1
Dyah Indrawati Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta S ITUS kapal Punjul- harjo merupakan sebuah temuan bangkai perahu kuno dan diperkirakan ber- asal dari sekitar abad ke-7. Situs itu berlokasi di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Jawa Tengah, dan bisa menjadi bukti aktivitas maritim di Nusantara di masa lampau. Jauh sebelum temuan ter- kini dari Punjulharjo, relief Candi Borobudur yang diban- gun seabad sebelumnya me- nyimpan tatahan kapal. Ada 10 perahu terpahat pada sem- bilan panel relief. Kita masih bisa menjumpainya hingga hari ini. “Tidak kurang dari 10 relief di Borobudur me- lukiskan perahu atau kapal,” menurut AB Lapian (2008:20). Jenisnya antara lain perahu le- sung, kapal besar tak bercadik, dan kapal besar bercadik. Dari ke 10 relief tersebut, 4 perahu berukuran besar dengan 2 tiang, 2 kapal besar bercadik dengan 1 tiang, 2 perahu le- sung, dan 2 kapal besar tidak bercadik dengan 1 tiang. Kisah kapal di relief Candi Borobudur tidak henti di situ saja. Sebuah upaya merekon- struksi kapal Borobudur per- nah dilakukan Phillip Beale, mantan anggota Angkatan Laut Inggris, dibantu Nick Burningham, arkeolog mari- tim dari Inggris, yang kemu- dian diproduksi di Sumenep, Madura. Kapal Borobudur itu ‘dihidupkan’ dari salah satu relief yang tertatah di dinding candi. Pada 2003, kapal Borobudur berhasil melakukan ekspedisi mela- lui rute Jakarta-Madagaskar- Cape Town-Ghana. Sebuah jelajah laut yang jauh dengan keyakinan pada teknologi tradisional. Lalu, apakah upaya re- konstruksi tersebut mam- pu membangkitkan gairah kemaritiman di Nusantara? Ekspedisi-ekspedisi sejenis, seperti Pelayaran Ekspedisi Phinisi Nusantara, Jakarta- Vancouver pada 1986, terasa seperti gaung yang sayup tak sampai. Beberapa ahli terkait bah- kan berasumsi jika kapal yang terpahat di relief Candi Borobudur bukan kapal lokal dan dipandang lebih mirip dengan kapal-kapal asing. Van Erp dalam koleksi foto Barabudur (1920) menyeja- jarkan bentuk kapal tersebut memang mirip dengan kapal- kapal Arab. Namun, layar pada bagian buritan telah mengalami modikasi bentuk segitiga atau layar sudu-sudu. Pertanyaannya, apakah modi- fikasi tersebut merupakan sebuah bentuk penyesuaian teknologi untuk pelayaran di wilayah Nusantara? Bukankah secara geogras memang jalur itu merupakan persimpangan sibuk sejak ribuan tahun silam. Saya menduga kapal-kapal itu juga wara-wiri dan melakukan aktivitas pelayaran di sini. Jika ada sebuah peradaban yang mampu membangun candi semegah Borobudur, membangun sederetan kapal hingga armada laut menurut pendapat saya, itu bukan hal yang mustahil! Mari kita beranjak ke za- man yang lebih muda, ketika kapal Cornelis de Houtman hendak merapat di Madu- ra. Kapal-kapal setempat bergegas menghampiri dan menggiringnya ke tepian. Adegan itu tergambar dalam sebuah sketsa lama koleksi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Seperti halnya ketika VOC hendak merapat di pelabuhan Ban- ten pada 1596, dapat dilihat kapal-kapal dagang mereka dikepung dan digiring kapal- kapal lokal. Kapal-kapal lokal memang berukuran relatif lebih kecil. Namun, jumlahnya sangat banyak. Itu menun- jukkan kedaulatan laut, ‘saat itu’, masih menjadi bagian dari wilayah Nusantara, dan bandar-bandar penting senan- tiasa memiliki armada pen- jagaan yang ketat. Sketsa de- ngan media kertas dan tinta juga mampu menggambarkan fakta historis pada masanya, awal zaman modern. Begitu pun relief candi, dapat memi- liki fungsi serupa. Saat bukti tertulis sudah ada, dalam sebuah catatan ha- rian dua orang utusan Inggris, yaitu Ralph Ord dan William Cawley, ketika hendak mela- kukan negosiasi di Aceh pada 1684 yang oleh Anthony Far- rington (1999) disebut sebagai Unpublished English Docu- ment, menarasikan betapa rumit prosedur memasuki bandar di ujung paling barat Nusantara. Kedaulatan ban- dar-bandar menjadi simbol kedaulatan laut dan bahkan sebuah negara. Di bandar tersedia apa saja yang dibu- tuhkan kapal-kapal, mulai dari suplai bahan makanan, awak, cukai, hingga galangan untuk perbaikan kapal. Maka, pengawalan ekstra dan prose- dur yang ketat menjadi masuk akal. Pada era yang lebih modern, dalam buku Het Indische Boek Der Zee karya Dr DA Rinkes, N Van Zalinge dan JW De Roever (1927) menampilkan gambar empat buah perahu yang ter- pahat di relief Candi Borobu- dur, sekaligus mengungkap informasi penelitian awal atas ciri geogra, sik, dan biologi perairan Nusantara dalam Ekspedisi Siboga (1899-1900), yaitu ekspedisi zoologis dan hidrogas di perairan Hindia Belanda bagian timur meliputi perairan Flores, Sawu, Banda, dan Celebes yang dipimpin Prof Max Wilhelm Carl Weber. Dari penelitian itu dihasilkan peta konfigurasi dasar laut pertama yang disusun oleh GT Tydeman (1903). Informasi lain yang dihadirkan ialah ragam praw-praw khas Nu- santara, mulai perahu jukung dan perahu bingkung dari Cirebon, perahu belungkang, perahu kolek dari Banten, perahu tembo, perahu majang dari Pasuruan, hingga perahu Bugis. Setiap perahu begitu unik meski ukurannya tak ada yang spektakuler. Jika bukti-bukti tersebut terasa masih kabur atas alasan koleksi kapal-kapal Nusantara dipandang terlalu ‘mungil’ untuk dibanggakan dan di- anggap tidak mampu berlayar jauh, bagaimana dengan bukti ilmiah? Riset genetika oleh He- rawati Sudoyo menyimpulkan bahwa nenek moyang pendu- duk Madagaskar berasal dari 30 perempuan Indonesia yang datang ke pulau itu sekitar 1.200 tahun silam. Bagaimana mereka tiba di sana? Jarak Madagaskar-Indonesia lebih dari 6.400 kilometer. Mung- kinkah teknologi di Mada- gaskar lebih tinggi daripada Nusantara? Atau kita ikut menumpang kapal-kapal dari sekitar situ? Bukankah kita juga boleh menduga bahwa nenek moyang kita telah ber- sampan sejauh itu? Namun, lagi-lagi, bukti-bukti itu seperti tak sanggup meya- kinkan bahwa Indonesia raya merupakan sebuah kepulauan yang dikelilingi lautan dan la- yak berbasis maritim. Negeri maritim? Kita ‘galau’ dengan kemar- itiman bangsa ini. Bahkan jejak maritim di relief Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 dipandang masih menyimpan tabir ge- lap. Di Magelang, daya pikat Candi Borobudur belum surut. Situs itu bukan sebatas tempat wisata melainkan sebuah teks yang belum terbuka seutuh- nya. Relief-reliefnya dapat diperlakukan sebagai sebuah berita dari masa silam. ‘Dia’ hanya menunggu untuk terus dieksplorasi lebih serius sebe- lum benar-benar aus. Di luar sana, sebuah kerja rekonstruksi pikiran masya- rakat dan negara pada masa Paraoh dilakukan oleh Ismail Kadare, orang Albania, da- lam melihat pembangunan piramida Mesir. Hasil kerja itu ditulis dalam bentuk sastra, yakni Piramid (2011). Usia piramida Mesir 2.600 SM. Bandingkan dengan umur Candi Borobudur! Anehnya, si- tus Borobudur yang berumur jauh lebih muda, terasa lebih tua daripada piramida Mesir. Sejujurnya yang kita butuhkan adalah sebuah keberanian dan imajinasi seperti Kadare. De- ngan begitu, kita tahu bahwa masa lalu kepulauan ini juga menyimpan gagasan-gagasan besar. (M-6) [email protected] Jejak Maritim di Relief Candi Borobudur Ada 10 perahu terpahat pada sembilan panel relief yang bisa menggambarkan kejayaan maritim Nusantara di masa lalu. CREATIVE MOVE Kita ‘galau’ dengan kemaritiman bangsa ini. Bahkan jejak maritim di relief Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 dipandang masih menyimpan tabir gelap. 18 MINGGU, 7 SEPTEMBER 2014 Alternatif Menghadapi Pembatasan BBM Karya: Bramasta K Lasut Universitas Katolik Parahyangan Bandung JEJAK MARITIM : Relief-relief tentang kapal dan aktivitas pelayaran Nusantara di Candi Borobudur. DOK DYAH MERTA

Jejak Maritim di Relief Candi Borobudur

Embed Size (px)

Citation preview

Dyah IndrawatiJurusan Ilmu SejarahUniversitas Sanata Dharma, Yogyakarta

SITUS kapal Punjul-har jo merupakan s e b u a h t e m u a n b a n g k a i p e r a h u

kuno dan diperkirakan ber-asal dari sekitar abad ke-7. Situs itu berlokasi di Desa Punjulharjo , Kecamatan Rembang, Jawa Tengah, dan bisa menjadi bukti aktivitas maritim di Nusantara di masa lampau.

Jauh sebelum temuan ter-kini dari Punjulharjo, relief Candi Borobudur yang diban-gun seabad sebelumnya me-nyimpan tatahan kapal. Ada 10 perahu terpahat pada sem-bilan panel relief. Kita masih bisa menjumpainya hingga hari ini. “Tidak kurang dari 10 relief di Borobudur me-lukiskan perahu atau kapal,” menurut AB Lapian (2008:20). Jenisnya antara lain perahu le-sung, kapal besar tak bercadik, dan kapal besar bercadik. Dari ke 10 relief tersebut, 4 perahu berukuran besar dengan 2 tiang, 2 kapal besar bercadik dengan 1 tiang, 2 perahu le-sung, dan 2 kapal besar tidak bercadik dengan 1 tiang.

Kisah kapal di relief Candi Borobudur tidak henti di situ saja. Sebuah upaya merekon-struksi kapal Borobudur per-nah dilakukan Phillip Beale, mantan anggota Angkatan Laut Inggris, dibantu Nick Burningham, arkeolog mari-tim dari Inggris, yang kemu-dian diproduksi di Sumenep,

Madura. Kapal Borobudur itu ‘dihidupkan’ dari salah satu relief yang tertatah di dinding candi. Pada 2003, kapal Borobudur berhasil melakukan ekspedisi mela-lui rute Jakarta-Madagaskar-Cape Town-Ghana. Sebuah jelajah laut yang jauh dengan keyakinan pada teknologi tradisional.

Lalu, apakah upaya re-konstruksi tersebut mam-pu membangkitkan gairah kemaritiman di Nusantara? Ekspedisi-ekspedisi sejenis, seperti Pelayaran Ekspedisi Phinisi Nusantara, Jakarta-Vancouver pada 1986, terasa seperti gaung yang sayup tak sampai.

Beberapa ahli terkait bah-kan berasumsi jika kapal yang terpahat di relief Candi Borobudur bukan kapal lokal dan dipandang lebih mirip dengan kapal-kapal asing. Van Erp dalam koleksi foto Barabudur (1920) menyeja-jarkan bentuk kapal tersebut memang mirip dengan kapal-kapal Arab. Namun, layar pada bagian buritan telah mengalami modifi kasi bentuk segitiga atau layar sudu-sudu. Pertanyaannya, apakah modi-fikasi tersebut merupakan sebuah bentuk penyesuaian teknologi untuk pelayaran di wilayah Nusantara? Bukankah secara geografi s memang jalur itu merupakan persimpangan sibuk sejak ribuan tahun silam. Saya menduga kapal-kapal itu juga wara-wiri dan melakukan aktivitas pelayaran di sini. Jika ada sebuah peradaban yang mampu membangun

candi semegah Borobudur, membangun sederetan kapal hingga armada laut menurut pendapat saya, itu bukan hal yang mustahil!

Mari kita beranjak ke za-man yang lebih muda, ketika kapal Cornelis de Houtman hendak merapat di Madu-ra. Kapal-kapal setempat bergegas menghampiri dan menggiringnya ke tepian. Adegan itu tergambar dalam sebuah sketsa lama koleksi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Seperti halnya ketika VOC hendak

merapat di pelabuhan Ban-ten pada 1596, dapat dilihat kapal-kapal dagang mereka dikepung dan digiring kapal-kapal lokal. Kapal-kapal lokal memang berukuran relatif lebih kecil. Namun, jumlahnya sangat banyak. Itu menun-jukkan kedaulatan laut, ‘saat itu’, masih menjadi bagian dari wilayah Nusantara, dan bandar-bandar penting senan-tiasa memiliki armada pen-jagaan yang ketat. Sketsa de-ngan media kertas dan tinta juga mampu menggambarkan fakta historis pada masanya,

awal zaman modern. Begitu pun relief candi, dapat memi-liki fungsi serupa.

Saat bukti tertulis sudah ada, dalam sebuah catatan ha-rian dua orang utusan Inggris, yaitu Ralph Ord dan William Cawley, ketika hendak mela-kukan negosiasi di Aceh pada 1684 yang oleh Anthony Far-rington (1999) disebut sebagai Unpublished English Docu-ment, menarasikan betapa rumit prosedur memasuki bandar di ujung paling barat Nusantara. Kedaulatan ban-dar-bandar menjadi simbol kedaulatan laut dan bahkan sebuah negara. Di bandar tersedia apa saja yang dibu-tuhkan kapal-kapal, mulai dari suplai bahan makanan, awak, cukai, hingga galangan untuk perbaikan kapal. Maka, pengawalan ekstra dan prose-dur yang ketat menjadi masuk akal.

Pada era yang lebih modern, dalam buku Het Indische Boek Der Zee karya Dr DA Rinkes, N Van Zalinge dan JW De Roever (1927) menampilkan gambar empat buah perahu yang ter-pahat di relief Candi Borobu-dur, sekaligus mengungkap informasi penelitian awal atas ciri geografi , fi sik, dan biologi perairan Nusantara dalam Ekspedisi Siboga (1899-1900), yaitu ekspedisi zoologis dan hidrogafi s di perairan Hindia Belanda bagian timur meliputi perairan Flores, Sawu, Banda, dan Celebes yang dipimpin

Prof Max Wilhelm Carl Weber. Dari penelitian itu dihasilkan peta konfigurasi dasar laut pertama yang disusun oleh GT Tydeman (1903). Informasi lain yang dihadirkan ialah ragam praw-praw khas Nu-santara, mulai perahu jukung dan perahu bingkung dari Cirebon, perahu belungkang, perahu kolek dari Banten, perahu tembo, perahu majang dari Pasuruan, hingga perahu Bugis. Setiap perahu begitu unik meski ukurannya tak ada yang spektakuler.

Jika bukti-bukti tersebut terasa masih kabur atas alasan koleksi kapal-kapal Nusantara dipandang terlalu ‘mungil’ untuk dibanggakan dan di-anggap tidak mampu berlayar jauh, bagaimana dengan bukti ilmiah? Riset genetika oleh He-rawati Sudoyo menyimpulkan bahwa nenek moyang pendu-duk Madagaskar berasal dari 30 perempuan Indonesia yang datang ke pulau itu sekitar 1.200 tahun silam. Bagaimana mereka tiba di sana? Jarak Madagaskar-Indonesia lebih dari 6.400 kilometer. Mung-kinkah teknologi di Mada-gaskar lebih tinggi daripada Nusantara? Atau kita ikut menumpang kapal-kapal dari sekitar situ? Bukankah kita juga boleh menduga bahwa nenek moyang kita telah ber-sampan sejauh itu?

Namun, lagi-lagi, bukti-bukti itu seperti tak sanggup meya-kinkan bahwa Indonesia raya

merupakan sebuah kepulauan yang dikelilingi lautan dan la-yak berbasis maritim.

Negeri maritim?Kita ‘galau’ dengan kemar-

itiman bangsa ini. Bahkan jejak maritim di relief Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 dipandang masih menyimpan tabir ge-lap. Di Magelang, daya pikat Candi Borobudur belum surut. Situs itu bukan sebatas tempat wisata melainkan sebuah teks yang belum terbuka seutuh-nya. Relief-reliefnya dapat diperlakukan sebagai sebuah

berita dari masa silam. ‘Dia’ hanya menunggu untuk terus dieksplorasi lebih serius sebe-lum benar-benar aus.

Di luar sana, sebuah kerja rekonstruksi pikiran masya-rakat dan negara pada masa Paraoh dilakukan oleh Ismail Kadare, orang Albania, da-lam melihat pembangunan piramida Mesir. Hasil kerja itu ditulis dalam bentuk sastra, yakni Piramid (2011).

Usia piramida Mesir 2.600 SM. Bandingkan dengan umur Candi Borobudur! Anehnya, si-tus Borobudur yang berumur jauh lebih muda, terasa lebih tua daripada piramida Mesir. Sejujurnya yang kita butuhkan adalah sebuah keberanian dan imajinasi seperti Kadare. De-ngan begitu, kita tahu bahwa masa lalu kepulauan ini juga menyimpan gagasan-gagasan besar. (M-6)

[email protected]

Jejak Maritimdi Relief Candi Borobudur

Ada 10 perahu terpahat pada sembilan panel relief yang bisa menggambarkan kejayaan maritim Nusantara di masa lalu.

CREATIVE MOVE

Kita ‘galau’ dengan kemaritiman bangsa ini. Bahkan jejak maritim

di relief Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 dipandang

masih menyimpantabir gelap.

18 MINGGU, 7 SEPTEMBER 2014

Alternatif Menghadapi Pembatasan BBM

Karya: Bramasta K LasutUniversitas Katolik

Parahyangan Bandung

JEJAK MARITIM : Relief-relief tentang kapal dan aktivitas pelayaran Nusantara di Candi Borobudur.

DOK DYAH MERTA