142
Alih Bahasa: Melfin Zaenuri POPULISME KIRI CHANTAL MOUFFE URUNDANA PROJECT

ÈnX³x0 kX«X

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ÈnX³x0 kX«X

Alih Bahasa: Melfin Zaenuri

POPULISMEKIRI

CHANTAL MOUFFE

U R U N D A N A P R O J E C T

Page 2: ÈnX³x0 kX«X

Chantal MouffeChantal Mouffe merupakan seorang teoritikus politik asal Belgia dan profesor teori politik di University of Westminster, UK. Mouffe dikenal karena kontribusinya dalam Essex School of discourse analysis dengan teorinya tentang demokrasi radikal dan politik agonistik. Bersama suaminya, Ernesto Laclau, Mouffe menulis buku Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. Buku For a Left Populism ini adalah buku termutakhirnya yang membahas perlunya gerakan kiri, bersama gerakan progresif lainnya, untuk terlibat dalam radikalisasi demokrasi.

Page 3: ÈnX³x0 kX«X
Page 4: ÈnX³x0 kX«X

Alih Bahasa: Melfin Zaenuri

CHANTAL MOUFFE

U R U N D A N A P R O J E C T

Page 5: ÈnX³x0 kX«X

Populisme KiriChantal Mouffe

Diterjemahkan dari:

For a Left Populism© Chantal Mouffe 2018First Published by Verso 2018

Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia pada:

Alih Bahasa: Melfin ZaenuriEditor: Khoiril MaqinTata Letak: RéeDesain Sampul: Rée

Hak Cipta dilindungi Undang-undangPenerbit AntinomiJl. Kaliurang km 5,3 No. 12 Sleman 55281 YogyakartaEmail: [email protected]://antinomi.org

ISBN 978-602-51908-8-9

Antinomi Institute

Edisi I: Desember 2020 (e-book)

Buku ini dapat diunduh secara gratis melalui antinomi.org/publikasi dan bebas disebarluaskan untuk kepentingan

diseminasi pemikiran. Dilarang keras menggunakannyauntuk keperluan komersial.

Page 6: ÈnX³x0 kX«X

Terima kasih untuk seluruh donatur yang telah mendukung terbitnya terjemahan buku ini.

~

Page 7: ÈnX³x0 kX«X
Page 8: ÈnX³x0 kX«X

untuk Ernesto

Page 9: ÈnX³x0 kX«X

Orang-orang bisa mendapatkan keberuntungan kedua, tetapi mereka tidak bisa menyangkalnya… Mereka bisa melengkungkan bengkokannya, tetapi mereka tidak bisa menghancurkannya. Tentu saja mereka seharusnya tidak pernah menyerah, karena mereka tidak mengetahui akhirnya dan keberuntungan tersebut berjalan dengan cara yang tidak jelas dan tidak diketahui, mereka selalu berharap, dan karena mereka berharap, tidak menyerah dalam segala macam keberuntungan dan penderitaan, mereka mungkin akan menemukan diri mereka sendiri.

~ Niccolò Machiavelli, Discourses on Livy

Page 10: ÈnX³x0 kX«X

D A R IP E N E R J E M A H

AKHIR-AKHIR ini, ruang publik demokratik kita ter-kungkung dalam jurang cemoohan dan celaan—demon-isasi—terhadap orang-orang atau kelompok yang disinya-lir antidemokratik. Mereka ialah orang-orang atau kelom-pok yang mengglorifikasi politik identitas dan mengge-makan sentimen rasial, keagamaan, kesukuan, xenofobik,intoleransi dan lain sebagainya di ruang publik demokra-tik. Mereka kerap kali disebut populis, lebih tepatnyapopulis sayap-kanan (right-wing populism).

Sebenarnya partai-partai politik dan para politisi kitajuga memainkan politik identitas dan sentimen primordi-al dalam kontestasi politik elektoral. Narasi nasionalisme,pro-asing, pribumi dan non-pribumi, muslim dan non-muslim, putra asli daerah dan luar daerah, Jawa dan luarJawa, merupakan kosa kata yang bisa dengan mudahkita jumpai dalam kontestasi elektoral, baik di tingkatnasional maupun di tingkat daerah. Bukankah kosa katatersebut mencerminkan glorifikasi akan politik identitas

Page 11: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

dan sentimen primordial? Politik identitas dan sentimenprimordial akan selalu aktual dalam politik demokratikkita.

Menuduh pihak lain sebagai ancaman terhadap de-mokrasi karena politik identitas dan sentimen primordialtidak sesuai dengan kredo persatuan dan kesatuan bang-sa, sembari bermain-main dengan politik identitas dansentimen primordial secara santun sesuai dengan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan sikapstandar ganda—jika tidak ingin disebut pengecut. Per-soalannya bukan pada apakah ia haram dan halal, baikdan buruk, ataupun salah dan benar bagi politik demo-krasi kita, tetapi lebih pada bagaimana politik identitasdan sentimen primordial tersebut diartikulasikan dalamruang publik demokrasi. Misalnya, identitas masyarakatadat digunakan untuk melawan perusakan hutan adatuntuk kepentingan korporasi atau identitas keperempu-anan dimajukan untuk mengampanyekan tatanan duniayang adil dan setara bagi perempuan, dan lain sebagai-nya. Kedua contoh ini menggunakan politik identitasdan sentimen primordial untuk menyuarakan aspirasipolitik mereka sebagai kelompok yang termarginalkan.

Agar tidak terus menerus terjebak dalam jurang de-monisasi yang lebih dalam, hingga melupakan langkahdan strategi alternatif untuk melawan orang-orang ataukelompok yang disinyalir antidemokratik, buku For aLeft Populism karya Chantal Mouffe ini penting untuk di-jadikan rujukan—di samping karya-karya Mouffe lainnya

viii C H A N T A L M O U F F E

Page 12: ÈnX³x0 kX«X

D A R I P E N E R J E M A H

yang memang menjadi landasan dan rujukan teoretikbuku ini. Melalui For a Left Populism, Mouffe hendakmengetengahkan bahwa demokrasi adalah medan kon-testasi, dengan berlandaskan pada prinsip kesetaraandan kedaulatan rakyat, di mana pelbagai kemungkinanalternatif dapat terjadi; termasuk kemungkinan apakahsuatu tatanan menjadi lebih demokratis atau justru le-bih totaliter. Memang, demokrasi senantiasa berada da-lam kerentanan, dan pada watak kerentanan inilah kitaharus siap dengan kemungkinan-kemungkinan, terma-suk kemungkinan terburuk sekalipun. Contohnya sepertipembunuhan demokrasi oleh orang-orang atau kelompokyang bertindak undemocratic setelah mereka memenang-kan pemilihan umum, sebagaimana yang ditunjukkanoleh Fareed Zakaria dalam ‘Bangkitnya Demokrasi yangTak Liberal’ (2005).

Sebelum demokrasi benar-benar lumpuh di tangan pa-ra populis kanan, populis kiri (left-wing populism)—yangmeresonansikan nilai-nilai ideal dan visi progresif demo-krasi—harus turut serta dalam medan kontestasi demo-kratik. Buku For a Left Populism ini merupakan pandu-an strategi-praktis—bukan dalam arti seperti buku howto atau buku saku panduan penggunaan kulkas—yangdiperuntukkan Mouffe untuk kubu kiri agar bangkit da-ri keterpurukannya dan terlibat dalam medan tersebut.Walaupun tidak menutup kemungkinan, seperti yangdinyatakan secara tegas oleh Mouffe sendiri, strategi-praktis dalam buku ini diadopsi dari strategi populisme

C H A N T A L M O U F F E ix

Page 13: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

kanan dengan tokoh seperti Margaret Thatcher.Terdapat setidaknya dua hal yang saya garis bawahi

dari pemikiran Mouffe perihal bagaimana kubu kiri ha-rus ikut serta dalam medan kontestasi demokratik, se-hingga mampu memulihkan dan memperdalam demo-krasi—meradikalisasi demokrasi. Pertama, demonisasiterhadap populisme kanan tidak menghasilkan apa-apaselain kegagahan menghakimi dan mencela pihak yangberbeda. Tindakan ini tidak lantas membuat orang-orangyang tergabung dalam lingkaran populisme kanan insafdan mengalihkan dukungan pada kubu kiri.

Menurut Mouffe, tindakan semacam itu bersumberdari ketidakcakapan kubu kiri untuk memahami watakdasar politik demokrasi, konflik, dan terjebak dalam ku-rungan konsensus-rasional. Alhasil, ketika aspirasi politikdinilai irasional, seperti politik identitas dan sentimenprimordial, maka akan dihakimi dan dicemooh sebagaibahaya demokrasi. Padahal kerangka konsensus-rasionaldalam demokrasi sangat problematik: ia bersifat represifdan mengeksklusi yang-berbeda, yang menurut saya ju-ga undemocratic; sebelum masuk ke dalam percakapanruang publik demokratik, kita harus melewati screeningrasionalitas terlebih dahulu, sehingga dihasilkanlah per-cakapan yang lulus sensor rasionalitas.

Cara kerja politik demokratik tidak demikian. Tatalaku berdemokrasi diatur oleh etika-politik kesetaraandan kedaulatan rakyat yang merupakan prinsip utamademokrasi, bukan rasionalitas. Atas dasar prinsip ter-

x C H A N T A L M O U F F E

Page 14: ÈnX³x0 kX«X

D A R I P E N E R J E M A H

sebut, semua aspirasi politik absah dalam demokrasi.Apalagi, terang Mouffe, manusia beserta relasi sosial-nya digerakkan oleh hasrat, afeksi, ketimbang rasionali-tas. Dalam konteks ini, Mouffe mengadopsi pemikiranSigmund Freud tentang libido dan Spinoza tentang co-natus.

Oleh karena itu, penting bagi kubu kiri untuk me-mahami watak konflik dari politik demokrasi dan as-pek afeksi dari relasi sosial manusia agar keluar darikungkungan konsensus-rasional. Sehingga, tugas kubukiri bukanlah mengejar rasionalitas dan kemasukakalansupaya dapat masuk dalam percakapan ruang publikdemokratik, melainkan mengajukan strategi dan praktikyang dapat menyentuh aspek afeksi warga negara agartertarik dan mau terlibat dengan proyek politik kiri.

Kedua, kubu kiri harus keluar dari esensialisme ke-las. Kemunculan gerakan sosial baru pada 90-an yangberkembang pesat sampai hari ini seperti gerakan femi-nisme, gerakan orientasi seksual, serta gerakan ekologisyang sedang mencuat saat ini menandakan bahwa kelasbukanlah determinan utama dan identitas politik yangistimewa. Isu kelas berada pada posisi yang setara de-ngan gerakan ekologis, orientasi seksual, dan gerakanperjuangan lainnya. Perkembangan ini mengharuskankubu kiri ‘mengamati bagaimana orang-orang dalam ke-nyataan, bukan bagaimana mereka harus sesuai denganteori tertentu.’ Karenanya, kubu kiri harus selalu mele-takkan dirinya berada dalam peristiwa politik alih-alih

C H A N T A L M O U F F E xi

Page 15: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

berefleksi di balik peristiwa politik.Untuk itu, cara yang tepat bagi politik kiri adalah

membangun kehendak kolektif dari pelbagai gerakanperjuangan demokratik, dengan meninggalkan keistime-waan kelas pekerja, melalui rantai ekuivalensi. Dalamkonteks ini, rantai ekuivalensi dapat terbentuk denganmenjadikan demokrasi beserta nilai-nilainya sebagai pe-nanda simbolik. Apabila populisme kanan membangunkehendak kolektif dengan cara yang xenofobik, rasia-lis, dan terkotak-kotakan berdasarkan suku dan agama,pribumi dan non-pribumi, maka populisme kiri harus me-ngonstruksi kehendak kolektif sebagai aliansi rakyat yangtermarginalkan secara struktur ekonomi-politik, seper-ti komunitas LGBT, kaum buruh, gerakan perempuan,ekologis, kaum miskin, dan lain sebagainya, melawansegelintir orang yang menguasai sumber daya ekonomidan politik, seperti halnya yang disuarakan oleh JeremyCorbyn, “Democracy for the many, not for the few.” Ten-tu saja, kehendak kolektif rakyat ini bersifat temporer.Jika tidak, maka akan terjebak lagi ke dalam jurangesensialisme.

Selain itu, strategi populisme kiri yang dimajukanoleh Mouffe tidak menghendaki pemutusan total dengannegara dan institusi-institusi demokratik seperti partaipolitik. Alasannya adalah kedua entitas tersebut pentingsebagai medan transformasi, terutama menyangkut hal-hal publik seperti kesehatan dan pendidikan, yang tidakmungkin terjadi perubahan secara radikal dan meluas

xii C H A N T A L M O U F F E

Page 16: ÈnX³x0 kX«X

D A R I P E N E R J E M A H

tanpa ‘menunggangi’ kedua entitas tersebut.Walaupun buku ini ditulis dalam konteks Eropa Ba-

rat, strategi populisme kiri memiliki benang merah dipelbagai konteks, termasuk Indonesia. Apabila dalamkonteks Indonesia kata ‘kiri’ masih menyisakan momokkarena peristiwa kelam di masa lalu yang belum terang,strategi ini dapat diidentifikasi dengan nama lain, sejauhdalam tingkat analitis dapat disebut sebagai strategipopulisme kiri.

Melfin ZaenuriYogyakarta, November 2020

C H A N T A L M O U F F E xiii

Page 17: ÈnX³x0 kX«X
Page 18: ÈnX³x0 kX«X

Daftar Isi

Dari Penerjemah

Pengantar

1. Momen Populis

2. Belajar dari Tatcherisme

3. Meradikalisasi Demokrasi

4. Pembentukan Koalisi Rakyat

5. Kesimpulan

Lampiran Teoretis

Persembahan

Indeks

vii

1

9

29

47

71

97

107

117

119

Page 19: ÈnX³x0 kX«X
Page 20: ÈnX³x0 kX«X

P E N G A N T A R

PADA mulanya buku ini muncul dari keyakinan sayabahwa merupakan hal mendesak bagi gerakan kiri untukmerengkuh watak krisis dan tantangan hari ini yangditunjukkan dengan adanya ‘momen populis’. Kita se-dang menyaksikan krisis formasi hegemoni neoliberaldan krisis ini membuka kemungkinan untuk membentuktatanan yang lebih demokratik. Untuk bisa memanfa-atkan kesempatan ini, penting untuk berdamai denganwatak transformasi yang terjadi dalam titi mangsa ti-ga puluh tahun terakhir dan konsekuensinya terhadappolitik demokrasi.

Saya yakin bahwa banyak partai sosialis dan sosial-demokratik berada dalam kekalutan karena kepercaya-annya pada konsepsi politik yang tidak tepat, sebuahkonsepsi yang telah menjadi pusat refleksi kritis saya se-lama beberapa tahun. Kritik ini telah dimulai dalamHegemony and Socialist Strategy: Towards a RadicalDemocratic Politics,� yang saya tulis bersama ErnestoLaclau dan terbit pada 1985.� Selanjutnya akan disingkat HSS.

Page 21: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

Yang mendorong kami menulis buku tersebut adalahkarena ketidakmampuan politik kiri, baik versi Marxismaupun versi sosial-demokratik, untuk memperhitung-kan serangkaian gerakan yang muncul setelah pemberon-takan 1968 dan berkelindan dengan perlawanan pelbagaimacam bentuk dominasi yang tidak bisa diformulasikanke dalam konsep kelas. Gelombang kedua feminisme, ge-rakan gay, perjuangan anti-rasial, dan isu lingkungantelah mengubah panorama politik secara mendalam, te-tapi partai-partai kiri tradisional tidak reseptif terhadaptuntutan tersebut sebab karakter politisnya tidak bisaditerima. Dalam rangka mengatasi kekurangan tersebut,kami memutuskan untuk menyelidiki dasar pemikirandari situasi semacam itu.

Kami segera sadar bahwa kendala yang harus diatasiberasal dari perspektif esensialis dominan dalam pemi-kiran kiri. Menurut perspektif ini, yang kami istilahkandengan ‘esensialisme kelas’, identitas politik merupakanekspresi dari posisi agen-agen sosial dalam relasi pro-duksi dan kepentingan agen tersebut ditentukan olehposisinya tersebut. Tidak mengejutkan jika perspektifsemacam ini gagal memahami pelbagai tuntutan yangtidak berbasis pada ‘kelas’.

Bagian penting dari buku ini diperuntukkan untukmenyangkal pendekatan esensialis dengan menggunakanpandangan-pandangan dari postrukturalisme. Kami me-ngombinasikan pandangan tersebut dengan pandanganAntonio Gramsci, lalu mengembangkan sebuah alternatif

� C H A N T A L M O U F F E

Page 22: ÈnX³x0 kX«X

P E N G A N T A R

pendekatan ‘anti-esensialis’ yang cocok untuk memaha-mi multiplisitas perjuangan melawan pelbagai bentukdominasi. Untuk memberikan ekspresi politis pada arti-kulasi perjuangan tersebut, kami mendefinisikan kembaliproyek sosialis dengan mengajukan konsep ‘radikalisasidemokrasi’.

Proyek tersebut terdiri dari pembentukan ‘rantai ekui-valensi’ yang mengartikulasikan pelbagai tuntutan kelaspekerja dengan tuntutan gerakan baru untuk memba-ngun sebuah ‘kehendak bersama’ dengan tujuan men-ciptakan apa yang Gramsci sebut sebagai ‘hegemoniekspansif’. Melalui perumusan kembali proyek gerak-an kiri dalam konsep ‘demokrasi radikal dan plural’,kami menghendaki arena revolusi demokratik yang le-bih luas, yang menunjukkan bahwa pelbagai perjuanganuntuk emansipasi didasarkan pada pluralitas agen so-sial dan perjuangan agen tersebut. Dengan demikian,arena konflik sosial lebih luas daripada terkonsentrasidalam ‘agen istimewa’ (privileged agent) seperti kelaspekerja. Yang jelas, berlawanan dengan beberapa pem-bacaan yang tidak jujur terhadap argumen kami, kamitidak bermaksud mengistimewakan tuntutan gerakan ba-ru dengan mengorbankan tuntutan kelas pekerja. Kamimenekankan perlunya politik kiri untuk mengartikula-sikan perjuangannya terhadap berbagai bentuk-bentuksubordinasi tanpa menghubungkan sentralitas a prioriterhadap satupun gerakan.

Kami juga menunjukkan bahwa perluasan dan radi-

C H A N T A L M O U F F E �

Page 23: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

kalisasi perjuangan demokratik tidak akan pernah men-capai sebuah masyarakat yang sepenuhnya terbebaskan,dan proyek emansipatoris tidak dapat dipahami lagi se-bagai peniadaan negara. Akan selalu ada antagonisme,perjuangan dan kekaburan parsial dari yang-sosial. Ini-lah kenapa mitos komunisme sebagai sebuah masyarakattransparan dan damai—yang dengan jelas menunjukkanberakhirnya politik—harus ditinggalkan.

Buku ini ditulis dalam sebuah krisis yang ditandaidengan krisis formasi hegemoni sosial-demokratik selamatahun-tahun pascaperang. Nilai-nilai sosial-demokratiksedang ditantang oleh serangan neoliberal, tetapi nilai-nilai tersebut masih berpengaruh dalam membentukpandangan umum masyarakat Eropa Barat, tujuan kamiadalah untuk menjelaskan cara mempertahankan danmeradikalisasi nilai-nilai tersebut. Sayangnya, ketika edisikedua HSS terbit pada 2000, kami mencatat dalam katapengantar yang baru bahwa dalam lima belas tahunsejak publikasi pertamanya, kemunduran besar terjadi.Di bawah tuntutan ‘modernisasi’, semakin banyak partaisosial-demokratik telah menyingkirkan identitas ‘kiri’-nya dan secara eufimistik menyebutnya sebagai ‘kiri-moderat’.

Krisis baru ini telah saya analisis dalam buku On thePolitical yang terbit pada 2005, di dalamnya saya memba-has dampak dari teori ‘jalan ketiga’ yang dikonsepsikandi Inggris oleh Anthony Giddens dan diimplementasikanoleh Tony Blair dan Partai Buruh Baru-nya (New Labour

� C H A N T A L M O U F F E

Page 24: ÈnX³x0 kX«X

P E N G A N T A R

Party). Saya telah menunjukkan bagaimana, setelah me-nerima hegemoni yang dibangun oleh Margaret Thatchertentang dogma bahwa tidak ada alternatif atas globalisa-si neoliberal, yang dikenal dengan ‘TINA’, pemerintahankiri-moderat baru akhirnya mengimplementasikan apayang Stuart Hall sebut sebagai ‘sosial-demokrasi versineoliberalisme’. Dengan mengklaim bahwa model politikoposisi dan posisi kiri/kanan telah usang, dan merayakan‘konsensus sebagai pusat’ antara kanan-moderat dan kiri-moderat, apa yang disebut sebagai ‘moderat radikal’ inimenawarkan bentuk politik teknokratik di mana politikbukan merupakan konfrontasi partisan tetapi manajemennetral terhadap urusan publik.

Seperti yang Tony Blair biasa katakan: ‘Pilihannyabukan antara kebijakan ekonomi sayap-kiri dan sayap-kanan tetapi antara kebijakan ekonomi yang baik danyang buruk.’ Globalisasi neoliberal dipandang sebagaitakdir di mana kita harus menerimanya, dan persoalanpolitik direduksi menjadi sekadar permasalahan teknisyang dapat ditangani oleh para ahli. Tidak ada ruangtersisa bagi warga negara untuk memiliki pilihan nyata diantara proyek politik yang berbeda-beda, peran merekamenjadi terbatas pada menerima kebijakan ‘rasional’yang diuraikan oleh para ahli tersebut.

Berlawanan dengan orang-orang yang menggambar-kan situasi semacam itu sebagai kemajuan untuk mema-tangkan demokrasi, saya berargumen bahwa situasi ‘pas-capolitik’ ini berasal dari proses ketidakpuasan dengan

C H A N T A L M O U F F E �

Page 25: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

institusi-institusi demokrasi, yang termanifestasikan da-lam peningkatan golput. Saya juga memperingatkan ke-suksesan partai-partai populis sayap-kanan yang berpura-pura menawarkan alternatif dengan mengembalikan su-ara pada rakyat yang selama ini telah dirampas olehkekuasaan elite. Saya mendesak perlunya memutus hu-bungan dengan konsensus pascapolitik dan meneguhkankembali watak politik partisan untuk menciptakan kon-disi perdebatan ‘agonistik’ tentang alternatif-alternatifyang mungkin.

Pada waktu itu, sebagaimana telah saya sadari seka-rang, saya masih berpikiran bahwa partai-partai sosialisdan sosial-demokratik bisa melakukan transformasi un-tuk mengimplementasikan proyek radikalisasi demokrasiyang kami ajukan dalam HSS.

Ternyata, hal tersebut tidak terjadi dan partai-partaisosial-demokratik telah memasuki proses kemundurandi sebagian besar negara demokrasi Eropa Barat, se-mentara kemajuan penting telah dilakukan oleh popu-lisme sayap-kanan. Meskipun demikian, krisis ekonomi2008 membuka kontradiksi model neoliberal dan hariini formasi hegemoni neoliberal sedang dipertanyakanoleh pelbagai gerakan anti-kekuasaan, baik itu dari kubukanan maupun dari kubu kiri. Inilah krisis baru, yangsaya sebut sebagai ‘momen populis’, yang saya hendakkuliti lewat buku ini.

Argumen utama buku ini adalah untuk terjun dalamkrisis hegemonik, membangun batas politik dan populis-

� C H A N T A L M O U F F E

Page 26: ÈnX³x0 kX«X

P E N G A N T A R

me kiri—dapat dipahami sebagai strategi diskursif untukmembangun batas politik antara ‘rakyat’ dan ‘oligar-ki’—yang dalam krisis saat ini merupakan jenis politikyang diperlukan untuk memulihkan dan memperdalamdemokrasi.

Ketika saya menulis buku On the Political, sayamenyarankan untuk menghidupkan kembali batas ki-ri/kanan, tetapi saya sekarang yakin bahwa, sebagaima-na konfigurasi tradisional, batas semacam itu tidak lagitepat untuk mengartikulasikan kehendak kolektif yangmengandung pelbagai macam tuntutan demokratik yangada saat ini. Momen populis merupakan ekspresi dariserangkaian tuntutan heterogen, tidak dapat diformula-sikan hanya dengan istilah kepentingan yang berkaitandengan penentuan kategori-kategori sosial. Lagi pula,dalam kapitalisme neoliberal bentuk-bentuk baru subor-dinasi telah lahir di luar proses produksi. Bentuk barutersebut memunculkan tuntutan yang tidak lagi sesu-ai dengan sektor sosial yang didefinisikan dalam istilahsosiologis dan oleh posisinya dalam struktur sosial. Tun-tutan semacam itu—menjaga lingkungan, perjuanganmelawan seksisme, rasisme dan bentuk-bentuk lain do-minasi—menjadi semakin penting. Inilah kenapa bataspolitik hari ini perlu untuk dikonstruksikan dalam modetransversal ‘populis’. Meskipun demikian, saya juga akanberargumentasi bahwa dimensi ‘populis’ tidaklah cukupuntuk menentukan jenis politik yang dibutuhkan oleh kri-sis saat ini. Jenis politik tersebut perlu dikualifikasikan

C H A N T A L M O U F F E �

Page 27: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

sebagai populisme ‘kiri’ untuk menunjukkan nilai-nilaiyang hendak dicapai oleh populisme ini.

Dengan mengakui peran krusial yang dimainkan olehdiskursus demokrasi dalam imajinasi politik masyara-kat kita, dan dengan membangun—di sekitar demokrasisebagai penanda hegemonik—rantai ekuivalensi antarpelbagai macam perjuangan melawan subordinasi, strate-gi populis kiri beresonansi dengan aspirasi banyak orang.Dalam beberapa tahun mendatang, saya berargumenta-si bahwa poros utama konflik politik akan berlangsungantara populisme sayap-kanan dan populisme sayap-kiri.Sebagai hasilnya, melalui konstruksi atas ‘rakyat’, se-buah kehendak kolektif muncul dari mobilisasi afeksibersama dalam mempertahankan kesetaraan (equality)dan keadilan (justice), yang mungkin akan mengalahkankebijakan xenofobik dari populisme sayap-kanan.

Dalam menciptakan kembali batas politik, ‘momenpopulis’ mengarah ke ‘kembalinya yang-politis’ setelahbeberapa tahun berada dalam kondisi pascapolitik. Kem-balinya yang-politis ini mungkin membuka jalan bagisolusi otoritarianisme—melalui rezim yang melemahkaninstitusi-institusi demokrasi-liberal—tetapi juga dapatmembawa ke penegasan kembali (reafirmasi) dan perluas-an nilai-nilai demokrasi. Segala sesuatu akan bergantungpada kekuatan politik mana yang akan berhasil dalammenghegemoni tuntutan demokratik saat ini dan jenispopulisme yang muncul sebagai pemenang dari perju-angan melawan pascapolitik.[]

� C H A N T A L M O U F F E

Page 28: ÈnX³x0 kX«X

�M O M E NP O P U L I S

SAYA ingin memperjelas di awal bahwa tujuan saya bu-kanlah menambah kontribusi pada banyaknya ‘studi po-pulisme’ yang telah ada dan saya tidak ada niatan untukmasuk ke dalam perdebatan akademik tentang ‘hakikatsejati’ populisme. Buku ini dimaksudkan sebagai inter-vensi politik dan secara terang-terangan mengakui sifatpartisan dari populisme. Saya akan mendefinisikan apayang saya pahami dengan ‘populisme kiri’ dan berpen-dapat bahwa dalam kondisi krisis saat ini populisme kirimenyediakan strategi yang tepat untuk memulihkan danmemperdalam cita-cita kesetaraan dan kedaulatan rak-yat yang memang bersifat konstitutif terhadap politikdemokrasi.

Sebagai seorang teoretikus politik, cara saya berteorimengambil sikap dari Machiavelli, sebagaimana Althussermengingatkan kita, ia seorang yang selalu meletakkan

Page 29: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

dirinya berada ‘dalam kondisi krisis’ alih-alih berefleksi‘di balik kondisi krisis’. Dengan mengikuti contoh dariMachiavelli, saya akan menuliskan refleksi saya pada fe-nomena tertentu untuk mencari apa yang Machiavellisebut verita effetuale de la cosa (kebenaran efektif darisesuatu) dari ‘momen populis’ yang saat ini kita sak-sikan di negara-negara Eropa Barat. Saya membatasianalisis saya pada Eropa Barat karena, meski persoalanpopulisme juga relevan di Eropa Timur, negara-negaradi Eropa Barat membutuhkan analisis khusus. Hal inijuga terjadi dengan pelbagai bentuk populisme AmerikaLatin. Meskipun terdapat ‘kemiripan rumpun’ antarabermacam-macam populisme, tetapi populisme tersebutmerujuk pada fenomena tertentu yang khas dan mem-butuhkan pemahaman yang sesuai dengan konteksnya.Semoga refleksi saya terhadap fenomena Eropa Baratakan memberikan pengetahuan yang bermanfaat untukmembaca situasi populis yang lain.

Sekalipun tujuan saya bersifat politis, namun bagianpenting dari refleksi saya akan bersifat teoretis karenastrategi populis kiri yang saya pertahankan terpengaruholeh pendekatan teoretik anti-esensialis yang menyatakanbahwa masyarakat selalu terbagi dan terkonstruksi seca-ra diskursif melalui praktik-praktik hegemonik. Banyakkritik yang dialamatkan pada ‘populisme kiri’ berdasar-kan pada kurangnya pemahaman pada pendekatan inidan itulah sebabnya penting untuk membuatnya jelasdi sini. Saya akan merujuk pada beberapa prinsip uta-

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 30: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

ma pendekatan anti-esensialis di beberapa poin dalamargumen saya dan klarifikasi lebih lanjut akan tersediadalam lampiran teoretik di akhir buku ini.

Untuk menghilangkan kebingungan, saya akan mulaidengan merinci apa yang saya pahami dengan ‘populis-me’. Menyingkirkan arti buruk dari istilah ini yang telahdipaksakan oleh media untuk mendiskualifikasi semuapandangan berlawanan dengan status quo, saya akanmengikuti pendekatan analitik yang dikembangkan olehErnesto Laclau. Pendekatan tersebut memungkinkan un-tuk mengatasi persoalan populisme dengan cara yangmenurut saya sangat bermanfaat.

Dalam bukunya On Populist Reason, Laclau men-definisikan populisme sebagai strategi diskursif untukmengonstruksi batas politik yang membagi masyarakatke dalam dua kubu dan menyerukan untuk memobili-sasi rakyat (‘underdog’) melawan penguasa (‘those inpower’)�. Populisme bukanlah ideologi dan tidak bisa di-atribusikan pada program-program tertentu. Populismejuga bukan sebuah rezim politik. Populisme adalah caraberpolitik yang bisa mewujud pada pelbagai bentuk ideo-logi tergantung pada waktu dan tempatnya, dan populis-me kompatibel dengan pelbagai struktur institusi. Kitabisa berbicara tentang ‘momen populis’ ketika, di bawahtekanan transformasi politik ataupun sosial-ekonomi, he-gemoni dominan sedang dide-stabilkan oleh multiplikasituntutan yang tidak terpuaskan. Dalam situasi demikian,

� Ernesto Laclau, On Populist Reason (New York and London: Verso, ����).

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 31: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

institusi-institusi yang ada gagal untuk menjamin kesetia-an rakyat sebagaimana institusi-institusi tersebut berusa-ha untuk mempertahankan tatanan yang ada. Akibatnya,blok historis yang menyediakan basis sosial formasi hege-moni menjadi terpecah-pecah dan muncul kemungkinanuntuk membangun subjek kolektif baru—rakyat (the pe-ople)—yang mampu mengonfigurasikan ulang tatanansosial yang dianggap tidak adil.

Kondisi inilah yang saya maksud mencirikan kondisikrisis kita saat ini, maka tepat untuk menyebutnya seba-gai ‘momen populis’. Momen populis menandakan krisisformasi hegemoni neoliberal yang telah diimplementasi-kan di Eropa Barat sepanjang tahun 1980-an. Formasihegemoni neoliberal ini menggantikan negara kesejahte-raan sosial-demokrasi ala Keynesian yang, dalam tigapuluh tahun setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-II,menyediakan model prinsip sosial-ekonomi di negara-negara demokrasi di Eropa Barat. Inti dari formasi he-gemoni baru ini dikonstruksi oleh serangkaian praktikpolitik-ekonomi yang bertujuan memaksakan aturan pa-sar—deregulasi, privatisasi, penghematan/pengetatanfiskal—dan membatasi peranan negara terhadap pro-teksi hak-hak kepemilikan pribadi, pasar bebas, danperdagangan bebas. Neoliberalisme adalah istilah un-tuk mengacu kepada formasi hegemoni baru ini yangtidak terbatas pada ranah ekonomi, tetapi juga meng-andung seluruh konsepsi masyarakat dan individu yangdidasarkan pada filsafat individualisme posesif.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 32: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

Model yang diimplementasikan di pelbagai negaradari tahun 1980-an hingga tahun-tahun berikutnya, tidakmenghadapi tantangan yang signifikan sampai terjadinyakrisis finansial pada 2008, ketika neoliberalisme benar-benar mulai memperlihatkan keterbatasannya. Krisis ini,bermula pada 2007 di Amerika Serikat dengan jatuhnyapasar hipotek subprima, berkembang menjadi krisis bankinternasional dengan ditandai kegagalan bank investasiLehman Brothers pada tahun berikutnya. Dana talang-an besar-besaran dari lembaga keuangan harus diinisiasiuntuk menghambat kehancuran sistem keuangan dunia.Akibatnya penurunan ekonomi global sangat mempenga-ruhi beberapa ekonomi Eropa dan memicu krisis utangEropa. Untuk mengatasi krisis ini, kebijakan penghemat-an diterapkan di sebagian besar negara-negara Eropa,dengan efek drastis, terutama di negara-negara Selatan.

Pada saat terjadinya krisis ekonomi, rentetan kon-tradiksi mengemuka, mengarah ke apa yang Gramscisebut sebagai interregnum: masa krisis di mana beberapaprinsip konsensus yang dibangun di sekitar proyek hege-moni sedang diuji. Solusi terhadap krisis tersebut belummengemuka dan kondisi ini menandai ‘momen populis’yang kita saksikan hari ini. ‘Momen populis’ merupakanekspresi dari pelbagai resistensi terhadap transformasiekonomi dan politik yang tampak selama tahun-tahunhegemoni neoliberal. Transformasi ini mengarah padasituasi yang kita sebut ‘pascademokrasi’ sebagai tandaterkikisnya dua pilar ideal demokrasi: kesetaraan dan

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 33: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

kedaulatan rakyat. Saya akan menjelaskan dalam sebuahkesempatan bagaimana keterkikisan tersebut terjadi teta-pi sebelum itu, penting untuk menguji apa yang disebutdengan ‘pascademokrasi’.

‘Pascademokrasi’, pertama kali dimajukan oleh ColinCrouch untuk menandakan kemerosotan peranan parle-men dan hilangnya kedaulatan yang merupakan konse-kuensi dari globalisasi neoliberal. Menurut Crouch:

Penyebab utama terjadinya kemunduran demo-

krasi dalam politik kontemporer adalah ketidak-

seimbangan yang sekarang berkembang antara

kepentingan korporasi (perusahaan) dan kepen-

tingan kelompok-kelompok lain. Bersamaan de-

ngan terjadinya kemunduran demokrasi yang ti-

dak terhindarkan, kondisi ini menjadikan politik

sekali lagi sebagai urusan elite tertentu, sebagai-

mana pernah terjadi di masa pra-demokrasi.�

Jacques Rancière juga menggunakan istilah pascade-mokrasi ini, yang ia definisikan dengan cara berikut:

Pascademokrasi merupakan praktik pemerintah

dan legitimasi konseptual dari demokrasi sete-lah demos (rakyat), yakni demokrasi yang telah

mengeliminasi partisipasi, kesalahan perhitung-

an, dan perselisihan rakyat, sehingga mudah dire-

duksi menjadi satu-satunya interaksi mekanisme

negara dan kombinasi energi sosial dan kepen-

tingan.�

� Colin Crouch, Post-Democracy (Cambridge, UK: Polity, ����), hal. ���.� Jacques Rancière,Disagreement: Politics and Philosophy, trans. Julie Rose (Minneapo-

lis: University of Minnesota Press, ����), hal. ���.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 34: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

Meskipun tidak setuju dengan kedua definisi terse-but, interpretasi saya atas istilah ‘pascademokrasi’ agakberbeda karena, melalui refleksi atas sifat dasariah de-mokrasi liberal, saya bertujuan untuk mengemukakancorak berbeda dari neoliberalisme. Sebagaimana telahdiketahui, secara etimologis, ‘demokrasi’ berasal daribahasa Yunani demos/kratos, yang berarti ‘kekuasaanrakyat’. Ketika kita membahas ‘demokrasi’ di Eropa,bagaimanapun juga kita mengacu pada model demokrasiyang spesifik: model Barat yang dihasilkan dari guratanprinsip demokrasi dalam konteks historis tertentu. Mo-del ini memiliki pelbagai nama: demokrasi representatif,demokrasi konstitusional, demokrasi liberal, demokrasipluralis.

Dalam banyak konteks, apa yang menjadi pertanya-an adalah rezim politik yang dicirikan oleh artikulasidua tradisi berbeda. Pada satu sisi, tradisi liberalismepolitik: penegakan hukum, pemisahan kekuasaan, danpembelaan kebebasan individu; pada sisi lain, tradisidemokrasi, yang ide utamanya berupa kesetaraan dankedaulatan rakyat. Tidak ada hubungan yang signifikanantara dua tradisi tersebut tetapi sekadar artikulasi his-toris yang kontingen, seperti yang telah ditunjukkan CBMacpherson, terjadi dalam perjuangan bersama antarapara liberal dan para demokrat melawan rezim absolut.�

Beberapa penulis, seperti Carl Schmitt, menegaskanbahwa artikulasi tersebut menghasilkan rezim yang tidak� CB Macpherson, The Life and Times of Liberal Democracy (Oxford: Oxford University

Press, ����).

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 35: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

mungkin terjadi karena liberalisme menyangkal demo-krasi dan demokrasi menyangkal liberalisme. Penulislain, mengikuti Jürgen Habermas, mempertahankan ‘co-orisinalitas’ prinsip kebebasan dan kesetaraan. Schmittbenar dalam menunjukkan adanya konflik antara ‘kon-sepsi’ liberal yang memostulatkan universalitas dan ‘ke-manusiaan’, dan ‘konsepsi’ kesetaraan demokrasi yangmensyaratkan pembentukan rakyat dan batas antara ‘ki-ta’ dan ‘mereka’. Tetapi saya kira Schmitt keliru dalammengemukakan bahwa konflik merupakan kontradiksiyang pasti membawa demokrasi liberal pluralistik kejurang kerusakan-diri sendiri (self-destruction).

Dalam The Democratic Paradox, saya mengonsepsi-kan artikulasi dua tradisi tersebut—yang memang padaakhirnya tidak dapat direkonsiliasikan—pada mode kon-figurasi paradoks, sebagai lokus ketegangan (the locusof a tension) yang mendefinisikan orisinalitas demokrasiliberal sebagai politeia, suatu bentuk komunitas politikyang menjamin karakter pluralistiknya.� Logika demokra-si perihal pembentukan rakyat dan pembelaan terhadappraktik-praktik egaliter merupakan hal yang penting un-tuk mendefinisikan demos dan menghancurkan tendensidiskursus liberal yang ingin mengabstrakkan universalis-me. Tetapi artikulasi logika demokrasi dengan logika libe-ral memperkenankan kita untuk menguji bentuk-bentukeksklusi yang inheren dalam praktik-praktik politik pe-nentuan rakyat yang akan memerintah.

� Chantal Mou�e, The Democratic Paradox (New York and London: Verso, ����).

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 36: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

Politik liberal demokrasi terdiri dari proses negosiasikonstan melalui konfigurasi hegemonik yang berbedaatas ketegangan konstitutif. Ketegangan ini, yang da-lam istilah politik diekspresikan dengan batas antarakanan dan kiri, hanya dapat distabilkan secara tempo-rer melalui negosiasi pragmatis antar kekuatan politik.Negosiasi-negosiasi pragmatis tersebut selalu memben-tuk hegemoni kekuatan politik yang satu atas kekuatanpolitik yang lain. Dengan meninjau kembali sejarah de-mokrasi liberal, kita menemukan bahwa pada beberapakesempatan logika liberal berlaku, sementara pada ke-sempatan yang lain berlaku logika demokrasi. Meskipundemikian kedua logika tersebut berada dalam ketegang-an, dan kemungkinan negosiasi ‘agonistik’ antara kanandan kiri, yang spesifik untuk rezim demokrasi liberal,selalu terjadi.

Pertimbangan-pertimbangan sebelumnya hanya me-nyangkut demokrasi liberal yang dipandang sebagai re-zim politik, tetapi nyatanya bahwa institusi-institusipolitik tersebut tidak pernah berdiri sendiri dalam sis-tem ekonomi. Dalam kasus neoliberalisme, misalnya, kitaberurusan dengan formasi sosial yang mengartikulasikanbentuk tertentu dari demokrasi liberal dengan kapital-isme finansial. Meskipun artikulasi ini perlu diperhi-tungkan ketika mempelajari formasi sosial yang spesifik,adalah mungkin, pada tingkat analitis, untuk memeriksaevolusi rezim liberal-demokrasi sebagai bentuk politikmasyarakat, supaya dapat mengungkap beberapa karak-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 37: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

teristiknya.Situasi akhir-akhir ini dapat dideskripsikan sebagai

kondisi ‘pascademokrasi’ karena dalam beberapa tahunterakhir, sebagai konsekuensi hegemoni neoliberal, ke-tegangan agonistik antara prinsip-prinsip liberal dandemokrasi yang bersifat konstitutif terhadap demokrasiliberal, telah dilenyapkan. Dengan lenyapnya nilai-nilaidemokratik kesetaraan dan kedaulatan rakyat, ruang-ruang agonistik di mana proyek-proyek masyarakat yangberbeda-beda bisa saling berkonfrontasi satu sama la-in telah lenyap dan warga negara telah dirampas darikemungkinan untuk menggunakan hak-hak demokratikmereka. Tentu saja, ‘demokrasi’ masih diperbincangkan,tetapi telah direduksi menjadi sekadar unsur-unsur libe-ralnya dan hanya menandakan adanya pemilihan umumyang bebas dan pembelaan hak asasi manusia. Yangmenjadi semakin penting adalah liberalisme ekonomidengan pembelaannya terhadap pasar bebas dan banyakaspek dari liberalisme politik ditempatkan pada posisisekunder, jika tidak benar-benar dilenyapkan. Kondisiinilah yang saya sebut sebagai ‘pascademokrasi’.

Di arena politik, evolusi menuju pascademokrasi di-manifestasikan melalui apa yang saya ajukan dalam Onthe Political sebagai ‘pascapolitik’, kondisi yang menga-burkan batas politik antara kanan dan kiri.� Lewat dalih‘modernisasi’ yang dipaksakan oleh globalisasi, partai-partai sosial-demokratik telah menerima diktat kapital-

� Chantal Mou�e, On the Political (Abingdon, UK: Routledge, ����).

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 38: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

isme finansial dan batasan yang mereka terapkan padaintervensi negara dan kebijakan redistributif mereka.

Sebagai akibatnya, peran parlemen dan institusi-institusi yang memperkenankan warga negara untukmempengaruhi keputusan-keputusan politik telah diper-kecil secara drastis. Pemilihan umum tidak lagi mena-warkan kesempatan untuk menentukan alternatif-alterna-tif nyata melalui ‘partai-partai pemerintah’ yang tradi-sional tersebut. Satu-satunya hal yang pascapolitik per-kenankan adalah pergantian kekuasaan secara bipartisanantara partai kanan-moderat dan kiri-moderat. Semuapihak yang menentang ‘konsensus sebagai pusat’ dan do-gma bahwa tidak ada alternatif atas globalisai neoliberaldilabeli sebagai ‘ekstremis’ atau didiskualifikasi sebagai‘populis’.

Oleh karena itu, politik telah menjadi sekadar perso-alan mengatur tatanan yang sudah ada, sebuah ruangyang diperuntukkan untuk para ahli, dan kedaulatanrakyat dinyatakan telah usang. Salah satu pilar simbolikyang fundamental dari ideal demokrasi—kekuasaan rak-yat—telah dilenyapkan karena pascapolitik mengeliminirkemungkinan perjuangan agonistik antara pelbagai pro-yek masyarakat yang berbeda-beda sebagai syarat untukpelaksanaan kedaulatan rakyat.

Selain fenomena pascapolitik, terdapat perkembang-an lain yang perlu diperhitungkan ketika memahamipenyebab kondisi pascademokrasi: berkembangnya oli-garkisasi masyarakat Eropa Barat. Perubahan pada level

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 39: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

politik terjadi dalam konteks model baru regulasi kapital-isme. Dengan finansialisasi ekonomi, terdapat ekspansibesar-besaran pada sektor finansial dengan mengorban-kan ekonomi produktif. Kondisi ini menjelaskan terja-dinya peningkatan ketimpangan sangat besar yang kitasaksikan beberapa tahun terakhir.

Kebijakan privatisasi dan deregulasi telah berkontri-busi pada terjadinya kemerosotan kondisi pekerja secaradrastis. Karena efek deindustrialisasi, promosi perubahanteknologi, dan proses relokasi industri ke negara-negarayang tenaga kerjanya lebih murah, banyak pekerjaanhilang.

Akibat kebijakan penghematan/pengetatan fiskalyang diberlakukan setelah krisis 2008, situasi ini jugaberdampak pada sebagian besar kelas menengah yangmengalami proses pemiskinan dan prekarisasi. Sebagaiakibat dari proses oligarkisasi tersebut, pilar ideal demo-krasi yang lain—pembelaan terhadap kesetaraan—telahdisingkirkan juga dari diskursus demokrasi-liberal. Saatini yang berlaku adalah visi liberal individualistik yangmerayakan masyarakat konsumtif dan kebebasan yangditawarkan oleh pasar.

Pada konteks pascademokrasi di mana terjadi pengi-kisan ideal demokrasi—kedaulatan rakyat dan kesetara-an— tersebut, ‘momen populis’ harus dipahami. ‘Momenpopulis’ ini dicirikan dengan kemunculan pelbagai resis-tensi terhadap sistem ekonomi-politik yang dianggapsedang dikontrol oleh segelintir elite yang tuli terhadap

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 40: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

pelbagai tuntutan kelompok liyan di masyarakat. Pa-da mulanya, sebagian besar resistensi politik terhadapkonsensus pascademokrasi datang dari golongan kanan.Pada 1990an, partai-partai populis sayap-kanan seper-ti FPÖ di Austria dan Front Nasional di Prancis mu-lai mencitrakan diri mereka sebagai pihak yang hendakmengembalikan suara ‘rakyat’ yang telah dirampas olehpara elite. Dengan menarik batas antara ‘rakyat’ dan‘penguasa politik’, para populis kanan tersebut dapatmenerjemahkan tuntutan-tuntutan rakyat yang telahdikucilkan oleh konsensus dominan ke dalam kosakatanasionalistik.

Hal tersebut terjadi, misalnya, pada bagaimana JörgHaider mentransformasi Partai Kebebasan Austria men-jadi sebuah partai protes melawan ‘koalisi besar’. De-ngan memobilisasi isu kedaulatan rakyat, Haider ber-hasil mengartikulasikan pelbagai perlawanan/resistensiterhadap cara negara diatur oleh koalisi elite yang meng-hambat debat demokrasi nyata.�

Panorama politik, yang selama ini menunjukkantanda-tanda radikalisasi kiri dengan pelbagai gerakananti-globalisasi, berubah drastis pada tahun 2011. Ketikakebijakan penghematan mulai mempengaruhi kondisi ke-hidupan rakyat di pelbagai sektor, gerakan protes terjadidi beberapa negara Eropa dan konsensus pascapolitikmulai terurai seluk-beluknya. Di Yunani terdapat gerak-� Dalam ‘The “End of Politics” and the Challenge of Right-Wing Populism’, saya telah

menganalisis perkembangan Partai Kebebasan Austria di bawah kepemimpinan JörgHaider. Lihat Francisco Panizza, ed., Populism and the Mirror of Democracy (New Yorkand London: Verso, ����), hal. ��–��.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 41: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

an Aganakitsmenoi dan di Spanyol terdapat IndignadosM15 yang menduduki pelbagai tempat penting untukmenyuarakan ‘Democracy Now!’. Gerakan-gerakan terse-but diikuti oleh gerakan Occupy yang lahir di AmerikaSerikat, juga termanifestasi di pelbagai kota di Eropa,khususnya di London dan Frankfurt. Yang lebih mutakhiradalah Nuit Debout di Prancis pada 2016 yang meru-pakan ekspresi dari bentuk protes yang disebut sebagai‘movements of the squares’.

Protes-protes tersebut merupakan pertanda kebang-kitan politik setelah bertahun-tahun bersikap apatis.Akan tetapi, penolakan gerakan-gerakan horizontalis ter-sebut untuk bekerja sama dengan institusi-institusi poli-tik membatasi dampak gerakan mereka sendiri. Tanpamembangun artikulasi dengan institusi politik, merekaakan segera kehilangan dinamikanya. Meskipun gerakanprotes tersebut memiliki peran penting dalam memba-ngun transformasi kesadaran politik, tetapi hanya jikadiikuti dengan gerakan politik yang terstruktur melaluikerja sama dengan institusi politik, hasil yang signifikandapat tercapai.

Adalah di Yunani dan Spanyol di mana kita menyak-sikan gerakan politik pertama kali yang mengimplementa-sikan bentuk populisme dengan tujuan memulihkan danmemperdalam demokrasi. Di Yunani, Syriza—sebuahpersatuan front sosial yang lahir dari koalisi gerakankiri yang berbeda-beda di sekeliling Synaspismos, bekaspartai komunis Eropa—menjadi pertanda kemunculan

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 42: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

bentuk baru partai radikal yang tujuannya untuk me-nantang hegemoni neoliberal melalui politik parlementer.Dengan membangun sinergi antara gerakan sosial danpartai politik, Syriza mampu mengartikulasikan secarakolektif pelbagai tuntutan demokratik dan strategi inimemungkinkannya untuk berkuasa pada Januari 2015.

Sayangnya, Syriza tidak mampu mengimplementasi-kan program anti-penghematannya karena respons yangkeras dari Uni Eropa yang bereaksi dengan ‘pengguling-an finansial’ (financial coup) dan memaksa partai untukmenerima diktat Troika. Ketakmampuan tersebut tidakmembatalkan strategi populis yang memungkinkannyauntuk berkuasa, meski tentu saja menimbulkan masalahpenting sehubungan dengan batasan yang diberlakukanoleh keanggotaan Uni Eropa pada kemungkinan melak-sanakan kebijakan yang menantang neoliberalisme.

Di Spanyol, meroketnya Podemos pada 2014 adalahkarena kemampuan sekelompok intelektual muda un-tuk memanfaatkan medan yang telah diciptakan olehIndignados. Hal ini menyebabkan terbentuknya gerakanpartai yang bertujuan untuk memecahkan kebuntuanpolitik konsensual hasil dari transisi ke arah demokra-si yang telah mengalami keletihan. Strategi Podemosdalam membentuk kehendak kolektif populer denganmembangun batas antara penguasa elite (la ‘casta’) danrakyat belum berhasil menyingkirkan partai sayap-kanan,Partindo Popular dari pemerintahan, namun anggota-anggota Podemos berhasil masuk ke parlemen di ma-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 43: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

na mereka menggulingkan sekelompok anggota pentingparlemen. Sejak saat itu, mereka menjadi representasikekuatan penting dalam politik Spanyol dan berhasilmentransformasikan lanskap politik Spanyol.

Perkembangan yang sama juga terjadi di beberapa ne-gara: Jerman dengan Die Linke, Portugal dengan Blocode Esquerda dan Prancis dengan La France Insoumise da-ri Jean-Luc Mélenchon, yang pada Juni 2017, satu tahunsetelah pendiriannya, berhasil memperoleh tujuh belaskursi di Parlemen dan saat ini menjadi oposisi utamabagi pemerintahan Emmanuel Macron. Pada akhirnya,pada Juni 2017 juga, hasil bagus yang tak terduga dariPartai Buruh Inggris di bawah kepemimpinan JeremyCorbyn merupakan penanda dari bentuk baru radikalis-me yang mengemuka di beberapa negara Eropa.

Partai-partai sosial-demokratik, yang di banyak nega-ra memainkan peran penting dalam pengimplementasiankebijakan-kebijakan neoliberal, tidak dapat memahamiwatak dari momen populis dan menghadapi tantanganyang diwakilinya. Mereka menjadi tahanan dari dogmapascapolitik, dan enggan untuk mengakui kesalahan me-reka, partai-partai sosial-demokratik tidak dapat me-mahami bahwa banyak tuntutan yang diartikulasikanoleh partai populis sayap-kanan merupakan tuntutandemokratik, yang mana solusi progresif harus dimajukan.Banyak dari tuntutan tersebut berasal dari kelompok-kelompok yang kalah karena globalisasi neoliberal, dantidak dapat terpuaskan dengan proyek neoliberal.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 44: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

Mengklasifikasikan partai populis sayap-kanan seba-gai ‘ekstrem-kanan’ atau ‘neofasis’ dan mengaitkan dayatarik mereka dengan kurangnya pendidikan tentu sajasangat mudah bagi kekuatan kiri-moderat. Hal ini meru-pakan cara yang mudah untuk mendiskualifikasi merekatanpa mengakui tanggung jawab kiri-moderat sendiridalam keadaan seperti itu. Dengan membentuk batas‘moral’ untuk menyingkirkan ‘para ekstremis’ dari debatdemokratik, para ‘demokrat yang baik’ tersebut percayabahwa mereka dapat menghentikan laju kebangkitan has-rat (passion) ‘irasional’. Strategi demoninasi terhadap‘musuh’ konsensus bipartisan tersebut memang secaramoral dapat menghibur, tetapi melemahkan secara poli-tis.

Untuk menghentikan laju partai populis sayap-kanan,perlu untuk merancang jawaban politis secara tepat me-lalui gerakan populis kiri yang akan menaungi semuaperjuangan demokratik melawan pascademokrasi. Alih-alih mengucilkan secara a priori para pemilih dari partaipopulis sayap kanan yang selalu digerakkan oleh has-rat atavistik dengan menghukum mereka untuk tetapmenjadi tawanan hasrat tersebut selamanya, penting un-tuk mengakui inti demokrasi sebagai asal-muasal daripelbagai tuntutan mereka.

Pendekatan populis kiri harus berusaha memberikankosa kata yang berbeda untuk mengarahkan tuntutan-tuntutan tersebut ke arah yang lebih egaliter. Bukanberarti membenarkan politik partai populis sayap-kanan,

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 45: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

tetapi menolak untuk mengaitkan pemilih mereka dengantanggung jawab atas cara tuntutan mereka diartikulasi-kan. Saya tidak mengelak bahwa terdapat banyak orangyang nyaman dengan nilai-nilai reaksioner tersebut, teta-pi saya yakin bahwa terdapat orang-orang yang tertarikkepada partai populis sayap-kanan tersebut karena me-reka merasa hanya partai tersebut yang peduli denganpersoalan mereka. Saya percaya bahwa, jika bahasa yangberbeda tersedia, banyak orang mungkin mengalami si-tuasi dengan cara yang berbeda dan bergabung denganperjuangan progresif.

Terdapat beberapa contoh konkret bahwa strategisemacam itu bisa berhasil. Misalnya, pada pemilihanlegislatif 2017 di Prancis, Jean-Luc Mélenchon dan kandi-dat lain dari La France Insoumise seperti François Ruffinberhasil memperoleh dukungan dari para pemilih yangsebelumnya memilih Marine Le Pen. Berselisih denganorang-orang di bawah pengaruh Front Nasional, meman-dang imigran sebagai pihak yang bertanggung jawab atasketerampasan mereka, para aktivis mampu membuat pe-milih semacam itu mengubah pandangannya. Sentimenmereka yang kadaluwarsa dan keinginan mereka untukdiakui secara demokratis, yang sebelumnya diekspresikandalam bahasa xenofobik, dapat diformulasikan dalam ko-sakata berbeda dan diarahkan untuk menghadapi lawanyang lain. Hal serupa terjadi di Inggris pada pemilu Juni2017 di mana 16% pemilih partai populis sayap-kanan,UKIP, memilih Jeremy Corbyn.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 46: ÈnX³x0 kX«X

M O M E N P O P U L I S

Saat ini diskursus anti-penguasa juga datang darikubu progresif, dan kekuatan politik kiri sedang mem-bangun batas antara ‘rakyat’ dan ‘oligarki’, kita benar-benar berada di tengah-tengah ‘momen populis’. Makayang dipertaruhkan dalam momen populis ini adalah ba-gaimana resistensi terhadap pascademokrasi akan diarti-kulasikan dan bagaimana ‘rakyat’ akan dikonstruksikan.Ada banyak cara supaya strategi ini bisa terlaksana. Dantidak semua konstruksi populis terhadap batas politikmemiliki tujuan egalitarian, bahkan ketika penolakanterhadap sistem yang ada dilakukan atas nama mengem-balikan kekuasaan pada rakyat.

Kedua jenis populisme tersebut bertujuan untuk me-nyatukan tuntutan-tuntutan yang tidak terpuaskan, te-tapi keduanya mempunyai cara/strategi yang sangat ber-beda. Perbedaannya terletak pada komposisi ‘kita’ danbagaimana lawan (adversary), ‘mereka’, didefinisikan.

Populis sayap-kanan mengklaim akan mengembalikankedaulatan rakyat dan memulihkan demokrasi, tetapikedaulatan di sini dipahami sebagai ‘kedaulatan nasional’dan diperuntukkan untuk mereka yang dianggap sebagai‘nasionalis’ sejati. Selain itu, para populis sayap-kanantidak memperjuangkan tuntutan demi kesetaraan danmereka mengonstruksikan ‘rakyat’ dengan mengecuali-kan banyak kategori, biasanya imigran, yang dipandangsebagai ancaman terhadap identitas dan kesejahteraannasional. Perlu digaris bawahi bahwa meskipun popu-lisme sayap-kanan mengartikulasikan banyak resistensi

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 47: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

terhadap pascademokrasi, tetapi hal ini tidak serta mertamerepresentasikan lawan rakyat sebagaimana yang di-konstruksikan oleh kekuatan neoliberalisme. Oleh karenaitu, keliru jika mengidentifikasi oposisi mereka terha-dap pascademokrasi dengan penolakan terhadap neoli-beralisme. Kemenangan mereka dapat mengarah padabentuk-bentuk neoliberalisme otoriter nasionalistik yang,atas nama pemulihan demokrasi, pada kenyataannyamembatasi demokrasi.

Sebaliknya, populisme kiri hendak memulihkan de-mokrasi dengan memperdalam dan memperluas demo-krasi. Strategi populis kiri bertujuan untuk menyatuk-an tuntutan-tuntutan demokratik di bawah kehendakkolektif dengan mengonstruksikan ‘kita’, ‘rakyat’, mela-wan lawan-bersama: oligarki. Strategi ini mensyaratkanpembentukan rantai ekuivalensi antar tuntutan-tuntutanburuh, imigran, dan kelas menengah prekariat, serta tun-tutan demokratik yang lain seperti komunitas LGBT.Tujuan dari pembangunan rantai tersebut adalah pem-bentukan hegemoni baru yang mengimplementasikanradikalisasi demokrasi.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 48: ÈnX³x0 kX«X

�B E L A J A RD A R IT A T C H E R I S M E

‘MOMEN POPULIS’ yang kita saksikan di seluruh Ero-pa Barat memberikan kesempatan untuk mengajukanalternatif atas formasi hegemoni neoliberal yang saat inisedang mengalami krisis. Pertanyaan krusialnya adalahbagaimana melakukan transisi ini. Apakah ada contoh-contoh supaya kita bisa belajar langkah-langkah yangperlu kita ikuti? Mungkin, dengan menguliti kondisidi mana model neoliberal menjadi hegemonik di EropaBarat dapat memberikan beberapa petunjuk pada kitaperihal bagaimana transformasi hegemonik dapat ber-operasi. Krisis inilah yang kami bahas dalam HSS danoleh karena itu mungkin relevan untuk meninjau kembalibeberapa analisis di dalamnya.

Buku tersebut ditulis di London pada saat krisiskonsensus pascaperang yang dimunculkan oleh Partai

Page 49: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

Buruh dan Partai Tories seputar negara kesejahteraanKeynesian. Dalam konteks Inggris inilah kami mengem-bangkan refleksi tentang masa depan politik kiri. Namun,saya percaya bahwa refleksi dalam buku tersebut tidakterbatas di Inggris saja. Sebagaimana ditunjukkan olehWolfgang Streeck bahwa:

Struktur penyelesaian pascaperang antara bu-

ruh dan kapital pada dasarnya sama di pelbagai

negara di mana kapitalisme demokratis mulai

dilembagakan. Hal ini meliputi ekspansi negara

kesejahteraan, hak buruh untuk bebas berun-

ding secara kolektif dan jaminan politik atas

pekerjaan penuh, yang dijamin oleh pemerintah

yang menerapkan perangkat ekonomi Keynesian

secara ekstensif.�

Untuk memahami hakikat negara kesejahteraan Key-nesian sebagai formasi hegemonik, perlu diakui bahwa,meskipun memainkan peran penting dalam menyubordi-nasikan reproduksi kekuatan buruh dengan kebutuhankapital, negara kesejahteraan Keynesian juga meletakkansyarat-syarat munculnya jenis baru hak-hak sosial danmentransformasikan akal sehat demokratis yang membe-rikan legitimasi pada serangkaian tuntutan untuk kese-taraan ekonomi. Di beberapa negara, kekuatan serikatburuh memungkinkan konsolidasi hak-hak sosial. Semen-tara itu, pertumbuhan ketidaksetaraan tetap terkendali,para buruh membuat kemajuan yang substansial, dan

� Wolfgang Streeck, ‘The Crises of Democratic Capitalism’ dalam New Left Review ��(September/October ����), ��.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 50: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

kemajuan demokrasi tercapai selama bertahun-tahun. Se-bagai kompromi antara kapital dan buruh, memungkin-kan terjadinya koeksistensi yang tidak gampang antarakapitalisme dan demokrasi.

Namun, selama paruh pertama tahun 1970-an, ke-munduran ekonomi dan meningkatnya inflasi mulai men-jadi petunjuk keterbatasan dari kompromi Keynesian.Akibat efek krisis minyak tahun 1970, ekonomi menderi-ta, keuntungan merosot dan penyelesaian pascaperangmelalui jalan sosial-demokratik mulai ambruk. Di Inggris,untuk menghadapi krisis fiskal, Partai Buruh yang sedangberkuasa harus menggunakan negara untuk mendisiplink-an kelas pekerja yang berdampak pada meningkatnyaketidakpuasan. Pada pertengahan tahun 70-an, modelsosial-demokratik pascaperang berada dalam masalahyang serius dan mulai menderita ‘krisis legitimasi’.

Faktor ekonomi tidaklah cukup untuk memahamisecara utuh krisis model sosial-demokratik. Kita jugaperlu mempertimbangkan faktor yang lain, terutamakemunculan apa yang disebut sebagai ‘gerakan sosialbaru’ di tahun 1960-an. Pada waktu itu, istilah ini di-gunakan untuk merujuk ke pelbagai perjuangan yangberaneka ragam: gerakan urban, ekologi, anti-otoritarian,anti-institusional, feminis, anti-rasis, etnik, regional, danminoritas seksual. Polarisasi politik yang diciptakan olehtuntutan demokratik baru tersebut, bersamaan denganmilitansi buruh, memancing reaksi dari para konservatifyang mengklaim bahwa multiplikasi perjuangan untuk

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 51: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

kesetaraan tersebut telah membawa masyarakat Barat ketepian ‘jurang egalitarian’. Ketika resesi ekonomi terjadisetelah 1973, kubu kanan memutuskan untuk menghen-tikan ekspansi imajinasi demokratis. Mereka berencanauntuk melawan gerakan egalitarian tersebut dan merebutkembali keuntungan yang telah ditahan oleh kekuatanserikat pekerja. Dalam laporannya ke Komisi Trilateralpada tahun 1975, Samuel Huntington menyatakan bah-wa perjuangan untuk kesetaraan dan partisipasi yanglebih baik pada tahun 60-an telah menghasilkan ‘gelorademokratik’ yang membuat masyarakat menjadi ‘takterkendalikan’. Huntington menyimpulkan bahwa ’ke-kuatan cita-cita demokrasi menimbulkan masalah bagipemerintahan demokrasi.’�

Pada saat kami menulis HSS, Margaret Thatcher barusaja memenangkan pemilihan umum tetapi dampak darikrisis tersebut masih belum jelas. Kami memandangsituasi pada waktu itu demikian:

Tidak dapat disangkal bahwa perkembangan an-

tagonisme baru dan ‘hak-hak baru’ yang begitu

pesat mengarah pada krisis formasi hegemoni

periode pascaperang. Tetapi format bagaimana

krisis ini akan di atasi masih jauh dari yang diten-

tukan sebelumnya, karena cara hak-hak akan di-

definisikan dan bentuk-bentuk perjuangan yang

akan diadopsi untuk melawan subordinasi belum

ditentukan secara tegas.�

� Samuel Huntington, ‘The Democratic Distemper’, dalam The American Commonwe-alth, ed. Nathan Glazer dan Irving Kristol (New York: Basic Books, ����), hal. ��.

� Ernesto Laclau dan Chantal Mou�e, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Ra-

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 52: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

Kami mengklaim bahwa, untuk melawan serangan da-ri kubu kanan, sangat penting bagi Partai Buruh untukmemperluas basis sosialnya dengan mengakui kekurang-an politik korporatisnya dan menerima kritik dari gerak-an sosial baru, tuntutan-tuntutan demokratik merekasangat penting untuk diartikulasikan di samping tuntut-an kelas pekerja. Tujuannya adalah untuk membentukblok historis baru di sekeliling proyek sosialis yang di-definisikan ulang dengan istilah ‘radikalisasi demokrasi’.Kami yakin bahwa hanya proyek hegemonik yang ber-tujuan memperluas prinsip-prinsip demokratik berupakebebasan dan kesetaraan ke dalam rangkaian relasi so-sial lebih luas yang dapat memberikan hasil progresifuntuk menangani krisis.

Sayangnya, Partai Buruh, yang masih menjadi ta-hanan dari visi ekonomi dan esensialisnya, tidak dapatmemahami perlunya politik hegemonik dan masih ber-gantung pada cara-cara lama dari posisi tradisionalnya.Dengan demikian, Partai Buruh tidak dapat melawanserangan pelbagai kekuatan yang menentang model Key-nesian dan kondisi ini membuka jalan bagi kemenanganbudaya dan ideologi neoliberal.

Tujuan utama Margaret Thatcher ketika menjadiperdana menteri pada 1979 adalah untuk menggantikonsensus pascaperang antara Partai Tories dan Par-tai Buruh yang ia klaim sebagai penyebab kemandekanInggris. Berbeda dengan Partai Buruh, Thatcher sangat

dical Democratic Politics, paperback edition (New York and London: Verso, ����), hal.���.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 53: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

menyadari akan sifat partisan politik dan pentingnya per-juangan hegemonik. Strategi yang digunakan Thatcherjelas-jelas populis. Strateginya berupa pembangunan ba-tas politik antara, pada satu sisi, ‘kekuatan penguasa’yang diidentifikasi dengan birokrat negara yang opresif,serikat pekerja, dan orang-orang yang menerima manfaatdari bantuan negara, dan pada sisi lain, ‘rakyat’ yangmenjadi korban kekuasaan birokratik dan para sekutu-nya.

Target utama Thatcher adalah serikat buruh yang ke-kuasaannya harus disingkirkan. Thatcher terlibat dalamkonfrontasi langsung dengan Serikat Pekerja TambangNasional yang dipimpin oleh Arthur Scargill, Thatchermenyebut sosoknya sebagai ‘musuh dari dalam’. Pemo-gokan masal para penambang (1984-5), yang merupa-kan perselisihan industrial paling sengit dalam sejarahInggris, merupakan titik balik dalam lintasan kepemim-pinan Thatcher. Perselisihan tersebut berakhir dengankemenangan mutlak kubu pemerintah yang kemudianmemberlakukan syarat-syarat yang melemahkan gerakanserikat buruh dan mengonsolidasikan program ekonomiliberal.

Pada saat konsensus Keynesian pascaperang sedangmengalami keretakan, Margaret Thatcher turun tanganuntuk menantang status quo. Dengan membentuk bataspolitik, Thatcher mampu mendisartikulasi unsur-unsurpenting dari hegemoni sosial-demokratik dan memba-ngun tatanan hegemoni baru yang didasarkan pada per-

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 54: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

setujuan populer. Hal inilah yang tidak dapat dipahamioleh para politisi Partai Buruh dengan pandangan esen-sialisnya. Alih-alih melakukan kontra-hegemoni, parapolitisi Partai Buruh percaya bahwa meningkatnya pe-ngangguran disebabkan oleh kebijakan neoliberal danmemburuknya kondisi pekerja tersebut akan segera meng-antarkan para politisi Partai Buruh ke pemerintahan.Para politisi Partai Buruh tersebut secara pasif meng-harapkan kemerosotan kondisi ekonomi sehingga dapatmenguntungkan mereka tanpa menyadari bahwa, semen-tara itu, Thatcher sedang mengkonsolidasikan revolusineoliberal.

Dengan menganalisis strategi hegemonik yang iasebut ‘Thatcherisme’ dan didefinisikan sebagai ‘po-pulisme otoritarian’, Stuart Hall mencatat bahwa‘Populisme Thatcher mengombinasikan pelbagai isuTorisme—bangsa, keluarga, tanggung jawab, otoritas,standar, tradisionalisme—dengan isu-isu agresif neolibe-ralisme—kepentingan pribadi, individualisme kompetitif,anti-statisme.’� Kesuksesan Thatcher dalam mengim-plementasikan kebijakan neoliberal di Inggris menjadimungkin karena kapasitasnya dalam mengapitalisasi pel-bagai resistensi terhadap cara kolektifis dan birokratikdi mana negara kesejahteraan diterapkan.

Thatcher mampu memperoleh banyak dukungan daripelbagai sektor atas proyek neoliberalnya karena banyak

� Stuart Hall, ‘Learning from Thatcherism’, dalam The Hard Road to Renewal (New Yorkand London: Verso, ����), hal. ���.’Learning from Thatcherism’ merupakan judul daribab ini.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 55: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

orang terpikat dengan glorifikasi Thatcher terhadap kebe-basan individu dan janji Thatcher untuk membebaskanorang-orang tersebut dari kekuasaan negara yang opre-sif. Diskursus tersebut beresonansi, bahkan di kalanganpara penerima manfaat intervensi negara, karena mere-ka membenci cara birokrasi di mana manfaat tersebutsering didistribusikan. Lewat jalan mempertentangkankepentingan-kepentingan kelas pekerja dengan kepen-tingan feminis dan imigran, yang dianggap bertanggungjawab atas hilangnya beberapa pekerjaan, Thatcher ber-hasil memenangkan sektor-sektor penting kelas pekerja.

Dalam serangannya yang gencar terhadap hegemo-ni sosial-demokratik, Margaret Thatcher melakukan in-tervensi pada beberapa sektor—ekonomi, politik danideologi—untuk mengonfigurasi ulang secara diskursifapa yang pada waktu itu dianggap sebagai ‘pandanganumum’ (common sense) dan melawan nilai-nilai demok-ratiknya. Tujuan utamanya untuk memutus hubunganyang telah ditetapkan antara liberalisme dan demokra-si melalui, sebagaimana dikemukakan CB Macpherson,‘demokratisasi’ liberalisme.

Friedrich Hayek, filsuf favorit Thatcher, menyatakanakan perlunya menguatkan kembali sifat ‘sebenarnya’dari liberalisme sebagai doktrin yang berupaya untukmengurangi kekuasaan negara seminimal mungkin untukmemaksimalkan tujuan utama dari politik: kebebasanindividu. Pandangan ini merupakan gagasan yang Hayekdefinisikan secara negatif sebagai ‘kondisi orang-orang

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 56: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

di mana koersi terhadap beberapa orang oleh bebera-pa orang yang lain dikurangi sebanyak mungkin dalammasyarakat.’�

Langkah yang lain dalam strategi ideologi ini adalahdengan melakukan pemaknaan ulang terhadap ‘demokra-si’ dengan menjadikannya subordinat pada ‘kebebasan’.Menurut Hayek, ide demokrasi merupakan hal sekunderketimbang ide kebebasan individu, oleh karena itu pem-belaan terhadap kebebasan ekonomi dan kepemilikanpribadi menggantikan pembelaan terhadap kesetaraanyang merupakan nilai utama dalam masyarakat liberal.Menurut Hayek, ‘demokrasi secara esensial berarti pe-rangkat utilitarian untuk menjaga perdamaian internaldan kebebasan individu.’� Dia bersikukuh bahwa apa-bila terdapat konflik antara demokrasi dan kebebasan,maka yang perlu diprioritaskan adalah kebebasan dandemokrasi harus dikorbankan. Bahkan kemudian, Hayeklebih ekstrem lagi dengan menyarankan untuk mengha-pus demokrasi.

Thatcher menggunakan diskursus yang memperten-tangkan, ‘pembayar pajak’ yang taat dengan para elitebirokratik yang mengekang kebebasan pembayar pajakmelalui penyalahgunaan kekuasaan negara, karenanya iaberhasil mengkonsolidasikan blok historis di sekeliling vi-si neoliberalnya dan mengubah secara drastis konfigurasikekuatan sosial dan ekonomi. Namun, pada titik terten-

� Friedrich Hayek, The Constitution of Liberty (Chicago: University of Chicago Press,����), hal. ��.

� Friedrich Hayek, The Road to Serfdom (London: Routledge, ����), hal. ��.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 57: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

tu, politik Thatcher dianggap terlalu memecah belaholeh Tories dan, setelah memenangkan tiga pemilu, keti-ka penerapan pajak perseorangan (poll tax) pada 1989menyebabkan pecahnya kekerasan jalanan, para politisiPartai Tories mendesak Thatcher untuk mengundurkandiri pada tahun 1990.

Meskipun demikian, pada saat itu, Margaret Tha-tcher telah berhasil mengunci revolusi neoliberalnya danketika dia meninggalkan pemerintahan, visi neoliberaltelah begitu mendarah daging di benak publik, bahkanketika Partai Buruh kembali berkuasa pada 1997 dengansosok Tony Blair, tetap tidak mampu melawan hegemo-ni neoliberal. Memang, seperti yang diperlihatkan Hall,seseorang menemukan semua diskursus kunci Thatcherdalam diskursus Partai Buruh Baru (New Labour):

‘para pembayar pajak’ (para pekerja keras yang

dipajaki berlebihan untuk mendanai kesejahte-

raan ‘pengemis’) dan ‘konsumen’ (ibu rumah

tangga beruntung dan ‘bebas’ melakukan pilihan

terbatasnya di pasar yang ‘pilihan’ dan persona-

lisasinya telah dirancang secara khusus). Tidak

ada yang pernah berpikir menjadi warga nega-

ra yang membutuhkan atau bergantung pada

layanan publik sekaligus.�

Tidak heran, beberapa tahun kemudian, ketika dita-nyakan pencapaian terbaiknya, Margaret Thatcher men-jawab: ‘Tony Blair dan Partai Buruh Baru. Kita memak-sa lawan kita untuk mengubah pemikiran mereka.’� Stuart Hall, ‘The Neoliberal Revolution’, dalam The Neoliberal Crisis, ed. Sally Davison

dan Katharine Harris (London: Lawrence & Wishart, ����), hal. ��.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 58: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

Ketundukan orang-orang ‘Partai Buruh Baru’ ter-hadap neoliberalisme diteorikan sebagai ‘jalan ketiga’,suatu bentuk politik yang ‘melampaui fragmentasi kiridan kanan’ dan dicitrakan sebagai konsepsi paling ma-ju dari ‘politik progresif’. Saat ini, formasi hegemonineoliberal tersebut telah berdiri kokoh. Kebutuhan akanbatas politik antara ‘kita’ dan ‘mereka’ dianggap seba-gai model politik usang dan ‘konsensus sebagai pusat’dirayakan sebagai langkah menuju bentuk demokrasimatang di mana antagonisme telah teratasi. Konsensusterhadap model ‘jalan ketiga’ ini kemudian diadopsi se-bagai kredo sosial-demokratik Eropa dan partai-partaisosialis. Menyusul runtuhnya model Uni Soviet, model‘jalan ketiga’ ini menjadi satu-satunya visi yang diterimaoleh kubu kiri demokratik, yang berarti menandakantransformasi penuh demokrasi sosial ke liberalisme so-sial. Kondisi ini menciptakan ruang bagi pemerintahanpascapolitik yang menyediakan kondisi bagi konsolidasihegemoni neoliberal di Eropa Barat.

Konsolidasi hegemoni neoliberal bersamaan denganbeberapa perubahan yang signifikan. Apabila ideologiThatcherisme merupakan kombinasi antara isu konse-rvatif Torisme dengan praktik ekonomi liberal, makaneoliberalisme yang menjadi hegemonik beberapa ta-hun belakangan ini berpaling dari ideologi konservatiftradisional. Untuk merespons transformasi dalam halmode regulasi kapitalisme yang berhubungan dengantransisi dari Fordisme ke pasca-Fordisme, formasi hege-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 59: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

moni neoliberal mengakomodir isu-isu budaya-tandingan(counterculture). Dalam bukunya The New Spirit of Ca-pitalism, Luc Boltanski dan Eve Chiapello menjelaskancara di mana, dengan dihadapkan pada tantangan yangdirepresentasikan oleh gerakan-gerakan baru, kapitalisberhasil menggunakan tuntutan-tuntutan otonomi ge-rakan tersebut dengan memanfaatkannya dalam perkem-bangan jaringan ekonomi pasca-Fordis dan mengubahnyamenjadi bentuk-bentuk kontrol baru.� Beberapa ben-tuk ‘kritik artistik’—istilah dari Boltanski dan Chiapellountuk merujuk pada strategi estetik budaya-tandinganyang meliputi pencarian akan autentisitas, manajemen-diri yang ideal, dan urgensi anti-hierarki—digunakan un-tuk mempromosikan kondisi-kondisi yang diprasyaratkanoleh mode baru regulasi kapitalis, yang menggantikankerangka pendisiplinan pada periode Fordis. Cara inimenciptakan kondisi yang baik untuk mengooptasi danmenetralkan pelbagai tuntutan gerakan sosial baru ialahdengan menggunakan mereka untuk meliberalkan buruhdan mempromosikan individualisme yang rakus.

Beberapa pemikir kiri sangat kritis terhadap Bol-tanski dan Chiapello, menuding keduanya sebagai pihakyang mengajukan gerakan budaya-tandingan sehinggabertanggung jawab atas kemenangan nilai-nilai neolibe-ral. Interpretasi seperti ini berdasarkan pada pemahamankeliru atas pendekatan mereka yang sebenarnya justru,dari perspektif hegemonik, seperti yang saya tunjukkan� Luc Boltanski and Eve Chiapello, The New Spirit of Capitalism (London and New York:

Verso, ����).

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 60: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

dalam Agonistics, memperkenankan kita untuk memvi-sualisasikan transisi dari Fordisme ke pasca-Fordismeyang dalam istilah Gramsci disebut ‘hegemoni melaluinetralisasi’ atau ‘revolusi pasif’.� Dengan istilah tersebut,Gramsci merujuk pada situasi di mana pelbagai tuntutanyang menantang tatanan hegemonik dihidupkan kembalioleh sistem yang ada, memuaskan mereka dengan caramenetralkan potensi subversifnya. Berkat proses ‘pem-balikan’ diskursus dan praktik kritik budaya-tandingan,kapital mampu melawan tantangan tersebut, bahwa tun-tutan bisa saja terepresentasikan dalam legitimasi kapitaldan untuk mengkonsolidasikan supremasinya.

Solusi tersebut berlaku untuk beberapa waktu, tetapisetelah beberapa tahun hegemoni yang tak terbantahkantersebut, saat ini neoliberalisme sedang memasuki krisis,dan kemungkinan terbuka bagi kubu kiri untuk mem-bangun tatanan hegemoni berbeda. Sebuah kesempatanyang tidak boleh dilewatkan dan untuk mengonsepsikanbagaimana melakukan intervensi terhadap krisis ini, sayamengusulkan untuk belajar dari strategi Thatcher. Mung-kin ini tampak sebagai provokasi, tetapi saya bukanlahorang pertama yang mengusulkannya—walaupun dalamkonteks yang berbeda, strategi ini juga diusulkan olehStuart Hall dalam bukunya The Hard Road to Renewal,di mana Hall menegaskan bahwa, berseberangan denganPartai Buruh, Thatcher mampu mengembangkan proyekpolitik hegemonik dengan memainkan rangkaian strategi� Chantal Mou�e, Agonistics: Thinking the World Politically (London and New York: Ver-

so, ����).

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 61: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

sosial dan ekonomi yang berbeda tanpa mengabaikandimensi ideologis.��

Krisis formasi hegemonik neoliberal akhir-akhir inimembuka kemungkinan intervensi untuk membanguntatanan yang berbeda. Kita harus mengikuti strategiThatcher, mengadopsi strategi populis tetapi dengan tu-juan progresif dan mengintervensi pelbagai sektor untukmembangun sebuah hegemoni baru yang bertujuan me-mulihkan dan memperdalam demokrasi. Momen populismembutuhkan jenis intervensi yang demikian.

Selagi krisis neoliberalisme menyediakan kesempat-an untuk membangun sebuah tatanan hegemonik baru,tidak ada jaminan bahwa tatanan yang baru ini akanmemberikan kemajuan demokratik secara signifikan danbahkan mungkin bersifat otoriter. Inilah kenapa keba-ruan ini krusial bagi kubu kiri untuk tidak mengulangipelbagai kesalahan di masa lalu. Sangat penting bagikubu kiri untuk melepaskan konsepsi politik esensialisyang mencegahnya dari memahami dimensi hegemonikdari politik.

Apa yang sangat dibutuhkan adalah strategi popu-lis kiri yang bertujuan mengonstruksi ‘rakyat’, yaknikombinasi pelbagai perlawanan demokratik terhadappascademokrasi untuk membangun formasi hegemonikmenjadi lebih demokratik. Upaya ini akan memerlukantransformasi relasi kuasa besar-besaran dan pembentuk-

�� Stuart Hall, ‘Learning from Thatcherism’, dalam The Hard Road to Renewal (New Yorkand London: Verso, ����), hal. ���. ’Learning from Thatcherism’ merupakan judul daribab ini.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 62: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

an praktik demokratik baru, tetapi saya berpendapatbahwa upaya tersebut tidak mensyaratkan pemutusan‘revolusioner’ dengan rezim demokrasi-liberal. Tidak di-sangsikan bahwa terdapat orang-orang di kubu kiri yangakan menganggap kemungkinan seperti ini tidak dapatdilaksanakan. Tetapi saya menandang bahwa pengalam-an Thatcherisme menunjukkan bahwa, dalam masyarakatEropa, adalah mungkin untuk melakukan transformasiatas tatanan hegemonik yang ada tanpa menyingkirkaninstitusi-institusi demokrasi-liberal.

Belajar dari Thatcherisme berarti menyadari bah-wa dalam krisis saat ini langkah yang harus dilakukanadalah membangun batas politik yang memutus kon-sensus pascapolitik antara kanan-moderat dengan kiri-moderat. Tanpa mendefinisikan lawan, serangan hege-monik tidak dapat dilakukan. Namun, justru langkahseperti ini yang tidak dapat dilakukan oleh partai-partaisosial-demokratik yang telah berpindah ke neoliberalisme.Alasannya karena partai sosial-demokratik percaya bah-wa demokrasi harus mencapai konsensus dan mungkinmenjalankan politik tanpa sebuah lawan (adversary).

Strategi populis kiri harus menantang pandanganseperti itu, tetapi relasi kuasa hari ini jelas-jelas ku-rang menguntungkan ketimbang keadaan yang kita telitidalam HSS. Selama tahun-tahun hegemoni neoliberal,banyak kemajuan sosial-demokratik berhasil dipereteli.Dan kita menyadari diri kita dalam situasi paradokskarena harus membela pelbagai institusi negara kesejah-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 63: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

teraan yang kita kritik sebelumnya karena tidak cukupradikal.

Pada saat krisis konsensus pascaperang, sosial de-mokrasi, walaupun telah dilemahkan oleh pertumbuhaninflasi dan resesi ekonomi, belum terkalahkan secaraideologis. Dan, seandainya sosial demokrasi mampu me-rancang strategi hegemonik yang tepat, ia mungkin ber-hasil mempertahankan kemajuan sosialnya. Banyak nilai-nilai demokratik yang merupakan unsur utama sosial-demokratik masih memiliki kekuatan dan hal ini masihmungkin membayangkan proyek kiri melalui radikali-sasi. Tentu saja radikalisasi bukan lagi persoalannya,tidak mungkin kita membayangkan untuk ‘meradikalkan’neoliberalisme. Sekarang, sebelum mampu meradikalkandemokrasi, terlebih dahulu harus memulihkannya.

Keadaan saat ini memerlukan pemutusan denganformasi hegemonik yang ada, dan hal inilah yang partai-partai sosial liberal tidak mampu lakukan. Partai-partaitersebut sudah terlalu terintegrasi dengan formasi hege-monik neoliberal dan diskursus reformis mereka tidakmemperkenankan mereka untuk membuat batas politikdan membayangkan visi alternatif. Supaya partai-partaiseperti itu bisa memberikan solusi atas krisis, dibutuhkantransformasi identitas dan strategi yang mendalam.

Sejak runtuhnya model Soviet, banyak sektor kiri ti-dak bisa membayangkan alternatif atas perspektif politikliberal selain daripada pekik revolusioner yang telah me-reka campakkan. Pandangan mereka bahwa model politik

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 64: ÈnX³x0 kX«X

B E L A J A R D A R I T A T C H E R I S M E

‘kawan/lawan’ tidak kompatibel dengan demokrasi plu-ralis dan demokrasi liberal bukanlah musuh yang perludisingkirkan justru harus diapresiasi. Tetapi pandanganseperti ini menyebabkan mereka menegasikan kebera-daan antagonisme sama sekali dan menerima konsepsiliberal yang mereduksi politik menjadi kompetisi antarpara elite di ruang yang netral. Saya percaya bahwa keti-dakmampuan untuk membayangkan strategi hegemonikadalah kelemahan utama partai-partai sosial-demokratik.Hal inilah yang menghalangi mereka dari memahamikemungkinan adversarial, suatu politik agonistik yangditujukan untuk membangun tatanan hegemonik yangberbeda dalam kerangka liberal-demokratik.

Untungnya terdapat beberapa pengecualian yang,sebagaimana dibuktikan dengan evolusi Partai BuruhInggris di bawah kepemimpinan Jeremy Corbyn, ia meng-implementasikan langkah yang sesuai dengan strategipopulis kiri. Berlawanan dengan sektor Partai Buruhyang ingin mempertahankan model konsensus sepertiprovokasi Tony Blair, para pengikut Corbyn dan gerak-an Momentum telah mengajukan pembentukan bataspolitik antara rakyat dan penguasa. Sangat jelas bah-wa untuk kampanye elektoral akhir-akhir ini, merekamenggunakan slogan Blairite ‘untuk orang banyak, bu-kan untuk segelintir orang’ (For the many, not the few),tetapi memaknai ulang dengan cara agonistik sepertipembentukan batas politik antara ‘kita’ dan ‘mereka’.

Dengan melakukan pemutusan gamblang dengan pas-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 65: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

capolitik kubu Blair, dan dengan merancang programradikal, Partai Buruh yang telah dipolitisasi ulang olehCorbyn mampu memenangkan kembali banyak pemilihyang kecewa dan memikat banyak pengikut dari anak-anak muda. Kemenangan ini membuktikan kapasitaspopulisme kiri untuk memberikan impuls baru bagi poli-tik demokratis.

Kenaikan signifikan dalam keanggotaan Partai Buruhdi bawah kepemimpinan Corbyn juga mengindikasikanbahwa, berlawanan dengan klaim banyak ilmuwan politik,‘bentuk’ partai belumlah usang dan ia bisa diaktivasi kem-bali. Tentu saja, Partai Buruh dengan hampir 600.000anggota, sekarang menjadi partai sayap-kiri terbesar diEropa. Fenomena ini menunjukkan bahwa ketidakpuasanyang dialami oleh partai-partai politik dalam beberapatahun terakhir merupakan konsekuensi dari kurangnyaalternatif pascapolitik yang ditawarkan kepada warganegara, dan situasi ini berubah ketika mereka diberikankemungkinan untuk mengetahui program radikalisasidemokrasi.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 66: ÈnX³x0 kX«X

�M E R A D I K A L I S A S ID E M O K R A S I

APA yang dimaksud dengan meradikalisasi demokrasi?Istilah ini yang perlu saya terangkan karena terdapatbanyak konsepsi demokrasi dan banyak kesalahpahamanserius mengemuka berkenaan dengan ‘demokrasi radi-kal dan plural’ yang kami bela dalam HSS. Beberapaorang percaya bahwa kami menghendaki pemutusan to-tal dengan demokrasi liberal dan pembentukan rezimyang sama sekali baru. Padahal, yang sebenarnya kamiperjuangkan adalah ‘radikalisasi’ prinsip-prinsip etika po-litik rezim demokrasi-liberal: ‘kebebasan dan kesetaraanuntuk semua’.

Dimensi penting dari proyek ini adalah memperta-nyakan keyakinan yang dianut oleh beberapa orang dikubu kiri bahwa untuk bergerak menuju masyarakat yanglebih adil, perlu melepaskan institusi-institusi demokrasi-liberal dan membangun politeia yang sama sekali baru,

Page 67: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

suatu komunitas politik baru. Kami menegaskan bahwa,dalam masyarakat demokratik, kemajuan demokrasi pen-ting dapat dilakukan melalui keterlibatan kritis denganinstitusi-institusi yang ada.

Persoalan yang terjadi dengan masyarakat demokrasimodern, dalam pandangan kami, adalah prinsip-prinsipkonstitutif berupa ‘kebebasan dan kesetaraan untuk se-mua’ tidak dipraktikkan. Tugas politik kiri adalah bukanmenyingkirkan prinsip tersebut melainkan menemukanimplementasi yang efektif. Oleh karena itu, ‘demokrasiradikal dan plural’ yang kita perjuangkan dapat dikon-sepsikan sebagai radikalisasi atas institusi-institusi demo-krasi yang ada, dengan hasil berupa prinsip kebebasandan kesetaraan dapat berlaku efektif dalam meningkat-kan kuantitas relasi sosial. Langkah ini tidak memerlukanpemutusan radikal-revolusioner, yang menyiratkan re-fondasi total. Sebaliknya, demokrasi radikal dan pluraldapat dicapai dengan cara hegemonik, melalui kritikimanen yang memobilisasi sumber-sumber simbolik daritradisi demokrasi.

Saya juga menganggap bahwa dalam mode kritik ima-nen inilah strategi populis kiri dapat turut serta untukmenantang pascademokrasi dan memulihkan sentralitasnilai-nilai demokrasi berupa kesetaraan dan kedaulat-an rakyat. Mode intervensi seperti ini mungkin terjadikarena, meskipun terdegradasi oleh neoliberalisme, nilai-nilai demokrasi masih memainkan peran yang signifikandalam imajinasi politik masyarakat kita. Lebih lanjut,

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 68: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

makna kritis dari nilai-nilai demokrasi tersebut dapatdiaktifkan kembali untuk menumbangkan tatanan hege-moni dan membentuk tatanan hegemonik yang berbeda.Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa banyak perlawan-an terhadap kondisi pascademokrasi diekspresikan atasnama kesetaraan dan kedaulatan rakyat.

Meskipun tak ada keraguan bahwa kemunduran sosialdan politik saat ini disebabkan oleh kebijakan neoliberal,perlu dicatat bahwa sebagian besar protes tersebut tidakberupa penolakan langsung terhadap kapitalisme finansi-al dan neoliberalisme, tetapi berupa dakwaan terhadapelite penguasa yang dipandang telah memberlakukan ke-bijakan yang menguntungkan kepentingan mereka sendiritanpa melakukan konsultasi publik.

Oleh karena itu, melalui bahasa demokrasi, banyakwarga negara dapat mengartikulasikan protes mereka.Tidak diragukan lagi bahwa target utama dari gerak-an seperti movement of the squares adalah kelemahan-kelemahan sistem politik dan institusi demokrasi. Ge-rakan tersebut tidak menyuarakan ‘sosialisme’, tetapimenyuarakan ‘demokrasi sejati’. Ingat moto Indignadosdi Spanyol: ‘Kita memiliki hak pilih, tetapi kita tidakmempunyai suara’ (We have a vote but we do not havea voice).

Menurut saya, mengimplementasikan strategi populiskiri dalam tradisi demokrasi merupakan langkah tepatkarena membangun hubungan dengan nilai-nilai poli-tik yang memang sentral bagi aspirasi-aspirasi politik.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 69: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

Fakta bahwa banyak sekali perlawanan terhadap pelba-gai bentuk opresi yang diekspresikan sebagai tuntutandemokrasi membuktikan peran krusial dimainkan olehpenanda ‘demokrasi’ dalam imajinasi politik. Tentu saja,penanda ini sering kali disalahgunakan, tetapi ia tidakkehilangan potensi radikalnya. Ketika digunakan seca-ra kritis, dengan menekankan dimensi egalitariannya,penanda tersebut menjadi senjata yang kuat dalam per-juangan hegemonik untuk membentuk perspektif publikyang baru. Gramsci menyarankan cara seperti ini ketikadia menyatakan bahwa ‘bukan tentang persoalan mem-perkenalkan dari awal suatu bentuk pemikiran sainstifikke kehidupan individu setiap orang, tetapi tentang mere-novasi dan membuat ‘kritis’ setiap aktivitas yang sudahada.’�

Untuk mengetahui peranan diskursus demokratik da-lam pembentukan subjektivitas politik, perlu kiranyamemahami bahwa identitas politik bukanlah ekspresilangsung dari posisi objektif dalam tatanan sosial. Hal inimemperlihatkan pentingnya pendekatan anti-esensialisdalam bidang politik. Sebagaimana ditegaskan dalamHSS, tidak ada yang natural atau pasti dalam perjuanganmelawan relasi kuasa, maupun dalam bentuk perjuanganlain yang akan diambil.

Perjuangan melawan bentuk subordinasi bukanlahakibat langsung dari situasi subordinasi itu sendiri. Su-paya relasi subordinasi dapat ditransformasikan menjadi

� Antonio Gramsci, Prison Notebooks (London: Lawrence & Wishart, ����), hal. ���.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 70: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

medan antagonisme, dibutuhkan keberadaan diskursus‘eksterior’ yang darinya diskursus subordinasi dapat diin-terupsi. Cara seperti ini yang membuat diskursus demo-kratik menjadi mungkin. Berkat diskursus demokratikinilah, yang menyediakan kosakata politik utama dalammasyarakat Barat, relasi subordinasi dapat dipersoalkan.

Kapan prinsip kebebasan dan kesetaraan menjadiacuan imajinasi demokratik? Perubahan penting dalamimajinasi politik masyarakat Barat terjadi pada saatyang oleh Tocqueville sebut ‘revolusi demokratik’. Seba-gaimana ditunjukkan oleh Claude Lefort, momen yangmenentukan bagi ‘revolusi demokratik’ adalah RevolusiPrancis dengan afirmasinya pada keabsolutan kekuasaanrakyat. Afirmasi tersebut menimbulkan model simbo-lik baru dari pelbagai institusi sosial yang memutuskerangka teologi-politik dan Declaration of the Rightsof Man, sehingga tersedia kosa kata untuk memperta-nyakan pelbagai bentuk ketidaksetaraan yang dianggaptidak absah.� Tocqueville melihat karakter subversif dariapa yang dia sebut ‘hasrat akan kesetaraan’ (passion forequality) ketika dia menulis:

Mustahil untuk percaya bahwa kesetaraan pada

akhirnya tidak akan merambah dunia politik se-

banyak ke domain lainnya. Tak mungkin untuk

membayangkan manusia sebagai orang yang se-

lamanya tidak setara di antara mereka sendiri

dalam satu titik tertentu, dan setara dalam ti-

� Claude Lefort, Democracy and Political Theory, terj. David Macey (Cambridge, UK: Po-lity Press, ����), bab �.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 71: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

tik lain; pada momen lain, mereka akan menjadi

setara dalam segala titik.�

Tentu saja, sebagai seorang aristokrat, Tocquevilletidak sedang merayakan datangnya era baru, tetapi diasadar akan keniscayaan datangnya era baru tersebut.Dan apa yang dia prediksi terbukti benar. Dari kritikterhadap politik ketidaksetaraan tersebut, ‘hasrat akankesetaraan’ ini memicu, melalui diskursus sosialis yangberbeda-beda dan pelbagai perjuangan yang dilakukan,untuk mempersoalkan ketidaksetaraan ekonomi, sehing-ga membuka babak baru bagi revolusi demokratik. De-ngan perkembangan ‘gerakan sosial baru’, suatu babaklanjutan terbuka, suatu babak di mana kita tinggali sa-at ini dicirikan dengan mempersoalkan pelbagai bentukketidaksetaraan.

Uniknya, setelah lebih dari 200 tahun, kekuatan ima-jiner demokrasi masih berlaku, mendorong pencarianakan kesetaraan dan kebebasan dalam pelbagai domainbaru. Namun, hal ini seharusnya tidak membuat kitapercaya bahwa kita sedang menyaksikan evolusi linierdan tak terhindarkan menuju masyarakat setara, sepertiyang ditunjukkan dengan jelas oleh tindak kejahatanBarat selama beberapa abad terakhir. Selain itu, sepertiyang telah saya tunjukkan, kebebasan dan kesetaraantidak pernah bisa terekonsiliasi secara sempurna dankeduanya selalu berada dalam ketegangan.

� Alexis de Tocqueville, De la démocratie en Amérique, vol. � (Paris: Flammarion, ����),hal. ���.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 72: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

Lebih penting lagi, keduanya hanya eksis dalam pel-bagai formasi hegemonik yang berbeda-beda, denganinterpretasi-interpretasi tertentu, di mana makna kedua-nya dapat dikontestasikan. Formasi hegemonik adalahkonfigurasi praktik sosial terhadap pelbagai ranah yangberbeda-beda: ekonomi, budaya, politik, dan hukum,yang artikulasinya dijamin di sekeliling beberapa penan-da simbolik kunci yang membentuk ’pendapat umum’dan memberikan kerangka normatif dari masyarakat yangterberi. Tujuan perjuangan hegemonik meliputi mendi-sartikulasi praktik hegemonik yang ada, melalui trans-formasi atas praktik tersebut dan memperbarui praktikhegemonik baru, membangun titik sentral (nodal points)dari formasi sosial hegemonik baru. Proses ini berfung-si sebagai langkah yang diperlukan dengan reartikulasipenanda-penanda hegemonik dan mode institusionalisasi.Mengartikulasikan demokrasi dengan hak-hak kesetaraansecara jelas, apropiasi sosial terhadap alat-alat produksidan kedaulatan rakyat akan menimbulkan politik yangsangat berbeda dan memberikan praktik sosial-ekonomiyang berbeda daripada ketika demokrasi diartikulasikandengan pasar bebas, kepemilikan pribadi, dan individu-alisme yang tidak terkekang. Kita telah menyaksikanbagaimana transisi hegemonik menuju neoliberalisme,Margaret Thatcher berhasil, berkat kapasitasnya dalammenguraikan artikulasi sosial-demokrat perihal kebebas-an dan kesetaraan, mempromosikan pemahaman barutentang nilai-nilai tersebut sehingga memungkinkan dia

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 73: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

untuk mengimplementasikan proyek neoliberalnya.Untuk memahami apa yang diperjuangkan dalam

transisi dari satu formasi hegemonik ke formasi hegemo-nik yang lain, perlu kiranya melakukan distingsi meto-dologis antara dua level analisis: prinsip-prinsip etiko-politik dari politeia liberal-demokratik dan pelbagai ben-tuk hegemoninya. Pembedaan semacam ini sangatlahpenting bagi politik demokrasi karena, dengan menying-kap pelbagai formasi hegemonik yang kompatibel dengansuatu bentuk masyarakat liberal-demokratik, membantukita untuk menggambarkan perbedaan antara transfor-masi hegemonik dan retakan revolusioner.

Masyarakat demokrasi-liberal mengandaikan adanyatatanan kelembagaan yang dilandasi oleh prinsip-prinsipetiko-politik yang membentuk legitimasi prinsip-prinsiptersebut. Tetapi hal ini membuka banyak cara di manaprinsip-prinsip tersebut diartikulasikan dan diinstitu-sionalisasikan dalam formasi hegemonik yang spesifik.Perjuangan dalam transformasi hegemonik adalah pem-bentukan suatu blok historis baru berdasarkan pada arti-kulasi yang beragam antara prinsip-prinsip politik yangmembentuk rezim demokrasi-liberal dan praktik-praktiksosial-ekonomi di mana keduanya diinstitusionalisasikan.Dalam konteks transisi dari satu tatanan hegemonik ketatanan hegemonik yang lain, prinsip-prinsip politik ter-sebut tetap berlaku tetapi keduanya diinterpretasikandan diinstitusionalisasikan dengan cara yang berbeda.Hal inilah yang tidak berlaku dengan ‘revolusi’ yang

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 74: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

dipahami sebagai pemutusan total dengan rezim politikdan pengadopsian prinsip-prinsip legitimasi yang samasekali baru.

Strategi populisme kiri berusaha membangun tata-nan hegemonik baru dalam kerangka demokrasi-liberalyang konstitusional dan populisme kiri tidak bertujuanuntuk melakukan pemutusan radikal dengan demokrasiliberal pluralis ataupun pembangunan tatanan politikyang sepenuhnya baru. Tujuan dari populisme kiri ada-lah pembentukan suatu kehendak kolektif, ‘rakyat’ yangberusaha mewujudkan formasi hegemonik baru untukmembangun kembali artikulasi antara liberalisme dandemokrasi yang telah disingkirkan oleh neoliberalisme,dengan menempatkan nilai-nilai demokrasi pada peranutama. Proses memulihkan dan meradikalkan institusi-institusi demokrasi, tidak diragukan lagi, akan menca-kup momen-momen keterpecahan dan konfrontasi de-ngan kepentingan ekonomi dominan, tetapi proses initidak memerlukan pelepasan prinsip-prinsip legitimasidemokrasi-liberal.

Strategi hegemoni semacam itu melibatkan institusi-institusi politik yang ada dalam rangka mentransforma-sikan prinsip-prinsip tersebut melalui prosedur demokrasidan menolak dilema palsu antara reformasi dan revolusi.Oleh karena itu, sangat jelas terdapat perbedaan baikdari strategi revolusioner ‘ekstrem kiri’ maupun darireformisme mandul dari para sosial-liberal yang hanyamencari pergantian kekuasaan belaka dalam pemerintah-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 75: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

an. Keduanya dapat disebut ‘reformisme radikal’ atau,mengikuti Jean Jaures, ‘reformisme revolusioner’ untukmengindikasikan dimensi subversif dari reformasi terse-but dan fakta bahwa apa yang keduanya perjuangkan,walaupun melalui saluran demokrasi, adalah transforma-si struktur relasi kuasa sosial-ekonomi secara mendalam.

Dalam spektrum apa yang biasanya dimengerti seba-gai ’kiri’, seseorang dapat membedakan tiga jenis poli-tik. Pertama adalah ’reformisme murni’ yang menerimabaik prinsip-prinsip legitimasi demokrasi liberal mau-pun formasi sosial hegemoni neoliberal. Kedua adalah‘reformisme radikal’ yang menerima prinsip-prinsip legi-timasi tersebut tetapi berusaha mengimplementasikanformasi hegemonik yang berbeda. Ketiga adalah ‘politikrevolusioner’ yang berusaha melakukan pemutusan to-tal dengan tatanan sosial-politik yang ada. Berdasarkankategori ketiga tersebut, kita menemukan tidak hanyapolitik Leninis tradisional tetapi juga tipe politik lain,seperti yang dimajukan oleh para anarkis atau penyo-kong ‘pemberontakan’ yang menolak total negara daninstitusi-institusi demokrasi-liberal.

Watak dan peran negara merupakan titik sentral di-vergensi antara ketiga bentuk politik ‘kiri’ tersebut. Pan-dangan reformis murni melihat negara sebagai institusinetral yang perannya adalah untuk merekonsiliasikankepentingan dari pelbagai kelompok sosial, politik re-volusioner memandang negara sebagai institusi opresifyang harus dilenyapkan, sedangkan perspektif reformis

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 76: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

radikal mempersoalkan negara dalam cara yang berbeda.Dengan mengambil pandangan dari Gramsci, perspektifreformis radikal memahami negara sebagai kristalisasirelasi kuasa dan medan perjuangan. Negara bukanlahmedia yang homogen tetapi sekumpulan agen dan fung-si yang tak seimbang, secara relatif diintegrasikan olehpraktik-praktik hegemonik yang terjadi di dalamnya.

Salah satu kontribusi penting Gramsci terhadap poli-tik hegemonik adalah konsepsinya tentang ‘negara inte-gral’, yang mengandung arti sebagai masyarakat politiksekaligus masyarakat sipil. Pandangan ini tidak bolehdipahami sebagai ‘negaraisasi’ (statization) masyarakatsipil, melainkan indikasi dari karakter politik masyara-kat sipil yang dipresentasikan sebagai medan perjuanganbagi hegemoni. Dalam pandangan ini, di samping apa-rat pemerintahan tradisional, negara juga tersusun daripelbagai aparat dan ruang publik di mana berbagai ke-kuatan yang berbeda-beda saling berkontestasi untukmerebut hegemoni.

Dianggap sebagai latar bagi intervensi agonistik, ru-ang publik tersebut dapat menyediakan ruang bagi ke-majuan demokrasi. Inilah mengapa strategi hegemonikharus melibatkan aparatur negara yang beragam tersebutsupaya dapat mentransformasikannya, sehingga menja-dikan negara sebagai kendaraan bagi pelbagai ekspresituntutan demokratik. Apa yang dipertaruhkan bukanlah‘melenyapkan’ (withering away) negara dan lembaga-lembaga yang melaluinya pluralisme diorganisir, tetapi

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 77: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

transformasi mendalam dari lembaga-lembaga tersebutuntuk melayani proses radikalisasi demokrasi. Tujuan-nya bukanlah perebutan kekuasaan negara, tetapi sepertiyang dikatakan Gramsci, ‘negara yang terus-menerusmenjadi ’ (becoming state).

Bagaimana memahami politik ‘radikal’ berdasarkanperspektif tersebut? Dalam arti tertentu, baik tipe politikrevolusioner maupun politik hegemonik dapat disebut‘radikal’ karena keduanya menghendaki suatu bentukpemutusan dengan tatanan hegemonik yang ada. Namun,pemutusan ini tidak memiliki sifat yang sama dan tidaktepat untuk menempatkan keduanya dalam kategori yangsama dengan label ‘ekstrem kiri’ seperti yang seringterjadi.

Bertentangan dengan apa yang kerap kali diklaim,strategi populis kiri bukanlah ikon dari ‘ekstrem kiri’melainkan cara berbeda dalam melihat pemutusan de-ngan neoliberalisme melalui pemulihan dan radikalisasidemokrasi. Langkah mutakhir oleh para pembela statusquo yang melabeli semua kritik terhadap neoliberalismesebagai ‘ekstrem kiri’, dan memandang ‘ekstrem kiri’ ter-sebut sebagai bahaya bagi demokrasi, merupakan upayatidak jujur untuk menghalangi segala jenis penentang-an terhadap tatanan hegemoni yang ada. Seolah-olahpilihannya terbatas pada menerima formasi hegemonineoliberal sebagai satu-satunya bentuk demokrasi liberalyang absah atau sama sekali menolak demokrasi liberal.

Menarik untuk dicatat bahwa kita menemukan dilema

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 78: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

yang sama pada mereka yang berada di kubu kiri yangmenegaskan bahwa radikalisasi demokrasi memerlukanpelepasan demokrasi liberal. Dalam beberapa kasus, di-lema yang keliru ini muncul dari kebingungan terhadapinstitusi politik demokrasi liberal dan mode produksikapitalis. Meskipun benar bahwa artikulasi semacam iniyang secara historis kita temui sejauh ini, tetapi artiku-lasi tersebut bersifat kontingen.

Meskipun banyak teoretikus liberal mengklaim bah-wa liberalisme politik mengharuskan liberalisme ekono-mi dan masyarakat demokratik mensyaratkan ekonomikapitalis, tetapi yang jelas tidak ada hubungan yangmutlak antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Yangpatut disayangkan adalah Marxisme berkontribusi padakebingungan ini dengan menganggap demokrasi liberalsebagai superstruktur kapitalisme. Sangat disesalkan bah-wa pendekatan ekonomistik seperti ini masih diterimadi beberapa kalangan kiri yang menyerukan penghan-curan terhadap negara liberal. Dalam kerangka prinsip-prinsip konstitutif negara liberal—pembagian kekuasaan,hak pilih universal, sistem multipartai dan hak-hak si-pil—dimungkinkan untuk memajukan seluruh tuntutandemokrasi saat ini. Perjuangan melawan pascademokrasitidaklah berupa penyingkiran terhadap prinsip-prinsiptersebut, melainkan mempertahankan dan meradikalkanprinsip tersebut.

Gagasan ini bukan berarti menerima tatanan kapita-lis sebagai satu-satunya kemungkinan, meskipun tetap

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 79: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

dalam kerangka politik demokrasi-liberal, politik refor-misme radikal yang saya perjuangkan tidak berarti dila-rang menantang relasi produksi kapitalis. Inilah mengapapenting untuk membedakan antara liberalisme politikdan liberalisme ekonomi.

Proses radikalisasi demokrasi harus mencakup dimen-si anti-kapitalis karena banyak bentuk subordinasi yangperlu ditentang merupakan konsekuensi dari relasi pro-duksi kapitalis. Namun, tidak ada alasan untuk mengang-gap bahwa kelas pekerja memiliki peran istimewa yang apriori dalam perjuangan anti-kapitalis. Terdapat banyaksimpul antagonisme antara kapitalisme dan pelbagaisektor kehidupan masyarakat, dan hal ini berarti bah-wa, ketika perjuangan ini dipandang sebagai perluasanprinsip-prinsip demokrasi, akan ada bermacam-macamperjuangan anti-kapitalis. Dalam beberapa kasus, pelba-gai perjuangan tersebut bahkan mungkin tidak dianggapsebagai perjuangan ‘anti-kapitalis’ oleh orang-orang yangterlibat di dalamnya dan banyak perjuangan yang di-lakukan atas nama kesetaraan dan dipahami sebagaiperjuangan untuk demokrasi.

Orang-orang tidak melawan ‘kapitalisme’ sebagai en-titas abstrak karena mereka percaya pada ‘hukum seja-rah’ menuju sosialisme. Justru selalu atas dasar situasikonkret itulah yang membuat mereka tergerak untukbertindak. Apabila mereka berjuang untuk kesetaraan,karena perlawanan mereka terhadap pelbagai bentukdominasi diinspirasi oleh nilai-nilai demokrasi dan me-

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 80: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

lalui nilai-nilai tersebut, dengan mengafirmasi aspirasidan subjektivitas mereka dan bukan atas nama anti-kapitalisme, orang-orang dapat dimobilisasi. Bahkan se-orang Marxis seperti David Harvey akan setuju denganperspektif ini; seperti yang dituliskan oleh Harvey: ‘Wa-tak neoliberalisme yang sangat anti-demokrasi dan didu-kung otoritarianisme neokonservatif inilah yang harusmenjadi fokus utama perjuangan sosial.’�

Kesalahan fundamental dari ‘ekstrem kiri’ adalahselalu mengabaikan pandangan tersebut. Para ‘ekstremkiri’ tidak mengamati bagaimana orang-orang dalam ke-nyataan, tetapi bagaimana mereka harus sesuai denganteori mereka. Sehingga, mereka memandang peran mere-ka adalah membuat orang-orang menyadari ‘kebenaran’tentang situasinya. Alih-alih menunjuk lawan dengancara di mana orang-orang dapat mengidentifikasinya, pa-ra ekstrem kiri menggunakan kategori abstrak sepertikapitalisme, sehingga mereka gagal memobilisasi dimensiafektif yang diperlukan untuk mendorong orang-orangsupaya bertindak politis. Mereka sebenarnya tidak pekaterhadap tuntutan orang-orang. Retorika anti-kapitalismereka tidak menemukan gaung dalam pelbagai kelom-pok yang kepentingannya pura-pura mereka wakili. Inilahkenapa mereka selalu berada dalam posisi marginal.

Tujuan strategi populis kiri adalah pembentukan ma-yoritas rakyat untuk merebut kekuasaan dan memba-ngun suatu hegemoni yang progresif. Tidak ada strategi� David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press,

����).

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 81: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

mutlak (blueprint) perihal bagaimana hal ini akan ter-jadi atau berakhir. Rantai ekuivalensi yang melaluinya‘rakyat’ akan dikonstruksikan bergantung pada keada-an historis. Dinamikanya tidak dapat ditentukan secaraterpisah dari semua referensi kontekstual.

Hal yang sama berlaku untuk suatu bentuk hegemonibaru yang ingin diwujudkan oleh strategi populis kiri ini.Yang menjadi persoalan bukanlah pembangunan ‘rezimpopulis’ dengan program-program yang telah ditentu-kan sebelumnya, tetapi pembentukan formasi hegemonikyang akan mempercepat pemulihan dan pendalaman de-mokrasi. Hegemoni ini akan menggunakan nama yangberbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Hegemoni inibisa dikonsepsikan sebagai ‘sosialisme demokratik’, ‘eko-sosialisme’, ‘demokrasi asosiatif’ atau ‘demokrasi partisi-patoris’; semuanya bergantung pada konteks dan tradisinasionalnya masing-masing.

Apapun namanya, yang penting adalah pengakuanbahwa ‘demokrasi’ menjadi penanda hegemonik yang disekelilingnya beragam perjuangan diartikulasikan danliberalisme politik tidak disingkirkan. Istilah yang tepatbisa berupa ‘sosialisme liberal’ yang dengan istilah ini,Norberto Bobbio merujuk pada formasi sosial yang me-ngombinasikan institusi-institusi demokrasi-liberal dankerangka ekonomi dengan beberapa karakter sosialis.

Memahami sosialisme sebagai demokratisasi negaradan ekonomi, Bobbio menegaskan dalam beberapa karya-nya di mana dia membahas artikulasi antara sosialisme

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 82: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

dan demokrasi liberal yang hasilnya berupa sosialismedemokratik harus mengandung nilai-nilai liberal.� De-ngan menggambarkan tujuan sosialisme sebagai upayamemperdalam nilai-nilai demokrasi liberal, Bobbio bersi-kukuh bahwa untuk merealisasikan tujuan tersebut tidakmensyaratkan pemutusan dengan pemerintahan konstitu-sional dan aturan hukum. Dia dengan tegas membela idebahwa tujuan-tujuan sosialis dapat diwujudkan dalamkerangka demokrasi liberal, dengan bersikeras bahwa tu-juan tersebut hanya dapat diwujudkan dalam kerangkaseperti itu.

Digambarkan dengan cara seperti itu, proyek radika-lisasi demokrasi berbagi beberapa karakteristik dengandemokrasi sosial sebelum terjadi konversi ke liberalismesosial, tetapi hal ini bukan sekedar kembali ke modelpascaperang yang mengompromikan kapital dengan bu-ruh. Perbandingan semacam ini tidak akan berlaku lagi.Selain keharusan mempertimbangkan tuntutan-tuntutandemokratik baru, pembelaan terhadap isu lingkunganmenjadi salah satu alasan mengapa kembali ke model pa-scaperang tidaklah mungkin dilakukan. Dengan mengede-pankan tuntutan konsumen dan pertumbuhan ekonomi,solusi Keynesian menjadi motor penggerak kerusakanlingkungan. Seperti yang akan saya utarakan dalam babberikutnya, untuk menghadapi tantangan krisis ekolo-gi, proyek demokrasi radikal harus mengartikulasikan

� Lihat, misalnya, Norberto Bobbio, The Future of Democracy: A Defence of the Rules ofthe Game, terj. Roger Gri�n (London: Polity Press, ����) dan Which Socialism?: Ma-rxism, Socialism and Democracy, terj. Roger Gri�n (London: Polity Press, ����).

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 83: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

persoalan-persoalan ekologi dan sosial. Sebuah keharusanuntuk mengonsepsikan suatu sintesis baru antara pelba-gai konsep kunci demokrasi dan tradisi sosial di sekelilingpembangunan model baru ini.

Seperti yang telah saya tunjukkan di awal bab ini,terdapat banyak konsep demokrasi radikal, dan perbeda-an dan ketidaksepakatan perihal konsep-konsep tersebutpatut untuk dipertimbangkan. Ketidaksepakatan yangprinsipil antara definisi saya dan beberapa teoretikusyang lain menyangkut persoalan demokrasi representatif,yang kerap kali dianggap sebagai oksimoron oleh bebe-rapa teoretikus demokrasi liberal. Misalnya, beberapadari mereka mengklaim bahwa gerakan-gerakan protesyang kita saksikan beberapa tahun terakhir menandakankematian demokrasi representatif dan menggambarkankebutuhan akan demokrasi non-representatif, ‘suatu de-mokrasi in actu’. Dalam buku Agonistics, saya telahmengkritik pandangan ini dan menyatakan bahwa kitatidak sedang menghadapi krisis demokrasi representatif‘per se’ tetapi krisis inkarnasi pascademokrasi.�

Krisis ini disebabkan oleh absennya konfrontasi ago-nistik dan solusinya tidak bisa dengan pembentukan de-mokrasi ‘non-representatif’. Bertentangan dengan idebahwa perjuangan ekstra-parlementer menjadi satu-satunya kendaraan untuk memajukan demokrasi, sayaberpendapat bahwa, ketimbang strategi pembelotan daneksodus yang dimajukan oleh Michael Hardt dan Antonio� Chantal Mou�e, Agonistics: Thinking the World Politically (London and New York: Ver-

so, ����), bab �.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 84: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

Negeri, apa yang dibutuhkan adalah strategi ‘keterlibat-an’ dengan negara dan institusi-institusi representatifdengan tujuan melakukan perubahan mendasar.

Menarik untuk disimak bahwa dalam Assembly,Hardt dan Negri telah mengubah posisi mereka sehu-bungan dengan strategi eksodus. Sekarang keduanyamengungkapkan bahwa Multitude seharusnya tidak me-nempuh jalan eksodus dan pengambilalihan, tetapi kedu-anya menekankan pentingnya ‘untuk merebut kekuasaandengan cara yang berbeda’.� Arti dari pernyataan Hardtdan Negri tersebut tidak terlalu jelas dan dalam pelba-gai hal kedua tampaknya tidak meninggalkan gagasanmereka bahwa Multitude dapat mengatur dirinya sendi-ri secara otomatis. Apabila mereka saat ini mengakuiperanan kepemimpinan, mereka berpendapat bahwa halitu harus dibatasi pada soal pembuatan keputusan tak-tis, sementara yang strategis harus dipersiapkan untukMultitude. Sebagaimana pernyataan mereka:

‘Kepemimpinan’ harus tetap menjadi subordinat

dari multitude, ditugaskan dan diberhentikan se-

suai kesempatan. Apabila para pemimpin masih

dibutuhkan dan mungkin dalam konteks ini, itu

hanya karena mereka melayani multitude yang

produktif. Hal Ini bukanlah penghapusan kepe-

mimpinan, tetapi pembalikan hubungan politik

yang membentuknya, suatu pembalikan polari-

tas yang menghubungkan gerakan horizontal dan

kepemimpinan vertikal.�

� Michael Hardt danAntonioNegri,Assembly, (NewYork: OxfordUniversity Press, ����),hal. ���.

� Ibid., hal. xv.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 85: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

Mereka mengklaim, berkat pembalikan tersebut,mampu mengatasi persoalan yang dihadapi oleh semuajenis populisme, baik itu populisme kiri maupun popu-lisme kanan, yang ‘dicirikan oleh suatu paradoks utama:berbasa-basi terus-menerus kepada kekuatan rakyat, te-tapi kendali penuh dan pengambilan keputusan dilaku-kan oleh sekelompok kecil politisi’.�

Inti dari perspektif Hardt dan Negri adalah gagasantentang ‘yang publik’ (the common), didefinisikan secarabertentangan dengan kepemilikan baik pribadi maupunpublik, yang merupakan kunci utama dari pendekatankeduanya. Dalam hal ini, Assembly mengikuti analisis-analisis mereka sebelumnya dalam Commonwealth, dimana mereka berpendapat bahwa produksi bio-politikmenciptakan kondisi bagi demokrasi multitude karenamenghasilkan pelbagai bentuk subjektivitas ekonomi danpolitik yang merupakan suatu ekspresi dari ‘yang publik’.Ketika buruh semakin bertanggungjawab untuk meng-hasilkan kerja sama tanpa intervensi kapital, produksibio-politik menyokongnya dengan kekuatan-kekuatan de-mokratik baru. Oleh karena itu, menurut mereka, suatumasyarakat yang dibangun berdasarkan prinsip ‘yangpublik’ telah berkembang melalui proses informatisasidan pengembangan kapitalisme kognitif.

Terlepas dari nilai analisis mereka tentang prosesproduktif, yang telah dikritik dari pelbagai sudut, yangmenjadi problematik dalam perayaan mereka terhadap

� Ibid., hal. ��.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 86: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

‘yang publik’ adalah gagasan bahwa ‘yang publik’ terse-but menjadi prinsip utama organisasi masyarakat. Per-soalan utama dari perayaan terhadap ‘yang publik’ ini,yang ditemukan—meskipun dalam bentuk yang bera-gam—dalam karya para teoretikus adalah bahwa, denganberlandaskan pada konsepsi multiplisitas yang bebas da-ri negativitas dan antagonisme, ‘yang publik’ tersebuttidak memberikan ruang pada pengakuan akan watak he-gemonik dari tatanan sosial yang niscaya. Dalam konteksHardt dan Negri, penolakan keduanya terhadap repre-sentasi dan kedaulatan bersumber dari ontologi imanensiyang jelas-jelas bertentang dengan hal yang melandasikonsepsi saya tentang demokrasi radikal.

Kritik terhadap representasi juga dapat ditemukandalam perspektif lain untuk meradikalkan demokrasi.Dalam kasus ini, praktik pemilihan kuno dengan caralotre, penyortiran, dimajukan oleh berbagai teoretikussebagai solusi untuk mengatasi krisis representasi yangsaat ini mempengaruhi masyarakat demokratis kita. Pa-ra penyokong praktik pemilihan kuno ini mengklaimbahwa demokrasi representatif dirancang untuk memi-sahkan rakyat dari kuasanya dan satu-satunya cara untukmembangun tatanan demokrasi yang sebenarnya adalahdengan meninggalkan model elektoral dan menggantinyadengan sistem lotre.��

Pandangan tersebut cacat karena mereduksi repre-sentasi menjadi sekadar pemilihan dan tidak memahami�� Lihat, misalnya, David Van Reybrouck, Against Elections: The Case for Democracy, terj.

Liz Waters (London: Vintage, ����).

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 87: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

peranan representasi dalam demokrasi pluralis. Masyara-kat dipecah dan disaling-silangkan oleh relasi kuasa danantagonisme, dan lembaga perwakilan memainkan peranpenting dalam memungkinkan pelembagaan dimensi kon-fliktual ini. Misalnya, dalam demokrasi pluralis, partaipolitik memberikan kerangka diskursif yang memungkin-kan orang-orang memahami dunia sosial di mana merekaberada dan mengetahui kesalahan-kesalahannya.

Apabila kita percaya bahwa kesadaran agen sosialbukan merupakan ekspresi langsung dari posisi ‘objektif’-nya dan kesadaran tersebut selalu terbentuk secara dis-kursif, maka jelas bahwa subjektivitas politik akan diben-tuk oleh pelbagai diskursus politik yang saling berkom-petisi dan partai berperan penting dalam pengembangansubjektivitas tersebut. Partai memberikan penanda sim-bolik yang memungkinkan orang untuk menempatkandiri mereka di dunia sosial dan memberi makna padapengalaman hidup mereka. Namun, dalam beberapa ta-hun belakangan, ruang simbolik tersebut telah direbutoleh diskursus lain dengan pelbagai wataknya, dan kon-disi ini menimbulkan dampak negatif bagi masyarakatdemokratis. Akibat kembalinya pascapolitik, partai ke-hilangan kekuatan untuk memainkan peran simbolik,tetapi situasi ini tidak lantas membuat kita menyimpul-kan bahwa demokrasi dapat berjalan tanpa keberadaanpartai. Seperti yang telah berulang kali saya kemukakan,suatu masyarakat demokratis yang plural—yang tidakmemandang pluralisme dalam bentuk anti-politik yang

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 88: ÈnX³x0 kX«X

M E R A D I K A L I S A S I D E M O K R A S I

harmonis dan di mana kemungkinan antagonisme yangselalu ada diakui—tidak dapat eksis tanpa representasi.

Suatu pluralisme yang efektif mensyaratkan adanyakonfrontasi agonistik antar pelbagai proyek hegemonik.Melalui representasi itulah subjek politik kolektif dicip-takan; mereka tidak ada sebelumnya. Daripada berusahamencari solusi atas krisis demokrasi dalam model sepertilotre, yang tidak memahami sifat kolektif dari subjekpolitik dan mendorong pelaksanaan demokrasi berdasar-kan pada sudut pandang individual, hal yang mendesakadalah memulihkan dinamika agonistik yang bersifat kon-stitutif terhadap demokrasi. Alih-alih menjadi langkahtepat untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik, pe-milihan dengan lotre justru mempromosikan visi politiksebagai medan di mana individu, yang tidak terbebanioleh relasi sosial yang konstitutif, akan mempertahankanopininya masing-masing.

Persoalan utama dari lembaga-lembaga perwakilanadalah tidak membolehkan konfrontasi agonistik antarpelbagai proyek masyarakat yang berbeda-beda dan men-jadi prasyarat utama bagi terlaksananya demokrasi. Ku-rangnya konfrontasi agonistik inilah, bukan fakta repre-sentasi, yang merampas hak suara warga negara. Mem-perbaikinya bukan dengan menyingkirkan representasi,tetapi membuat institusi-institusi kita lebih representatif.Tentu saja, inilah tujuan dari strategi populis kiri.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 89: ÈnX³x0 kX«X
Page 90: ÈnX³x0 kX«X

�P E M B E N T U K A NK O A L I S IR A K Y A T

KETIKA Ernesto Laclau dan saya menulis HSS, tantang-an bagi politik sayap-kiri adalah memahami tuntutan-tuntutan pelbagai ‘gerakan baru’ dan perlunya mengarti-kulasikan tuntutan tersebut di samping tuntutan buruhyang lebih tradisional. Saat ini, pengakuan dan legiti-masi atas tuntutan tersebut telah mengalami kemajuanyang signifikan dan banyak dari tuntutan tersebut te-lah terintegrasi dengan agenda gerakan kiri. Faktanyaadalah bahwa situasi hari ini berseberangan dari yangkita kritik tiga puluh tahun lalu, dan tuntutan-tuntutan‘kelas pekerja’ hari ini telah ditinggalkan.

Perbedaan lain antara neoliberalisme hari ini dansebelumnya adalah ia merupakan cikal bakal bagi kemun-culan banyak antagonisme baru, seperti yang muncul daripenyingkiran negara kesejahteraan, mempengaruhi pel-bagai sektor kehidupan. Sebagian antagonisme tersebut

Page 91: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

disebabkan fenomena yang oleh David Harvey disebutsebagai ‘akumulasi dengan perampasan’ (accumulationby dispossession). Melalui istilah ini, Harvey mengacupada sentralisasi kekayaan dan kekuasaan pada segelintirorang melalui pelbagai praktik neoliberalisme sepertiprivatisasi dan finansialisasi. Harvey menggarisbawahikebaruan perjuangan yang memunculkan praktik-praktiktersebut:

Akumulasi dengan perampasan mengharuskan

serangkaian praktik yang sangat berbeda dari

akumulasi melalui ekspansi tenaga kerja di sek-

tor industri dan agrikultur. Yang terakhir, da-

pat mendominasi proses akumulasi kapital pada

1950-an dan 1960-an, memunculkan budaya opo-

sisi (seperti tertanam dalam serikat buruh dan

partai politik kelas buruh) yang menghasilkan

liberalisme. Pada sisi lain, perampasan terfrag-

mentasi dan bersifat partikular—privatisasi di

sini, degradasi lingkungan di sana, krisis finansial

akibat hutang di tempat lain.�

Dari perspektif teoretis yang lain, kemunculan an-tagonisme baru tersebut juga digarisbawahi oleh parateoretikus terkait efek dari bentuk pemerintahan bio-politik neoliberal yang meresap ke dalam semua linikehidupan.

Tidak ada keraguan bahwa di bawah neoliberalisme,medan konflik meluas secara signifikan. Dalam arti kon-disi ini memberikan kesempatan karena jumlah orang� David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (New York: Oxford University Press,

����), hal. ���.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 92: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

yang terdampak oleh kebijakan neoliberal jauh lebih ba-nyak ketimbang orang-orang yang biasanya dianggapsebagai pemilih kiri tradisional. Oleh karena itu, proyekradikalisasi demokrasi dapat menarik para konstituenyang sejauh ini tidak teridentifikasi dengan kubu kiri,dan berkat politik hegemonik yang tepat, lebih banyakorang bisa direkrut untuk membangun alternatif pro-gresif ketimbang sebelumnya. Namun demikian, hal inijuga membuat artikulasi tuntutan demokratik dalamsebuah kehendak kolektif menjadi lebih kompleks karenakita sekarang sedang dihadapkan dengan keragaman danheterogenitas yang lebih besar.

Tantangan bagi strategi populis kiri adalah mene-kankan kembali pentingnya ‘persoalan sosial’, denganmempertimbangkan peningkatan fragmentasi dan kera-gaman ‘buruh’ tetapi juga kekhasan pelbagai tuntut-an demokratik. Pertimbangan tersebut mensyaratkanpembentukan ‘rakyat’ di sekitar proyek yang mengatasipelbagai bentuk subordinasi seperti persoalan-persoalanyang berkaitan dengan eksploitasi, dominasi atau diskri-minasi. Penekanan khusus harus juga diberikan kepadapersoalan yang telah mendapatkan relevansi khusus da-lam tiga puluh tahun terakhir dan juga persoalan yangmendesak hari ini: masa depan planet.

Mustahil membayangkan proyek radikalisasi demokra-si tanpa menjadikan ‘persoalan ekologis’ sebagai agendautama. Maka penting untuk mengombinasikan isu ekolo-gis dengan persoalan sosial. Tidak diragukan lagi, kom-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 93: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

binasi ini akan membutuhkan perubahan besar dalamcara hidup kita dan berbagai macam perlawanan ha-rus diatasi. Untuk meninggalkan model produktivis danmengimplementasikan transisi ekologis akan memerlukanmodel Gramscian yang sebenarnya, ‘reformasi intelektu-al dan moral’. Reformasi tentu saja tidak akan mudah,tetapi proyek ekologis yang ambisius dan terencana de-ngan baik dapat menawarkan visi atraktif tentang masadepan masyarakat demokrasi yang mungkin menarik be-berapa sektor yang saat ini berada dalam blok hegemonineoliberal.

Sering kali dikatakan bahwa perpecahan utama yangterjadi dalam masyarakat kita adalah antara mereka‘yang kalah’ dan ‘yang menang’ dari globalisasi neolibe-ral, seolah kepentingan keduanya tidak dapat direkonsi-liasikan. Patahan seperti ini memang ada dan terdapatantagonisme nyata antara dua kubu, sebuah antagonismeyang tidak dapat digambarkan secara sederhana sebagaikonfrontasi antara kubu 99% dan golongan 1%. Meskipundemikian, saya percaya bahwa di antara sektor-sektoryang memperoleh manfaat dari model neoliberal, bebera-pa mungkin menyadari bahaya besar yang ditimbulkan-nya terhadap lingkungan dan dapat dimenangkan untukproyek masyarakat yang akan menjamin masa depanmanusia bagi keturunan mereka. Harapannya, denganmengajukan perjuangan kontra-hegemonik melawan mo-del neoliberal atas nama nilai-nilai demokrasi dan ekologimungkin membantu untuk menyingkirkan blok historis

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 94: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

di mana neoliberalisme bercokol, sehingga mampu mem-perluas jangkauan kehendak kolektif demokratik yangradikal.

Saya menyadari bahwa di antara orang-orang yangmendukung radikalisasi demokrasi tidak menganggapperlu atau bahkan tertarik untuk mengartikulasikanpelbagai perjuangan ke dalam suatu kehendak kolek-tif. Faktanya, keberatan yang sering dilontarkan kepadastrategi populis kiri adalah bahwa dengan memperte-mukan bermacam-macam tuntutan demokratik ke dalampembentukan suatu koalisi ‘rakyat’ akan menghasilkansubjek yang homogen, suatu subjek yang menegasikanpluralitas. Setiap usaha untuk menghasilkan subjek yanghomogen harus ditolak karena hal ini akan menghilang-kan kekhasan aneka perjuangan. Keberatan lain yangsedikit berbeda adalah ‘rakyat’ sebagai konsep yang di-majukan populisme sedari awal dipandang sebagai enti-tas homogen dan perspektif ini tidak kompatibel denganpluralisme demokrasi.

Keberatan-keberatan tersebut berasal dari kegagalan(atau penolakan?) untuk memahami bahwa strategi po-pulis kiri berlandaskan pada pendekatan anti-esensialis dimana ‘rakyat’ bukanlah rujukan empiris, tetapi konstruk-si politik diskursif. Artikulasi performatifnya tidak eksissebelumnya dan tidak dapat dipahami melalui kategori-kategori sosiologis. Kritik-kritik tersebut menyingkapkurangnya pemahaman terhadap operasi yang melalu-inya rakyat dikonstruksikan. Karena kehendak kolektif

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 95: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

dibentuk melalui rantai ekuivalensi, maka rakyat bukan-lah subjek homogen di mana semua perbedaan, entahbagaimana, direduksi menjadi satu kesatuan.

Kita tidak sedang berhadapan, seperti yang kerapkali diklaim, dengan ‘massa’ seperti yang dipahami olehGustave Le Bon, di mana semua perbedaan lenyap untukmembentuk kelompok yang sepenuhnya homogen. Seba-gai gantinya, kita menemukan diri kita dalam sebuahproses artikulasi di mana ekuivalensi dibangun di antarapelbagai tuntutan dengan cara mempertahankan perbe-daan internal antar kelompok. Seperti yang dijelaskanoleh Ernesto Laclau, ‘tiap tuntutan individu secara kon-stitutif terbagi: pada satu sisi, tuntutan individu tersebutmemiliki sifat partikular pada dirinya sendiri; pada sisilain, ia terpaut, melalui hubungan ekuivalensial, dengantotalitas dari tuntutan-tuntutan yang lain.’�

Sebagaimana Laclau dan saya telah tekankan beru-lang kali, relasi ekuivalensi bukanlah penyatuan di manasemua perbedaan runtuh menjadi identitas, tetapi semuaperbedaan masih tetap berlaku. Jika perbedaan semacamini dihilangkan, maka jatuhnya bukan ekuivalensi tetapisuatu identitas sederhana. Hanya sejauh perbedaan de-mokratis bertentangan dengan pelbagai kekuatan ataudiskursus yang meniadakan semuanya, perbedaan terse-but dapat saling menggantikan satu sama lain. Inilahkenapa pembentukan kehendak kolektif melalui rantaiekuivalensi menuntut keberadaan ‘lawan’ (adversary).� Ernesto Laclau, ‘Populism: What’s in a Name?’, dalam Populism and the Mirror of De-

mocracy, ed. Francisco Panizza (New York and London: Verso, ����), hal. ��.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 96: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

Langkah seperti ini diperlukan untuk menggambarkanbatas politik yang memisahkan ‘kita’ dari ‘mereka’, yangmemang penting dalam pembentukan koalisi ‘rakyat’.

Saya ingin menekankan bahwa ‘rantai ekuivalensi’bukan sekadar koalisi antar pelbagai subjek politik yangada. Kita juga tidak berurusan dengan situasi di manarakyat yang sudah terbentuk menghadapi lawan yangsudah ada sebelumnya. Rakyat dan batas politik yangmenentukan lawannya melalui perjuangan politik, dankeduanya selalu rentan terhadap pengartikulasian ulangmelalui intervensi kontra-hegemonik. Tuntutan-tuntutandemokratik yang hendak strategi populis kiri artikula-sikan bersifat heterogen dan inilah mengapa tuntutantersebut harus diartikulasikan dalam sebuah rantai ekui-valensi.

Proses artikulasi tersebut sangatlah penting kare-na keberadaan pelbagai tuntutan tersebut dalam rantaiekuivalensi yang membuat tuntutan-tuntutan individumemperoleh penanda politiknya. Yang penting bukanlahdari mana datangnya tuntutan itu, tetapi bagaimanatuntutan itu diartikulasikan dengan tuntutan lain. Se-perti contoh dari populisme kanan yang membuktikanbahwa tuntutan-tuntutan untuk demokrasi bisa diarti-kulasikan dalam kosakata yang xenofobik dan secaraotomatis tuntutan tersebut tidak memiliki karakter pro-gresif. Hanya dengan terlibat dalam rantai ekuivalensidengan tuntutan-tuntutan demokratik lain, seperti paraimigran dan feminis, tuntutan tersebut memperoleh di-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 97: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

mensi demokrasi radikal. Hal ini tentu saja juga berlakuuntuk tuntutan dari perempuan, imigran atau kelompoklain yang didiskriminasi.

Kita seharusnya tidak menerima begitu saja bahwaterdapat pelbagai perjuangan yang secara inheren ber-sifat emansipatoris dan tidak dapat berorientasi padatujuan yang berlawanan. Perkembangan mutakhir ben-tuk ekologi dengan karakteristik antidemokratik yangjelas harus dipandang sebagai suatu peringatan bahwapenolakan terhadap model neoliberal bukan jaminankemajuan demokratik. Dengan ekologi, seperti dalamdomain yang lain, persoalan artikulasi sangatlah menen-tukan dan inilah kenapa sangat penting untuk memba-ngun hubungan antara persoalan ekologis dan persoalansosial di sekitar identifikasi dengan proyek radikalisasidemokrasi.

Bagaimana menjelaskan identifikasi dengan demokra-si radikal dalam cara yang kongruen dengan klaim awalsaya bahwa rantai ekuivalensi tidak menghasilkan subjekyang homogen? Untuk menjawab secara tepat perta-nyaan tersebut mensyaratkan adanya konsepsi tentangagen sosial sebagai hal yang terkonstruksi dalam pelba-gai diskursus yang spesifik yang berhubungan denganpelbagai relasi sosial di mana agen-agen tersebut berada.Di antara relasi sosial tersebut, terdapat satu hal yangterkait dengan masuknya agen sosial dalam komunitaspolitik—yaitu posisinya sebagai ’warga negara’.

Hanya sebagai warga negara, seorang agen sosial me-

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 98: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

lakukan intervensi pada tingkat komunitas politik. Mes-kipun menjadi kategori sentral dalam demokrasi liberalpluralis, kewargaan dapat dipahami dalam pelbagai ma-cam cara yang memiliki pelbagai konsepsi politik yangsangat berbeda-beda. Liberalisme memandang kewar-gaan sebagai sekadar status legal dan melihat warganegara sebagai individu yang mengemban hak-hak, yangbebas dari segala identifikasi dengan ‘kita’. Namun, da-lam tradisi demokrasi, kewargaan dikonsepsikan sebagaiketerlibatan aktif dalam komunitas politik, yang ber-peran aktif sebagai bagian dari ‘kita’, sesuai dengankonsepsi dari kepentingan umum. Inilah mengapa meng-ajukan konsepsi demokrasi radikal tentang kewargaanmerupakan kunci dalam melawan pascademokrasi.

Untuk mengembangkan konsepsi semacam itu, ki-ta mungkin menemukan sumber inspirasi dalam tradisikewargaan republikan dengan penekanannya pada parti-sipasi aktif dalam komunitas politik. Ketika direformu-lasikan dalam suatu cara yang memberikan ruang bagipluralisme, republikanisme kewargaan dalam versi ‘plebe-ian’ (rakyat jelata) yang diilhami oleh Machiavelli dapatberkontribusi untuk menegaskan kembali pentingnya tin-dakan kolektif dan nilai publik yang telah berada dalamkungkungan selama tahun-tahun hegemoni neoliberal.

Pandangan liberal dan demokrasi selalu berada da-lam kondisi perselisihan tetapi, selama periode negarakesejahteraan Keynesian, individualisme liberal diken-dalikan oleh praktik-praktik sosial-demokratik. Secara

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 99: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

umum, nalar publik sosial-demokrasi tetap bertahan,hingga digerogoti oleh serangan neoliberal. Kita telahmelihat bagaimana di bawah Thatcherisme, warga negaradigantikan oleh ‘pembayar pajak’, ide politik kebebasandiartikulasikan bersama dengan ide ekonomi pasar be-bas dan demokrasi direduksi menjadi sekadar prosedurelektoral. Pertarungan krusial dalam perjuangan kontra-hegemoni melawan hegemoni neoliberal adalah berupamemaknai ulang yang ‘publik’ sebagai domain di manawarga negara dapat bersuara dan melaksanakan hak-haknya, menggantikan konsepsi individualistik dan do-minan saat ini tentang warga negara sebagai ‘konsumen’yang merupakan konsep sentral dari visi pascademokrasi.

Dalam buku The Return of the Political,� saya meng-ajukan konsepsi kewargaan sebagai ‘tata laku’ (grammarof conduct) yang diperintah oleh prinsip-prinsip etikapolitik dari politeia demokrasi liberal: kebebasan dankesetaraan untuk semua. Karena prinsip-prinsip terse-but dapat diinterpretasikan dalam pelbagai cara yangberbeda-beda, terdapat banyak cara di mana seseorangdapat mengidentifikasi dan bertindak sebagai warga ne-gara demokratik. Konsepsi kewargaan sosial-demokratik,misalnya, mengistimewakan perjuangan untuk hak-haksosial dan ekonomi, sementara interpretasi demokrasiradikal menyoroti banyaknya relasi sosial lain di manarelasi dominasi eksis dan harus ditantang untuk mengim-plementasikan prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan.� Chantal Mou�e, The Return of the Political (New York and London: Verso, ����), bab

�.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 100: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

Dengan dipahami sebagai yang menyediakan identifikasibersama bagi orang-orang yang terlibat dalam perjuang-an demokratik yang beragam, konsepsi radikal demokrasiperihal kewargaan dapat menjadi lokus konstruksi ‘rak-yat’ melalui rantai ekuivalensi. Dengan mengidentifikasisebagai warga negara yang tujuan politiknya adalah radi-kalisasi demokrasi merupakan hal yang akan menyatukanagen-agen sosial, yang mungkin terlibat dalam banyakperjuangan berbeda-beda tetapi ‘tata laku’-nya, ketikabertindak sebagai warga negara, diatur oleh prinsip-prinsip etiko-politik kebebasan dan kesetaraan untukmencakup relasi sosial yang luas.

Di samping persoalan agen sosial yang berada dalamrelasi sosial spesifik—di mana perjuangan-perjuanganinterseksional untuk kebebasan dan kesetaraan bertem-pat— terdapat persoalan-persoalan lain yang memer-lukan pergerakan bersama dalam rangka mentransfor-masikan negara, yang sangat penting untuk formulasiproyek demokrasi radikal. Banyak tujuan-tujuan egali-tarian, misalnya dalam ranah pendidikan, hanya dapatdicapai berkat intervensi negara. Intervensi ini tidakboleh dipandang dengan cara birokratik ataupun oto-ritarian, peran negara harus menyediakan kondisi bagiwarga negara untuk mengambil alih ruang publik danmengelolanya secara demokratis.

Dengan mengartikan kewargaan sebagai ‘tata laku’politik menunjukkan bahwa mungkin untuk menjadi ba-gian dari ‘rakyat’ yang teridentifikasi dengan proyek

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 101: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

demokrasi radikal, sementara pada saat yang bersamaanberada dalam pluralitas relasi sosial yang lain dengan pel-bagai ‘subjektivitas’ khasnya. Dalam rangka bertindaksebagai warga negara pada level politik untuk meradi-kalkan demokrasi tidak berarti menghilangkan bentuk-bentuk identifikasi lain, kewargaan ini sangat kompatibeldengan keterlibatan dalam perjuangan-perjuangan demo-kratik yang lebih tepat. Memang, kewargaan demokrasiradikal mendorong pluralitas keterlibatan semacam itu.Inilah mengapa strategi populis kiri mengharuskan arti-kulasi antara pelbagai intervensi pada level ‘vertikal’ dan‘horizontal’ di dalam lembaga perwakilan serta di berba-gai asosiasi dan gerakan sosial. Hal ini juga bertujuan un-tuk membangun sinergi antara praktik-praktik di manaberbagai bentuk dominasi ditantang dan praktik-praktikyang sedang bereksperimen dengan bentuk kehidupanegalitarian yang baru.

Sebagai contoh, orang-orang yang terlibat sebagaiwarga negara dalam proyek politik Podemos atau LaFrance Insoumise akan melakukan intervensi ke dalampelbagai lembaga perwakilan, sembari juga terlibat da-lam bermacam-macam perjuangan dan praktik demo-kratik yang fokus pada persoalan lebih spesifik. Untukmenjadi bagian dari ‘kita’ warga negara demokrasi radi-kal tidak menghalangi partisipasi dalam jenis ‘kita’ yanglain.

Namun, terdapat suatu poin yang harus dijelaskan disini. Peluasan medan praktik kewargaan yang saya ma-

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 102: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

jukan tidak menyiratkan semua keputusan demokratikdibuat oleh agen-agen sosial dalam kapasitasnya sebagaiwarga negara. Hal ini penting untuk membedakan antarapersoalan-persoalan yang menjadi perhatian agen-agensosial sebagai anggota komunitas politik dan yang ber-kaitan dengan relasi sosial yang lain dan menyangkutkomunitas tertentu. Jika tidak, kemungkinan akan ber-akhir dengan pandangan totalisasi yang menegasikanpluralisme yang sangat penting bagi konsepsi demokrasiradikal yang menghormati nilai kebebasan.

Konsepsi kewargaan demokrasi radikal yang sayausulkan terkait erat dengan politik reformis radikal yangmemiliki keterlibatan dengan pelbagai institusi yang sa-ya perjuangkan di awal. Hal ini tampak negara sebagailatar penting dalam politik demokratik karena negaramembentuk ruang di mana warga negara dapat membu-at keputusan tentang organisasi komunitas politik. Disinilah kedaulatan rakyat dapat diimplementasikan. Na-mun, hal ini memerlukan adanya kondisi bagi konfrontasiagonistik dan inilah mengapa sangat diperlukan untukmemutus konsensus pascapolitik neoliberal.

Berlawanan dengan keyakinan para liberal, negarabukanlah medan netral. Negara selalu terstruktur seca-ra hegemonik dan ia membentuk ruang yang pentingbagi perjuangan kontra-hegemoni. Meskipun demikian,negara bukan satu-satunya ruang intervensi, dan opo-sisi antara partai dan gerakan, atau antara perjuanganparlementer dan ekstra-parlementer harus ditolak. Ber-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 103: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

dasarkan model demokrasi agonistik, terdapat banyakruang publik agonistik di mana orang-orang harus mela-kukan intervensi untuk meradikalkan demokrasi. Ruangpolitik tradisional parlemen bukanlah satu-satunya tem-pat pengambilan keputusan politik dan, ketika lembagaperwakilan harus mempertahankan, atau mendapatkankembali, suatu peran yang menentukan, bentuk-bentukbaru partisipasi demokrasi diperlukan untuk meradikali-sasi demokrasi.

Dalam bab sebelumnya, pendapat saya berlawanandengan konsepsi demokrasi radikal yang murni horizontal-is, tetapi hal ini tidak berarti saya mendukung demokrasirepresentatif dalam bentuknya yang sekarang. Proyekradikalisasi demokrasi yang saya majukan membutuhkankombinasi dari pelbagai bentuk partisipasi demokratikyang berbeda-beda, yang bergantung pada ruang danrelasi sosial di mana kebebasan dan kesetaraan harusdiimplementasikan. Kita bisa membayangkan artikulasidari pelbagai bentuk representasi dan mode pemilihanperwakilan. Bentuk demokrasi langsung mungkin cocokdalam beberapa kasus dan model partisipatif mungkindalam kasus yang lain. Walaupun saya kritis terhadapdemokrasi langsung atau lotre, ketika dipandang seba-gai mode pengambilan keputusan politik yang eksklusif,saya tidak memiliki persoalan dengan memberikannyaruang dalam kasus tertentu, dalam hubungannya de-ngan lembaga perwakilan. Terdapat banyak cara untukmeningkatkan demokrasi representatif dan membuatnya

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 104: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

menjadi lebih akuntabel. Berkenaan dengan idea tentang‘yang publik’, walaupun saya menemukan ketidaktepat-an ‘yang publik’ sebagai prinsip umum dari organisasimasyarakat, saya menganggap dalam beberapa domainpraktik-praktik ‘kepublikan’ memainkan peran pentingdalam memerangi proses privatisasi barang yang, sepertiair, harus dianggap sebagai bagian dari milik ‘publik’.Sejauh model politik yang dimajukan mengakui faktabahwa masyarakat terbagi dan setiap tatanan tersusunsecara hegemonik, maka terdapat banyak kemungkinankonfigurasi prosedur demokrasi yang dimungkinkan.

Pada pemikiran sebelumnya tentang kewargaan, sayaingin menambahkan bahwa operasi hegemonik dalammembentuk koalisi rakyat memerlukan prinsip yang arti-kulatif untuk menghubungkan dalam suatu rantai ekuiva-lensi dari pelbagai tuntutan demokratik yang membentukkehendak kolektif. Prinsip yang artikulatif ini akan berva-riasi sesuai dengan kondisi krisis yang berbeda-beda dandapat disediakan baik oleh tuntutan demokrasi tertentuyang menjadi simbol perjuangan bersama untuk radika-lisasi demokrasi, atau oleh sosok seorang pemimpin.

Peranan pemimpin dalam strategi populis selalu men-jadi subjek kritisisme dan hal ini menjadi alasan meng-apa gerakan-gerakan populis tersebut dituduh sebagaiotoritarian. Banyak orang menjumpai kepemimpinan ka-rismatik sangat berbahaya dan tidak ada keraguan halini memiliki efek negatif. Tetapi terlepas dari fakta bah-wa sangat sulit menemukan contoh dari pelbagai gerakan

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 105: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

politik yang signifikan tanpa pemimpin yang menonjol,tidak ada alasan untuk menyamakan kepemimpinan yangkuat dengan otoritarianisme. Segala sesuatu bergantungpada jenis relasi yang dibangun antara pemimpin danrakyat. Dalam kasus populisme sayap-kanan, yang adaadalah relasi sangat otoritarian di mana segala sesuatuberasal dari atas tanpa partisipasi akar rumput yangnyata.

Tetapi pemimpin dapat dikonsepsikan sebagai pri-mus inter pares dan sangat mungkin untuk membangunjenis relasi berbeda, yang kurang vertikal (top-down)antara pemimpin dan rakyat. Apalagi, seperti yang akansaya terangkan setelah ini, kehendak kolektif tidak dapatdibentuk tanpa beberapa bentuk kristalisasi atas afeksibersama, dan ikatan afeksi dengan pemimpin karismatikmemainkan peranan penting dalam proses ini.

Kritisisme lain yang sering dialamatkan kepada stra-tegi populis kiri adalah peranan atribusi pada dimensinasional. Hal ini menimbulkan serangkaian pertanyaan,seperti keanggotaan Uni Eropa, yang melampaui cakup-an buku ini, tidak peduli dengan pelbagai kebijakanspesifik tetapi hanya peduli dengan jenis strategi yangtepat, dalam kondisi krisis saat ini, untuk mewujudkansuatu kolektif yang bertujuan melakukan transformasihegemonik. Ketika transformasi seperti ini terjadi, makakondisi yang tersedia bagi perdebatan agonistik tentangpelbagai kebijakan lebih cocok untuk meradikalisasi de-mokrasi dan jawaban-jawabannya tidak boleh ditentukan

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 106: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

terlebih dahulu.Apa yang hendak saya tekankan adalah bahwa per-

juangan hegemonik untuk memulihkan demokrasi harusdimulai pada level negara bangsa, yang meskipun kehi-langan keistimewaannya, masih merupakan salah saturuang penting untuk pelaksanaan demokrasi dan kedau-latan rakyat. Di level nasional inilah, pertanyaan tentangradikalisasi demokrasi harus diajukan terlebih dahulu.Pada level nasional ini, kehendak kolektif untuk melawanpelbagai dampak pascademokrasi globalisasi neoliberalharus dibentuk. Hanya ketika kehendak kolektif berha-sil terkonsolidasikan, kolaborasi dengan gerakan-gerakanyang sama di negara lain dapat menjadi produktif. Jelasbahwa perjuangan melawan neoliberalisme tidak dapatdimenangkan sendirian pada level nasional dan untukitu perlu membangun suatu aliansi pada level Uni Ero-pa. Tetapi strategi populis kiri tidak dapat mengabai-kan investasi libidinal kuat yang bekerja dalam pelbagaibentuk identifikasi nasional—atau regional—dan akansangat berisiko untuk meninggalkan wilayah ini ke po-pulisme sayap-kanan. Hal ini tidak berarti mengikutilangkah populisme sayap-kanan yang mempromosikanbentuk-bentuk nasionalisme yang tertutup dan defensif,tetapi menawarkan jalan keluar lain bagi pelbagai afeksitersebut dengan memobilisasi afeksi tersebut di sekitaridentifikasi patriotik dengan aspek-aspek terbaik danlebih egaliter dari tradisi nasional.

Saat ini kita perlu mempertimbangkan suatu perso-

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 107: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

alan yang saya anggap krusial untuk mengonsepsikanpembentukan koalisi ‘rakyat’: peranan penting yang di-mainkan oleh afeksi dalam pembentukan identitas politik.Dalam pandangan saya, kurangnya pemahaman tentangdimensi afektif dalam proses identifikasi merupakan sa-lah satu alasan utama yang membuat kubu kiri, yangterkungkung dalam kerangka rasionalis, tidak mampumerengkuh dinamika politik. Tidak diragukan lagi, ra-sionalisme ini menjadi penyebab penolakan keras daribegitu banyak teoretikus kiri untuk menerima ajaranpsikoanalisis.

Hal tersebut merupakan persoalan serius karena kri-tik Freud terhadap idea tentang karakter terpadu darisubjek dan klaim Freud bahwa pikiran manusia harustunduk pada pembagian antara dua sistem, yang salahsatunya tidak dapat disadari, sangat penting untuk po-litik. Freud menunjukkan bahwa, jauh dari keteraturantransparansi ego, kepribadian tersusun atas beberapalevel yang berada di luar kesadaran dan rasionalitas agen.Untuk itu, Freud mengharuskan kita untuk meninggalkansalah satu ajaran utama filsafat rasionalis—kategori sub-jek sebagai entitas rasional dan transparan yang mampumemberikan makna homogen pada totalitas tindakan-nya—dan menerima bahwa ‘individu’ hanyalah identitasreferensial yang dihasilkan dari artikulasi di antara po-sisi lokal subjek. Klaim psikoanalisis bahwa tidak adaidentitas esensial tetapi hanya bentuk-bentuk identifika-si merupakan gagasan pokok pendekatan anti-esensialis

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 108: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

yang menekankan bahwa sejarah subjek merupakan seja-rah pelbagai identifikasinya dan tidak ada identitas yangtersembunyi yang bisa diselamatkan selain identifikasisubjek.

Dengan mengadopsi pemikiran dari Freud, pendekat-an anti-esensialis ini mengakui bahwa dimensi pentingdari politik adalah pembentukan identitas politik dan halini selalu meniscayakan adanya dimensi afektif. DalamGroup Psychology and the Analysis of the Ego, Freudmenyoroti peranan penting yang dimainkan oleh ikatanlibidinal afektif dalam proses identifikasi kolektif: ‘Suatukelompok secara jelas disatukan oleh kekuatan dari bebe-rapa jenis: dan kekuatan tindakan ini bisa dianggap lebihbaik daripada Eros, yang menyatukan segala sesuatu didunia.’�

Mengetahui peranan energi libidinal dan fakta bahwahal ini dapat ditundukkan dan dapat diorientasikan kedalam banyak arah yang menghasilkan berbagai afeksiberbeda-beda, merupakan hal penting untuk memahamicara kerja operasi hegemonik. Mengembangkan kehen-dak kolektif yang bertujuan untuk radikalisasi demokrasimembutuhkan mobilisasi energi afeksi melalui pemosisiandalam praktik-praktik diskursif yang menghasilkan iden-tifikasi dengan visi egaliter demokratis. Dengan ‘praktikdiskursif’, saya tidak merujuk pada praktik yang secaraeksklusif berkaitan dengan ucapan atau tulisan, mela-

� Sigmund Freud, ‘Group Psychology and the Analysis of the Ego’, dalam The Standa-rd Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, vol. XVIII (London:Vintage, ����), hal. ��.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 109: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

inkan praktik penandaan di mana makna dan tindakan,komponen linguistik dan afektif tidak dapat dipisahkan.Melalui penempatan agen sosial dalam praktik-praktikpenandaan diskursif/afektif, yang meliputi kata-kata,afeksi dan tindakan inilah, agen sosial mendapatkan ben-tuk subjektivitasnya.

Untuk menggambarkan penandaan diskursif/afektiftersebut, kita dapat menemukan gagasan penting da-ri Spinoza tentang ‘conatus’ yang memiliki kesamaandengan gagasan Freud tentang ‘libido’. Seperti Freud,Spinoza percaya bahwa hasratlah yang menggerakkanmanusia untuk bertindak dan dia melihat bahwa apayang membuat manusia bertindak dalam suatu arahketimbang dalam arah yang lain adalah afeksi. Dalam re-fleksi tentang afeksi di bukunya berjudul Ethics, Spinozamembuat pembedaan antara afeksi (affection) dan afek(affectus).� ‘Afeksi’ adalah keadaan tubuh sejauh ia tun-duk pada tubuh yang lain. Ketika dipengaruhi oleh aspekeksterior, conatus (usaha umum untuk bertahan dalamkeberadaan kita) akan mengalami afek yang akan men-dorongnya untuk menghasrati sesuatu atau bertindakkarenanya.

Saya menyarankan untuk menerapkan dinamika affec-tio/affectus ini untuk memeriksa proses pembentukanidentitas politik, dengan melihat ’afeksi’ sebagai prak-tik di mana diskursif dan afektif diartikulasikan, akanmenghasilkan bentuk-bentuk identifikasi tertentu. De-� Benedictus de Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley (New York: Penguin, ����), bagian

�.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 110: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

ngan dipandang sebagai kristalisasi dari afek, identifikasitersebut penting bagi politik karena menjadi motor peng-gerak aksi politik.

Pendekatan hegemonik telah dikritik oleh bebera-pa teoretikus ‘affective turn’, yang mengklaim bahwapendekatan ini hanya mempertimbangkan dimensi dis-kursif. Menyanggah kritisisme ini, Yannis Stavrakakistelah menunjukkan bagaimana orang-orang yang mendu-kung pendekatan ‘pascahegemonik’ keliru, karena denganmemisahkan diskursif dari afektif, mereka melewatkaninter-implikasi diskursif mereka.� Sebaliknya, teori hege-moni diskursif mengakui inter-implikasi tersebut ketikamenegaskan bahwa ‘sesuatu yang termasuk ke dalam ta-tanan afek memiliki peranan penting dalam membentukyang-sosial secara diskursif.’�

Beberapa pendukung ‘affective turn’ mengajukanpandangan mereka tentang afek berdasarkan pada pe-mikiran Spinoza, tetapi terdapat alasan yang bagus un-tuk mempertanyakan genealoginya. Saya menemukaninterpretasi yang jauh lebih meyakinkan dari FrédéricLordon, dalam pembacaannya atas peranan afek dalampemikiran Spinoza, menegaskan bagaimana baginya poli-tik adalah ars effectandi (seni mempengaruhi—penerj.),yang berhubungan dengan produksi gagasan dengan ke-

� Yannis Stavrakakis, ‘Hegemony or Posthegemony? Discourse, Representation andthe Revenge(s) of the Real’ dalam Radical Democracy and Collective Movements To-day: The Biopolitics of theMultitude Versus theHegemony of the People, ed. AlexandrosKioupkiolis dan Giorgos Katsambekis (New York: Ashgate, ����).

� Ernesto Laclau, ‘Glimpsing the Future: A Reply’, dalam Laclau: A Critical Reader, ed.Simon Critchley dan Oliver Marchart (New York: Routledge, ����), hal. ���.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 111: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

kuatan untuk mempengaruhi (idées affectantes).� De-ngan mempertanyakan keistimewaan yang diberikan olehMarxisme kepada determinasi material dan persoalan an-tinomi yang dibangun di antara materi dan ide, Lordonmenunjukkan bagaimana Spinoza memungkinkan kitauntuk melampaui keistimewaan Marxisme tersebut me-lalui gagasan ‘afeksi’ yang dihasilkan dari ide maupundeterminasi material. Ketika pertemuan antara ide danafek terjadi, ide mendapatkan kekuatan.

Ketika membayangkan praktik-praktik diskur-sif/afektif, kita juga dapat mengambil inspirasi dariWittgenstein, yang mengajari kita bahwa melaluipenempatan praktik-praktik tersebut dalam ’permainanbahasa’ (language games) (yang kita sebut praktikdiskursif), agen-agen sosial membentuk keyakinandan hasrat tertentu dan memperoleh subjektivitasmereka. Dengan mengikuti pendekatan Wittgenstein,kita dapat menggambarkan kesetiaan pada demokrasi,tidak berdasarkan pada rasionalitas tetapi berdasarkanpada partisipasi dalam pelbagai bentuk kehidupantertentu. Seperti yang telah kerap kali ditunjukkan olehRichard Rorty, perspektif Wittgensteinian membuatkita menyadari bahwa kesetiaan pada demokrasidan kepercayaan pada nilai institusi demokrasi tidakbergantung pada memberi demokrasi suatu landasanintelektual.

Kesetiaan pada nilai-nilai demokrasi merupakan per-

� Frédéric Lordon, Les A�ects de la politique (Paris: Seuil, ����), hal. ��.

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 112: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

soalan identifikasi. Hal ini tidak terbentuk melalui argu-mentasi rasional tetapi melalui serangkaian permainanbahasa yang membangun pelbagai bentuk individuali-tas yang demokratis. Wittgenstein secara jelas menga-kui dimensi afektif dari pelbagai bentuk kesetiaan yangberbeda-beda ketika dia menyamakan keyakinan religiusdengan ‘komitmen yang penuh gairah terhadap sistemreferensi.’� Dengan mempertemukan Spinoza, Freud danWittgenstein, kita dapat melihat pemosisian dalam prak-tik diskursif memberikan afeksi yang bagi Spinoza meng-hasilkan afek yang memacu hasrat dan mengarah padatindakan tertentu. Dengan cara seperti inilah, afek danhasrat memainkan peranan krusial dalam pembentukanpelbagai bentuk identifikasi kolektif.

Melalui cara mengenali peran krusial yang dimainkanoleh afek dalam politik dan bagaimana afek tersebut da-pat dimobolisir merupakan hal yang menentukan untukmerancang keberhasilan strategi populis kiri. Strategiseperti ini harus mengikuti arahan Gramsci ketika diamenyerukan ‘suatu kohesi organik di mana perasaan-renjana (feeling-passion) menjadi pemahaman.’ Berope-rasi dengan gagasan dari ‘pandangan umum’, berartiharus merangkul orang dengan cara menyentuh aspekafeknya. Sesuai dengan nilai dan identitas orang-orangyang hendak diinterpelasi dan harus terhubung denganaspek pengalaman rakyat. Untuk beresonansi denganberbagai persoalan yang dihadapi rakyat dalam kehidu-� LudwigWittgenstein, Culture and Value, terj. Peter Winch (Chicago: University of Chi-

cago Press, ����), hal. ��.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 113: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

pan kesehariannya, strategi populis kiri harus memulaidari di mana mereka hidup dan bagaimana perasaan me-reka, dengan menawarkan mereka suatu visi masa depanyang memberikan mereka harapan, alih-alih menyisakandaftar pengaduan.

Strategi populis kiri bertujuan melakukan kristalisasiatas kehendak kolektif yang disokong oleh afek bersamademi menggapai cita-cita berupa suatu tatanan yanglebih demokratis. Tujuan ini memerlukan pembentukanrezim hasrat dan afek yang berbeda-beda melalui ke-terlibatan dalam praktik-praktik diskursif/afektif yangakan melahirkan bentuk-bentuk identifikasi yang baru.Praktik-praktik diskursif/afektif tersebut memiliki wa-tak yang bermacam-macam, tetapi bidang kultural danartistik merupakan medan yang sangat penting bagipembentukan berbagai bentuk subjektivitas.

Sekali lagi, Gramsci menjadi penunjuk yang sangatdiperlukan karena dia telah menunjukkan sentralitasdomain kultural dalam pembentukan dan penyebaran‘pandangan umum’ (common sense) yang dapat menen-tukan definisi tertentu tentang realitas. Dengan melihat‘pandangan umum’ sebagai hasil dari artikulasi diskur-sif memungkinkan kita untuk mengetahui bagaimanapandangan umum tersebut dapat diubah berkat inter-vensi kontra-hegemoni. Lewat penekanan pada perananpenting dari praktik-praktik artistik dan kultural dalamperjuangan hegemonik, saya berpendapat dalam bukuAgonistics bahwa jika praktik artistik dapat memainkan

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 114: ÈnX³x0 kX«X

P E M B E N T U K A N K O A L I S I R A K Y A T

peranan penting dalam pembentukan bentuk-bentuk sub-jektivitas baru, hal ini karena, dalam menggunakan ber-bagai cara yang menimbulkan respons emosional, praktikartistik tersebut mampu menyentuh manusia pada ting-katan afektifnya. Di sinilah letak kekuatan besar artistik,dalam kapasitasnya untuk membuat kita melihat sesuatudengan cara yang berbeda, untuk membuat kita melihatkemungkinan-kemungkinan baru.

Atas alasan tersebut, praktik artistik dan kultural me-miliki peranan penting untuk diimplementasikan dalamstrategi populis kiri. Untuk mempertahankan hegemo-ninya, sistem neoliberal perlu terus memobilisasi hasratrakyat dan membentuk identitas mereka. Pembentuk-an koalisi ‘rakyat’ yang tepat untuk membangun suatuhegemoni berbeda memerlukan pengelolaan keragam-an praktik-praktik diskursif/afektif yang akan mengikisafek bersama yang menyokong hegemoni neoliberal danmenciptakan kondisi bagi radikalisasi demokrasi. Halini esensial bagi strategi populis kiri untuk mengakuipentingnya menumbuhkan afek bersama, karena sepertiyang ditekankan oleh Spinoza, afek hanya dapat digan-tikan oleh afek yang berlawanan, afek yang lebih kuatdaripada afek yang hendak direpresi.

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 115: ÈnX³x0 kX«X
Page 116: ÈnX³x0 kX«X

K E S I M P U L A N

DENGAN meneliti krisis yang terjadi belakangan ini diEropa Barat, saya telah berpendapat bahwa kita sedanghidup dalam ‘momen populis’. Momen ini merupakanekspresi perlawanan terhadap kondisi pascademokrasiyang disebabkan oleh hegemoni neoliberal selama tigapuluh tahun. Hegemoni tersebut sekarang sedang me-masuki krisis dan krisis ini menjadi kesempatan untukmembangun formasi hegemonik baru. Formasi hegemo-ni baru bisa jadi lebih otoriter atau lebih demokratis,tergantung pada bagaimana perlawanan tersebut akan di-artikulasikan dan jenis politik apa yang akan digunakanuntuk menantang neoliberalisme.

Semuanya bergantung pada perangkat diskursif danafektif yang melaluinya makna akan dilekatkan padapelbagai macam tuntutan demokratik yang menjadi ci-ri dari ‘momen populis’ ini. Kemungkinan mengimple-mentasikan praktik kontra-hegemoni untuk mengakhirikonsensus pascapolitik memerlukan pembentukan batas

Page 117: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

politik. Berdasarkan strategi populis kiri, batas ini harusdibangun dengan cara ‘populis’, dengan menghadapkan‘rakyat’ melawan ‘oligarki’, suatu konfrontasi di mana‘rakyat’ dibentuk oleh artikulasi dari berbagai macamtuntutan demokratik. ‘Rakyat’ tidak dipahami sebagaireferensi empiris atau kategori sosiologis. ‘Rakyat’ meru-pakan konstruksi diskursif yang dihasilkan dari ‘rantaiekuivalensi’ antara berbagai tuntutan heterogen yangpenyatuannya dijamin oleh identifikasi dengan konsepsikewargaan demokrasi radikal dan oposisi bersama terha-dap oligarki, kekuatan-kekuatan yang secara strukturalmenghalangi realisasi proyek demokratik.

Saya telah menekankan perihal fakta bahwa tujuanstrategi populis kiri bukanlah untuk membangun ‘rezimpopulis’, melainkan membentuk subjek kolektif yang te-pat untuk melancarkan serangan politik supaya dapatmembangun formasi hegemonik baru dalam kerangkademokrasi liberal. Formasi hegemoni baru harus mencip-takan kondisi bagi pemulihan dan pendalaman demokra-si, tetapi proses ini mengikuti pola yang berbeda-bedatergantung dengan konteks nasional.

Apa yang saya usulkan adalah strategi khusus pem-bentukan batas politik dan bukan program politik yangsepenuhnya matang. Partai atau gerakan yang menga-dopsi strategi populis kiri dapat mengikuti keragamankonteks; perbedaan-perbedaan akan ada di antara partaiatau gerakan dan tidak harus diidentifikasi dengan na-ma tersebut. Pada tingkat analitis, partai atau gerakan

�� C H A N T A L M O U F F E

Page 118: ÈnX³x0 kX«X

K E S I M P U L A N

tersebut dapat disebut sebagai ‘populis kiri’.Sudah diperkirakan bahwa strategi populis kiri ini

akan dicela oleh berbagai sektor kiri yang terus mereduksipolitik menjadi kontradiksi kapital/buruh dan membe-rikan keistimewaan ontologis pada kelas pekerja, yangdijadikan sebagai kendaraan bagi revolusi sosialis. Parasektor kiri tersebut tentu saja akan melihatnya sebagaiketundukan kepada ‘ideologi borjuis’. Tidak ada gunanyamenjawab kritik-kritik yang berasal dari konsepsi politikyang telah saya bantah.

Akan tetapi, terdapat jenis keberatan lain yang per-lu dipertimbangkan. Mengingat konotasi sangat negatifyang dibawa oleh istilah ‘populisme’ di Eropa Barat,keraguan muncul dari beberapa pihak tentang kelayakanpenggunaan populisme untuk memenuhi syarat suatujenis politik yang mungkin lebih mudah diterima de-ngan nama berbeda. Mengapa disebut populis? Apayang hendak dicapai dengan istilah itu? Saya ingin me-nunjukkan bahwa konotasi negatif hanya terjadi dalamkonteks Eropa dan, seperti yang saya tunjukkan di awal,konotasi tersebut berhubungan dengan usaha yang dila-kukan oleh para pembela status quo pascapolitik untukmendiskualifikasi segala kekuatan yang menantang kla-im mereka bahwa tidak ada alternatif atas globalisasineoliberal. Label yang peyoratif tersebut menunjukkansemua gerakan tersebut sebagai bahaya bagi demokra-si. Namun, dalam konteks yang lain, ‘gerakan populis’dipandang secara positif, seperti misalnya yang terjadi

C H A N T A L M O U F F E ��

Page 119: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

dengan kasus American People’s Party yang lahir pada1891, sebagaimana dijelaskan oleh Michael Kazin dalambukunya The Populist Persuasion,�� mereka memperju-angkan kebijakan-kebijakan progresif untuk memperkuatdemokrasi. American People’s Party tidak bertahan la-ma, tetapi kebijakan-kebijakan yang diperjuangkannyadiadopsi oleh para liberal dan berpengaruh dalam NewDeal.

Meskipun kemudian di Amerika Serikat muncul aruspenting populisme sayap kanan, istilah populisme initetap terbuka untuk penggunaan positif, seperti bisakita lihat hari ini dengan apresiasi luas terhadap poli-tik Bernie Sanders, yang strateginya jelas merupakanstrategi populis kiri.

Ketika diakui bahwa populisme dapat memberikanstrategi politik untuk memperkuat demokrasi, kita bisamulai membayangkan pentingnya, dalam krisis EropaBarat akhir-akhir ini, untuk memaknai kembali istilah inidengan cara yang positif, sehingga membuatnya tersediauntuk menamai bentuk politik kontra-hegemoni mela-wan tatanan neoliberal. Dalam momen pascademokrasi,ketika pemulihan dan radikalisasi demokrasi menjadisuatu agenda, populisme, dengan menekankan demossebagai dimensi esensial dari demokrasi, sangat cocokuntuk memenuhi syarat logika politik yang sesuai de-ngan keadaan krisis. Dengan dipahami sebagai strategipolitik yang menekankan perlunya menarik batas politik�� Michael Kazin, The Populist Persuasion: An American History (New York: Basic Books,

����).

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 120: ÈnX³x0 kX«X

K E S I M P U L A N

antara rakyat dan oligarki, populisme menantang pan-dangan pascapolitik yang mempersamakan demokrasidengan konsensus. Lebih lanjut, dengan mengacu padapembentukan kehendak kolektif yang ditafsirkan sebagaiartikulasi dari berbagai tuntutan demokratik, populismemengakui perlunya untuk mempertimbangkan berbagaiperjuangan heterogen, alih-alih membayangkan subjekpolitik kolektif yang eksklusif dalam istilah ‘kelas’.

Aspek penting lain dari strategi populis adalah penga-kuannya terhadap dimensi afektif dalam berbagai bentukidentifikasi politik dan pentingnya memobilisasi afeksibersama, suatu aspek yang biasanya absen dari bentukpolitik kiri tradisional. Atas dasar alasan tersebutlah,dalam perjuangan membangun formasi hegemoni baru,sangat penting untuk mengadopsi strategi ‘populis’.

Tetapi kenapa disebut populisme ‘kiri’? Pertanya-an semacam itu memang diajukan oleh beberapa orangyang setuju pada perlunya mengembangkan strategi po-pulis yang ditujukan untuk radikalisasi demokrasi, tetapimempertanyakan manfaat dari menyebutnya sebagai ‘ki-ri’. Beberapa dari mereka mengusulkan untuk lebih baikmenyebutnya populisme ‘demokratik’, dan yang lain de-ngan populisme ‘progresif’ atau populisme ‘humanis’.Terdapat dua alasan yang biasanya dimajukan untuk me-nolak penyebutan populisme ‘kiri’. Alasan yang pertamaadalah bahwa, dengan konversi ke neoliberalisme daripartai-partai sosial-demokratik—yang sering diidentifi-kasi sebagai ‘kubu kiri’—penanda kiri telah sepenuhnya

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 121: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

diragukan dan kehilangan semua konotasi progresifnya.Karena mereka tidak ingin diidentifikasi dengan jeniskiri yang lain, yang mengklaim mewakili kiri ’sejati’,para pendukung strategi populis lebih memilih untukmenghilangkan label ’kiri’. Saya berbagi keprihatinanmereka yang ingin menekankan kekhasan strategi populisberkaitan dengan dua makna ’kiri’ saat ini, tetapi sayapercaya bahwa berbicara tentang populisme kiri sudahcukup untuk membedakannya dari pemahaman biasatentang istilah kiri.

Terdapat alasan lain yang dikemukakan untuk mem-buang istilah kiri ini: fakta bahwa istilah kiri tidak cocokdengan karakter transversal dari strategi populis. Dinya-takan bahwa secara umum kubu ‘kiri’ mengemukakanberbagai kepentingan dari sektor sosial-ekonomi tertentudan mengabaikan berbagai tuntutan, menurut strategipopulis, yang seharusnya dimasukkan ke dalam pemben-tukan kehendak kolektif. Saya menganggap alasan inimerupakan keberatan yang lebih substansial. Sebenar-nya, apabila dilihat dari perspektif sosiologis sebagaiyang mewakili berbagai kepentingan kelompok sosialyang tetap, gagasan kubu kiri tidak memenuhi syaratsebagai ‘kita’, ‘rakyat’ yang dihasilkan dari artikulasiberbagai tuntutan demokratik heterogen. Pembentukankoalisi ‘rakyat’ lewat cara transversal, dengan tujuanmembentuk mayoritas rakyat yang independen dari afili-asi politik lama, merupakan hal yang membedakan bataspolitik populis dari kubu tradisional kiri dan kanan.

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 122: ÈnX³x0 kX«X

K E S I M P U L A N

Dalam pengertian itulah, klaim oleh berbagai gerakanseperti Podemos bahwa mereka ’bukan kiri atau kanan’harus dipahami. Tidak dalam pengertian bahwa merekamengejar politik tanpa batas politik, dalam model ‘jalanketiga’, tetapi dalam pengertian bahwa mereka mem-bentuk batas politik dengan cara berbeda. Persoalannyaadalah posisi seperti itu, dengan tidak mengeksplisitkancara partisan di mana ‘rakyat’ dikonstruksi, menyisakanketidakjelasan orientasi politiknya.

Untuk menghindari ketidakpastian politik inilah, sa-ya percaya bahwa penting untuk menyebut populisme‘kiri’ dengan mengacu pada makna lain dari ‘kiri’, yangmenyangkut dimensi aksiologisnya dan menandakan nilai-nilai yang dibelanya: kesetaraan dan keadilan sosial. Di-mensi ini saya anggap krusial untuk ditegakkan dalamformulasi strategi populis yang bertujuan meradikalisasidemokrasi. Ketika diketahui bahwa ‘rakyat’ dapat di-konstruksi dengan cara yang berbeda, dan bahwa partaipopulis sayap-kanan juga mengonstruksi ’rakyat’, makapenting, terutama demi alasan politik, untuk menunjuk-kan rakyat seperti apa yang hendak dikonstruksi. Ter-lepas dari semua klaim tentang keusangan distingsi kiridan kanan, metafora ‘kiri’ dan ‘kanan’ masih menjadipenanda simbolik utama masyarakat Eropa Barat dalamdiskursus politik dan saya tidak berpikir bahwa adalahhal yang bijaksana untuk mengabaikannya. Apa yangdibutuhkan adalah memulihkan watak konfrontasi daripolitik dan memaknai ulang arti kiri.

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 123: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

Distingsi kiri/kanan dapat digambarkan baik sebagaipembelahan politik maupun batas politik. Dalam ma-sa pascapolitik, perbedaan antara kiri dan kanan biasadigambarkan dalam istilah ‘pembelahan’—yakni, jenispembagian (divisi) yang tidak disusun oleh suatu anta-gonisme tetapi sekadar menandakan perbedaan posisi.Apabila dipahami dengan cara seperti itu, maka distingsikiri/kanan tidak sesuai dengan proyek radikalisasi demo-krasi. Hanya ketika perbedaan digambarkan dalam istilahbatas politik, yang menunjukkan adanya antagonisme an-tara posisi masing-masing dan ketidakmungkinan ‘posisimoderat’, maka perbedaan diformulasikan dengan carapolitik secara tepat. Saya percaya bahwa ‘efek batas’ inilebih sulit untuk dikemukakan dengan gagasan sepertipopulisme ‘progresif’ atau ‘demokratis’, dan bahwa popu-lisme ‘kiri’ mengemukakan secara lebih jelas keberadaanantagonisme antara rakyat dan oligarki yang tanpanyastrategi hegemoni tidak dapat diformulasikan.

Daripada melihat momen populis hanya sebagai an-caman bagi demokrasi, penting untuk disadari bahwamomen populis tersebut juga menawarkan kesempatanuntuk meradikalisasi demokrasi. Untuk merebut kesem-patan tersebut, sangat penting mengakui bahwa poli-tik pada dasarnya adalah partisan dan membutuhkanpembentukan batas antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Hanyadengan memulihkan karakter agonistik dari demokrasi,maka akan ada kemungkinan untuk memobilisasi afeksidan menciptakan kehendak kolektif menuju pendalaman

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 124: ÈnX³x0 kX«X

K E S I M P U L A N

cita-cita demokrasi. Akankah proyek ini berhasil? Tentutidak ada jaminan, tetapi akan menjadi kesalahan fatalapabila menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikanoleh kondisi krisis saat ini.

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 125: ÈnX³x0 kX«X
Page 126: ÈnX³x0 kX«X

L A M P I R A NT E O R E T I S

Pendekatan Anti-Esensialis

Terdapat dua cara untuk menggambarkan domain yang-politis. Pandangan asosiatif melihat yang-politis sebagaimedan kebebasan dan untuk mencapai persetujuan. Seba-gai alternatif, pandangan disasosiatif melihat yang-politissebagai medan konflik dan antagonisme.� Refleksi sayatergolong sebagai padangan disasositif dan dipengaruhioleh pendekatan teoretis yang dikembangkan dalam HSS,di mana terdapat dua konsep utama yang diperlukanuntuk menjawab persoalan yang-politis: ‘antagonisme’dan ‘hegemoni’.� Kedua konsep tersebut mengacu padakeberadaan dimensi negativitas radikal yang memanifes-tasikan dirinya sendiri dalam kemungkinan antagonismeyang selalu hadir. Pandangan ini menghalangi totalisasi� Distingsi antara pandangan asosiatif dan disasosiatif ini dimajukan oleh Oliver Mar-

chart dalam Post-Foundational Political Thought: Political Di�erence in Nancy, Lefort,Badiou and Laclau (Edinburgh: Edinburgh University Press, ����), hal. ��–��.

� Ernesto Laclau dan Chantal Mou�e, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Ra-dical Democratic Politics, paperback edition (New York and London: Verso, ����).

Page 127: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

masyarakat secara penuh dan menutup kemungkinanadanya suatu masyarakat di luar pembelahan dan keku-asaan.

Masyarakat dipandang sebagai produk dari rangka-ian praktik hegemonik yang tujuannya adalah untukmembangun tatanan dalam konteks kontingensi. Ma-syarakat merupakan ranah dari berbagai praktik yang‘mengendap’—yakni, praktik menyembunyikan tindak-an asli institusi politik masyarakat yang kontingen danditerima begitu saja seolah-olah masyarakat ada begitusaja. Setiap tatanan sosial merupakan artikulasi praktikhegemonik temporer dan rentan yang tujuannya adalahuntuk membangun tatanan dalam konteks kontingensi.Praktik hegemonik adalah praktik artikulasi yang mela-luinya tatanan tertentu diciptakan dan makna institusisosial ditetapkan.

Segala sesuatu selalu bisa menjadi sebaliknya dansetiap tatanan didasarkan pada pengecualian terhadapkemungkinan lain. Setiap tatanan selalu merupakan eks-presi dari konfigurasi relasi kuasa tertentu dan tidakcukup memiliki landasan rasional. Apa yang tampak se-bagai tatanan alami tidak pernah merupakan manifestasidari objektivitas yang lebih dalam berada di luar praktikyang membuatnya ada. Oleh karena itu, setiap tatananyang ada rentan untuk ditantang oleh praktik-praktikkontra-hegemonik, praktik mendisartikulasikan tatananyang ada guna mengimplementasikan bentuk hegemonilain.

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 128: ÈnX³x0 kX«X

L A M P I R A N T E O R E T I S

Ajaran penting kedua dari pendekatan anti-esensialisadalah bahwa agen sosial dibentuk oleh serangkaian ‘po-sisi diskursif’ yang tidak pernah sepenuhnya bisa difik-sasi dalam sistem perbedaan yang tertutup. Agen sosialdibentuk oleh keragaman diskursus, yang di antara kera-gaman tersebut tidak ada relasi yang mutlak melainkangerakan konstan dari overdeterminasi dan pergantian po-sisi. Oleh karena itu, ’identitas’ dari subjek yang beragamdan kontradiktif selalu kontingen, rentan, temporer dipersimpangan diskursus tersebut dan bergantung padabentuk identifikasi tertentu.

Dengan demikian, tidak mungkin membicarakan agensosial seolah-olah kita berhadapan dengan entitas yangsatu dan homogen. Kami lebih suka mendekati agensosial sebagai pluralitas, bergantung pada berbagai po-sisi subjek yang melaluinya agen sosial dibentuk dalamberbagai formasi diskursif, suatu relasi mutlak di an-tara berbagai diskursus membentuk posisi subjek yangberbeda-beda, dan mengakui bahwa tidak ada yang apriori. Namun, pluralitas ini tidak mencakup koeksisten-si pluralitas posisi subjek, tetapi mencakup subversi danoverdeterminasi konstan terhadap satu pihak oleh pihaklain, yang memungkinkan lahirnya efek totalisasi dalamsuatu medan yang dicirikan oleh batas-batas terbukadan pasti.

Oleh karena itu, terdapat gerakan ganda: pada satusisi, gerakan penyingkiran (decentering) yang mencegahfiksasi terhadap serangkaian posisi di sekitar posisi yang

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 129: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

telah dibentuk sebelumnya; pada sisi lain, dan sebagaihasil dari non-fiksitas esensial, suatu gerakan yang ber-lawanan: pelembagaan atas berbagai titik sentral (nodalpoint), fiksasi parsial yang membatasi perubahan di ba-wah penanda. Tetapi dialektika non-fiksitas/fiksasi inidimungkinkan hanya karena fiksasi tidak ada begitu sajasebelumnya, karena tidak ada pusat subjektivitas yangmendahului identifikasi subjek. Atas alasan tersebut, kitaharus melihat sejarah subjek sebagai sejarah identifika-sinya dan tidak ada identitas tersembunyi yang bisadisingkap selain identifikasi subjek.

Untuk menyangkal keberadaan yang a priori, hubung-an mutlak antara berbagai posisi subjek tidak berartibahwa tidak ada upaya tetap untuk membangun hu-bungan historis, kontingen, dan variabel di antara posisisubjek. Jenis hubungan tersebut membentuk kontingensidi antara berbagai posisi subjek, relasi tidak ditentukansebelumnya yang disebut sebagai ‘artikulasi’. Walaupuntidak ada hubungan mutlak di antara berbagai posisisubjek yang berbeda-beda, dalam medan politik, selaluada diskursus yang mencoba memberikan artikulasi darisudut pandang berbeda.

Atas alasan tersebut, setiap posisi subjek selalu diben-tuk dalam struktur diskursif yang pada dasarnya tidakstabil, karena setiap posisi subjek tunduk pada berbagaipraktik artikulatoris yang terus-menerus membongkardan mengubah posisi subjek. Inilah mengapa tidak adaposisi subjek yang berhubungan dengan selain dirinya

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 130: ÈnX³x0 kX«X

L A M P I R A N T E O R E T I S

bersifat mutlak, dengan demikian, tidak ada identitassosial yang diperoleh secara penuh dan permanen.

Konsepsi Demokrasi Agonistik

Setelah HSS, bagian penting dari karya saya didedika-sikan untuk mengelaborasi model alternatif dari politikdemokrasi yang dapat menjelaskan keniscayaan antago-nisme dan watak hegemonik dari politik.� Pertanyaan-pertanyaan yang telah saya jawab adalah sebagai berikut:Bagaimana menggambarkan demokrasi dalam kerangkapendekatan hegemonik? Bagaimana bisa tatanan demo-krasi mengakui dan mengelola keberadaan konflik yangtidak berujung pada solusi rasional? Bagaimana mengon-sepsikan demokrasi dengan cara yang memungkinkandi tengah-tengahnya terjadi konfrontasi antara berbagaiproyek hegemonik yang saling bertentangan?

Jawaban saya atas pertanyaan tersebut adalah mo-del demokrasi agonistik yang saya lihat memberikan ke-rangka analitik yang dibutuhkan untuk menggambarkankemungkinan konfrontasi demokratik di antara berbagaiproyek hegemonik. Secara singkat, argumen saya perihalmodel demokrasi agonistik adalah sebagai berikut.

Ketika kita menerima dimensi ‘yang-politis’, kita mu-lai menyadari bahwa salah satu tantangan utama bagi

� Saya telahmengembangan konsepsi agonistik ini dalambeberapa buku sebagai ber-ikut: The Return of the Political (New York and London: Verso, ����, rev. ed. ����); TheDemocratic Paradox (New York and London: Verso, ����, rev. ed. ����); On the Po-litical (Abingdon, UK: Routledge, ����); dan Agonistics: Thinking the World Politically(New York and London: Verso, ����).

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 131: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

politik demokrasi-liberal pluralis adalah berupa usahauntuk menolak potensi antagonisme yang ada dalamberbagai relasi manusia sehingga memungkinkan adakoeksistensi manusia. Persoalan fundamentalnya bukan-lah bagaimana menggapai konsensus yang diraih tanpaeksklusi, karena hal ini akan memerlukan pembentuk-an ’kita’ yang tidak ada hubungannya dengan ‘mereka’.Kondisi ini tidak mungkin karena syarat utama bagipembentukan ‘kita’ adalah demarkasi dengan ‘mereka’.

Dengan demikian, persoalan krusial dalam rezim de-mokrasi liberal adalah bagaimana membangun disting-si kita/mereka ini, yang memang bersifat konstitutifterhadap politik, dengan cara yang kompatibel denganpluralisme. Poinnya adalah bahwa ketika konflik terjaditidak mewujud dalam suatu ‘antagonisme’ (perselisih-an di antara musuh, enemy) tetapi suatu ‘agonisme’(perselisihan di antara lawan, adversary). Konfrontasiagonistik berbeda dari konfrontasi antagonistik, bukankarena konfrontasi agonistik memungkinkan terjadinyakonsensus, tetapi karena oposisi tidak dianggap sebagaimusuh yang harus dilenyapkan, melainkan sebagai la-wan yang eksistensinya dianggap sebagai hal yang absah.Ide-ide lawan akan ditentang habis-habisan tetapi haklawan untuk mempertahankan idenya tidak akan pernahdipersoalkan. Namun, kategori musuh tidak hilang kare-na tetap relevan dengan mereka yang, karena menolakkonsensus konfliktual merupakan dasar bagi demokrasipluralis, tidak dapat menjadi bagian dari perjuangan

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 132: ÈnX³x0 kX«X

L A M P I R A N T E O R E T I S

agonistik.Oleh karena itu, persoalan keterbatasan pluralisme

merupakan hal krusial bagi demokrasi yang perlu diatasidan tidak ada jalan untuk kabur dari persoalan tersebut.Dengan menegaskan karakter konstitutif dari pembelah-an sosial dan ketidakmungkinan adanya rekonsiliasi final,perspektif agonistik mengakui perlunya karakter par-tisan dari politik demokratik. Dengan menggambarkankonfrontasi ini dengan istilah lawan dan bukan denganmode teman/musuh karena mungkin akan mengarah keperang sipil, hal ini memungkinkan konfrontasi semacamini terjadi dalam institusi-institusi demokratik.

Konfrontasi yang penting tersebut merupakan halyang dihindari oleh sebagian besar para teoretikus demo-krasi-liberal, karena cara mereka dalam memandang plu-ralisme tidak memadai. Sementara kita menyadari bahwakita hidup di dunia di mana berbagai perspektif dan nilaihidup berdampingan (coexist) dan bahwa tidak mungkin,karena alasan empiris, kita masing-masing akan menga-dopsi semua perspektif dan nilai tersebut, para teoretikusdemokrasi-liberal tersebut membayangkan bahwa, jikadisatukan, perspektif dan nilai-nilai tersebut memben-tuk suatu harmoni dan rangkaian non-konfliktual. Olehsebab itu, jenis pemikiran tersebut tidak mampu menje-laskan watak konfliktual yang semestinya dari pluralisme,yang berasal dari ketidakmungkinan untuk merekonsilia-sikan semua sudut pandang, dan inilah kenapa pemikirantersebut pasti menegasikan yang-politis dalam dimensi

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 133: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

antagonistiknya.Yang dipertaruhkan dalam perjuangan agonistik ada-

lah konfigurasi relasi kuasa yang membentuk tatanansosial dan jenis hegemoni yang dikonstruksi oleh rela-si kuasa tersebut. Konfrontasi antara berbagai proyekhegemonik yang saling berkonflik inilah yang tidak per-nah bisa direkonsialisasikan secara rasional. Oleh karenaitu, dimensi antagonistik selalu ada tetapi diberlakukanmelalui sarana konfrontasi, yang prosedurnya diterimaoleh para lawan (adversary). Tidak seperti model libe-ral, perspektif agonistik tersebut meyakini fakta bahwasetiap tatanan sosial terbentuk secara politis dan dasardi mana intervensi hegemonik terjadi tidak pernah ne-tral, karena tatanan sosial selalu merupakan produk daripraktik-praktik hegemoni sebelumnya. Tampak bahwaruang publik merupakan medan pertarungan di manaberbagai proyek hegemonik saling berkonfrontasi satu sa-ma lain, dengan tanpa kemungkinan adanya rekonsiliasifinal.

Distingsi antara antagonisme (relasi teman/musuh)dan agonisme (relasi di antara lawan) memungkinkanpemahaman tentang mengapa, bertentangan dengan apayang diyakini oleh banyak teoretikus demokrasi, tidakperlu meniadakan antagonisme yang memang tidak da-pat dihilangkan untuk memvisualisasikan pembentukantatanan demokratis.

Saya berpendapat bahwa konfrontasi agonistik, jauhdari merepresentasikan bahaya bagi demokrasi, dalam

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 134: ÈnX³x0 kX«X

L A M P I R A N T E O R E T I S

realitasnya merupakan syarat utama bagi eksistensi de-mokrasi. Tentu saja, demokrasi tidak dapat bertahantanpa bentuk-bentuk konsensus tertentu mengenai ke-setiaan pada nilai-nilai etika-politik yang membentukprinsip-prinsip legitimasinya, dan pada institusi-institusidi mana nilai-nilai tersebut bersemayam. Tapi bentukkonsensus tertentu ini juga harus memungkinkan ekspresiagonistik dari konflik, yang mensyaratkan bahwa warganegara benar-benar memiliki kemungkinan untuk memi-lih di antara berbagai alternatif yang ada. Demokrasiyang berfungsi dengan baik membutuhkan konfrontasidemokratik di antara berbagai posisi politik. Jika hal iniluput, makan selalu ada bahaya: konfrontasi demokratiktersebut akan digantikan oleh konfrontasi baik berbagainilai moral yang tidak dapat dinegosiasikan ataupunberbagai bentuk identifikasi esensialis.

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 135: ÈnX³x0 kX«X
Page 136: ÈnX³x0 kX«X

P E R S E M B A H A N

Dalam mengembangkan konsepsi saya tentang populismekiri, saya berhutang pada berbagai diskusi publik danpercakapan privat dengan Íñigo Errejón, Jean-Luc Mélen-chon, François Ruffin dan Yannis Stavrakakis, dengancara-cara yang berbeda, mereka berkontribusi terhadappengembangan argumen-argumen saya.

Saya sangat berterima kasih kepada Pauline ColonnaD’istria, Leticia Sabsay, James Schneider dan Christo-phe Ventura atas berbagai saran dan komentarnya yangsangat membantu.

Terakhir, saya ingin berterima kasih kepada Institu-te for Human Sciences in Vienna (IWM) karena telahmenyediakan lingkungan yang menyenangkan selamaberbulan-bulan, di musim semi 2017, ketika saya menulisbagian substansial dari naskah ini.

Page 137: ÈnX³x0 kX«X
Page 138: ÈnX³x0 kX«X

I N D E K S

AAganakitsmenoi 24Althusser, Louis 11Amerika Latin 12Amerika Serikat 102Austria 23

BBlair, Tony 4Bloco de Esquerda 26Bobbio, Norberto 64, 65Boltanski, Luc 42

CChiapello, Eve 42Corbyn, Jeremy 26, 47, 48Crouch, Colin 16

DDemokrasi Radikal 3Die Linke 26

EEropa Timur 12

FFreud, Sigmund 90Front Nasional 23Giddens, Anthony 4Gramsci, Antonio 2

HHabermas, Jürgen 18Haider, Jörg 23Hall, Stuart 5, 37Hardt, Michael 66, 67Harvey, David 63, 74Hayek, Friedrich 38, 39Huntington, Samuel 34

IIndignados 24Inggris 4, 26, 31, 32

Page 139: ÈnX³x0 kX«X

P O P U L I S M E K I R I

Komisi Trilateral (1975) 34London 31

JJaures, Jean 58Jerman 26

KKazin, Michael 102

LLa France Insoumise 26, 84Laclau, E. 1, 13, 34, 73Le Bon, Gustave 78Le Pen, Marine 28Lefort, Claude 53Lehman Brothers 15Lordon, Frédéric 93, 94

MMachiavelli 11, 12, 81Macpherson 17, 38Macron, Emmanuel 26Mélenchon, Jean-Luc 26Momentum 47

NNegri, Antonio 67

New Deal (US) 102Nuit Debout 24

OOccupy 24

PPartai Buruh 31Partai Buruh Baru 4Partai Kebebasan (FPÖ)23Partai Tories 31People’s Party (US) 102Perang Dunia Ke-II 14Podemos 25, 84, 105Portugal 26Prancis 23, 53

RRancière, Jacques 16, 53Rorty, Richard 94Ruffin, François 28, 119

SSanders, Bernie 102Scargill, Arthur 36Schmitt, Carl 17Spanyol 24, 51

��� C H A N T A L M O U F F E

Page 140: ÈnX³x0 kX«X

I N D E K S

Spinoza, Baruch de 92Stavrakakis, Yannis 93Streeck, Wolfgang 32Synaspismos 24Syriza 24, 25

TThatcher 5, 34, 55, 82Tocqueville, Alexis de 53

UUni Eropa 88UKIP (United KingdomIndependence Party) 28

WWittgenstein, Ludwig 94

YYunani 17

C H A N T A L M O U F F E ���

Page 141: ÈnX³x0 kX«X

Produksi pengetahuan hari-hari ini nyaris selalu membutuhkan topangan (pe)modal. Tepat ketika produksi pengetahuan itu menyandarkan diri sepenuhnya pada modal, maka saat itulah juga terjadi produksi kekuasaan—yang pada akhirnya juga akan memproduksi ketidaksetaraan: ada orang yang mampu mengakses pengetahuan, juga ada yang tidak mampu mengaksesnya. Antinomi Institute, sebuah organisasi nonprofit yang membaktikan dirinya untuk pengembangan pengetahuan, ingin memutus ketergantungan produksi pengetahuan pada modal—yang watak primordialnya adalah selalu untuk melipatgandakan dirinya—dan juga ingin memastikan bahwa pengetahuan itu bisa dinikmati oleh semua orang.

Sejauh ini, Antinomi Institute telah melakukan produksi dan distribusi pengetahuan melalui dua bentuk: situs web dan buku. Semuanya dikerjakan dengan semangat untuk memproduksi pengetahuan, bukan untuk mengakumulasi kapital. Semua konten di situs web kami bisa diakses secara gratis, beberapa buku cetak dijual hanya untuk mengganti biaya produksi, selebihnya dibagikan secara gratis, dan semua buku elektronik (ebook) yang kami buat juga dibagikan secara gratis. Namun, untuk memastikan keberlanjutan itu semua, kami memerlukan keterlibatan Anda sebagai pembaca dan penikmat pengetahuan untuk memberikan bantuan dan dukungan material.

Sebagaimana moto “Sci-Hub”, kami ada untuk “removing barriers on the way of knowledge”.

Jika kalian merasa terbitan-terbitan Antinomi penting, kaliandapat membantu kami untuk tetap konsisten dalam memproduksipengetahuan yang lebih inklusif melalui:

BCA: 521-1386-747 (Fajar Nurcahyo)HSBC: 623-608643-844 (Fajar Nurcahyo)DANA: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)OVO: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)LINKAJA: 081294567235 (Fajar Nurcahyo)

Page 142: ÈnX³x0 kX«X

9 7 8 6 0 2 5 1 9 0 8 8 9

ISBN 978 602 51908 8 9

Populisme Kiri (For a Left Populism) merupakan karya paling mutakhir dalam karir akademis Chantal Mouffe. Dalam buku ini Mouffe ingin menegaskan bahwa populis kiri sebagai pengusung nilai-nilai ideal dan visi progresif harus ikut turun dalam kontestasi demokratik sebelum demokrasi benar-benar dikuasai oleh populis kanan yang mengglorifikasi politik identitas melalui sentimen-sentimen rasial, keagamaan, kesukuan, xenofobik, intoleransi, dan lain sebagainya.

Buku ini merupakan terbitan pertama dari proyek Urundana Antinomi. Oleh karenanya terbitnya buku ini tidak lepas dari dukungan semua pihak, terutama donatur, baik dalam bentuk material maupun moral. Melalui buku ini kami berharap dapat membuka alternatif produksi pengetahuan yang melulu terpusat pada akumulasi kapital menjadi milik publik. Dengan demikian pengetahuan menjadi lebih mudah diakses oleh semua orang.

U R U N D A N A P R O J E C T