahli hukum tersebut, yang notabene banyak
berkecimpung dalam praktek. Secara teoritis, ketentuan Paul 115
KUHAP tersebut patut dicermati bersama. KUHAP haruslah
dilihat sebagai bangunan besar yang harus menjadi patokan atau
pedoman baik bagi petugas penegak hukum maupun bagi pencari
keadilan khususnya adalah tersangka/terdakwa. Petugas penegak
hukum harus sarat dengan semangat/ spirit keadilan.
37
Disisi lain juga harus diingat bahwa para pencari keadilan
(tersangka/terdakwa) memiliki hak untuk dipertahankan dengan
sebaik-baiknya sebagai warga negara yang mempunyai harkat dan
martabat. KUHAP telah dilengkapi dengan berbagai landasan baik
filosofis maupun konstitusional yang mengakui dan
mengagungkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan yang harus diperlakukan berdasarkan perikemanusiaan
yang adil dan beradab. Lebih dari itu KUHAP juga memuat
landasan asas atau prinsip hukum seperti rule of law atau legalitas
yang mempersamakan manusia dihadapan hukum atau equality
before the law dan asas praduga tak bersalah atau presumption of
innocent yang telah mendapat pengakuan secara universal.
Pasal 115 KUHAP seperti dikutip diatas pada dasarnya
mengatur mengenai hubungan segitiga antara tersangka yang
sedang diperiksa oleh polisi dan penasihat hukum. Pasal 115
KUHAP ini memuat dua ketentuan yaitu pertama, suatu asas yang
menyatakan bahwa dalam pemeriksaan tersangka oleh polisi,
dihadiri oleh penasihat hukum. Sedangkan yang kedua adalah
yang tercantum dalam ayat (2) yang mengemukakan tentang
adanya perkecualian dan penyimpangan dari asas tersebut dalam
hal kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal ini memuat asas
within sight and within hearing yang berlaku bagi penasihat
hukum yang dapat menghadiri dan dapat mengikuti jalannya
pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan.
Menurut Oemar Senoadji, asas within sight and within
hearing dalam Pasal 115 KUHAP ini berkaitan dengan the right
relation with the investigation yang dapat dikatakan belum
merupakan ketentuan internasional. (Oemar Senoadji, 1991: 41).
Jadi kesimpulannya adalah bahwa ketentuan seperti Pasal 115
tersebut merupakan ketentuan yang khas Indonesia. Adanya
38
perkecualian bahwa terhadap delik keamanan negara pihak
penasehat hukum hanya boleh melihat tetapi tidak boleh
mendengar pemeriksaan, jadi within sight, not within hearing
menurut kesimpulan Andi Hamzah, KUHAP menganut sitem
accusatoir yang terbatas (Gematigd Accusatoir). (Andi Hamzah,
1996 : 80).
Kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan di tingkat
penyidikan bersifat pasif dan dimaksudkan agar penasihat hukum
tersebut mencatat segala sesuatu yang ia lihat dan ia dengar sendiri
sesuai dengan prinsip within sight and within hearing, yang
kesemuanya itu dimuarakan demi kepentingan pembelaan setelah
perkara yang bersangkutan dilimpahkan ke persidangan
pengadilan.
Hadirnya penasihat hukum juga bisa dipahami sebagai
realisasi dari pemikiran perlunya keseimbangan hak dan
kewajiban di satu pihak yaitu pihak tersangka dan bantuan hukum
dan hak-hak serta kewajiban dari penyidik dalam melakukan
upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan lain-lain dan
penuntut umum yang kemudian mengajukan ke persidangan
pengadilan sebagai pihak ketiga yang obyektif dan menghargai
posisi yang obyektif pula.
Di sinilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai asas
equal arms yang didasarkan pada pemikiran yang terutama
ditujukan kepada dan terhadap tersangka/terdakwa dengan hak
untuk memperoleh bantuan hukum dan yang hendak membagikan
suatu persamaan setidak-tidaknya persamaan derajat antara
tersangka/terdakwa dan pembelanya disatu pihak dan khususnya
penyidik dan penuntut umum dipihak lain. Sebagai konsekuensi
logis dari pemikiran diatas, maka penasihat hukum harus
39
dilengkapi dengan seperangkat hak-hak, agar ia memiliki akses
yang cukup kepada tersangka.
Di samping hak untuk mengikuti jalannya pemeriksaan pada
tingkat penyidikan dengan segala kelemahannya seperti telah
dikemukakan diatas, hak penasihat hukum pada tingkat
penyidikan ini juga meliputi hak untuk menghubungi tersangka
sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan
(Pasal 69 KUHAP). Hak untuk menghubungi dan berbicara
dengan tersangka pada semua tingkat pemeriksaan dan setiap
waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (Pasal 70
KUHAP), hak untuk memperoleh turunan berita acara
pemeriksaan untuk kepentingan pembelaanya. Turunan ini dapat
berupa foto copy dan penasihat hukum wajib menyimpan berita
acara tersebut untuk diri sendiri.
Adapun berita acara pemeriksaan yang dapat diperoleh
turunannya itu adalah, pada tingkat penyidikan hanya pemeriksaan
tersangka. Pada tingkat penuntutan semua berkas perkara
termasuk surat dakwaan dan pada tingkat pemeriksaan pengadilan,
seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim (Pasal 72 KUHAP
beserta penjelasannya). Selanjutnya hak penasihat hukum yang
lain adalah hak untuk mengirim dan menerima surat dari tersangka
setiap kali dikehendaki olehnya (Pasal 73 KUHAP) serta hak
untuk meminta pemeriksaan praperadilan (Pasal 77-83 KUHAP).
Sekedar untuk mengetahui apakah seperangkat hak penasihat
hukum tersebut telah selaras dengan kecenderungan internasional
selama ini, maka ada baiknya juga untuk dilihat beberapa
substansi yang telah diatur dalam instrumen internasional yang
terkait disini yaitu Basic Principles on the role of lawyers yang
telah diadopsi oleh Konggres Kejahatan kedelapan di Havana
tanggal 27 Agustus sampai 7 September 1990.
40
Dalam instrumen internasional tersebut antara lain
dikemukakan bahwa dalam waktu 48 jam, seseorang yang ditahan
atau dikucilkan harus sudah memiliki akses kepada pengacara.
Dalam KUHAP pada Pasal 69 telah ditentukan bahwa seorang
penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan. KUHAP
mengatur jangka waktu penangkapan ini adalah selama 24 jam. Ini
berarti bahwa lebih dari 24 jam sudah termasuk dalam kategori
penahanan. Jadi menurut KUHAP akses penasihat hukum kepada
tersangka sudah dijamin dalam waktu 24 jam. Dengan demikian
ditinjau dari segi waktu kapan seseorang sudah bisa akses kepada
penasihat hukum, kiranya KUHAP tidak bertentangan dengan
instrumen internasional tersebut.
Instrumen internasional ini juga menentukan bahwa orang-
orang yang ditahan, dikucilkan dan dipenjarakan dijamin memiliki
kesempatan waktu dan fasilitas yang cukup untuk dikunjungi,
berkomunikasi dan berkonsultasi ke pengacara tanpa hambatan,
penyelaan atau sensor rahasia. Konsultasi tersebut bisa diawasi
oleh petugas penegak hukum, tetapi petugas tidak turut
mendengarkan konsultasi tersebut. Mengenai hal tersebut dalam
KUHAP tampaknya juga sudah memberi hak kepada penasihat
hukum untuk menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada
semua tingkat pemeriksaan dan setiap waktu demi kepentingan
pembelaan perkaranya.
Pengawasan terhadap penasihat hukum dalam berhubungan
dengan tersangka diatur datam Pasal 71 KUHAP yang
menetapkan bahwa penasihat hukum dalam berhubungan dengan
right of communication (tersangka) diawasi oleh penyidik,
penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa
mendengar isi pembicaraan. Jadi di sini bentuk komunikasi
41
bersifat Within sight, not within hearing, dapat dilihat tanpa dapat
didengar. Hal ini memang penting setidaknya untuk menghindari
alat-alat bukti dihilangkan atau orang tersebut melarikan diri.
Sedangkan pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka
yang menjadi kliennya tersebut pada dasarnya bersifat rahasia dan
kofindensial.
Sayang sekali Pasal 71 KUHAP ini juga memuat suatu
perkecualian sebagaimana tercantum dalam ayat (2) yang
menentukan bahwa dalam hal kejahatan terhadap keamanan
negara, polisi, jaksa dan petugas Pemasyarakatan tersebut dapat
mendengar isi pembicaraan, jadi dalam bentuk Within sight within
hearing. Menjadi pertanyaan apakah ketentuan tersebut tidak
berarti mengurangi kebebasan hubungan antara penasihat hukum
dengan tersangka.
Lebih jauh lagi apakah hal itu tidak bertentangan dengan
rahasia jabatan seseorang penasihat hukum dimana ia harus
menyimpan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya?.
Meskipun hal ini tidak secara jelas diatur dalam suatu perundang-
undangan, tetapi Ilmu Hukum dan yurisprudensi telah mengakui
advokat (penasihat hukum, pen.) memiliki versehoningsrecht dan
mengkualifisir advokat sebagai pejabat yang wajib menyimpan
rahasia yang dipercayakannya. (Oemar Senoadji, 1992: 2).
Hal lain yang juga dicantumkan dalam instrumen
internasional tersebut adalah bahwa pihak berwenang menjamin
pengacara-pengacara memiliki akses yang cukup kepada
informasi, file atau dokumen yang disimpannya agar dapat bekerja
dengan baik. Dalam konteks penegakan hukum pidana, yang
dimaksud dengan pejabat berwenang ini tentu saja Jaksa, hakim,
maupun petugas Lembaga Pemasyarakatan. Pada tahap penyidikan
KUHAP telah memberi hak kepada penasihat mendapatkan
42
turunan berita acara pemeriksaan tersangka, pada tahap
penuntutan semua berkas perkara termasuk surat dakwaan.
Sedangkan pada tahap ajudikasi (pemeriksaan di sidang
pengadilan), penasihat hukum memiliki hak untuk mendapatkan
turunan dari seluruh berkas perkara termasuk putusan hakim
(Pasal 72 KUHAP beserta penjelasannya).
Dengan demikian sebelum suatu perkara disidangkan di
pengadilan; KUHAP telah menjamin bahwa penasihat hukum
tersehut sudah berhak mendapatkan semua berkas perkara
termasuk surat dakwaan. Ketentuan ini sangat menunjang tugas
penasihat hukum yang harus melakukan persiapan pembelaan di
sidang pengadilan.
Demikian seperangkat hak-hak yang dimiliki oleh penasihat
hukum yang diatur dalam KUHAP khususnya pada tahap
penyidikan. Namun harus segera ditambahkan di sini bahwa
pengaturan dalam suatu undang-undang bukan akhir dari
segalanya. Ia masih membutuhkan evaluasi dan masukan-masukan
dari dunia praktek demi kesempurnaan ketentuan yang
bersangkutan. Dalam kaitannya dengan hal itulah, menarik untuk
dikemukakan pendapat Bambang Widjojanto yang
mengemukakan bahwa posisi penasihat hukum yang pasif dalam
tahap penyidikan dan pemeriksaan terhadap tersangka menjadi
tidak optimal.
Dikemukakan bahwa dalam banyak kasus, penasihat hukum
tidak bisa melakukan tindakan apapun, kendati ia mengetahui
bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap kliennya
bertentangan dengan ketentuan prosedural. Sebagai contoh
dikemukakan oleh beliau bahwa pertanyaan dari penyidik yang
bersifat menjebak, sugestif dan tidak memberikan keleluasaan
pada orang yang disidik untuk memberikan jawaban. Berdasarkan
43
hal di atas, maka diusulkan agar penasihat hukum diberi hak untuk
bisa memberikan suatu pendapat atau nasehat secara langsung
kepada tersangka tentang adanya pelanggaran-pelanggaran
terhadap prosedural penyidikan yang dilakukan oleh aparat
penyidik. (Bambang Widjojanto, 1997: 6)
Penulis setuju dengan pendapat diatas, yaitu agar dalam
KUHAP khususnya ketentuan mengenai hak bantuan hukum
dalam tingkat penyidikan ini sebaiknya dilengkapi dengan hak
penasihat hukum untuk bisa memberikan nasehat-nasehat yuridis
kepada tersangka, sebab seorang tersangka yang awam bukan
mustahil mengalami kesulitan yang bersifat yuridis. Dengan
demikian posisi penasihat hukum disini adalah sebagai yuridis
adviseur atau legal adviseur yang berarti sebagai pemberi nasehat
hukum. (Martiman Prodjohamidjojo, 1982 : 16)
B. Tahap Penuntutan
Penuntutan merupakan langkah penting dalam proses peradilan
pidana karena penuntutan itu menghubungkan penyidikan dengan
pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena itu kerja sama dan
koordinasi yang harmonis antara penuntut umum dan penyidik
harus dijalin dengan sebaik-baiknya. Wewenang untuk
melakukan penuntutan ini ada pada kejaksaan Republik
Indonesia. KUHAP membedakan dengan jelas istilah "jaksa" dan
"penuntut umum". Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP ditegaskan
bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Sedangkan penuntut umum adalah jaksa
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
44
Batasan yang diberikan oleh KUHAP tersebut menegaskan
bahwa pengertian "Jaksa" dihubungkan dengan aspek jabatan,
sedangkan pengertian "penuntut umum" berhubungan dengan
aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam
persidangan pengadilan. Sesudah berlakunya KUHAP, jaksa dan
penuntut umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang
menyidik perkara, dari permulaan atau lanjutan, kecuali untuk
tindak pidana khusus. Ini berarti untuk tindak pidana umum jaksa
atau penuntut umum di Indonesia tidak pernah melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka.
Menurut sistem yang dianut KUHAP, wewenang untuk
melakukan penyidikan ada di tangan pejabat polisi negara
Republik Indonesia, sebagai "instansi penyidik tunggal" (S.
Tanusubroto, 1983: 15). POLRI melakukan koordinasi dan
pengawasan dalam penyidikan (Pasal 7 ayat (2) KUHAP) dan
secara administratif organisatoris berada dalam suatu kesatuan
dan tidak terpecahpecah di bawah pimpinan KAPOLRI. Dengan
demikian kelancaran, ketertiban dalam penyidikan dan
penyelidikan kejahatan sampai pembuatan berita acara dengan
semua alat-alat pembuktian ada di tangan kepolisian, artinya
semuanya harus dikerjakan oleh dan menjadi tanggung jawab
sepenuhnya dari kepolisian. Bilamana proses pemeriksaan di
tingkat penyidikan berjalan lancar, maka segala pujian dan
kehormatan adalah untuk kepolisian, sebaliknya segala celaan
juga untuk kepolisian jika ternyata ada kekurangan-kekurangan
dan keluhan-keluhan mengenai tindakan penyidikan tersebut.
Ketika hukum acara pidana di Indonesia masih mendasarkan
diri pada HIR, keadaannya tidak seperti yang diuraikan diatas.
Menurut sistem HIR, maka pejabat-pejabat kepolisian yang
melakukan penyidikan bertindak dalam kedudukan sebagai
45
pembantu jaksa (Hulprmagistraat) (Pasal 53 HIR), sehingga jika
polisi dan jaksa berbarengan mengusut suatu perkara, maka polisi
menghentikan kegiatannya dan menyerahkan kepada jaksa. Hal
ini diatur dalam Pasal 54 HIR. Jadi menurut sistem HIR polisi
mempunyai kekuasaan penyidikan yang bersifat derivatif
semacam pendelegasian kekuasaan dari jaksa penuntut umum. (S.
Tanusubroto, 1983 : 13)
Menurut sistem HIR, jaksa mempunyai kedudukan yang boleh
dikatakan centralfigur dan mencakup kegiatan yang berupa
penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan
penuntutan. Dengan demikian menurut sistem HIR, jaksa bisa
campur tangan dalam segala tindakan penyelesaian perkara sejak
awal perkara itu diungkap. Hal itu pada dasarnya dilakukan demi
kesempurnaan pemeriksaan perkara secara keseluruhan.Pada saat
sekarang, dengan berlakunya KUHAP, maka wewenang penuntut
umum diatur secara eksplisit dalam Pasal 14 KUHAP yaitu:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan
dari penyidik atau penyidik pembantu.
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan
pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam penyempurnaan penyidikan dari
penyidik.
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status penahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik.
d. Membuat surat dakwaan.
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.
46
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai surat pemanggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan.
g. Melakukan penuntutan.
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum.
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut
ketentuan undang-undang ini.
j. Melaksanakan penetapan hakim.
Berdasarkan wewenang penuntut umum yang diatur dalam
Pasal 14 KUHAP seperti disebutkan diatas, Andi Hamzah
menyimpulkan bahwa KUHAP menganut sistem tertutup, artinya
tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan
penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara
berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknis
yuridisnya. (Andi Hamzah, 1996: 86-87)
Pendapat diatas tidak disetujui oleh Lilik Mulyadi dengan
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :
" Menurut penulis sebenarnya Indonesia tidak menganut secara
murni sistem tertutup. Dalam hal-hal tertentu dapat saja
penyidikan dilakukan oleh pihak kejaksaan. Dalam praktek
peradilan di Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat
(2) KUHAP beserta penjelasannya serta Pasal 32 huruf b.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 (LNRI 1991-1959;
TLNRI 3451) tentang Kejaksaan Republk Indonesia maka
terhadap perkara-perakara khususnya tindak pidana ekonomi
(Undang-Undang Nomor 7 drt. Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
47
Ekonomi) dan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971) masih dimungkinkan penyidikan
dilakukan oleh kejaksaan". (Lilik Mulyadi, 1996: 25)
Dalam hubungan ini penulis berpendapat bahwa pada
prinsipnya wewenang penyidikan memang ada ditangan pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, sedangkan kejaksaan Republik
Indonesia yang meskipun masih dimungkinkan untuk melakukan
tindakan penyidikan untuk tindak pidana khusus, pada hakikatnya
hal tersebut adalah bersilat perkecualian. Konstruksi pemikiran ini
didasarkan pada suatu pemahaman bahwa mengenai pembedaan
fungsional antara kejaksaan dan kepolisian telah diatur secara
tegas dalam KUHAP sebagai induk hukum acara pidana di
Indonesia.
Sistem pengaturan demikian adalah penyempuraan dari aturan
sebelumnya yang ada dalam HIR, yang memungkinkan adanya
tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan dan
telah menempatkan kedudukan polisi sebagai subordinat jaksa.
Lebih dari itu didalam KUHAP juga masih dimungkinkan bagi
jaksa untuk terlibat didalam aktivitas penyidikan yang telah
dilakukan oleh kepolisian, meskipun bukan keterlibatan secara
fisik, tetapi secara yuridis.
Mengenai keterkaitan kejaksaan pada aktivitas penyidikan
yang diatur oleh KUHAP dapat dikemukakan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
Pasal 109 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
" Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan itu kepada penuntut umum" (1)
" Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
48
bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum" (2).
" Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan
oleh penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b. Pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum" (3)
Dalam Pasal 109 ayat (1) seperti dikutip diatas hanya disebut
dengan kata-kata "penyidik memberitahukan ............" dan tidak
ada kata "wajib" memberitahukan kepada penuntut umum.
Rumusan demikian dianggap oleh Andi Hamzah sebagai suatu
kekurangan, karena seandainya hal itu tidak dilakukan oleh
penyidik hal ini tidak ada sanksinya yang bisa diterapkan kepada
penyidik. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Andi
Hamzah tersebut, namun sekiranya ada pengertian bersama antara
penyidik dan penuntut umum sesuai yang dikehendaki oleh
KUHAP, maka kekurangan itu sebenarnya bisa diatasi.
Keterkaitan kejaksaan pada kegiatan penyidikan juga bisa
dilihat dari ketentuan Pasal 110 KUHAP yang menegaskan
sebagai berikut:
" Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan,
penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
kepada penuntut umum" (1)
" Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap,
penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi" (2).
" Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan
dilengkapi, penyidik segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum" (3)
49
" Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu
empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil
penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pernberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum" (4)
Ketentuan Pasal 110 KUHAP diatas tidak dapat dilepaskan
dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3) KUHAP dan Pasal 138 ayat (2)
KUHAP. Di bawah ini dikutip kedua ketentuan tersebut. Pasal 8
ayat (3) KUHA P:
Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud ayat (2)
dilakukan:
a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan
berkas perkara.
b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,
penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti kepada penuntut umum.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP:
" Dalam hal penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada
penuntut umum."
Persoalan yang muncul dari berbagai ketentuan yang
disebutkan diatas adalah tidak ditentukannya batas berapa kali
penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara
timbal batik dari penyidik atau penuntut umum atau sebaliknya.
Hal ini menunjukkan berkas perkara bisa mondar-mandir dari
penyidik kepada penuntut umum dan sebaliknya, misalnya saja
50
kalau penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan
tambahan yang dilakukan penyidik masih dinyatakan belum
lengkap.
Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan yang bisa diambil
adalah bahwa sesudah berlakunya KUHAP, pemeriksaan pada
tahap penuntutan ini bukan pemeriksaan secara fisik terhadap
tersangka, melainkan pemeriksaan terhadap berkas perkara yang
secara keseluruhan disusun oleh penyidik polisi negera RI. Hal ini
disebabkan wewenang jaksa atau penuntut umum untuk
melakukan penyidikan tambahan sudah tidak dikenal lagi didalam
KUHAP. Penyidikan tambahan menurut sistem KUHAP tetap ada
ditangan penyidik Polri meskipun dalam pelaksanaannya atas
perintah dari penuntut umum.
Jika disimak dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka didalamnya disebut-
sebut adanya kewenangan dari jaksa untuk melakukan penyidikan
tambahan, namum hal itu ternyata juga tidak boleh dilakukan
terhadap tersangka. Ketentuan selengkapnya mengenai hal ini
akan dikutip dibawah ini.
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI menyatakan di bidang pidana, kejaksaan
mernpunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
putusan lepas bersyarat;
51
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Menurut penjalasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dari undang-
undang dimaksud dikatakan bahwa. :
" Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan
dilakukan dengan mernperhatikan hal-hal sebagai berikut:"
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka
2) Hanya terhadap perkara-perakara yang sulit
pembuktiaannya, dan atau dapat meresahkan
masyarakat, dan atau yang dapat membahayakan
keselamatan negara.
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110
dan Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Permasalahan yang muncul dalam hal ini adalah bagaimana
KUHAP mengatur posisi bantuan hukum pada tahap penuntutan
ini, dan selanjutnya berhubung kejaksaan tidak lagi melakukan
pemeriksaan secara fisik kepada tersangka, apakah relevansinva
bantuan hukum pada tahap penuntutan ini. Jika diteliti didalam
ketentuan KUHAP, ada beberapa pasal yang mencoba
menyinggung keterkaitan bantuan hukum/penasihat hukum dalam
tahap penuntutan ini.
52
Mengenai hal ini akan dikutip dibawah ini :
Pasal 140 ayat (2) KUHAP:
a. Dalam hal penuntut utnum memutuskan untuk
menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut tenwata bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut urnum menuangkan hal tersebut
dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan itu wajib diberitahukan kepada
tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera
dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada
tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat
rumah tahanan negara, penyidik, dan hakim.
Pasal 143 ayat (4) KUHAP:
" Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat
dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya
atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan
perkara tersebut ke pengadilan negeri".
Pasal 144 ayat (3) KUHAP:
" Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau
penasihat hukum dan penyidik"
Adapun yang dimaksud dengan surat "Pelimpahan perkara"
menurut penjelasan Pasal 143 KUHAP adalah surat pelimpahan
perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas
perkara.
53
Dari beberapa pasal yang dikutip sebelumnya, bisa
disimpulkan bahwa pada tahap penuntutan ini, penasihat hukum
mempunyai hak untuk :
1. Memperoleh surat ketetapan penghentian penuntutan
atas nama tersangka.
2. Memperoleh surat pelimpahan perkara yang berisi
surat pelimpahan perkara itu sendiri, surat dakwaan,
dan berkas perkara.
3. Turunan perubahan surat dakwaan.
Namun pada hemat penulis, karena dalam tahap penuntutan ini
tersangka juga masih bisa dikenai penahanan selama menunggu
perkaranya dilimpahkan ke pengadilan, maka hak penasihat
hukum untuk berhubungan dengan tersangka harus tetap berjalan.
Mengenai hak penasihat hukum untuk mendapat turunan surat
ketetapan penghentian penuntutan atas nama tersangka, hal itu
akan merupakan kepastian bagi tersangka, sedangkan surat
pelimpahan perkara berserta kelengkapannya akan sangat
bermanfaat untuk kepentingan pembelaannya setelah perkara yang
bersangkutan diperiksa di persidangan pengadilan, demikian
halnya mengenai turunan perubahan surat dakwaan.
C. Tahap Pemeriksaan Pengadilan
Pada tahap ajudikasi atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
peran penasihat hukum bersifat aktif. Dalam hal ini penasihat
hukum dapat menggunakan hak-haknya seperti hak untuk
mengajukan pembuktian seperti, saksi a de charge, surat-surat dan
sebagainya. Hak untuk mengajukan pembelaan atau yang dikenal
dengan pledoi. Dibawah ini dikutip beberapa pasal yang
berhubungan dengan penasihat hukum dalam tahap persidangan
pengadilan ini.
54
Pasal 148 KUHAP berbunyi:
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat,
bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang
pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk
wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan
surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan
lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan
surat penetapan yang memuat alasannya.
(2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali
kepada penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri
yang bersangkutan menyampaikan kepada kejaksaan
negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum
dalam surat penetapan.
(3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disampaikan kepada terdakwa atau
penasihat hukum dan penyidik.
Pasal 156 KUHAP berbunyi:
“ Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan
keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan
tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.”
Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP berbunyi:
" Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun
yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam
surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh
terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum
selama berlangsungnya sidang atau sebelum
55
dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib
mendengar keterangan saksi tersebut."
Pasal 165 ayat (2) KUHAP berbunyi:
" Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan
perantaraan hakim ketua sidang diberi kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi."
Pasal 172 ayat (1) KUHAP berbunyi:
" Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang,
agar diantara saksi tersebut yang tidak mereka
kehendaki kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang,
supaya saksi lainnya dipanggil masuk oleh hakim ketua
sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang
demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya
saksi yang dikeluarkan tersebut."
Pasal 182 ayat (1) KUHAP berbunyi:
a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut
umum mengajukan tuntutan pidana.
b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum
mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh
penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa
atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.
c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atau pembelaan
dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera
diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya
kepada pihak yang berkepentingan.
Penjelasan pasal 182 ayat (1) huruf c, menyatakan bahwa apabila
terdakwa tidak dapat menulis, panitera mencatat pembelaannya.
Itulah beberapa ketentuan yang berhubungan dengan hak
56
penasihat hukum pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Hak penasihat hukum pada tahap ajudikasi ini bisa dikatakan
setara dengan hak dari jaksa penuntut umum.
Atas dasar pemikiran ini, maka ada pendapat yang menyatakan
bahwa dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, KUHAP
menganut sistem accusatoir.Namun menurut Sudarto, dalam
pemeriksaan sidang pengadilan ini juga masih tetap inquisitoir
mengingat pemeriksaan di sidang pengadilan hakimnya masih
aktif. (Djoko Prakoso, 1985: 107)
KUHAP yang sudah merupakan hukum nasional memang masih
menempatkan posisi hakim dalam keadaan aktif. Hal ini berbeda
dengan yang berlaku di negara-negara dengan sistem common law.
Di negara yang menganut common law system, sistem peradilan
pidana mendasarkan pada adversary model, sehingga apa yang
disebut kebenaran ditentukan oleh kontes antara jaksa dan
penasihat hukum. Dalam sistem peradilan ini ditentukan secara
jelas alokasi tanggung jawab masing-masing pihak yang
bersangkutan dalam persidangan.
Pengungkapan fakta-fakta diserahkan kepada jaksa dan
penasihat hukum, penentuan kesalahan diserahkan kepada orang-
orang awam yang lebih dikenal dengan juri, sedangkan tugas
hakim adalah menetapkan tentang hukum dan hukuman. Jadi
dalam sistem peradilan yang dianut oleh negara-negara dengan
common law system ini, boleh dikatakan lebih memberi tempat
kepada penasihat hukum untuk berperan aktif, dan lebih dari itu
mampu memberi warna pada upaya penyelesaian perkara dengan
sebaik-baiknya.
Keadaan seperti diuraikan diatas, agak berbeda dengan sistem
peradilan yang dianut oleh negara-negara yang mewarisi sistem
hukum Eropa Kontinental seperti negara Indonesia. Secara jujur
57
harus dikatan bahwa sistem peradilan yang berasal dari warisan
kolonial, telah menempatkan Hakim dalam posisi aktif. Sikap
hakim yang aktif dalam proses peradilan ini disisi lain telah
membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri, yang diantaranya
adalah meminggirkan fungsi-fungsi lain dalam persidangan.
Fungsi-fungsi lain dalam persidangan yaitu peran jaksa dan juga
penasihat hukum menjadi lebih bersifat komplementer belaka.
Proses pendengaran dan pemeriksaan bukti-bukti central.
Penentuannya terletak pada hakim. Konkritnya kalau jaksa dan
atau penasihat hukum hendak bertanya (cross direct examination)
harus melalui perantaraan hakim. Demikian juga seleksi saksi-
saksi yang diajukan dapat dilakukan hakim, termasuk di
dalamnnya pengajuan seorang ahli sepenuhnya sangat tergantung
dan ditentukan oleh hakim. Dengan demikian peran hakim dengan
sistem yang ada sekarang dapat dikatakan Monopolistik atas
seluruh aspek-aspek dan pemeriksaan suatu perkara di
persidangan. (Luhut M.P. Pangaribuan, 1986: 18)
Keadaan seperti diuraikan di atas membawa konsekuensi lebih
jauh bahwa pengajuan dan pengujian fakta-fakta, penentuan
kesalahan, dan penentuan hakim dan pemidanaan menjadi
monopoli dari hakim. Artinya bagi para pencari keadilan hanya
bisa melakukan koreksi melalui upaya hukum saja. Dalam kondisi
demikian ini peranan penasihat hukum dalam mekanisme
penyelesaian perkara pidana sangat tergantung pada sikap obyektif
hakim di persidangan.
58
BAB IV
BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA
PERDATA
Dalam perkara perdata, advokat berkedudukan sebagai kuasa
atau wakil kliennya. Landasan hukumnya adalah Pasal 123 HIR
(Het Herziene Inlandsch Reglement).
Pasal 123 HIR ayat (1)
" Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau
diwakili oleh kuasa yang dikuasakannya untuk melakukan itu
dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi
kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa
itu dalam surat permintaan yang ditandatanganinya dan
dimasukkan menurut ayat pertama Pasal 118 atau jika
gugatan dilakukan dengan lisan menurut Pasal 120, maka
dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan
dalam catatan yang dibuat dengan surat gugat ini".
Peran advokat dalam perkara perdata di pengadilan dalam hal
ini adalah membantu pihak-pihak yang berperkara dalam rangka
mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum perdata bagi
seorang advokat adalah perang interpetasi dan perang ilmiah,
karena itu sebagai advokat mencoba mempertahankan unsur-
unsurnya didalam hukum acara (Wawan Tunggul Alam, 209:
129).
Dengan demikian advokat harus memiliki kemampuan
berperkara yaitu kemampuan untuk menyusun surat-surat; seperti
surat gugatan, jawaban, replik, duplik maupun kemampuan
59
memberikan jawaban secara lisan, kemampuan dalam memberikan
pembuktian, mengajukan konklusi akhir dan lain sebagainya yang
ada hubungannya dengan penyelesaian perkara di pengadilan.
Namun fungsi advokat sebenarnya tidak hanya terbatas pada
penyelesaian perkara di pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan.
Misi seorang advokat adalah memberikan bantuan hukum
berdasarkan undang-undang kepada kliennya. Pada masa modern
sekarang ini advokat juga bisa berperan dalam membuat
"memorandum hukum" atau legal audit (pemeriksaan hukum) dan
legal opinion (pendapat hukum), dalam menangani kasus yang
dihadapi klien. Walaupun legal audit dan legal opinion ini tidak
semata-mata menyangkut bidang hukum perusahaan tetapi pada
umumnya kedua tindakan tersebut diberlakukan dalam bidang
hukum yang berkait dengan perusahaan (corporate law). Sebagai
contoh adalah adanya kewajiban membuat legal audit dan legal
opinion bagi perusahaan yang akan go publik di pasar modal.
Legal audit biasanya dibuat setelah membaca seluruh dokumen
yang ada, dan untuk perusahaan biasanya terdiri dari kontrak-
kontrak, korespondensi, Anggaran Dasar Perusahaan beserta
perubahannya, dokumen-dokumen perusahaan lainnya, seperti izin
usaha, dan izin-izin lainnya, pajak, bukti kepemilikan, dokumen
pembukuan dan dokumen lainnya sejauh ada relevansinya dan
penting dengan kasus yang bersangkutan. Sedangkan Legal
opinion (pendapat hukum) merupakan pandangan-pandangan
hukum atau aspek-aspek hukum apa saja yang berkaitan dengan
permasalahan yang dihadapi perusahaan atau klien (Wawan
Tunggul Alam, 2004: 131).
60
A. Surat Kuasa Untuk Advokat
Proses perkara perdata diawali dengan terjadinya suatu
sengketa yang kemudian disusul dengan diajukan gugatan oleh
pihak penggugat di pengadilan negeri. Jadi dalam hal ini ada
perselisihan antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Namun
perkara perdata sendiri sebenarnya tidak hanya berupa gugatan,
tetapi ada pula yang disebut permohonan. Bedanya dalam
permohonan tidak ada sengketa, disitu hakim sekedar memberi
penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir (Nawawi, 1987
: 20). Sebagai contoh permohonan pengangkatan anak dan
sebagainya. Dalam proses gugatan perdata di pengadilan negeri,
setiap penggugat maupun tergugat boleh maju sendiri di muka
persidangan dan boleh juga memberi kuasa kepada advokat.
Jadi jika penggugat dan tergugat menghendaki, dapat diwakili
oleh orang lain (advokat). Kuasa ini dapat diberikan secara lisan di
muka persidangan jika yang diberi kuasa dan yang memberi kuasa
hadir di persidangan (Nawawi, 1987: 63). Namun mengenai
perwakilan atau kuasa ini dapat juga diberikan secara tertulis
dengan suatu surat kuasa khusus. Disebut khusus karena harus
mencantumkan siapa-siapa yang bersengketa (nama penggugat
dan tergugat) serta disebutkan pula pokok sengketanya (perkara
dan persoalan apa), serta sejauh mana kuasa itu diberikan.
(Nawawi, 1987 : 63)
Surat kuasa sendiri ditinjau dari isinya ada yang disebut surat
kuasa umum, disamping surat kuasa khusus. Kuasa umum adalah
surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut
hanya untuk hal-hal yang bersifat umum saja. (Yudha Pandu, 2004
: 83) Secara umum ciri-ciri surat kuasa adalah diatas surat kuasa
tertera tanggal surat kuasa ditandatangani nama dan identitas
penerima kuasa, hal-hal atau perbuatan hukum yang akan
61
dikuasakan, ketentuan pelimpahan kuasa (substitusi) tanda tangan
pemberi kuasa dan penerima kuasa. Mengenai pelimpahan kuasa
(substitusi) ini pihak penerima kuasa diberikan peluang
memberikan kekuasaannya kepada orang lain untuk melaksanakan
kewenangan yang diberikan kepadanya, kecuali bila hal tersebut
dilarang secara tegas dalam pemberian kuasa.
Dalam hal terjadinya pelimpahan kuasa, tanggung jawab
pemegang kuasa adalah :
(1) Bila dalam surat kuasa, pemberian kuasa tidak memuat
ketentuan substitusi, atau secara tegas melarang adanya
substitusi itu maka penerima kuasa bertanggung jawab
sepenuhnya atas segala sesuatu yang dilakukan oleh orang
lain.
(2) Bila dalam surat kuasa memuat ketentuan pemberian hak
substitusi, sekaligus menyebut nama penerima substitusi,
maka penerima kuasa kemudian temyata menunjuk
penerima substitusi untuk menggantikannya maka ia bebas
dari segala tanggung jawab mengenai pelaksanaan kuasa
selanjutnya.
(3) Bila dalam surat kuasa memuat ketentuan pemberian hak
substitusi, tetapi tidak menyebut dengan tegas nama
penerima substitusinya, maka penerima kuasa hanya
bertanggung jawab bila pemberi kuasa dapat membuktikan
bahwa orang yang ia tunjuk sebagai penerima substitusi
tersebut ternyata tidak cakap dan tidak mampu (Yudha
Pandu, 2004 : 84)
Bila penggugat dan tergugat bertindak sendiri sebagai pihak di
sidang pengadilan maka dikatakan bahwa mereka ini merupakan
"Pihak materiil" karena mempunyai kepentingan langsung dalam
perkara yang bersangkutan, sekaligus menjadi "pihak formil"
62
karena mereka sendirilah yang maju berperkara di sidang
pengadilan.
Mengenai berakhirnya pemberian kuasa maka Pasal 1813 KUH
Perdata menyatakan bahwa pemberian kuasa berakhir disebabkan
oleh :
1. Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.
2. Pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa.
3. Meninggal, pengampuannya atau pailitnya, baik pemberi
kuasa maupun penerima kuasa.
4. Kawinnya si wanita yang memberikan atau menerima
kuasa.
B. Perihal Surat Gugatan
Pada prinsipnya gugatan adalah suatu tuntutan hak yang
mengandung sengketa atau perselisihan dan diajukan di
pengadilan untuk mendapatkan putusan. Dalam proses gugatan ini
ada yang disebut pihak "penggugat" atau eiser/plaintiff dan jika
penggugat ini lebih dari seorang disebut sebagai "para penggugat"
serta pihak yang digugat karena dianggap melanggar hak orang
lain disebut dengan "tergugat" atau gedagde/dependant dan bila
lebih dari seorang disebut "para tergugat". Di samping itu praktek
peradilan juga mengenal adanya "turut tergugat" yaitu ditujukan
kepada seseorang yang tidak menguasai sesuatu barang akan tetapi
demi formalitas gugatan harus dilibatkan guna dalam petitum
sebagai pihak yang tunduk dan taut pada putusan hakim perdata.
Disamping itu praktek juga mengenal adanya gugatan
insidental berupa interventie yaitu masuknya pihak ketiga dalam
perkara yang sedang berjalan (diperiksa pengadilan) dimana pihak
ketiga tersebut disebut intervenient. Intervensi ini dapat berupa
voeging van personen/partijen yaitu masuknya pihak ketiga
63
karena memihak penggugat atau tergugat bisa juga pihak ketiga ini
tidak memihak siapa-siapa yang lazim dikenal dengan istilah
"tussenkomst". Dalam praktek selain intervensi dikenal juga
Vrijwaring atau Garantiel penanggungan yaitu ditariknya pihak
ketiga kedalam suatu sengketa ketika sedang berlangsung.
Interventie dan Vriejwaring ini diperkenalkan apabila pihak
ketiga sungguh-sungguh mempunyai kepentingan sehingga
kepentingannya terganggu jika ia tidak ikut dalam proses perkara
itu. Interventie dikabulkan atau ditolak dengan mempergunakan
"putusan sela" atau tussen-vonnis (Lilik Mulyadi, 1999: 44).
C. Isi Surat Gugatan
Dalam HIR tidak ada ketentuan yang mengatur elemen dan
syarat-syarat mengenai bentuk, cara dan substansi terhadap surat
gugatan. Namun demikian praktek mencatat setidaknya surat
gugatan pada pokoknya memuat:
1. Identitas para pihak berperkara
Dalam hal ini identitas penggugat/para penggugat atau
tergugat/para tergugat atau turut tergugat harus lengkap
seperti, nama lengkap, pekerjaan dan alamat yang
berkualitas sebagai perseorangan/pribadi. Apabila
penggugat/para penggugat atau tergugat/para tergugat atau
turut tergugat mempunyai kualitas sebagai Badan Hukum
Privat/Badan Hukum Publik dalam praktek cukup disebut
nama Badan Hukumnya, tempat kedudukan, dan alamat
kantornya.
2. Fundamentum Petendi/Posita
Bagian in menjelaskan adanya hubungan hukum antara
kedua belah pihak yang menjadi dasar gugatan, yang
meliputi pertama, uraian tentang kejadian-kejadian atau
64
peristiwa-peristiwa. Jadi merupakan penjelasan tentang
"duduknya perkara". Kedua, penguraian tentang
Hukumnya yang menjadi dasar yuridis gugatan (legal
grounds). Secara factual dalam praktek fundamentum
petendi lazim pula berisi hal-hal sebagai berikut:
a. Obyek perkara
Obyek perkara ini merupakan pokok sengketa.
Penguraian obyek perkara ini dapat meliputi uraian
sebab musabab mengapa surat gugatan tersebut
diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang
berwenang, misalnya karena menyangkut sengketa
perkawinan, jual beli, sewa beli, perjanjian
wanprestasi, dan sebagainya. Dalam obyek perkara
ini apabila gugatan menyangkut benda tetap (tidak
bergerak) hendaknya diuraikan secara detil dan
terperinci mengenai cara memperolehnya, luas dan
batas-batasnya secara tegas dan tepat serta hubungan
benda tersebut dengan penggugat. Bila obyek perkara
mengenai benda bergerak (tidak tetap) haruslah
diuraikan mengenai ciri-cirinya, nomor, jenis, cara
memperoleh dan lain-lain. Perincian dengan jelas dan
terang mengenai obyek gugatan ini guna menghindari
gugatan dinyatakan tidak dapat diterirna (Niel
Onvankelfk Verklaard)
b. Fakta-fakta Hukum
Fakta Hukum ini dapat meliputi penguraian terhadap
asal muasal penyebab sengketa seperti adanya
perbuatan melawan Hukum, wanprestasi, warisan dan
sebagainya.
65
c. Kualifikasi perbuatan tergugat/para tergugat atau
turut tergugat. Kualifikasi perbuatan ini baik yang
bersifat melanggar undang-undang, perbuatan yang
bertentangan dengan kewajibannya, wanprestasi dan
lain-lain atau hal yang bertentangan dengan
kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan dan sebagainya.
d. Penguraian unsur kerugian dan permintaan lain akibat
tindakan tergugat/para tergugat. Penguraian unsur
kerugian in dapat diperinci berupa kalkulasi kerugian
yang diderita pihak tergugat/para penggugat baik
kerugian yang bersifat material dan non material,
adanya permintaan diwangsom sita jarninan
(conservatoir beslag) atau revindcatoir beslag atau
pun sita material, guna menjamin gugatan dan
sebagainya.
3. Tuntutan (Petitum)
Tuntutan/petitum merupakan perumusan secara tegas dan
jelas terhadap apa yang menjadi tuntutan penggugat
terhadap tergugat/para tergugat atau turut tergugat yang
akan diputus Hakim dalam amar putusannya.
Tuntutan/petitum dalam praktek peradilan dapat berupa
tuntutan pokok (primair) dan tuntutan tambahan
(subsidair). Tuntutan primair merupakan tuntutan
penggugat yang dimohonkan agar diputus dan dikabulkan
oleh hakim, sedangkan tuntutan subsidair biasanya berisi
menyerahkan keputusan kepada hakim yang dianggap
adil, atau bilamana majelis Hakim berpendapat lain,
mohon putusan yang seadil-adilnya.
66
Itulah secara garis besar uraian mengenai isi surat gugatan
yang merupakan syarat material dari surat gugatan. Sedang secara
formal surat gugatan lazimnya juga berisi:
a. Tempat, tanggal dan bulan serta tahun sural gugatan
tersebut dibuat oleh penggugat atau kuasanya. Lazimnya
tempat gugatan dibuat adalah dimana penggugat/para
penggugat bertempat tinggal atau tempat domisili dari
kuasanya. Sedangkan, tanggal, bulan dan tahun surat
gugatan dibuat biasanya ada dipojok kanan atas atau di
halaman terakhir dari surat gugatan dan juga pada meterai.
Di samping itu juga dicantumkan perihal adanya
permohonan gugatan serta kepada Ketua Pengadilan
Negeri mana surat gugatan tersebut diajukan oleh
penggugat/para penggugat atau kuasanya.
b. Penyebutan secara jelas dan lengkap identitas Para Pihak
yang berperkara. Penyebutan identitas tersebut meliputi
nama, umur, pekerjaan dan alamat dari pihak
penggugat/Para penggugat dan pihak tergugat/para
tergugat atau turut tergugat dan jika menggunakan kuasa
disebutkan pula identitas lengkap kuasanya beserta
penyebutan dan pencantuman nomor dan tanggal surat
kuasa khusus yang telah dilegalisasi oleh Panitera
Pengadilan Negeri tempat gugatan tersebut diajukan.
c. Surat gugatan diberi meterai
Surat gugatan dibubuhi meterai dan pada meterai tersebut
diberi tanggal, bulan dan tahun dan juga berisikan bagian
tanda tangan dari penggugat/para penggugat.
67
d. Surat gugatan ditandatangani
Dalam praktek penandatanganan surat gugatan in sangat
penting, jadi harus ditandatangani oleh penggugat sendiri
atau kuasanya sebagaimana dalam surat kuasa khusus.
D. Strategi Pembuktian
Seorang advokat harus tahu bukti-bukti apa saja yang dapat
diajukan setelah selesai acara gugatan dari pihak penggugat,
jawaban dari tergugat, replik dari penggugat dan duplik dari pihak
tergugat. Pada dasarnya proses pembuktian dilakukan terhadap
barang siapa mendalilkan terhadap suatu hak/peristiwa dan untuk
meneguhkan haknya atau guna membantah hak orang lain
haruslah dibuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (Pasal 163
HIR, Pasal 1865 KUH Perdata). Jadi konkretnya pembuktian
dilakukan jika ada dalil-dalil yang dikemukakan pihak satu
kemudian dibantah pihak lainnya.
Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya yang berjudul
"Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan
Indonesia" tahun 1999, penerbit Djambatan pada Halaman 150-
153 menyatakan bahwa akan tetapi dalam praktek subtansi
pembuktian ini diterapkan secara efektif. Dalam artian, tidak
semua fakta-fakta hukum harus dibuktikan di persidangan.
Adapun fakta-fakta hukum yang harus dibuktikan di
persidangan mencakup mengenai hal-hal:
a. Pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat
gugatan penggugat/para penggugat. Dalam konteks ini,
Hakim dibebaskan dari kewajibannya untuk membuktikan
fakta-fakta yang diakui oleh tergugat/para tergugat. Jadi
apa yang merupakan latar belakang pengakuan
68
tergugat/para tergugat bagi hakim bukan merupakan
persoalan dalam memutus perkara itu.
b. Pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat
gugatan penggugat/para penggugat. Oleh karena Hukum
Acara Perdata Indonesia menganut asas kebenaran formal
maka apabila pihak tergugat/para tergugat sama sekali
tidak menyangkal atau membantah dalil-dalil
penggugat/para penggugat dianggap telah mencakup
kebenaran dalil surat gugatan. Dalam praktek disamakan
dengan tidak menyangkal gugatan ialah penyangkalan atas
dasar alasan-alasan yang tidak cukup. Misalnya pihak
tergugat/para tergugat hanya sekedar menyangkal atau
membantah gugatan penggugat/para penggugat tanpa
sama sekali diajukan alat-alat bukti lain guna memperkuat
dalil-dalil bantahannya.
c. Apabila majelis Hakim/hakim menjatuhkan putusan
verstek. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek (tanpa
kehadiran tergugat/para tergugat kesemuanya), maka
menurut ketentuan Pasal 125 H1R/149 RBg maka Majelis
Hakim/Hakim terlebih dahulu meneliti dalil-dalil gugatan
Penggugat/para penggugat, yang kemudian dalam
putusannya mengabulkan surat gugatan. Adapun salah
satu alasan sebagai dasar pengaturan verstek ialah dalam
proses perdata perlindungan kepada orang sepenuhnya
diserahkan kepada mereka masing-masing. Sehingga
apabila dalam proses ini, tergugat/para tergugat telah
dipanggil secara patut dan ternyata pada sidang pertama
tergugat/para tergugat tidak hadir atau tidak menunjuk
wakilnya yang sah untuk membela kepentingannya, maka
ia dapat dianggap tidak dapat atau tidak mau membantah
69
dalil surat gugatan. Selintas lalu hal ini merupakan sualu
keganjilan dan merupakan keadaan yang merugikan pihak
tergugat/para tergugat, akan telapi apabila diteliti ternyata
bagi mereka yang diputus verstek dapat mengajukan
perlawanan (verzet) sebagaimana ditentukan Pasal 129
H1R/Pasal 153 RBg.
d. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah
decisoir/sumpah pemutus Dalam aspek ini tidak
diperlukan proses pembuktian. Sumpah decisoir dapat
dilakukan apabila selama proses pemeriksaan perkara
perdata sama sekali tidak ditemukan bukti-bukti untuk
rnemperkuat suatu dalil (Onmogelfk heid Van bewijis,
Pasal 1936 KUH Perdata). Putusan Hakim digantungkan
terhadap siapa yang berani melalukan sumpah decisoir
dan pihak yang berani melakukannya akan dimenangkan
oleh majelis hakim/hakim dalam putusannya.
e. Apabila Majelis Hakim/Hakim karena jabatannya (ex
officio) dianggap telah mengetahui fakta-faktanya.
Adapun maksud konteks adalah bahwa Majelis
Hakim/Hakim karena jabatannya telah mengetahui fakta-
fakta tertentu dan kebenaran fakta-fakta ini dianggap telah
diketahui oleh Majelis Hakim/Hakim sehingga
pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini dapat dibagi
menjadi fakta-fakta prosesuil yaitu fakta-fakta yang terjadi
selama proses persidangan berjalan dan dilihat sendiri
oleh Majelis Hakim/Hakim yang bersangkutan seperti
dalam persidangan pihak penggugat/tergugat tidak hadir
persidangan. Pengakuan tergugat/para tergugat dalam
persidangan, salah satu pihak mengangkat sumpah, dan
sebagainya serta fakta-fakta notoir (natoire feiten,
70
noticeable facts) yaitu fakta-fakta yang telah diketahui
umum seperti dalam keadaan inflasi harga barang-barang
mahal, hari Minggu kantor-kantor tutup, laut dan langit
berwarna biru, dan sebagainya.
Setelah mengetahui prinsip bahwa siapa yang mendalillan
harus membuktikannya, maka advokat harus mengetahui dan
memahami mengenai macam-macam alat bukti dan cara
membuktikannya. Menurut Pasal 164 HIR dikenal 5 macam alat
bukti utama dalam perkara perdata yaitu:
a. Bukti tulisan
b. Bukti saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan dan
e. Sumpah
Dalam kaitan ini majelis hakim/hakim tunggal yang
menyidangkan perkara perdata haruslah memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada para pihak berperkara untuk mengajukan
alat bukti tersebut guna meneguhkan dalil-dalil gugatannya atau
dalil-dalil bantahannya.
a. Perihal Bukti Tulisan
Alat bukti tulisan atau surat dibagi menjadi dua yaitu akta
dari surat-surat lainnya yang bukan akta. Arti akta adalah surat
yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja, untuk pembuktian (Sudikno
Mertokusumo dalam Nawawi, 1987: 115).
Akta sendiri dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah
tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat dengan bentuk
sebagaimana ditentukan undang-undang oleh dan dihadapan
71
seorang pegawai umum (hakim, notaris, jurusita/deurwaarder,
pegawai pencatat nikah, dan lain-lain) yang berwenang untuk itu
di tempat dimana akta tersebut dibuat dan merupakan bukti yang
cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta seluruh
orang mendapat hak daripadanya tentang apa yang tersebut
didalamnya, tentang apa yang disebutkan sebagai pemberitahuan
belaka, apakah yang disebut kemudian ini mempunyai hubungan
langsung dengan pokok soal tersebut (Pasal 165 HIR, Pasal 285
RBg atau Pasal 1870 KUH Perdata).
Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik dapat
diklarifikasikan menjadi 2 (dua) macam yaitu pertama, akta yang
dibuat oleh "Pegawai Umum", akta semacam ini lazim disebut
dengan istilah-istilah "akta Pejabat", acte amblelijk, "relasi akta"
atau procesverbaal acte misal akta yang dibuat oleh notaris,
camat, panitera, surat panggilan juru sita, putusan hakim dan
sebagainya merupakan akta otentik yang dibuat oleh pegawai
umum. Kedua, akta yang dibuat "dihadapan" pegawai umum,
akta semacam ini lazim disebut dengan istilah "akta partai" atau
acte party.
Dari aspek pembuatannya akta partai ini inisiatif ada pada
para pihak untuk membuatnya dan pegawai umum hanya
mendengarkan, menyaksikan, dan meletakkan perjanjian
tersebut. Misalnya akta yang dibuat "dihadapan" notaris tenlang
suatu perjanjian (sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya) dari
dua orang yaitu si A dan si B. Kemudian si A dan si B meminta
kepada notaris agar perjanjian tersebut dibuatkan/ dituangkan
dalam suatu akta. Maka notaris dalam hal ini hanya
mendengarkan, menyaksikan dan meletakkan perjanjian tersebut
dalam suatu akta.
72
Kekuatan pembuktian dari akta otentik yang bersifat acte
ambtelijk merupakan suatu bukti sempurna dan mengikat (Pasal
165 HIR, Pasal 285 RBg, Pasal 1870 KUH Perdata) karena
merupakan bukti sempurna ia tidak memerlukan alat bukti lagi
karena akta otentik tersebut cukup membuktikan tentang
peristiwa atau hak. Disebut "mengikat" artinya bahwa apa yang
ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya hakim yakni harus
dianggap sebagai benar selama ketidakbenaran tersebut tidak
dibuktikan sebaliknya.
Sedangkan akta otentik bersifat "acte partij" maka
berdasarkan ketentuan Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, Pasal
1870 KUHPerdala maka kesempurnaan hanya berlaku terhadap
kedua belah pihak dan ahli warisnya. Bagi pihak ketiga akta
tersebut tidaklah bersifat alat bukti sempurna melainkan sebagai
alat pembuktian bebas dimana penilaiannya diserahkan kepada
pertimbangan, rasa keadilan dan kebijaksanaan hakim.
Selanjutnya mengenai akta dibawah tangan merupakan akta
yang tidak dibuat "oleh" dan "dihadapan" pegawai umum yang
berwenang membuatnya. Jadi intinya akta dibawah tangan ini
dibuat oleh para pihak sendiri tanpa bantuan pegawai umum.
Misalnya kuitansi, perjanjian utang-piutang, surat perjanjian
sewa menyewa, surat pernyataan dan sebagainya. Antara akta
otentik dan akta dibawah tangan terdapat persamaan dan
perbedaan.
Persamaannya adalah sama-sama merupakan akta yang
ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti
dari suatu perbuatan hukum. Kemudian terhadap pembuktian
pihak ketiga baik akta otentik maupun akta dibawah tangan
sama-sama bersifat alat pembuktian bebas. Sedangkan mengenai
perbedaannya antara akta otentik dan akta dibawah tangan
73
adalah pertama, bahwa akta otentik itu dibuat dan ditandatangani
"oleh" dan "dihadapan" pejabat umum, sedangkan akta dibawah
tangan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak sendiri dan
tanpa dihadapan pejabat umum.
Kekuatan pembuktian dari akta otentik adalah sempurna dan
mengikat tentang apa yang diterangkan dan dimuat di dalamnya,
sehingga tidak memerlukan pengakuan dan penambahan
pembuktian lagi. Apabila disangkal kebenaran tanda tangannya
maka dibebankan kepada pihak yang menyangkal untuk
membuktikan ketidakbenaran tanda tangan tersebut. Akan tetapi
untuk akta dibawah tangan apabila tanda tangan dalam akta akta
di bawah tangan disangkal kebenarannya, maka pihak yang
mengajukan akta dibawah tangan harus berusaha membuktikan
kebenaran tanda tangan dengan alat-alat bukti lain.
Namun jika tanda tangan akta dibawah tangan diakui, maka
akta tersebut bagi yang menandatangani (mengakui), ahli
warisnya, dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka,
merupakan bukti sempurna sebagaimana kekuatan formal dan
materiil dari suatu akta otentik. Perbedaan kedua adalah dari
aspek tanggal pembuatan akta, bagi akta otentik tanggal
pembuatan akta sudah cukup terbukti dengan dikemukakannya
tanggal yang tercantum dalam akta tersebut.
Hal ini berbeda dengan akta dibawah tangan, apabila tanggal
dalam akta di bawah tangan disangkal, maka pihak yang
mempunyai akta dibawah tangan harus membuktikan
kebenarannya. Demikian halnya terhadap pihak ketiga, jika
tanggal akta dibawah tangan tersebut disangkal, maka pihak
yang mempunyai akta tersebut yang harus membuktikan
kebenaran tanggal dalam akta yang bersangkutan.
74
b. Alat Bukti Pengakuan
Alat bukti pengakuan atau bekentenes confession diatur dalam
Pasal 174 HIR, Pasal 312, 313 RBg, Pasal 1923-1928 KUH
Perdata dan yurisprudensi. Pada dasarnya pengakuan merupakan
suatu pernyataan dengan bentuk terlulis atau lisan dari salah satu
pihak berperkara dimana isinya membenarlan dalil lawan baik
sebagian atau seluruhnya. Menurut pandangan doktrin pada
asasnya pengakuan (Pasal 1923 KUH Perdata) dapat dibagi
menjadi 2 (dua) jenis yaitu pertama pengakuan dimuka hakim di
persidangan (gereciztelijke bekentenis). Pengakuan dimuka
persidangan mempunyai kekuatan pembuktian "sempurna"
(volledig bewijs) dan mengikat yang bersangkutan atau dengan
perantara seorang yang khusus dikuasakan untuk itu. "Sempurna"
dalam arti bahwa disamping pengakuan tersebut tidak diperlukan
lagi adanya alat bukti lain untuk menganggap benar dalil-dalil
yang diakui dan "mengikat" artinya bahwa dalil-dalil tersebut
wajib dianggap benar dengan adanya pengakuan.
Pengakuan di depan persidangan dapat diberikan secara tegas
sehingga memberi kepastian kepada hakim dan dapat pula
diberikan secara diam-diam sehingga terhadap hal ini hakim bebas
menilainya. Pengakuan yang dilakukan di depan persidangan tidak
dapat ditarik/ dicabut kembali, kecuali jika dapat dibuktikan
bahwa pengakuan itu menimbulkan adanya unsur kekeliruan
(dwaling) terhadap kenyataan peristiwa (daadzaken). Kekeliruan
terhadap hukum tidak dapat dianggap sebagai alasan untuk
mencabut pengakuan (Pasal 1926 ayal (2) KUH Perdata).
Lebih dari itu pada azasnya pengakuan di depan persidangan
tidak boleh dipisah-pisahlan. Hakim dalam konteks ini tidak bebas
untuk misalnya hanya menerima sebagian dan menolak
selebihnya, akan tetapi harus menerima/ditolak seluruhnya. Kedua
75
pengakuan di luar sidang, pengaluan diluar sidang pengadilan
dapat dilakulan dalam bentuk tertulis atau lisan dan diatur dalam
Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, dan Pasal 1927-1928 KUH
Perdata. Baik pengaluan secara lisan maupun secara tertulis diluar
sidang pada azasnya dapat dicabut/ditarik kembali, sedangkan
kekuatan pernbuktian dari alat bukti pengakuan di luar sidang
yang diberilan secara tertulis rnerupakan bukti bebas.
Menurut ilmu pengetahuan hukum selain pengakuan dengan
macam seperti tersebut diatas, ada juga jenis pengakuan lainnya
yaitu:
a) Pengakuan murni (aveu pur et simple): Pengakuan
murni ini sifatnya sederhana dan pada pokoknya
membenarkan semua dalil lawan (penggugat).
b) Pengakuan dengan kualifikasi (gequaliceerde
bekentenis/aveu Qualifie): Pada pokoknya pengakuan
dengan kualifikasi merupalan pengakuan-pengakuan
disertai penyangkalan sebagian dari dalil lawan.
Misalnya si A mendalilkan bahwa ia telah membeli
barang si B seharga Rp 50 juta tetapi ia telah
membayar seharga Rp 25 juta.
c) Pengakuan dengan klausula (Geclausuleelule
bekentenis/aveu complexe): pada dasarnya pengakuan
berklausula diberikan dengan melakukan keterangan
tambahan yang sifatnya membebaskan. Misalnya si A
membeli rumah si B seharga Rp 100 juta. Dalam dalil
gugatan si B (penggugat) mendalilkan bahwa ia
menjual rumahnya kepada si A (tergugat) seharga Rp
100 juta dan si A sama sekali belum membayar harga
rumah tersebut. Akan tetapi, dalam dalil bantahannya
si A memang membenarkan bahwa ia telah membeli
76
rumah si B seharga Rp 100 juta akan tetapi si A telah
lunas membayarnya.
c. Alat Bukti Sumpah
Sebagai alat bukti, sumpah diatur dalam Pasal 155-158,
Pasal 177 HIR, Pasal 182-185, Pasal 314 RBg dan Pasal 1929-
1945 KUH Perdata. Pada pokoknya alat bukti sumpah dapat
diklasifikasikan menjadi:
i. Sumpah Pemutus
Dalam praktek jenis sumpah ini sering disebut dengan
istilah "sumpah menentukan", "sumpah decisoir" atau
decisoir eed yang diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183
RBg dan Pasal 1930-1939 KUH Perdata. Maksud dari
sumpah pemutus adalah sifatnya memutus perkara (litis
decisoir), dibebankan hakim kepada salah satu pihak atas
dasar permintaan lawannya karena tiadanya alat bukti.
Dalam menerapkan sumpah decisoir ini pada dasarnya
berlaku azas-azas bahwa pihak yang meminta pihal lawan
mengangkat sumpah dianggap telah melepaskan hak
terhadap hak-hak keperdataan khususnya dalam bidang
hak milik, warisan atau utang piutang. Prinsip lainnya
bahwa sumpah pemutus ini dapat diperintahkan hakim
terhadap setiap tingkat pemeriksaan yudex facti (Pasal
1930 KUHPerdata) baik ditingkat Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi. Sumpah pemutus ini juga dapat
diperintahkan hakim meskipun tidak ada pembuktian sama
sekali dan sering kali digunakan sebagai upaya terakhir
dalam usaha pembuktian jika pihak bersangkutan tidak
mempunyai bukti sedikitpun. Perintah pengangkatan
sumpah decisoir dapat dikembalikan artinya pihak
77
penerima sumpah dapat menuntut supaya pemberi
perintah tersebut sendiri mengangkat sumpah-sumpah
decisoir harus menyangkut hal-hal yang diperselisihkan,
misalnya kalau perselisihan menyangkut sudah atau belum
dibayarnya suatu harga barang, maka sumpah decisoir
harus terhadap pembayaran tersebut dan tidak boleh
rnenyangkut hal yang lainnya, dan sumpah decisoir yang
diperintah oleh hakim tersebut harus menyangkut
perbuatan yang bersifat pribadi dan lazim ditafsirkan
secara luas, yaitu terhadap segala sesuatu baik mengenai
diri pihak yang bersumpah maupun juga menyangkut
pengakuan terhadap aspek yang berkorelasi dengan pokok
perkara.
Dalam praktek peradilan ditolak atau dikabulkannya
pelaksanaan sumpah pemutus tergantung penilaian Majelis
Hakim/Hakim Tunggal yang menangani perkara, apakah
permintaan penggugat dilakukan sumpah tersebut bersifat
litis decisoir atau tidak. Jika permintaan tersebut bersifat
litis decisoir, maka pengabulan dilakukan melalui
"putusan sela/ tussen–vonnis " atau interlocutoir vonnis.
Terhadap putusan sela ini maka proses selanjutnya
tergantung pada sikap tergugat. Sikap tergugat dalam hal
ini bisa berupa, pertama jika tergugat bersedia
mengangkat sumpah maka akan dijatuhkan "putusan
akhir" dengan amar pada pokoknya menolak gugatan
penggugat dan menghukum penggugat membayar biaya
perkara.
Kedua, apabila tergugat menolak/tidak bersedia
mengangkat sumpah maka akan dijatuhkan "putusan
akhir" dengan amar pada pokoknya mengabulkan gugatan
78
penggugat, menghukum tergugat untuk ..... dan
menghukum pula tergugat membayar biaya perkara.
Ketiga, apabila kemudian tergugat mengembalikan
sumpah tersebut dan kalau penggugat tidak bersedia
mengucapkan sumpah, maka diputus dengan bentuk
"putusan akhir" dengan amar menolak gugatan penggugat
dan penggugat dihukum pula membayar biaya perkara,
sedangkan apabila penggugat bersedia melakukan sumpah
decisoir juga diputus dengan bentuk "putusan akhir"
dengan amar mengabulan gugatan penggugat dan tergugat
dihukum membayar biaya perkara.
ii. Sumpah Pelengkap
Sumpah pelengkap atau disebut dengan istilah
"sumpah penambah", "sumpah supletoir" atau supletoire
eed. Sumpah ini diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182
RBg, dan Pasal 1940 KUH Perdata dan diperintahkan
hakim pada salah satu pihak apabila hanya ada sedikit
bukti terhadap gugatan penggugat atau untuk menguatkan
kebenaran bantahan tergugat, akan tetapi bukti tersebut
belumlah cukup dan tidak ada kemungkinan menambah
bukti yang belum lengkap itu dengan bukti lain unluk
menyempurnakan pembuktian tersebut. Dalam hal seperti
ini hakim karena jabatannya dapat membebankan salah
satu pihak mengucapkan sumpah agar perlara dapat
diputus.
Pada dasarnya dalam pelaksanaan sumpah supleloir
ini berlalu azas-azas bahwa sumpah pelengkap ini
diperintahkan apabila terdapat permulaan pembuktian.
Jadi dalam konteks ini sumpah pelengkap dapat
diperintahkan hakim apabila tuntutan maupun bantahan
79
tidak terbukti dengan sempurna dan tuntutan maupun
bantahan itu bukanlah sama sekali tidak terbukti. Sumpah
pelengkap tidaklah perlu menyangkut perbuatan-perbualan
yang bersifat pribadi, meskipun demikian sumpah tersebut
harus menyangkut hal-hal dimana diketahui oleh orang
yang harus mengangkat sumpah.
Sumpah Pelengkap harus dilakukan dihadapan hakim
yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Dalam
praktek apabila terdapal halangan ketua pengadilan negeri
dapat memerintahkan seorang hakim, untuk mengambil
sumpah itu di rumah orang yang bersumpah atau dapat
dilakukan dihadapan Hakim Pengadilan Negeri dalam
wilayah mana orang yang bersangkutan berdiam.
Sumpah harus diangkat sendiri secara pribadi dan
dalam hal ada alasan penting pengangkatan sumpah dapat
dikuasakan kepada orang lain yang khusus diberi kuasa
untuk itu. Sumpah pelengkap harus dilakukan dengan
dihadiri oleh pihak lawan atau sesudah pihak lawan
dipanggil secara sah untuk itu (Pasal 1944-1945 KUH
Perdata). Dalam praktek sumpah pelengkap ini dapat
dibebankan oleh hakim baik kepada penggugat atau
tergugat dengan bentuk "putusan sela". Sumpah supletoir
setelah dilalukan secara formal harus dimuat dalam berita
acara persidangan pengadilan negeri dan apabila tidak
dicatat maka pengucapan sumpah tersebut diulangi lagi.
iii. Sumpah Penaksir
Dalam praktek sumpah penaksir disebut dengan istilah
"sumpah tazxatoir", aestimatoir eed; waar deringseed
atau schattingseed yaitu sumpah yang diperintahkan
hakim kerena jabatannya kepada penggugat (penggugat
80
dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi) untuk
menentukan besarnya jumlah uang pengganti kerugian.
Sumpah penaksir diatur dalam pasal 155 HIR, Pasal 182
RBg dan Pasal 1940 KUH Perdata. Dalarn praktek
penjatuhan sumpah penaksir dilakukan dengan "putusan
sela".
Disamping 5 (lima) alat bukti sebagaimana tersebut dalam
Pasal 164 HIR terdapat pula alat-alat bukti diluar ketentuan Pasal
164 HIR yaitu:
1. Pemeriksaan setempat (gerechtelijke plattsopneming/
Descente)
Menurut doktrin selain istilah diatas maka pemeriksaan
setempat lazim disebut juga istilah Plattselijke anderzoek
atau Local investigation. Pada dasarnya pemeriksaan
setempat adalah pemeriksaan perkara yang dilalukan hakim
diluar persidangan pengadilan negeri atau di lolasi
pemeriksaan setempat dilakukan sehingga hakim dapat
secara lebih tegas dan terperinci memperoleh gambaran
terhadap peristiwa yang menjadi pokok sengketa. Meskipun
dilaksanakan di luar sidang pengadilan, tetapi hal ini identik
dengan sidang di Pengadilan Negeri. Pemeriksaan ini
dilalukan oleh hakim karena jabatannya, atau dapat juga
diajukan oleh para pihak sendiri. Mengenai bentuk perintah
hakim unluk diadakan pemeriksaan setempat ada yang
dituangkan melalui bentuk "penetapan" tersendiri ada pula
dengan bentuk dicatat dalam "Berita Acara Sidang". Setelah
dilakukan pemeriksaan setempat, maka panitera/panitera
pengganti diharuskan untuk membuat berita acara untuk itu
sebagai bahan formal bagi Majelis Hakim guna menyusun
putusannya.
81
Permohonan untuk dilakukan pemeriksaan setempat ini
merupakan wewenang mutlak (pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi). Dalam hal pemeriksaan setempat ini
berlaku azas bahwa pemeriksaan setempat oleh hakim tidak
bersifat limitatif artinya seorang juru sita atau wakilnya
yang ditunjuk secara sah oleh hakim pengadilan Negeri
untuk melakukan pemeriksaan setempat berwenang penuh
melaksanakan perintah hakim tersebut dan hasil
pemeriksaannya dapat menjadi keterangan bagi hakim yang
bersangkutan dalam pemeriksaan dan memutus perkara
yang dihadapinya itu.
2. Keterangan Ahli
Hakikat dan keterangan/saksi ahli adalah memberikan
pendapat terhadap hal-hal yang diajulan kepadanya sesuai
dengan keahliannya dan bertujuan untuk memperjelas
duduknya perkara. Pada ketentuan Pasal 154 HIR, Pasal 181
RBg lebih detail mengatur tentang keterangan/saksi ahli
sebagai berikut:
a. Apabila pengadilan berpendapat bahwa perkaranya
akan dapat dijelaskan dengan suatu pemeriksaan atau
peninjauan oleh seorang ahli, maka ia dapat atas
perrnintaan para pihak atau karena jabatan,
mengangkat ahli tersebut.
b. Dalam hal yang demikian, ditetapkan hari sidang
dimana para ahli akan mengutarakan laporan mereka,
baik secara tertulis atau secara lisan dan menguatkan
laporan itu dengan sumpah.
c. Tidak boleh diangkat menjadi ahli, mereka yang
sedianya tidak akan dapat didengar sebagai saksi.
82
d. Pengadilan tidak sekali-kali diwajibkan mengikuti
pendapat ahli apabila keyakinannya bertentangan
dengan itu.
Keterangan saksi ahli diberikan dibawah sumpah yang
lazimnya berbunyi "saya bersumpah bahwa saya akan
memberikan pendapat soal-soal yang dikemukakan menurut
pengetahuan saya sebaik-baiknya".
Pada dasarnya fungsi dari keterangan/kesaksian ahli ini adalah
agar hakim memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam
tentang suatu hal yang bersifat teknis, kebiasaan-kebiasaan dalam
lalu lintas dagang dan lain sebagainya. Jadi kekuatan pembuktian
tergantung pada kebijaksanaan dan keyakinan hakim. (Lilik
Mulyadi, 1999: 190)
Antara keterangan saksi dan keterangan saksi ahli terdapat
perbedaan yaitu dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Dari aspek kedudukan, maka seorang saksi ahli jika
berhalangan atau tidak bersedia memberi keterangan/
kesaksian dapat digantikan dengan keterangan ahli yang
lain sedangkan terhadap saksi tidak diperkenankan.
b. Dari prinsip unus testis nullus testis maka azas ini tidak
berlaku bagi keterangan ahli (jadi satu keterangan ahli pun
dapat dianggap cukup) sedangkan terhadap saksi berlaku
asas tersebut.
c. Dari aspek akademis, maka seorang ahli harus mempunyai
keahlian/pengetahuan tertentu sedangkan saksi cukup
berdasarkan pengalaman terhadap apa yang dilihat,
dialami dan dirasakan.
d. Dari aspek bentuknya keterangan ahli bisa diberikan
secara lisan dan tertulis kalau diberikan secara tertulis
eksistensinya tetap merupakan keterangan ahli, bukan
83
sebagai alat bukti surat, sedangkan keterangan saksi hanya
dilakukan secara lisan dan jika dilakukan secara tertulis
maka kategorinya menjadi alat bukti surat.
e. Dari sudut kekuatan pembuktiannya maka hakim terikat
mendengarkan keterangan saksi yang dianggap relevan
sedangkan keterangan ahli hakim bebas untuk mendengar,
menilai dan mempertimbangkan sesuai dengan
keyakinannya.
Setelah diketahui mengenai macam-macam alat bukti, maka
tinggal bagaimana memanfaatkan dan mempergunakan alat bukti
tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kepentingan
penanganan perkara yang bersangkutan.
84
BAB V
PUTUSAN HAKIM DAN UPAYA HUKUM
A. Sifat Putusan Hakim
Putusan hakim merupakan puncak dari proses perkara
perdata. Menurut Purwoto S. Gandasubrata, putusan hakim yang
baik harus memenuhi 2 persyaratan, yakni memenuhi kebutuhan
teoritis maupun praktis. Yang dimaksud kebutuhan teoritis adalah
bahwa menilik kepada isi beserta pertimbangannya maka putusan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum
(harus juridisch en filosofisch verantwoord), bahkan tidak jarang
dengan putusan yang berbentuk yurisprudensi yang dapat
menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum).
Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah
bahwa dengan putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan
persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat
diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maupun masyarakat
pada umumnya karena dirasakan adil, benar, dan berdasarkan
hukum (dapat diterima secara sosiologis) (Purwoto S.
Gandasubrata dalam Lilik Mulyadi, 1999: 209).
Putusan hakim dalam perkara perdata menurut sifatnya ada
yang disebut dengan "putusan deklarator" atau Declaratoir vonnis
atau Declaratory judgement yakni putusan yang sifatnya
menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata.
Contohnya adalah A anak angkat yang sah dari B dan C; atau A,
B, dan C adalah ahli waris almarhum X (Retnowulan Sutantio
dalam Nawawi, 1987: 131). Demikian juga penetapan sebidang
85
tanah tertentu adalah milik penggugat/tergugat, penetapan
kelahiran seseorang dan sebagainya, adalah contoh-contoh putusan
yang sifatnya deklarator.
Menurut Sudikno Mertokusumo (Lilik Mulyadi, 1999: 208)
dikatakan bahwa tiap putusan yang bersifat menolak gugatan
merupakan putusan deklarator. Bahkan menurut Ny. Retnowulan
Sutantio dikatalan bahwa pada umumnya suatu putusan hakim
memuat beberapa macam keputusan, dengan lain perkataan
merupakan penggabungan dari putusan declaraloir dan putusan
constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dan
condenmatoir dan sebagainya (Lilik Mulyadi, 1999 209).
Disamping; putusan deklarator juga ada putusan hakim yang
bersifat konstitutif atau constitutive vonnis atau constitutive
judgement yaitu putusan hakim yang sifatnya meniadakan suatu
keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.
Contoh putusan pembatalan suatu perjanjian, putusan yang
memutuskan perkawinan, dan sebagainya.
Ketiga adalah putusan hakim yang bersifat condemnatoir atau
condemnatoir vonnis atau condemnatory judgement yaitu putusan
yang menghukum salah satu pihak. Contoh putusan hakim yang
berupa menghukum tergugat untuk mengembalikan sesuatu
barang kepada penggugat atau untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada penggugat sebagai pembayaran utangnya, dan
sebagainya.
Pada hakekatnya putusan condemnatoir juga merupakan
putusan deklarator, sebab sebelum hakim menghukum harus juga
menetapkan terlebih dahulu hubungan hukum antar pihak-pihak
yang berperkara (Lilik Mulyadi, 1999: 210). Setelah diketahui
mengenai macam-macam sifat putusan hakim tersebut, maka
harus juga diketahui bahwa diktum keputusan yang bersifat
86
deklarator tidak dapat dieksekusi, demikian pula yang bersifat
konstitutif. Oleh karena itu dalam menyusun gugatan harus hati-
hati terlebih kalau ada tuntutan penggugat kepada tergugat yang
berupa melakukan perbuatan hukum seperti pengosongan tanah
sengketa. Pemahaman tentang macam sifat putusan hakim ini
mempunyai arti penting dalam kailannya dengan permohonan
pelaksanaan putusan hakim (eksekusi) karena pihak yang kalah
tidak mau, mematuhi secara sukarela isi putusan.
B. Jenis-Jenis Putusan Hakim
Jenis putusan hakim dalam perkara perdata yaitu:
1. "Putusan sela" atau "Putusan antara", Tussen Vonnis,
"Putusan sementara" atau Interlocutor Vonnis. Yaitu
putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memutus
pokok perkaranya, hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan
sela ini diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum dan dicatat dalam acara berita persidangan.
2. "Putusan akhir" atau lazim disebut dengan istilah Eind
vonnis atau final judgment yaitu putusan yang dijatuhkan
oleh hakim sehubungan dengan pokok perkara dan
mengakhiri perkara pada tingkat peradilan tertentu.
Termasuk ke dalam "putusan akhir" ini adalah ketiga
putusan yang telah diuraikan diatas (putusan deklaralor,
constitutif, dan condemnatory) juga putusan kontradictor
(contradictoir vonnis) yaitu putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dalam hal lergugat pernah datang menghadap di
persidangan walau sekalipun ia tidak memberi
perlawanan/pengakuan. Contoh si A (penggugat)
menggugat si B (tergugat) karena masalah utang piutang
87
di Pengadilan Negeri. Setelah dipanggil dengan sah dan
patut si B (tergugat) pada persidangan datang dan untuk
selanjutnya tidak pernah datang lagi hingga perkara
selesai diperiksa. Terhadap perkara tersebut dimana si B
(Tergugat) pernah datang menghadap, maka perkara
tersebut diputus dengan putusan contradictoir atau contoh
lainnya si A (penggugat) melakukan gugatan kepada para
tergugat yaitu B, C, D dan E dalam persidangan yang
hadir hanya E saja. Sedangkan B, C, dan D tidak pernah
hadir sama sekali di persidangan. Terhadap para tergugat
tersebut (B, C, D dan E) maka perkara diputus dengan
kontradiktor.
Putusan akhir juga bisa berupa putusan verstek (verstek
vonnis) yaitu putusan dijatuhkan oleh hakim dalam hal
tergugat/semua tergugat tidak pernah hadir dipersidangan
meskipun telah dipanggil dengan patut untuk datang
menghadap di persidangan. Contoh si A (penggugat)
mengajukan gugatan kepada B, C, D, E, dan F (para tergugat)
karena masalah warisan. Dalam persidangan ternyata para
tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sama sekali di
persidangan. Dalam hal ini maka bisa dijatuhkan putusan
verstek.
C. Upaya Hukum
Pemahaman terhadap jenis putusan hakim tersebut diatas,
berkaitan erat dengan jenis upaya hukum yang harus diajukan oleh
pihak yang tidak puas atas putusan hakim. Mengenai upaya
hukum ini dibedakan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa.
88
1. Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa ini terdiri dari perlawanan (verzel),
banding (revisi) dan kasasi (cassatie).
a. Verzet (perlawanan)
Upaya hukum verzet ini merupakan upaya hukum
untuk melawan putusan verstek. Verzet diajukan oleh
tergugat kepada ketua Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan verstek. Upaya hukum verzet ini
harus diajukan oleh pihak yang dijatuhkan putusan verstek
atau pihak-pihak dalam perkara. Tenggang waktu untuk
mengajukan verzet (Pasal 129 ayat, (1) HIR, Pasal 153
ayat (1) RBg) adalah:
a) Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
terhitung sejak putusan verstek diberitahukan
kepada tergugat secara sah;
b) Sampai dengan hari kedelapan setelah dilakukan
peringatan pelaksanaan putusan sebagaimana
ketentuan Pasal 196 HIR, Pasal 207 RBg dalam
hal pemberitahuan putusan verstek tidak
diberitahukan kepada tergugat itu sendiri ; dan
c) Apabila tergugat tidak datang menghadap setelah
dipanggil dengan patut sampai dengan hari
kedelapan setelah eksekusi menurut ketentuan
Pasal 197 HIR.
b. Banding (Revisi)
Banding merupakan peradilan "ulangan" atau "revisi"
dari putusan Pengadilan Negeri. Jadi dalam hal ini
Pengadilan Tinggi memeriksa kembali perkara perdata
dalam keseluruhannva baik mengenai fakta, maupun
89
penerapan hukumnya. Yang dapat mengajukan banding
ialah yang bersangkutan baik penggugat maupun tergugat.
Upaya hukum banding ini diatur dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 1947 yang berlaku untuk Jawa dan Madura
dan bagi luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-
205 RBg.
Permohonan banding dalam perkara perdata dapat
diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan dalam hal
putusan tersebut diucapkan di luar hadir (verstek).
Selanjutnya permohonan banding harus dinyatakan di
hadapan panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan
putusan, kemudian pembanding menandatangani akta
pernyataan banding dan pengadilan kemudian mencatat
permohonan banding tersebut. Dalam mengajukan
permohonan banding ini pihak pembanding bisa
menyampaikan alasan-alasan diajukannya banding yang
dituangkan dalam memori banding. Akan tetapi memori
banding ini bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu
hak.
Sekiranya akan dibuat suatu meniori banding maka
pada hakikatnya alasan-alasannya dapat diklasilikasikan
ke dalam 2 (dua) alasan yaitu alasan yang bersifat formal
dan bersifat material (Lilik Mulyadi, 1999: 234). Alasan
memori banding yang bersifat formal biasanya meliputi
hal-hal seperti surat kuasa khusus untuk banding tidak
memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh undang-
undang, ketidakwenangan pengadilan (kompetensi)
mengadili perkara perdata tersebut baik mengenai
kompetensi absolut maupun relatif, surat gugatan
90
penggugat obscuur libel (kabur), juga dalam hal misalnya
putusan Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan dimana
subyek tergugat tidal lengkap digugat. Sedangkan alasan-
alasan permohonan banding yang bersifat material
lazimnya meliputi hal-hal seperti; putusan Pengadilan
Negeri harus dibatalkan karena didasarkan pertimbangan
yang kurang lengkap (onvoldoende gemotiveerd), putusan
Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum pembuktian
atau hukum acara pada umumnya, Pengadilan Negeri
telah memutus melebihi dari tuntutan atau memutus
terhadap hal yang tidak dituntut (Vide Lilik Mulyadi,
1999: 234 — 242).
c. Kasasi (Cassatie)
Pemeriksaan kasasi tidak merupakan pemeriksaan
tingkat ketiga, karena dalam tingkat kasasi ini tidak
dilakukan suatu pemeriksaan kembali terhadap perkara
tersebut melainkan hanya diperiksa masalah
hukumnya/penerapan hukumnya. Yang dapat mengajukan
permohonan kasasi dalam perkara perdata adalah pihak-
pihak berperkara atau wakilnya yang khusus dikuasakan
untuk itu.
Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang
waklu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan
atau diberitahukan dalam hal putusan tersebut diucapkan
di luar kehadiran salah satu pihak. Dalam mengajukan
kasasi, maka pernohon diwajibkan untuk membuat
memori kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empal belas) hari setelah pernyataan kasasi di
kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana tanggal
91
penerimaan memori kasasi tersebut dicatat dalam surat
keterangan panitera yang ditandatangani olehnya.
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar
pengajuan kasasi adalah bahwa Yudex facti (Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi) tidak berwenang atau
melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku dan lalai memenuhi
syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan. (Vide Lilik Mulyadi, 1999:
250-254).
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Dalam perkara perdata ada dua macam upaya hukum luar
biasa, yaitu:
a. Perlawanan atau bantahan pihak ketiga
Pada dasarnya derden verzet adalah upaya hulum luar
biasa yang dilakukan pihak ketiga melawan putusan hakim
yang merugikannya. Dalam praktek peradilan perlawanan
pihak ketiga ini dapat dilakukan terhadap sita conservatoir,
sita revindicatoir dansita eksekusi atas dasar hak milik.
Permohonan perlawanan pihak ketiga ini diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang
secara nyata menyita (Pasal 195 ayat (6) HIR, Pasal 206
ayat (6) RBg). Yang harus diperhatikan dalam proses
perlawanan ini adalah bahwa pihak pelawan harus bisa
membuktikan bahwa barang yang disita itu merupakan
miliknya. Apabila berhasil maka pelawan akan dinyatakan
sebagai pelawan yang benar/jujur, dan sita diperintahkan
untuk diangkat. Sebaliknya jika pelawan tidak bisa
membuktikan sebagai pemilik barang maka pelawan akan
92
dinyatalan sebagai pelawan yang tidak benar/tidak jujur dan
sita akan tetap dipertahankan.
b. Peninjauan Kembali
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil)
merupakan suatu upaya agar putusan Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang telah
mempunyai kekuatan Hukum telap (in kracht van gewijsde)
mentah kembali. Pada prinsipnya peninjauan kembali tidak
menangguhkan eksekusi. Peninjauan kembali ini harus
diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli
warisnya atau seorang walinya yang khusus dikuasakan
untuk itu. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali dan ditujukan kepada Mahlamah
Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama.
Mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai
dasar pengajuan peninjauan kembali beserta tenggang
waktu pengajuannya adalah sebagai berikut:
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan
atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui
setelah perkara diputus atau didasarkan bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. Dalam
hal ini tenggang waktu pengajuan peninjauan kembali
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diketahui
adanya kebohongan, tipu muslihat atau sejak putusan
hakim pidana telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
b) Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat
bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu
perkara diperiksa tidak dapat ditemukan. Ini yang
disebut dengan novum. Dalam hal ini tenggang
93
waktunya adalah 180 (seratus delapan puluh) hari
semenjak ditemukannya novum dimana hari dan
tanggal ditemukan novum dibuat dibawah sumpah serta
disahkan pejabat berwenang.
c) Apabila telah dikabulkan mengenai suatu hal yang
tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut. Dalam
hal ini tenggang waktunya adalah 180 (seratus delapan
puluh) hari terhitung sejak putusan mernperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahulan kepada
para pihak berperkara.
d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. Dalam
hal ini tenggang waktu pengajuan peninjauan kembali
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap serta telah
diberilahukan kepada pihak berperkara.
e) Putusan bertentangan antara satu dengan lainnva.
Dalam hal ini terdapat hal-hal: pihak-pihak yang sama;
mengenai soal yang sama; atas dasar yang sama; oleh
pengadilan yang sama; atau; dan sama tingkatnya.
Terhadap hal ini maka tenggang waktunya adalah 180
(seralus delapan puluh) hari sejak putusan terakhir
yang bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum
tetap dan diberitahukan kepada pihak berperkara.
f) Apabila dari suatu putusan terdapat suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Tenggang
waktu pengajuan peninjauan kembali untuk alasan ini
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung
putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada pihak berperkara.
94
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM
(EKSEKUSI)
A. Pengertian Eksekusi
Eksekusi artinya melaksanakan putusan Hakim. Eksekusi
putusan perdata berarti melaksanakan putusan dalam perkara
perdata secara paksa sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia
melaksanakan secara sukarela. Eksekusi dalam perkara perdata
merupakan proses yang cukup menyita waktu, tenaga dan biaya
serta pikiran. Perkara perdata tidak hanya berhenti sesudah
putusan Hakim berkekuatan hukum tetap (keputusan hitam di atas
putih). Ia barulah merupakan titik acuan untuk mendapatkan hak
yang diperjuangkannya secara nyata.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat
dimintakan eksekusi oleh pihak yang menang dengan catatan
apabila pihak yang kalah tidak dengan sukarela mau
melaksanakan amar putusan. Yang dapat dimintakan eksekusi
adalah hanya putusan yang amarnya menghukum (condemnatoir),
sementara amar putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif
tidak dapak dimintakan eksekusi.
Mengenai keputusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap dapat berupa:
i. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan
banding atau kasasi karena telah diterima oleh kedua belah
pihak;
95
ii. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak dimintakan
kasasi ke Mahkamah Agung;
iii. Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung
atau putusan peninjauan kembali dari Mahlamah Agung;
iv. Putusan verstek dari pengadilan tingkat pertama yang
tidak di verzet; dan
iv. Putusan hasil perdamaian dari semua pihak berperkara.
Adapun dasar hukum eksekusi adalah Pasal 195-Pasal 208
HIR, Pasal 224 HIR, atau Pasal 206-240 dan Pasal 258 RBg.
Sedangkan Pasal 225 HIR/ 259 RBg mengatur tentang putusan
yang menghukum pihak yang kalah untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Ada pula ketentuan tentang eksekusi
pengecualian terhadap putusan serta merta dan provisi diatur
dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg.
B. Azas-Azas Eksekusi
Dikenal 5 (lima) azas dalam eksekusi yaitu sebagai berikut:
1. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde). Dalam putusan yang sudah berkekuatan
hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum
yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Oleh
karena itu hubungan hukum tersebut wajib ditaati dan
dipenuhi oleh pihak yang di hukum (tergugat). Meskipun
demikian dalam kasus-kasus tertentu undang-undang
juga memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang
belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagai
contoh adalah elsekusi terhadap bentukbentuk hukum
yang dipersamakan sebagai putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya
96
pelaksanaan putusan provisi, putusan serta merta, akta
perdamaian dan eksekusi terhadap grose akta.
2. Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat
menghukum (condernnatoir). Putusan yang bersifat
condemnatoir adalah putusan yang amar atau dictumnya
mengadung unsur menghukum, seperti:
a) Menyerahkan sesuatu barang.
b) Mengosongkan sebidang tanah atau rumah.
c) Melakukan suatu perbuatan tertentu.
d) Menghentikan suatu perbuatan atau keadaan.
e) Membayar sejumlah uang.
3. Putusan hakim tidak dijalankan secara sukarela.
Asas ini mengandung pengertian bahwa eksekusi adalah
pilihan hukum yang dilakukan apabila pihak yang kalah
(tergugat) tidak mau menjalankan atau mematuhi isi
putusan secara sukarela. Jika pihak tergugat bersedia
menaati dan menjalanlan putusan secara sukarela, maka
tindakan eksekusi menjadi tidak diperlukan lagi. Namun
sebaliknya pihak pengadilan (juru sita) harus aktif
melaksanakan Hal-hal sebagai berikut:
a) Membuat berita acara pelaksanaan putusan dengan
sukarela tersebut
b) Disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
c) Pembuatan berita acara dan kesaksian tersebut
dilakukan di tempat putusan dijalankan.
d) Berita acara ditandatangani oleh juru sita, para saksi
dan, pihak-pihak (penggugat dan tergugat).
Pembuatan berita acara terhadap putusan yang dilakukan
secara sukarela ini adalah untuk atau sebagai bukti bagi
pengadilan bahwa putusan tersebut telah dijalankan
97
secara sukarela oleh tergugat. Andaikata di belakang hari
penggugat mohon eksekusi, maka berdasarkan bukti
tersebut pengadilan dapat menolak permohonannya.
(Wildan Suyuthi, 2004: 66)
4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua
Pengadilan, yang dilaksanakan oleh panitera dan juru
sita pengadilan yang bersangkutan. Kewenangan
menjalankan eksekusi adalah ada pada pengadilan
tingkat pertama. Hal ini diatur dalam Pasal 195 ayal (1)
HIIR atau Pasal 206 ayat (1) RBg. Dengan demikian
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak
mempunyai kewenangan menjalankan eksekusi sehingga
meskipun putusan yang hendak dieksekusi itu adalah
hasil putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung
eksekusinya tetap berada di bawah kewenangan
pengadilan tingkat pertama.
5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan.
Eksekusi tidak boleh menyimpang dari amar putusan,
karena jika terjadi penyimpangan dari amar putusan atau
dictum/isi putusan, maka pihak tereksekusi bisa menolak
pelaksanaannya.
C. Macam-Macam Eksekusi
Dalam perkara perdata menurut Praktek peradilan dikenal
adanya 3 (tiga) macam eksekusi, yaitu eksekusi riil, eksekusi
pembayaran sejumlah uang, dan eksekusi untuk melakukan
sesuatu perbuatan.
98
Adapun penjelasan terkait macam- macam eksekusi akan
diuraikan di bawah ini:
i. Eksekusi Riil
Eksekusi riil adalah penghukuman pihak yang kalah untuk
melakukan perbuatan tertentu, misalnya penyerahan barang,
pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran,
menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi
riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata,
sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Perlu
ditambahkan di sini bahwa menurut Pasal 1033 Rv disebutkan
bahwa: "Jikalau putusan pengadilan yang memerintahkan
pengosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang
yang dihukum, maka ketua akan memerintahkan dengan surat
kepada juru sita supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara,
barang tidak bergerak itu dikosonglan oleh orang yang
dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya".
Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1033 Rv
bahwa yang harus meninggalkan barang tidak bergerak yang
dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak
saudaranya dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena
dalam hal sebuah rumah disita dan di atasnya telah diletakkan
perjanjian sewa menyewa sebelum rumah itu disita maka pihak
penyewa dilindungi oleh azas koop breekst geen huur yakni
azas jual beli tidak menghapuskan sewa menyewa sebagaimana
ditentukan Pasal 1576 KUH Perdata (Lilik Mulyadi, 1999:
279).
ii. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.
Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan
untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR, Pasal 208
RBg). Eksekusi ini dilaksanakan melalui penjualan lelang
99
terhadap barang-barang milik pihak yang kalah dalam perkara
sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar
sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim tersebut
ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi
(Lilik Mulyadi, 1999: 277).
Dalam praktek, barang-barang pihak yang kalah diletakkan
sita eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu sebelum
penjualan lelang dilakukan, kemudian proses eksekusi dimulai
dari barang-barang bergerak dan jikalau barang-barang
bergerak tidak ada ataukah tidak mencukupi barulah dilakukan
terhadap barang-barang yang tidak bergerak (barang tetap).
iii. Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan.
Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg
yaitu apabila seseorang dihukum melakukan perbuatan akan
tetapi tidak, melakulan perbuatan tersebut dalam waktu yang
ditentukan maka pihak yang menang dalam putusan itu dapat
meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar perbuatan yang
sedianya dilakukan/ dilaksanakan oleh pihak yang kalah
perkara dinilai dengan sejumlah uang.
Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata
dalam hal ini menyatakan bahwa "Menurut Pasal 225 HIR
yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang harus
dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Tergugat lalu
dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti
daripada pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar putusan
hakim yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua
Pangadilan Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian, maka
dapatlah dianggap bahwa putusan hakim yang semula tidak
berlaku lagi, atau dengan lain perkataan putusan yang semula
ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan Negeri mengganti
100
Putusan tersebut dengan putusan lain. Perlu dicatat, bahwa
bukan putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi putusan
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pun dapat
diperlakukan demikian, tegasnya putusan yang sedang
dilaksanakan itu yang lebih menarik perhatian adalah
perubahan putusan ini dilakukan atas kebijaksanaan Ketua
Pengadilan Negeri yang sedang memimpin eksekusi tersebut,
jadi tidak dalam sidang terbuka" (dalam Lilik Mulyadi, 1999:
277-278).
Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya
didasarkan pada putusan pengadilan, tetapi bisa juga
didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang
disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap seperti grose akta pengakuan hutang.
Pada ekseskusi pembayaran sejumlah uang ini untuk
mendapatkan uang, harta tergugat harus terlebih dahulu
dilelang, sebelum dilelang harus melalui tahap executorial
beslag (sita eksekusi). Proses lelang tersebut juga harus
melibatkan jawatan lelang dengan mengikuti aturan tata tertib
yang berlaku. Hal-hal seperti ini bila terjadi bila tergugat
misalnya tidak mempunyai sejunilah uang tunai.
iv. Tata Cara Eksekusi
Dalam hal eksekusi riil prosedur yang harus ditempuh
adalah pertama harus ada permohonan dari penggugat
(pemenang perkara) kepada Ketua Pengadilan Negeri apabila
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela. Jika penggugat tidak mengajukan permohonan maka
eksekusi tidak dapat dilaksanakan.
Proses selanjutnya adalah yang disebut pemberian
peringatan (aanmaning). Aanmaning ini adalah tindakan yang
101
dilakukan Ketua Pengadilan berupa "teguran" kepada tergugat
(pihak yang kalah) agar ia menjalankan isi putusan secara
sukarela dalam waktu yang ditentukan setelah Ketua
Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari penggugat.
Ketua Pengadilan melakukan aanmaning kepada tergugat agar
ia melaksanakan isi putusan maksimal 8 (delapan) hari
terhitung sejak aanmaning dilalukan (pasal 207 ayat (2) RBg).
Proses aanmaning adalah sebagai berikut :
a. Melakukan panggilan terhadap tergugat (pihak yang
kalah) dengan menentukan hari/tanggal, dan jam
dalam surat panggilan.
b. Memberikan peringatan dengan cara ;
a) Diberikan pada waktu pelaksanaan sidang
insidentil, dimana dalam sidang insidentil ini
dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera, dan
tergugat (pihak yang kalah).
b) Memberikan peringatan/teguran supaya ia
menjalankan putusan dalam tempo 8 (delapan)
hari.
c) Membuat berita acara aanmaning, yaitu mencatat
semua peristiwa yang terjadi dalam sidang
tersebut, sebagai bukti otentik bahwa aanmaning
telah dilakukan. Berita acara ini merupakan
landasan bagi perintah eksekusi selanjutnya.
Apabila tergugat tidak hadir setelah dipanggil dengan patut,
dengan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, maka ia
harus dipanggil lagi untuk di aanmaning sekali lagi. Namun
jika ketidakhadirannya tersebut tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan, maka konsekuensinya adalah haknya
untuk di aanmaning menjadi gugur, sehingga tidak perlu
102
dipanggil kembali dan dalam hal ini Ketua Pengadilan
langsung mengeluarkan surat perintah eksekusi berupa
penetapan (beschiking) terhitung sejak tergugat tidak
memenuhi panggilan.
Apabila tenggang waktu 8 (delapan) hari terlampaui ternyata
pihak tergugat tetap tidak mau melaksanakan putusan hakim,
maka Ketua Pengadilan membuat suatu penetapan
mengabullan permohonan eksekusi dengan mengeluarkan surat
perintah eksekusi dengan ketentuan perintah harus merupalan
penetapan (beschiking), perintah ditujukan kepada panitera
atau jurusita dengan menyebutkan namanya, isi perintah adalah
agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.
Setelah adanya penetapan eksekusi dari Ketua Pengadilan,
selanjutnya panitera menentukan kapan eksekusi akan
dilaksanakan. Panitera akan membuat surat pemberitahuan
tentang kepastian hari diadakannya eksekusi dan ditujukan
kepada pemohon eksekusi, termohon eksekusi, kepala desa
setempat, kecamatan dan kepolisian. Setiap perintah yang
dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan atau panitera harus dalam
bentuk tertulis dan memperhatilan tenggang waktu yang patut
sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum dijalankan sesuatu
tindakan terhadap tereksekusi. Perintah tersebut harus
disampaikan dan diketahui oleh pihak tereksekusi.
Berdasarkan perintah eksekusi yang dibuat oleh Ketua
Pengadilan tersebut, panitera atau juru sita dapat menjalankan
eksekusi dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita
(Pasal 209 RBg).
b) Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut panitera atau
jurusita dibantu oleh 2 (dua) orang saksi (Pasal 210
103
RBg) dengan syarat warga negara Indonesia berumur
minimal 21 tahun dan dapat dipercaya.
c) Eksekusi dilaksanakan di tempat obyek/barang
berada.
d) Membuat berita acara dengan ketentuan:
1. Dalam berita acara harus dicatat:
1) Barang/jenis yang dieksekusi
2) Letak/ukuran yang dieksekusi
3) Hadir/tidaknya tereksekusi
4) Penjelasan/keterangan pengawas barang
5) Penjelasan non bevinding bagi yang tidak
sesuai amar putusan
6) Penjelasan dapat/tidaknya eksekusi itu
dijalankan
7) Hari/tanggal, jam, Bulan dan tahun
pelaksanaan
8) Diserahkan kepada pemohon eksekusi
2. Berita acara ditandatangani oleh
1) Pejabat pelaksana eksekusi (Panitera atau
jurusita)
2) 2 (dua) orang saksi yang membantu
pelaksanaan eksekusi.
3) Kepala desa/lurah setempat atau camat
4) tereksekusi
3. Memberitahukan isi berita acara tereksekusi
(Pasal 209 RBg). Pemberitahuan ini dapat
dilakukan dengan cara menyerahkan
salinan/fotocopy berita acara tersebut di tempat
eksekusi dilaksanakan (bagi yang hadir pada
104
waktu pelaksanaan eksekusi) atau di tempat
tinggalnya (bagi yang tidak hadir).
Surat perintah untuk menyita barang-barang dari pihak yang
kalah (tergugat) tersebut dimulai dari barang-barang bergerak
(tidak tetap) dan kalau barang-barang itu tidak ada atau tidak
mencukupi baru dapat dilakukan penyitaan barang-barang tidak
bergerak dari pihak yang kalah sehingga kiranya cukup untuk
membayar jumlah yang disebutkan dalam keputusan itu dan
biaya-biaya eksekusi.
Keluarnya surat perintah untuk menyita barang-barang dari
yang kalah tersebut, biasanya harus diawali pula dengan
adanya permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon
eksekusi (pihak yang menang,) baik itu dilakukan sendiri
maupun melalui kuasanya. Hal ini dimaksudkan agar
pengadilan dapat mengetahui apakah dalam batas waktu yang
telah ditetapkan tersebut pihak yang kalah sudah memenuhi
atau mematuhi isi putusan tersebut (Wildan Suyuthi, 2004: 76-
77).
Setidaknya ada dua alasan mengapa pemohon eksekusi
mengajukan lagi permohonan eksekusi lanjutan, padahal
permohonan eksekusi sudah diajukan. Pertama, dari sisi isi dan
maksud, surat permohonan lanjutan tersebut akan dijadilan
dasar Ketua Pengadilan untuk mempertimbangkan dalam surat
penetapan tentang penyitaan eksekusi. Sebab surat penetapan
tentang penyitaan eksekusi ini merupalan tahapan kedua
setelah dileluarkan surat penetapan tegoran (aanmaning).
Kedua; sesuai dengan prinsip bahwa dalam penyelesaian
perkara perdata, Hakim/Pengadilan adalah pasif sehingga
pengajuan permohonan untuk setiap tahapan proses eksekusi
perlu dilakukan.
105
Demikian uraian secara singkat mengenai proses eksekusi riil,
untuk eksekusi pembayaran sejumlah uang dalam perkara yang
menjadi wewenang pengadilan adalah aanmaning (peringatan),
penetapan sita eksekusi (jika sebelumnya belum ada sita jaminan),
perintah penjualan lelang, pengajuan lelang (setelah dilakukan
pengumuman sesuai ketentuan yang berlaku) dan terakhir
penyerahan uang hasil lelang. Sedangkan prosedur eksekusi untuk
melakukan perbuatan tertentu diawali dengan permohonan agar
putusan tersebut dinilai dengan uang kemudian tereksekusi di
aanmaning selanjutnya Ketua Pengadilan menetapkan jumlah
sebagai pengganti putusan yang bersangkutan (Wildan Suyuthi,
2004: 77-78).
106
BAB VII
ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION
(ADR)
A. Pengertian
Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10
yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi atau penilaian ahli.
Dimaksudkan dengan para pihak dalam hal ini adalah subyek
hukum, baik menurut Hukum perdata maupun hukum publik
(Pasal 1 angka 2 UU No. 30 Tahun 1999). Alternative Dispute
Resolution (ADR) sendiri bukanlah sesuatu yang sama sekaki
baru, sebab dalam praktek pada umumnya sebelum sesuatu
perkara dibawa ke persidangan pengadilan yang dikenal sebagai
jalur litigasi, biasanya seorang advokat akan menganjurkan para
pihak untuk menempuh jalur perdamaian terlebih dahulu. Pada
saat ini mengenai ADR telah diatur dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yaitu di Bab II tentang Alternalif Penyelesaian Sengketa
yang sayangnya hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 6
yang terdiri dari sembilan ayat.
107
Adapun Pasal 6 yang dimaksud selengkapnya akan dikutip di
bawah ini:
Pasal 6
i. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
ii. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
iii. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli
maupun melalui seorang mediator.
iv. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
v. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
vi. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
108
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
vii. Kesepalatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara
terlulis adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilalsanakan dengan itikat baik serta wajib didaftarkan di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak penandatanganan.
viii. Kesepakatan penyelesalan sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak pendaftaran.
ix. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para
pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha pcnyelesaian melalui lembaga arbitrase
atau arbitrase ad hoc.
Alteratif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution
atau ADR) merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dengan prinsip musyawarah dan mufakat, yang
merupakan bagian penting yang menjiwai ADR. ADR dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 hanya disinggung sedikit saja
sehingga sebetulnya kita perlu memikirkan adanya peraturan yang
secara komprehensif mengatur semua proses atau mekanisme
dalam ADR.
109
B. Beberapa Proses Dalam ADR
Beberapa proses dalam ADR adalah sebagai berikut:
1. Negosiasi
Hakikat sebuah negosiasi adalah komunikasi dan tawar
menawar (bargaining), jadi dalam proses negosiasi ini terlibat
dua pihak atau lebih yang berkepentingan untuk rnencapai
suatu kesepakatan. Menurut Fisher dan Ury (Yudha Pandu
2004: 133-134) ada dua pendekatan fundamental dalam proses
negosiasi.
Pertama, positional bargainer yaitu negosiator yang
sangat radikal untuk mencapai suatu target dalam bernegosiasi
karena mereka sadar bahwa posisinya berada di "atas angin".
Memulai penyelesaian perkara dengan suatu penawaran dan
solusi bersamaan dengan permintaan sesuatu hal tertentu.
Meyakinkan pihak lain bahwa solusi mereka adalah yang
terbaik dari kemungkinan yang ada. Sasarannya adalah
menang, memaksimumkan keuntungan, menghindari
kompromi, berusaha sedikit mungkin untuk memberi dan
selalu menawar pada titik yang terendah. Pendekatan yang
digunakan oleh negosiator ini adalah untuk sasaran jangka
pendek yang tidak mengharapkan hubungan berkelanjutan.
Oleh karena itu model pendekatan ini sangat berpotensi
menghilangkan kepercayaan (trust).
Kedua interest-based negotiation ialah negosiasi yang
mengutamakan kepuasan para pihak adalah solusi yang
terbaik. Dasar dari prinsip negosiasi yang mereka gunakan
adalah menonjolkan kebersamaan dalam menyelesaikan
konflik daripada kesempatan mencapai kemenangan di satu
pihak dengan cara memperternukan kepentingan masing-
masing. Sasaran mereka adalah menemukan suatu solusi yang
110
saling memuaskan, memaksimumkan keuntungan para pihak,
tercapainya suatu kompromi adalah yang terbaik dari semua
pilihan. Kepentingan mereka tercapai tetapi diterima oleh
pihak lain dan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan
yang lain sampai solusi yang terbaik disetujui bersama.
Pendekatan yang digunakan oleh negosiator yang kedua ini
adalah pendekatan untuk sasaran jangka panjang dimana unsur
kepercayaan dalam suatu hubungan tetap eksis, sehingga
keinginan bekerjasama pada masa akan datang mudah
terwujud kembali.
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu proses dimana para pihak secara
bersama-sama dengan dibantu oleh mediator atau penengah
berusaha mengisolasikan perkara agar dapat mengembangkan
dan mempertimbangkan pilihan-pilihan dalam mencapai
kesepakatan yang pada akhirnya dapat mengakomodasi
kepentingan mereka masing-masing. Mediator dalam hal ini
berfungsi mengontrol dan mengatur jalannya proses mediasi.
Peranan mediator disini, adalah sebagai berikut:
a. Secara sistematis berusaha mengisolasi issue-issue
dalam konflik agar tidak melukai para pihak, dimana
jika proses mediasi tidak berhasil, para pihak masih
dapat didorong nienyelesaikan konfliknya dalam
bentuk lain seperti arbitration;
b. Mengembangkan dan mencari berbagai kemungkinan
yang dapat menyelesaikan konflik.
c. Mencari kesepakatan yang dapat mengakomodasi
kepentingan masingmasing (Yudha Pandu, 2004:
134).
111
Dalam proses mediasi ini masing-masing pihak telah
mempunyai advokat sebagai penasihat hukum yang bertugas
mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan,
membantu klien bernegosiasi secara efektif, memberi, nasihat
dan pandangan secara hukum dan merancang syarat dan
kondisi dalam setiap dokumen-dokumen atau kesepakatan
apapun yang tercapai. Jadi dalam proses mediasi ini mediator
tidak termasuk memberikan konsultasi hukum kepada pihak-
pihak yang bersengketa.
Dalam proses mediasi selalu ada resiko yang selalu
mendominasi yang menurut Gregory Tillet adalah akibat dari:
a. Power imbalance, adanya ketidakseimbangan
kekuatan pada salah satu pihak yang dapat
menimbulkan kekhawatiran;
b. Coercion, adanya penggunaan ancaman dan kekerasan
oleh salah satu pihak;
c. Lack of skill, kurang cakap dalam berpartisipasi secara
efektif;
d. Trauma, mengalami peristiwa buruk selama atau
sebelum proses mediasi;
e. Conflict escalation, konflik akan meluas disebabkan
adanya ekspresi pendapat atau perasaan berlebihan;
f. Position entrenchment, para pihak berpandangan
bahwa proses mediasi adalah suatu pertempulan
dimana mereka harus berdebat dan sekuat-kuatnya
mempertahankan posisi sehingga akhirnya terbentuk
kubu-kubuan;
g. Injustice, karena mediasi dilakukan secara tertutup
maka mungkin saja solusi yang diambil
112
nienguntungkan para pihak tapi sesungguhnya
merugikan kepentingan masyarakat umum;
h. Misuse of process, proses mediasi disalah gunakan
oleh salah satu pihak dengan pura-pura berpartisipasi
agar terlihat dapat bekerjasama mencari solusi tetapi
sesungguhnya berusaha menggagalkan setiap solusi
yang akan dicapai. Karena tujuan mereka
berpartisipasi hanya untuk mendapatkan dan
mengetahui informasi penting dan argumentasi lawan
selanjutnya akan mereka gunakan pada proses
persidangan di pengadilan ; dan
i. Dangerous disclosure, mediasi mendorong
keterbukaan para pihak, tetapi mungkin saja salah satu
pihak terpancing membuka informasi pribadinya yang
sangat sensitif dikemudian hari dapat digunakan pihak
lain untuk mempermalukan (Yudha Pandu, 2004: 135-
136).
3. Konsiliasi (Conciliation)
Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian perselisihan
atau konflik berdasarkan konsensus para pihak untuk bertemu
dengan konsiliator dalam rangka membahas kemungkinan-
kemungkinan penyelesaian yang dapat diterima masing-
masing (Yudha Pandu, 2004: 137). Jadi dalam proses
konsiliasi ini, konsiliator harus memberikan masukan-
masukan dan rumusan yang dapat dipertimbangkan para pihak
untuk dijadikan penyelesaian. Dengan demikian peranan
konsiliator ini bersifat aktif.
4. Fasilitasi (Facilitation)
Fasilitasi lebih dibutuhkan dalam suatu perkara yang
melibatkan lebih dari dua pihak (multi party). Dalam hal ini
113
dibutuhkan pihak ketiga sebagai fasilitator untuk membantu
pihak yang berperkara mencari jalan keluar bersama-sama
untuk menyelesaikan perkara mereka.
Dalam hal ini fasilitator hanya memberikan fasilitas
seperti penghubung, penterjemah sekretariat bersama, tempat
pertemuan yang semuanya itu dalam rangka membangun
komunikasi yang efektif sehingga para pihak menemukan
kesepahaman dalam penyelesaian perkara mereka.
5. Proses Penilaian independen (Independent Expert
Appraisal)
Dalam proses ini pihak penilai independen sebagai pihak
ketiga yang tidak memihak dan bekerja memberikan pendapat
atau fakta-fakta yang ada dalam perkara. Pihak-pihak
berperkara menyetujui pendapat penilai independen menjadi
suatu keputusan final dan mengikat semua pihak. Sehingga
penilai independen ini selain mempunyai peranan investigasi
tetapi juga pembuat keputusan. Bisa juga pihak-pihak yang
bersengketa itu menjadikan saran atau pendapat dari penilai
independen sebagai bahan pertirnbangan dalarn negosiasi
selanjutnya.
Pendapat penilai independen dihasillan berdasarkan
penilaian profesional oleh suatu profesi yang berkaitan dengan
issue-issue dalam perkara. Misalnya perkara yang timbul atau
tidak diterimanya suatu prkerjaan konstruksi dari suatu
bangunan karena salah satu pihak menganggap tidak
memenuhi persyaratan atau standar umum yang berlaku.
Untuk mencari penyelesaianya para pihak setuju menunjuk
konsultan konstruksi independen untuk melakukan penilaian
secara profesional.
114
Dalam kaitan ini para pihak bersengketa harus menyetujui
hal-hal yang perlu dimintakan pendapat penilai independen,
cara penunjukan penilai, prosedur dalam memberikan
informasi relevan kepada penilai sebagai bahan investigasi.
Pihak penilai independen juga harus mengungkapkan metode
dan prosedur yang mereka gunakan dalam penilaian.
6. Proses Arbitrase
Arbitrasi adalah suatu penyelesaian perkara oleh seorang
atau beberapa arbiter (hakim) yang diangkat berdasarkan
persetujuan para pihak dan disepakati bahwa putusan yang
diambil arbiter bersifat mengikat dan final. Ciri-ciri arbitrase
adalah:
a. Suka rela;
b. Memilih sendiri arbiternya;
c. Menerima, tunduk pada putusan ; dan
d. Putusan bersifat mengikat dan final.
Dalam praktek ruang lingkup arbitrase adalah khusus
hanya sebatas perkara bisnis, sehingga hal-hal lain dalam
hukum perdata seperti perkara perceraian, perburuhan,
warisan dan tidak dapat diajukan pada arbitrase (Yudha
Pandu, 2004: 138-139).
Arbitrase ada dua macam yaitu arbitrase ad hoc dan
arbitrase institusional (permanen). Arbitrase ad hoc adalah
arbitrase yang dipilih sendiri oleh para pihak hanya untuk
suatu perkara tertentu. Jila perkara itu selesai dengan suatu
putusan maka selesai pulalah tugasnya, arbitrase ini bubar
dengan sendirinya.
Sedangkan arbitrase instutisional adalah arbitrase yang
telah dilembagakan dan bersifat permanen. Arbitrase ini
secara resmi telah mempunyai peraturan dan tata cara
115
pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan dan
persidangan secara nasional. Contoh arbitrase institusional
adalah BANI atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Menyelesaikan perkara dalam proses ADR, harus
didahului dengan suatu investigasi untuk mengumpulkan
informasi sebagai dasar analisa berupa dokumen-dokumen
yang berasal dari internal maupun eksternal, wawancara dan
para saksi dan para ahli dengan memperhatikan:
a. Adequate information, informasi yang cukup
memadai;
b. Identifying the percention of the parties, mengenali
pandangan para pihak baik secara positif dan negatif;
c. Identifying the needs of the parties, mengenali
keinginan maksimum dan minimum para pihak.
d. Identifying the positions of the parties, mengenali
posisi pro dan kontra para pihak;
e. Evaluating the capacity of the parties, menilai
kapasitas para pihak;
f. Identifying relevant external factors, menilai pengaruh
luar yang relevan.
Hasil investigasi setidaknya harus bisa menghasilkan sebuah
analisa yang dapat meliputi seperti apa yang menjadi perkara?
siapa saja yang terlibat? Bagaimana kronologi terjadi perkara? dan
adakah hal-hal yang perlu dikhawatirkan dalam penyelesaiannya.
C. Keunggulan ADR Dibanding Forum Pengadilan
Forurn ADR lebih tepat sesuai untuk perkara yang berkaitan
dengan hubungan bisnis karena mekanisme ADR dalam
menyelesaikan perkara didesain efektif dan efisien serta
memberikan peluang para pihak untuk dapat mengendalikan
116
proses dan hasil putusannya. David dan Cavanagh sebagaimana
dikutip oleh Yudha Pandu dalam buku "Klien dan Advokat" tahun
2004 hal 143-144 menyebutkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. The parties have nothing to lose, para pihak tidak merasa
kehilangan muka;
b. They process can be as fast as the parties want, proses
dapat dipercepat atas dasar keinginan para pihak;
c. Less expensive than litigation, biayanya lebih murah
daripada forum sidang di pengadilan;
d. The parties can walk out at any time, para pihak dapat
menghentikan proses setiap saat;
e. The proceedings and their contents are entirely
confidential, proses pemeriksaan dan segala isinya dijaga
kerahasiaan;
f. The outcome has no procedential value, putusan tidak
menjadi suatu preseden;
g. The parties choose the third party neutral, para pihak
dapat memilih pihak ketiga yang tidak memihak;
h. There is 'hearing' certainty in terms of date with no
frustrating adjournments, adanya kepastian jadwal tanpa
adanya penundaan;
i. The relationship between the parties is likely to be
enhance, proses justru akan mempetkuat hubungan para
pihak;
j. There are more available remedies, ada banyak
kemungkinan cara pemulihan;
k. The parties can determine their own procedure, para
pihak dapat menentukan sendiri prosedur penyelesaian
yang akan digunakan;
117
l. The parties retain control, para pihak mengendalikan
jalannya proses penyelesaian;
m. The processes are likely to facilitate an early settlement,
proses memudahkan perkara diselesaikan lebih awal;
n. Nothing is versted and if the process does not lead a
satisfactory and litigation, tidak ada yang mubazir
walaupun tidak tercapainya keputusan yang memuaskan,
informasi yang telah terkumpul dapat digunakan pada
proses litigasi selanjutnya;
o. The processes encourage a narrowing of the issues in
dispute, proses mendorong, pembahasan issue-issue
perkara yang paling pokok;
p. The processes encourage a clarifying the issues in dispute,
proses memborong para pihak memberikan klarifikasi
terhadap isue yang diperselisihkan;
q. Neither party need expose evidence that it wishes to
remain concealed from the other sick, tidak diperlukan
mengungkapkan bukti yang ingin tetap disimpan;
r. Parties can demonstrate their belief in the strength of
their own case, para pihak dapat menunjukkkan dalil atau
keyakinan dalam perkara mereka;
s. Processes promote with/win solutions, proses dapat
menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan para
pihak;
t. The process suitable for resolving multy party dispute,
proses sesuai untuk konflik yang melibatkan lebih dari
dua pihak;
u. Complex issues can be raised and dealt with, isue-isue
yang rumit sekalipun dapat diajukan untuk diselesaikan;
118
v. Processes allow finality in the resolution of the dispute,
proses memungkinkan penyelesaian tuntas;
w. Eliminate fear, menghilangkan rasa kekhawatiran;
x. Wider issues can be taken into account, meluasnya isue-
isue dalam perkara dapat dikendalikan;
y. Settlements that are commercially sound and viable can
be reached, penyelesaian secara komersil dan terbuka
dapat dicapai; dan
z. The parties retain their credibility, para pihak tetap dapat
mempertahankan kredibilitas mereka.
119
BAB VIII
SEKILAS TENTANG UNDANG-UNDANG
BANTUAN HUKUM
Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
disahkan pada tanggal 31 Oktober 2011 dan diundangkan pada
tanggal 2 November 2011. Undang-undang Bantuan Hukum
tersebut mulai berlaku sejak diundangkan, sehingga tanggal mulai
berlakunya Undang-undang Bantuan Hukum tersebut adalah sejak
tanggal 2 November 2020. Beberapa alasan dikeluarkannya
undang-undang bantuan hukum tersebut sebagaimana tercantum
dalam bagian pertimbangan adalah sebagai berikut :
a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang
untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi
manusia;
b. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian
bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan
akses terhadap keadilan;
c. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang
diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada
terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan.
Secara universal, hak atas bantuan hukum dijamin dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)).
Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak
120
memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari
segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR,
memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-
kepentingan keadilan dan 2) tidak mampu membayar Advokat.
Demikian antara lain ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-
undang tentang Bantuan Hukum.
Ditegaskan juga bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam negara hukum,
negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap
individu termasuk hak atas Bantuan Hukum. Penyelenggaraan
pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan
upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi
negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak
asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan
(access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality
before the law).
Tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas bantuan
hukum kepada warga negara khususnya bagi orang atau kelompok
orang miskin diimplementasikan melalui pembentukan Undang-
Undang Bantuan Hukum ini. Melalui Undang-undang tentang
Bantuan Hukum ini, diharapkan ada akses keadilan dan kesamaan
di hadapan hukum. Bagi orang atau kelompok orang miskin harus
dibantu dalam memperoleh akses ke keadilan ini.
Beberapa pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang
tentang Bantuan Hukum ini antara lain mengenai: pengertian
Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan
Hukum, hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum, syarat dan
tata cara permohonan Bantuan Hukum, pendanaan, larangan, dan
ketentuan pidana. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-
121
Undang Bantuan Hukum memberikan arti beberapa istilah sebagai
berikut : Pasal 1 Undang-undang tentang Bantuan Hukum :
Angka 1 : Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang
diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum
secara cuma-cuma kepada Penerima
Bantuan Hukum
Angka 2 : Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau
kelompok orang miskin.
Angka 3 : Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga
bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan
Bantuan Hukum.
Angka 4 : Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia.
Angka 5 : Standar Bantuan Hukum adalah pedoman
pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum
yang ditetapkan oleh Menteri.
Angka 6 : Kode Etik Advokat adalah kode etik yang
ditetapkan oleh organisasi profesi advokat
yang berlaku bagi Advokat.
Menurut Ketentuan Pasal 3 Undang-undang tentang Bantuan
Hukum, Bantuan Hukum tersebut berasaskan :
a. keadilan;
b. persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. keterbukaan;
d. efisiensi;
e. efektivitas; dan
f. akuntabilitas.
122
Penjelasan atas pasal tersebut menyatakan : “Pasal 2 Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” menempatkan hak dan
kewajiban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik, dan
tertib. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas persamaan
kedudukan di dalam hukum” adalah bahwa setiap orang
mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan hukum serta
kewajiban menjunjung tinggi hukum. Huruf c Yang dimaksud
dengan “asas keterbukaan” adalah memberikan akses kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar,
jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan
atas dasar hak secara konstitusional”
Pasal 3 menentukan bahwa penyelenggaraan Bantuan Hukum
bertujuan untuk:
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan
Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara
sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam
hukum;
c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum
dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan.”
Adapun mengenai Ruang Lingkup Bantuan Hukum, Pasal 4
UU Bantuan hukum mengatur sebagai berikut : bahwa Bantuan
Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang
menghadapi masalah hukum. Bantuan Hukum meliputi masalah
hukum keperdataan, pidana dan tata usaha negara baik litigasi
maupun nonlitigasi.
123
Jasa Bantuan Hukum meliputi tindakan-tindakan sebagai
berikut :
1. menjalankan kuasa,
2. mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima
Bantuan Hukum.
3. Penerima Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau
kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak
dasar secara layak dan mandiri.
4. Hak dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang,
layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan
berusaha, dan/atau perumahan,
Pasal 1 Angka 3 menyatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum
adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan
yang memberi layanan Bantuan Hukum. Pemberi Bantuan Hukum
ini harus memenuhi persyaratan yan ditentukan. Adapun syarat-
syarat Pemberi Bantuan Hukum adalah sebagai berikut :
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program Bantuan Hukum
Dalam Undang-undang tentang Bantuan Hukum ini juga diatur
tentang hak dan kewajiban pemberi bantuan hukum. Hak pemberi
bantuan hukum adalah sebagai berikut :
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen,
dan mahasiswa fakultas hukum;
b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum,
dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan
124
penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan
Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah
ataupun instansi lain, untuk kepentingan pembelaan
perkara; dan
g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan,
dan keselamatan selama menjalankan pemberian Bantuan
Hukum.
Sedangkan Kewajiban Pemberi Bantuan Hukum Adalah
Sebagai Berikut :
a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan
Hukum;
b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang
digunakan untuk pemberian Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan
Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas
hukum yang direkrut;
d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan
yang diperoleh dari Penerima Bantuan Hukum berkaitan
dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang; dan
e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan
Hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang ditentukan
dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai,
kecuali ada alasan yang sah secara hukum.
125
Pemberi Bantuan Hukum memiliki hak kekebalan yang disebut
sebagai hak imunitas. Hak Imunitas Pemberi Bantuan Hukum
tersebut secara tegas dinyatakan dalam Pasal 11 UU tentang
Bantuan Hukum. Pasal 11 menyatakan bahwa :
“Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata
maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang
menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad
baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar
Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau Kode Etik Advokat.”
Ukuran atau parameter hak imunitas tersebut adalah iktikad
baik. Artinya hak imunitas tersebut tidak berlaku jika dalam
memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya
tersebut dilakukan tidak dengan iktikad baikBerikutnya dalam
Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini juga diatur tentang
hak dan kewajiban Penerima Bantuan Hukum yaitu :
Penerima Bantuan Hukum berhak :
a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya
selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, selama Penerima Bantuan Hukum yang
bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar
Bantuan Hukum dan/atau Kode Etik Advokat; dan
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan
dengan pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan kewajiban penerima bantuan hukum adalah :
Penerima Bantuan Hukum Berkewajiban :
a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan
perkara secara benar kepada Pemberi Bantuan Hukum;
126
b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.
Dalam UU tentang Bantuan Hukum juga ditentukan tentang
syarat untuk memperoleh bantuan hukum. Adapun syarat tersebut
adalah sebagai berikut :
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-
kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai
pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa,
atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon
Bantuan Hukum.
Permohonan dapat diajukan secara lisan jika tidak mampu
menulis. Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan
Bantuan Hukum kepada Pemberi Bantuan Hukum. Pemberi
Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari
kerja setelah permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap
harus memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan
Bantuan Hukum. Dalam hal permohonan Bantuan Hukum
diterima, Pemberi Bantuan Hukum memberikan Bantuan Hukum
berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari Penerima Bantuan Hukum.
Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan
Hukum mencantumkan alasan penolakan. Ketentuan mengenai hal
ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Undang-undang tentang Bantuan Hukum ini dijelaskan
bahwa dana bantuan hukum bersumber dari :
1. APBN
2. HIBAH, SUMBANGAN DAN ATAU
3. SUMBER PENDANAAN LAIN YANG SAH DAN
TIDAK MENGIKAT
127
Demikian ditegaskan dalam ketentan Pasal 16 UU Bantuan
Hukum. Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaran
bantuan hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum dialokasikan pada
anggaran Kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (Pasal 17).
Ketentuan lebih lanjut tentang penyaluran dana banuan hukum
kepada penerima bantuan hukum diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Sementara itu daerah dapat mengalokasikan
anggaran penyelenggaraan bantuan hukum dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selanjutnya Pasal 20 UU tentang Bantuan Hukum menegaskan
adanya larangan bagi pemberi bantuan hukum. Pemberi Bantuan
Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari
Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan
perkara yang sedang ditangani Pemberi Bantuan Hukum. Sanksi
terhadap pelanggaran ketentuan ini ada pada Pasal 21 UU tentang
Bantuan Hukum menyatakan : “Pemberi Bantuan Hukum yang
terbukti menerima atau meminta pembayaran dari Penerima
Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara
yang sedang ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
128
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum
Acara Pidana Baru di Indonesia, Alumni, Bandung,
1980
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Arikha
Media Cipta, Jakarta, 1996
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP, HIR
dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984
Bambang Widjojanto, Perlunya Revisi Atas Hak Bantuan
Hukum KUHAP (Telaah Kritis Masalah Bantuan
Hukum Dalam Perkara Pidana) Makalah Seminar
Nasional, UMS Surakarta, 1997
Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel di Dalam KUHAP,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985
Ifdhal Kasim, Perdebatan di Sekitar Pembaharuan KUHAP,
Harian Bernas, 11 April 1994
Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan
Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Exepsi, dan Putusan
Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
Djambatan, Jakarta, 1999
Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court (Satu
Proles di Dewan Kehormatan Profesi), Djambatan,
Jakarta, 1996
Martiman Prodjohamdjojo, Penasihat dan Bantuan Hukum
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
129
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Pustaka Sinar Kartini, Jakarta, 1985
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2001
Nawawi, Taktik dan Strategi Membela Perkara Perdata, Fajar
Agung, Jakarta, 1987
Oernar Senoadji, Profesi Advokat, Erlangga, Jakarta, 1991 Oemar
Senoadji, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta, 1992
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme), Bina Cipta,
Bandung, 1996
S. Tanusubroto, Peranan Pra-Peradilan Dalam Hukum Acara
Pidana, Alumni, Bandung, 1983
Sukardjo Adidjojo, Profesi Advokat, Dalam Bulletin Informasi
BAHANA No. 3 Tahun 1985
Wawan Tunggul Alam, Memahami Profesi Hukum Milinea
Populer, Jakarta, 2004
Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi (Praktek Kejurusitaan
Pengadilan), PT. Tata Nusa, Jakarta, 2004
Yudha Pandhu, Klien dan Advokat Dalam Praktek Indonesia,
Legal Center Publishing, 2004
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 8 Tahuh 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman
130
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan--
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
131
Catatan tentang penulis.
SUPRIYANTA, lahir di Sleman, 12 Agustus 1966.
Menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) 4
Yogyakarta Tahun 1985. Kemudian melanjutkan pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang lulus Tahun
1990. Pada Tahun 1991 sampai sekarang sebagai Dosen di
Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta.
Tahun 1995 melanjutkan studi di Program Pascasarjana (S2)
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan
mengambil Konsentrasi Hukum dan Sistem Peradilan Pidana.
Pada Tahun 2012 menyelesaikan studi pada Program Doktor Ilmu
Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Posisi
yang pernah dipercayakan adalah Kepala Biro Skripsi, Kepala
Laboratorium Hukum, Ketua Bagian Hukum Pidana, Sekretaris
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum, Ketua Dewan Kehormatan dan Etika
Pegawai Universitas Slamet Riyadi Surakarta.