99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user EFEKTIVITAS PE DITINJAU DA SIS (Studi Kasus M FAKULTA UN i EMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEK ARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK SWA TAHUN AJARAN 2009 / 2010 Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta SKRIPSI OLEH ARY KUSMAWATI NIM : K6406002 S KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN NIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 KERTI KU a)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac · Gatot Katmanto, S. Pd, Drs. Wardoyo, Mastyasto, S. Pd selaku guru Pendidikan Budi Pekerti SMP Negeri 14 Surakarta yang dengan senang hati

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

EFEKTIVITAS PE

DITINJAU DAR

SIS

(Studi Kasus M

FAKULTAS

UN

i

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEK

ARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAK

SWA TAHUN AJARAN 2009 / 2010

s Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta

SKRIPSI

OLEH

ARY KUSMAWATI

NIM : K6406002

AS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

KERTI

AKU

rta)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU

SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010

(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)

Oleh

ARY KUSMAWATI

NIM : K6406002

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Ary Kusmawati. EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DITINJAU DARI TINGKAT PENYIMPANGAN PERILAKU SISWA TAHUN AJARAN 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta). Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Desember. 2010.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010. (2) Mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti. (3) Mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data. Analisis data menggunakan analisis interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian menggunakan langkah-langkah yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyusunan laporan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: faktor dari dalam individu (instrinsik) meliputi: keinginan minum-minuman keras hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan, dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa frustasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi. Faktor dari luar individu (ekstrinsik) meliputi: penjualan minuman keras secara bebas, faktor keluarga, faktor lingkungan pergaulan dan faktor sekolah. (2) Perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti pada tahun ajaran 2004/2005 lebih rendah dengan prosentase 0,4 % dibandingkan setelah sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti tahun ajaran 2009/2010 lebih tinggi dengan prosentase 4,8 %. (3) Sesuai dengan indikator dari efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti, pembelajaran pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dapat dikatakan belum efektif dan tingkat efektifnya masih rendah hal tersebut dapat dilihat dari indikator input, proses dan outputyang belum sesuai dengan yang diharapkan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT

Ary Kusmawati. MORAL PHYLOSOPHY EDUCATION EFFECTIVENESS OBSERVED FROM STUDENTS’ BEHAVIORAL DEVIATION LEVEL IN ACADEMIC YEAR 2009/2010 (Alcoholic Drink Case Study at State Junior High School 14 Surakarta). Thesis. Surakarta: Faculty of Teaching and Education Training. University of Sebelas Maret. December. 2010.

This reserach was aimed (1) To know factors that encourage students of State Junior High School 14 Surakarta in academic year 2009/2010 consume alcoholic drink. (2) To know the difference level of alcoholic behavior before and after State Junior High School 14 Surakarta applying moral phylosophy education to its students. (3) To know moral phylosophy education effectiveness level observed from alcoholic deviation behavior level.

This research used descriptive-qualitative method with strategy of a case study reserach. Sources of data in this reserach were informant, happening and document. The sampling technique was purposive sampling. The technique of collecting data were by interview, observation and document analysis. Data validity was gained by data trianggulation. The data analysis used interactive analysis i.e data collection, data reduction, data presentation and drawing conclusion. The research procedure used steps as follow: phase of preparation, phase of collecting data, phase of analyzing data and phase of arranging report.

Based on the analysis, some conclusion can be drawn as follow (1)Factors that encourage students to consume alcoholic drink can be clasified into two: First, intrinsik factors (from the inside of the students) covering: to get pleasure and satisfaction, to grew self confidence, to release frustation and to fulfil high couriousity . Second, ekstrinsik factors (from the outside of the students) covering: freely access to alcoholic drink, factor from family, environment and school. (2) The difference level of alcoholic behavior before State Junior High School 14 Surakarta applying moral phylosophy education was lower with 0,44 %. While after the school has applied moral phylosophy education was higher with 4,8 %. (3) According to the effectiveness indicator, moral phylosophy education in State Junior High School 14 Surakarta can be said ineffective. It can be seen from input, process and output indicator which were inappropriate with the expectation.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

“Keluaran pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang pintar,

tetapi juga orang baik”

(M. Furqon Hidayatullah)

”Sesungguhnya orang yang paling mulia pada sisi Allah, ialah orang yang paling

taqwa ”.

( Surat Al-Hujarat ayat 13 )

“Ilmu menata pengetahuan, kearifan menata kehidupan”

(Immanuel Kant)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

• Bapak dan Ibu tercinta yang telah

memberikan doa dan motivasi

• Adik-adik tersayang, Budi, Lina dan Ferdy

• Mas Umar yang selalu mendukung

• Teman-teman PKn angkatan 2006

khususnya teman-teman Ra_Mbaong

• Almamater

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat serta karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini yang berjudul ”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti

Ditinjau Dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010

(Studi Kasus Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari prasyarat guna

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada program Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk

bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.

2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

4. Drs. Machmud, AR, SH, Msi selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah

memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Drs. Suyatno, M.Pd selaku Pembimbing II yang dengan sabar telah

memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis

menyelesaikan skripsi ini

6. Wijianto S. Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan

bimbingan serta pengarahan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Drs. Y. Himawan Samudra selaku Kepala SMP Negeri 14 Surakarta yang

telah memberikan ijin penelitian

9. Gatot Katmanto, S. Pd, Drs. Wardoyo, Mastyasto, S. Pd selaku guru

Pendidikan Budi Pekerti SMP Negeri 14 Surakarta yang dengan senang hati

membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan dalam

penyusunan skripsi ini

10. Siswa SMP Negeri 14 Surakarta yang telah membantu penulis dalam

pengumpulan data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

11. Semua pihak yang membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi ini.

Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan

anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan.

Penyusunan skripsi ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin,

namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan karena

keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya

dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Desember 2010

Penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN .......................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………... .. iii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv

HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... v

ABSTRACT ................................................................................................... vi

MOTTO ....................................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................. ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 7

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ................................................................... 9

1. Teori Sikap dan Perilaku .................................................. 9

2. Efektivitas Pembelajaran .................................................. 12

3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti ............................. 15

4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras .......................... 26

B. Kerangka Berpikir ................................................................. 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ 35

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ............................................... 35

C. Sumber Data .......................................................................... 36

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

D. Teknik Sampling ................................................................... 38

E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 39

F. Validitas Data ........................................................................ 40

G. Analisis Data ......................................................................... 42

H. Prosedur Penelitian ................................................................ 43

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................... 45

1. Letak Geografis SMP Negeri 14 Surakarta ....................... 45

2. Profil SMP Negeri 14 Surakarta ....................................... 45

3. Visi dan Misi Sekolah ...................................................... 46

4. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 14 Surakarta ...... 46

5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan di SMP Negeri 14

Surakarta .......................................................................... 47

6. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran di SMP Negeri 14

Surakarta ......................................................................... 49

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian ....................................... 50

1. Faktor-Faktor yang Mendorong Siswa Melakukan

Minuman Keras di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun

Ajaran 2009/2010 ........................................................... 50

2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman

Keras Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta

Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti............................... 62

3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti

Ditinjau dari Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa

Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras

Di SMP Negeri 14 Surakarta) .......................................... 65

C. Temuan Studi ........................................................................ 75

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................ 79

B. Implikasi ................................................................................ 81

C. Saran ...................................................................................... 82

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 83

LAMPIRAN ................................................................................................. 85

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

Tabel

1. Jadual Kegiatan Penelitian …………………………….......

2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku

Minuman Keras.....................................................................

3. Daftar Nama Kepala Sekolah SMP Negeri 14

Surakarta...............................................................................

4. Daftar Kelas dan Jumlah Seluruh Siswa Tahun Ajaran

2009/2010.............................................................................

5. Waktu Pelaksanaan KBM di SMP Negeri 14

Surakarta…...........................................................................

6. Faktor Pendorong Penyimpangan Perilaku Minuman

Keras.....................................................................................

7. Jumlah Faktor Pendorong Siswa Melakukan

Penyimpangan Perilaku Minuman

Keras.....................................................................................

8. Jumlah Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)..................

9. Jumlah Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)....................

10.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun

2004/2005.............................................................................

11.Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun

2009/2010.............................................................................

12.Jumlah Siswa yang Melakukan Minuman keras dan

Jumlah Siswa........................................................................

Halaman

35

37

47

48

49

60

60

61

61

64

64

64

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Gambar

1. Skema Kerangka Pemikiran ……………………………

2. Analisis Data Model Interaktif .......................................

Halaman

34

43

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Lampiran

1. Daftar Informan ...............................................................

2. Silabus, RPP dan Jurnal Kegiatan Pendidikan Budi

Pekerti...............................................................................

3. Panduan Wawancara.........................................................

4. Catatan Lapangan Wawancara dengan Koordinator

Bidang Kurikulum...........................................................

5. Catatan Lapangan Wawancara dengan Guru Pendidikan

Budi Pekerti.....................................................................

6. Catatan Lapangan Wawancara dengan Siswa yang

Melakukan Minuman Keras ...........................................

7. Gambar Kegiatan Penelitian.............................................

8. Trianggulasi Data..............................................................

9. Trianggulasi Metode.........................................................

10. Penanganan Siswa Yang Melanggar Tata

Tertib...............................................................................

11. Data Jumlah Pelanggaran Siswa....................................

12. Pembagian Tugas Tenaga Edukatif dan Non

Edukatif..........................................................................

13. Raport Siswa..................................................................

14. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada

Dekan FKIP UNS ...........................................................

15. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin

Penyusunan Skripsi ........................................................

16. Surat Permohonan Ijin Survey Kepada Kepala SMP

Negeri 14 Surakarta.........................................................

17. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada

Rektor UNS ....................................................................

18. Surat Permohonan Ijin Research Kepada Kepala SMP

Halaman

85

87

206

209

212

221

239

242

244

247

250

252

255

256

257

258

259

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

Lampiran

Lampiran

Lampiran

Negeri 14 Surakarta ........................................................

19. Surat Permohonan Surat Pengantar Ijin Survey Kepada

Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kota

Surakarta..................................................

20. Surat Keterangan Telah Melakukan Survey dari Ketua

MGMP Pendidikan Budi Pekerti dan Kasi Kurikulum

Diknas SMP.....................................................................

21. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari

SMP Negeri 14 Surakarta................................................

260

261

262

263

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam

pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan

sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat

dilakukan melalui pendidikan, mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan

sekolah dan masyarakat. Salah satu SDM yang dimaksud dapat berupa generasi

muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader

pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan

secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1,

tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa:

Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Mendiknas, 2003: 6)

Menurut Yahudi (2006, http://en wikipedia.teacher.com/) menyatakan

bahwa:

Hal itu berarti bahwa pendidikan yang diberikan kepada peserta didik merupakan perpaduan dari keseluruhan aspek kehidupan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat ditempuh melalui perbaikan sistem pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter siswa sejak tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk: perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, transmisi cultural, integrasi sosial, inovasi, dan pra seleksi serta pra alokasi tenaga kerja.

Tugas pendidikan sekolah dalam hal ini adalah untuk mengembangkan

segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui

pendidikan sekolah. Perbaikan sistem pendidikan harus mengarah pada

peningkatan kualitas pembelajaran yang meliputi unsur kognitif yang ditunjukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

dengan hasil belajar dan afektif yang ditunjukkan dengan perilaku siswa yang

baik. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan pengetahuan,

kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka

pembentukan dan pengembangan diri peserta didik.

Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja,

direncanakan, dengan bimbingan guru serta pendidik lainnya. Kegiatan belajar

tersebut sangat diperlukan, karena semakin banyaknya dan semakin tingginya

tuntutan kehidupan masyarakat. Siswa di sekolah memperoleh pelajaran dan

pengetahuan, diharapkan nanti bukan hanya aspek kognitifnya yang diperoleh

melainkan aspek afektif dan psikomotorik yaitu siswa mampu menilai perbuatan

itu baik atau buruk serta mampu mengimplementasikan perbuatan yang baik itu

dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu mata pelajaran yang dibutuhkan siswa

untuk mengembangkan kepribadiannya agar memiliki hati nurani yang baik yaitu

pendidikan budi pekerti.

Menurut Sjarkawi (2006: 32) mengungkapkan bahwa “Pendidikan

budi pekerti memiliki esensi yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan

akhlak”, sedangkan menurut Jarolimek (dalam Nurul Zuriah, 2007: 19-20)

dijelaskan bahwa:

Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin dan kerjasama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerjasama).

Hakikat dari pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah dengan maksud antara lain untuk membangun generasi masa depan agar selain cerdas juga berakhlak dan berbudi pekerti luhur. Adapun kurikulum yang digunakan untuk pendidikan nilai adalah pendidikan budi pekerti, artinya nama yang digunakan bukan pendidikan akhlak, bukan pendidikan tata krama, dan bukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

pendidikan etika melainkan istilah yang digunakan adalah pendidikan budi pekerti. (Sjarkawi, 2006: 32).

Pembelajaran pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak hanya

mempelajari tentang konsep, teori dan fakta tetapi juga aplikasi dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu, materi pembelajaran pendidikan budi pekerti tidak

hanya tersusun atas hal-hal yang bersifat hafalan tetapi juga tersusun atas materi

yang memerlukan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan program-

program pendidikan budi pekerti perlu disertai dengan keteladanan guru, orang

tua, dan orang dewasa pada umumnya.

Usia remaja adalah usia dimana anak atau individu berada pada masa-

masa labil, sehingga kondisi penekanan-penekanan atau masalah yang muncul

membuat remaja kehilangan kontrol diri, akhirnya mereka mencari pelarian.

Tempat pelarian inilah yang mereka salahgunakan untuk melepaskan semua

masalah yang dihadapi, dan kemudian munculah penyimpangan perilaku. Salah

satunya adalah pelarian kepada minum-minuman keras. Tersedianya tempat-

tempat untuk membeli minuman keras menyebabkan mereka dengan mudah

mendapatkan minuman keras. Kondisi keluarga yang buruk atau tidak harmonis,

biasanya akan membuat anak mencari sesuatu yang tidak ia dapat di dalam

keluarganya yaitu dengan jalan pelarian ke arah tindakan yang menyimpang.

Selain itu pengaruh lingkungan pergaulan terutama dari teman sebaya sangat

dominan membentuk tingkah laku anak, dan tidak sedikit pengaruh tersebut

membawa pada tingkah laku yang menyimpang. Faktor dari dalam individu

sendiri juga mempengaruhi tingkah laku anak dalam melakukan tindakan

minuman keras.

Pembelajaran pendidikan budi pekerti di sekolah menjadi alternatif

membantu siswa berkembang menjadi pribadi yang berbudi pekerti baik, oleh

karena itu pembelajaran pendidikan budi pekerti sangat diharapkan dapat

mengatasi penyimpangan perilaku khususnya minuman keras sehingga efektif

tidaknya pendidikan budi pekerti sangat berpengaruh terhadap perkembangan

perilaku siswa. Apabila pendidikan budi pekerti dilaksanakan secara efektif maka

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

diharapkan akan mencapai tujuan yang semaksimal mungkin sehingga dapat

mengurangi bahkan menghilangkan penyimpangan perilaku yang terjadi.

Berdasarkan wawancara dengan kepala sub bidang kurikulum SMP

Dikpora di Surakarta mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti mulai

diterapkan di SMP Surakarta, untuk tahun 2003/2004 hanya 4 sekolah yang sudah

menerapkan pendidikan budi pekerti, sedangkan tahun 2004/2005 meningkat

menjadi 10 sekolah baik negeri maupun swasta, dan untuk tahun berikutnya

penerapan pendidikan budi pekerti dinilai berhasil maka pada tahun 2005 seluruh

SMP baik negeri maupun swasta sudah menerapkan pendidikan budi pekerti,

Dikpora kota Surakarta bekerja sama dengan UNICEF dan BAPPEDA. Oleh

karena itu, Dikpora kota Surakarta menghimbau kepada SMP Negeri maupun

Swasta untuk menerapkan kembali pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi

pekerti diberikan di SMP karena usia anak SMP dinilai pola berpikir anak sudah

mampu untuk diajak memahami dan melihat nilai-nilai hidup berdasar

pertanggungjawabannya serta dasar pemikirannya.

SMP Negeri 14 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang

menerapkan pendidikan budi pekerti. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah

satu guru pendidikan budi pekerti mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti ini

bukan suatu mata pelajaran yang diujikan dalam semesteran atau kenaikan kelas,

melainkan hanya suatu pendidikan nilai yang diberikan kepada siswa untuk

membentuk dan mengembangkan unsur karakter atau watak yang mengandung

hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan dengan cara

menanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa. Paul Suparna, Moerti

Yoedho, Detty Titisari dan Kartono (2002: 45-52) mengungkapkan bahwa

“Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan seperti metode

demokrasi, pencarian bersama, siswa aktif, keteladanan, live in dan metode

penjernihan nilai dalam berbagai pendekatan dapat digunakan juga dalam proses

pengajaran pendidikan budi pekerti”. Oleh karena itu, diterimanya nilai-nilai budi

pekerti oleh siswa sejalan dengan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai yang diinginkan.

Efektif tidaknya suatu pembelajaran dapat diukur dengan indikator

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

efektivitas, salah satu indikator efektivitas adalah indikator output, yaitu

mencakup hasil-hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap atau tujuan

pembelajaran dapat tercapai semaksimal mungkin. Tujuan pendidikan budi

pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta belum mencapai hasil atau tujuan yang

maksimal, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melakukan

penyimpangan minuman keras. Adanya penyimpangan perilaku minuman keras di

SMP Negeri 14 Surakarta, dengan jumlah siswa yang tidak sedikit, maka hal

tersebut perlu adanya penilaian keberhasilan dari pendidikan budi pekerti. Selain

tujuan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang belum mencapai hasil yang

maksimal, keteladanan guru, metode pembelajaran dan alokasi waktu

pembelajaran pendidikan budi pekerti juga sangat mempengaruhi keberhasilan

pendidikan budi pekerti. Guru pendidikan budi pekerti harus memiliki pribadi

yang baik yang dapat memberikan contoh, menjadi motivator, dalam penanaman

budi pekerti serta mampu menyampaikan materi agar siswa lebih mudah dalam

memahaminya. Metode pembelajaran pendidikan budi pekerti yang digunakan

kurang bervariasi, hal ini disebabkan karena alokasi waktu yang diberikan SMP

Negeri 14 Surakarta hanya 40 menit setiap minggunya, hal tersebut dirasakan oleh

guru sangat kurang untuk memberikan pemahaman tentang pendidikan budi

pekerti.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru bimbingan

konseling di SMP Negeri 14 Surakarta, terungkap bahwa di sekolah tersebut ada

sebagian siswa yang tidak mencerminkan nilai-nilai budi pekerti misalkan dari

data yang diperoleh menunjukan bahwa siswa yang melakukan pesta minuman

keras sebanyak 31 siswa terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, perkelahian,

membolos dan melakukan perbuatan yang kurang sopan seperti memecahkan kaca

di ruangan kelas, tetapi pada waktu sekolah belum menerapkan pendidikan budi

pekerti, penyimpangan perilaku yang terjadi menurut data yang peneliti peroleh

hampir sama yaitu, minuman keras, perkelahian, pencurian, dan membolos

sekolah dengan angka yang berbeda dibandingkan dengan yang terjadi sekarang.

Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, penyimpangan yang

terjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan setelah sekolah tersebut

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

menerapkan pendidikan budi pekerti, khususnya untuk penyimpangan perilaku

dalam kasus minuman keras.

Siswa yang masih duduk di bangku SMP sudah berani melakukan

minuman keras yang sangat membahayakan bagi dirinya. Siswa tersebut

melakukan pesta minuman keras secara bersama-sama. Pesta minuman keras

tersebut dilakukan oleh para siswa pada waktu jam sekolah, kemudian dari

masyarakat mengetahui keadaan tersebut, sehingga melaporkan ke pihak sekolah.

Setelah kejadian itu siswa kemudian diberi teguran dan peringatan oleh pihak

sekolah sampai diberikan penyuluhan dari kepolisian setempat. Masalah minuman

beralkohol telah menimbulkan masalah yang mengganggu kondisi ketertiban dan

keamanan sekolah maupun masyarakat. Menyadari akan pengaruh bahaya minuman

beralkohol bagi tubuh manusia khususnya bagi pelajar, maka tatanan pengaturan

pengawasan dan pengendalian dari berbagai pihak, misalnya keluarga, sekolah dan

masyarakat memang sangat diperlukan. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor

yang mempengaruhi siswa melakukan penyimpangan perilaku minuman keras

bukan karena ada tidaknya pendidikan budi pekerti tetapi ada faktor lain yang

mendorongnya.

Tingginya penyimpangan perilaku yang terjadi di SMP Negeri 14

Surakarta membuat para pendidik khususnya guru pendidikan budi pekerti harus

memberikan pendidikan yang mampu membuat siswa menjadi lebih paham dalam

mengimplementasikan budi pekerti yang baik di masyarakat. Pola pembelajaran

budi pekerti yang diajarkan sehari-hari di sekolah tersebut perlu diadakan

penataan ulang agar penyimpangan perilaku di kalangan pelajar bisa dikurangi

bahkan dihilangkan sama sekali.

Bertitik tolak dari uraian di atas maka penulis mengambil judul skripsi

”Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau Dari Tingkat

Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Studi Kasus

Minuman Keras Di SMP Negeri 14 Surakarta)”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ini :

1. Faktor-faktor apa yang mendorong siswa melakukan minuman keras di SMP

Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?

2. Bagaimana perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum

dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti ?

3. Bagaimana tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau

dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras siswa di SMP Negeri 14

Surakarta tahun ajaran 2009/2010 ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain :

1. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras

di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.

2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras

sebelum dan setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi

pekerti.

3. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti

ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku minuman keras.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi bidang studi PPKn

dalam mengimplementasikan mata kuliah yang berhubungan dengan pendidikan

budi pekerti seperti mata kuliah dasar dan konsep pendidikan moral (DKPM).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pihak sekolah dalam upaya

mengatasi penyimpangan perilaku siswa.

b. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru pendidikan budi pekerti

dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan budi pekerti agar lebih efektif.

c. Memberikan motivasi bagi siswa agar tidak melakukan penyimpangan

perilaku.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Teori Tentang Sikap dan Perilaku

a. Teori Rosenberg (Teori Affective-Cognitive Consistency)

Teori ini disebut juga teori dua faktor. Teori ini memusatkan

perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif.

Pengertian kognitif dalam sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-

pengetahuan yang berhubungan dengan objek sikap, melainkan juga mencakup

kepercayaan atau beliefs tentang hubungan antara objek sikap itu dengan

sistem nilai yang ada dalam diri individu. Rosenberg (dalam Bimo Walgito

2008: 136) menyatakan bahwa “Komponen afektif akan selalu berhubungan

dengan komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten”.

Rosenberg menciptakan skala sikap dan berpendapat bahwa adanya

hubungan yang konsisten antara komponen afektif dengan komponen kognitif.

Hal tersebut berarti apabila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap

sesuatu objek, maka indeks kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya.

Suatu hal yang penting penerapan teori Rosenberg ini ialah dalam kaitannya

dengan pengubahan sikap, karena hubungan komponen afektif dengan

komponen kognitif konsisten, maka apabila komponen afektifnya berubah

maka komponen kognitifnya juga akan berubah, demikian pula sebaliknya.

Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu

komponen kognitifnya, hingga akhirnya komponen afektifnya akan berubah.

Rosenberg mencoba mengubah komponen afektif terlebih dahulu, dengan

berubahnya komponen afektif akan berubah pula komponen kognitifnya, yang

pada akhirnya akan berubah pula sikapnya.

Jadi kesimpulan dari teori ini adalah dengan komponen kognitif yaitu

siswa memperoleh pendidikan budi pekerti, maka dengan adanya pembelajaran

pendidikan budi pekerti yang efektif, komponen afektif pun akan berubah

sehingga berubah pula perilakunya. Pembelajaran pendidikan budi pekerti yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

efektif akan membawa perubahan sikap yang positif bagi siswa, sebaliknya

dengan pembelajaran pendidikan budi pekerti yang dinilai kurang efektif akan

membawa perubahan yang negatif bagi siswa yang dapat melakukan

penyimpangan-penyimpangan perilaku. Agar proses pembelajaran semakin

efektif maka metode pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan

harus tepat sampai ke pemahaman siswa. Komponen afektif berhubungan

dengan bagaimana perasaan yang timbul pada siswa, dapat positif tetapi juga

dapat negatif.

b. Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Millers dan Dollard

Teori belajar sosial dan tiruan dari Miller dan Dollard menegaskan

bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil belajar. Oleh karena itu untuk

memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial, kita harus mengetahui

prinsip-prinsip psikologi belajar. Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni

dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas (respons), dan ganjaran

(reward). Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme

(manusia) untuk bertingkah laku. Menurut Miller dan Dollard (dalam Sarlito,

2008: 24) menyatakan bahwa ”Semua tingkah laku (termasuk tingkah laku

tiruan) didasari oleh dorongan”. Isyarat merupakan rangsangan yang

menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah

laku-balas apa yang akan terjadi.

Mengenai tingkah laku balas (respons), Menurut Miller dan Dollard

(dalam Sarlito, 2008: 24-25) berpendapat bahwa:

Manusia mempunyai hierarki bawaan tingkah laku-tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultant hierarchy of respons). Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba dan ralat (trial and error learning). Dalam tingkah laku sosial, belajar coba-ralat dikurangi dengan belajar tiruan dimana seseorang tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat memberikan respons yang tepat. Sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba-ralat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Ganjaran merupakan rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku

balas diulang atau tidak dalam kesempatan yang lain. Selanjutnya, Miller dan

Dollard (dalam Sarlito, 2008: 25) menyatatakan bahwa ”Ada tiga macam

mekanisme tingkah laku tiruan, yakni: tingkah laku sama (same behavior),

tingkah laku tergantung (matched dependent behavior), tingkah laku salinan

(copying behavior)”. Pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah laku atas

dasar isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh model.

Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan hukuman

sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan.

Perbedaannya dengan tingkah laku tergantung adalah dalam tingkah

laku tergantung ini si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang

diberikan oleh model pada saat itu saja. Sedangkan pada tingkah laku salinan,

si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa yang lalu maupun

yang akan dilakukan diwaktu mendatang. Hal ini berarti perkiraan tentang

tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan

patokan oleh di peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri dimasa

yang akan datang sehingga lebih mendekati tingkah laku model.

Sesuai dengan teori tersebut, tujuan atau hasil dari pembelajaran

pendidikan budi pekerti di sekolah adalah siswa berperilaku sesuai dengan budi

pekerti. Penyimpangan perilaku minuman keras yang dilakukan siswa di

sekolah bukan merupakan tujuan dari pendidikan budi pekerti melainkan

masalah yang harus dihadapi dengan bekerja sama antara pihak sekolah,

keluarga dan masyarakat. Perilaku siswa didasarkan pada dorongan tertentu,

siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras didorong oleh

faktor-faktor tertentu. Apabila yang dipelajari pada bidang ilmu budi pekerti di

sekolah tersebut mampu diterapkan oleh siswa dengan baik maka siswa akan

mampu memilah dan memilih mana perilaku yang patut dan mana perilaku

yang semestinya dihindari sehingga penyimpangan perilaku yang dilakukan

oleh siswa tidak akan terjadi. Oleh karena itu, tujuan dari pendidikan budi

pekerti dalam membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur dapat tercapai.

Siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras merupakan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

pelanggaran peraturan yang dibuat oleh sekolah. Oleh karena itu siswa

mendapat hukuman dari pihak sekolah agar siswa tidak mengulanginya lagi.

Selain itu Pengaruh peranan guru terhadap pendidikan budi pekerti sangatlah

besar, karena guru merupakan salah satu tokoh identifikasi yang ditiru oleh

siswa, pengaruh peranan orang tua dalam pelaksanaan pendidikan budi pekerti

juga besar, karena orang tua yang utama dan pertama mendidik anak-anaknya.

Peran guru dalam implementasi atau pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak

mudah. Guru dituntut menjadi figur yang harus mampu memberi teladan

kepada murid-muridnya. Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada

murid untuk belajar keras. Sebagai guru pendidikan budi pekerti, harus bisa

memberikan pemahaman yang jelas kepada siswa.

2. Efektivitas Pembelajaran

a. Pengertian Efektivitas

Menurut Chester I Barnad (dalam Suyadi Prawiro Sentono, 1994: 14)

menyatakan bahwa “Bila suatu tujuan yang akhirnya dapat dicapai, kita boleh

mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif ”. Ia juga mengatakan

bahwa “Efektivitas dari kelompok adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat

dicapai sesuai dengan yang direncanakan”. (Suyadi Prawiro Sentono, 1994:

14).

E. Mulyasa (2005: 82) menyatakan bahwa:

Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Hasil yang semakin mendekati tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat efektivitasnya.

William N Dunn (2000: 498) “Efektivitas (effectiveness) adalah suatu

kriteria untuk menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi

didasarkan pertimbangan apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut

memberikan hasil (akibat) yang maksimal, lepas dari pertimbangan efisiensi”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

E. Mulyasa (2005: 82-83) kembali menegaskan bahwa “Efektivitas

berhubungan dengan terlaksananya tugas pokok, tujuan, ketepatan waktu, dan

partisipasi aktif dari anggota, dimana dapat dijadikan barometer untuk

mengukur keberhasilan pendidikan”.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa efektivitas merupakan suatu keadaan yang dikehendaki yang merupakan

akibat dari yang dikerjakannya dan merupakan suatu pengukuran terhadap

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

b. Indikator Efektivitas

Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85)

adalah “Indikator input, indikator process, indikator output, dan indikator

outcome”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Indikator input; indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas,

perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.

2) Indikator process; indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi

waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.

3) Indikator output; indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk

perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang

berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan

dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan

keadilan, dan kesamaan.

4) Indikator outcome; indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat

pendidikan berikutnya, pretasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan

pekerjaan, serta pendapatan.

c. Efektivitas Pembelajaran

Bill Cope menyatakan bahwa “ Learning is how a person or group

comes to know, and knowing consist of varety of types action, in learning, a

knower positions themselves in relation to the knowable, and engages”. (2007,

http://ijl.cgpubluiher.com/about.html). Sesuai dengan jurnal internasional di

atas yang artinya belajar adalah bagaimana seseorang atau kelompok yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

datang untuk mengetahui dan akhirnya mengetahui bermacam-macam tindakan

dalam pembelajaran, dalam pembelajaran siswa menempatkan dirinya dalam

hubungan saling mengetahui (yang dipengaruhi oleh pengalaman, konsep,

analisis atau penerapan).

Slameto (1995: 92) berpendapat bahwa:

Pengajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat membawa belajar siswa yang efektif. Belajar di sini adalah suatu aktivitas mencari, menemukan dan melihat pokok masalah. Siswa berusaha memecahkan masalah termasuk pendapat bahwa bila seseorang memiliki motor skill maka dia telah menghasilkan masalah dan menemukan kesimpulan.

Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), mendefinisikan efektivitas

pembelajaran sebagai berikut:

Pertama, efektivitas dirasakan sebagai kemuliaan karakteristik atau sifat pribadi tertentu yang dimiliki oleh seorang guru... . Kemudian, efektivitas tidak terlalu terlihat sebagai suatu fungsi karakteristik guru tetapi sebagai metode mengajar yang digunakan... . Maka, efektivitas sangat bergantung pada suasana kreatif dan penegakan disiplin seorang guru di dalam kelas... .

Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), kembali berpendapat bahwa

ada empat karakteristik dari mengajar yang efektif, yakni: “1) Penampilan

pengajar (penguasaan baha ajar), persiapan mengajar, dsb. 2) Cara mengajar

(pemilihan model instruksi, alat bantu mengajar dan evaluasi yang dipakai), 3)

Kompetensi dalam mengajar, 4) Pengambilan keputusan yang bijaksana”.

Selanjutnya menurut Medley (dalam Soekartawi, 1995: 38), jika

diperhatikan pengajaran akan menjadi efektif bila pengajar menguasai “1) Apa

yang diajarkan, 2) Teori pengajaran (pemilihan instructional design) yang

relevan, 3) Hal-hal baru (penelitian untuk memperkaya isi bahan ajar yang

diberikan), 4) Karakteristik siswa”.

Jadi kesimpulannya adalah keefektifan pembelajaran merupakan

pembelajaran yang di dalamnya terdapat pemanfaatan potensi yang mampu

sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan

efektivitas pembelajaran diartikan sebagai pengukuran terhadap perubahan-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

perubahan yang terjadi setelah siswa mempelajari suatu bahan pelajaran (dalam

hal ini mengenai keberhasilan belajar siswa).

3. Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti

a. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti

Menurut Sjarkawi (2006: 32) berpendapat bahwa:

Istilah budi pekerti yang pada dasarnya tidak berbeda dengan akhlak adalah kata yamg berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki kedekatan dengan istilah tata krama. Inti ajaran tata krama ini sama dengan inti ajaran budi pekerti. Pendidikan budi pekerti adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur.

Menurut Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga kota Surakarta

(2009: VIII) mengungkapkan bahwa “Pengertian pendidikan budi pekerti dapat

ditinjau secara konsepsional dan secara oprasional”. Secara konsepsional

pengertian pendidikan budi pekerti mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Usaha secara sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang.

2) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang (lahir batin, materiil, spiritual dan individu sosial).

3) Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasan, pengajaran, dan pelatihan serta keteladanan.

(Dispora kota Surakarta, 2009: VIII)

Adapun pengertian pendidikan budi pekerti secara operasional, yakni:

Pendidikan budi pekerti melalui kegiatan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal bagi masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan menjaga terhadap sesama mahluk, sehingga terbentuk pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, dan kerja hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa.

(Dispora kota Surakarta, 2009: VIII)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) dijelaskan bahwa:

Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun, pengertian budi pekerti secara hakiki adalah perilaku. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik. Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Adapun moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan.

Menurut Emile Durkheim (1990: X) menyatakan bahwa “Moralitas

meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku: apa yang menjadi moral hari ini

akan menjadi moral esok hari”.

Menurut Hamid Darmadi (2007: 56-57) menjelaskan bahwa

“Pendidikan moral adalah konsep kebaikan yang diberikan kepada siswa

untuk membentuk budi pekerti luhur, berakhlak mulia dan berperilaku terpuji

terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana guru diharapkan membantu

siswa mengembangkan dirinya, secara keilmuan maupun keagamaan”.

Sedangkan menurut Bertens (dalam Nurul Zuriah, 2007: 17)

dijelaskan bahwa:

Etika merupakan ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Dalam kaitannya dengan budi pekerti, etika membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah nyata. Keputusan yang diambil seseorang wajib dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri dan lingkungannya.

Menurut Sjarkawi (2006: 27-28) menjelaskan bahwa “Pendidikan

etika adalah cabang filsafat tentang nilai dan norma yang menentukan perilaku

manusia yang lebih dalam dan luas dari pendidikan budi pekerti”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Menurut Nurul Zuriah (2007: 17) berpendapat bahwa “Budi pekerti

berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis kata etika sangat

dekat dengan moral yang artinya adat kebiasaan”.

Sjarkawi (2006: 28) menyatakan bahwa “Akhlak berasal kata khalaqa

dengan akar kata khuluqan (bahasa arab) yang artinya perangai, tabiat, dan

adat; atau dari kata khalqun (bahasa arab) yang berarti: kejadian, buatan, atau

ciptaan”. Jadi secara epistimologis akhlak merupakan perangai, adat, tabi’at,

atau sistem perilaku yang dibuat. Di samping istilah akhlak juga dikenal etika

dan moral. Ketiga istilah ini sama-sama menentukan nilai baik dan buruk

terhadap sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar

masing-masing istilah. Bagi akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan As-sunah

(Hadits), bagi etika standarnya adalah akal pikiran, sedangkan moral

standarnya adalah adat kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat. Jadi

pendidikan akhlak adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik

sebagai sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di muka

bumi.

Pendidikan akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan

teladan dari orang tua. Perilaku dan sopan santun orang tua dalam pergaulan

antara ibu dan bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak dan perlakuan

orang tua terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga akan menjadi

teladan bagi anak. Adapun ruang lingkup akhlak menurut Muslim Nurdin dkk,

(1993: 205-209) adalah “Pola hubungan manusia dengan Allah, manusia

dengan Rasulullah SAW, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan

keluarga, dan manusia dengan masyarakat”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan

menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-

Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir di waktu

siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun

berbaring, dan bertawakal kepada-Nya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

2) Pola hubungan manusia dengan Rasullulah SAW. yaitu: menegakkan sunah

Rasul, menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan shalawat.

3) Pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian

diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian

dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan

memberantas kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dengan

memberantas kebodohan dan jumud, bersabar ketika mendapat musibah dan

dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati

dan tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan larangan-

larangan Allah atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap

dalam keadaan marah atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah,

dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah

atau qona’ah.

4) Pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang tua

atau birrul walidaini, baik dengan perkataan, pemberian nafkah, ataupun

do’a, memberikan bantuan material ataupun moral kepada karib kerabat atau

aati dzal qurba.

5) Pola hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan, pola-

pola hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan,

berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesederajatan

manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang

tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan

berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai

anggota kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun,

menepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketaqwaan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan budi pekerti adalah

proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan

perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Jadi

pendidikan budi pekerti pada dasarnya tidak berbeda dengan pendidikan akhlak

yaitu sama-sama mengatur dan mengembangkan nilai, sikap dan perilaku

manusia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

b. Sejarah Dikpora Surakarta dalam Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti

Sejarah Dikpora Surakarta dalam menerapkan pendidikan budi pekerti

di SMP pada mulanya menurut Kurikulum Pendidikan Budi Pekerti Dinas

Pendidikan Pemuda dan Olah Raga tahun 2009 Kota Surakarta adalah sebagai

berikut:

Tiga ranah dalam proses pembelajaran yakni kognitif, afektif, dan

psikomotorik dirasakan belum seimbang saat ini, suka atau tidak, kurang lebih

dekade dunia pendidikan khususnya jajaran Disdasmen lebih banyak

terkonsentrasi pada aspek kognitif. Hal ini ditandai dengan diutamakannya

perolehan nilai ujian nasional.

Mengamati perilaku masyarakat termasuk generasi muda akhir-akhir

ini yang cukup memprihatinkan dan munculnya tindakan anarkhis di berbagai

tempat termasuk kasus kerusuhan yang terjadi di kota Surakarta belakangan ini

menyadarkan kita akan arti penting keseimbangan ketiga ranah tersebut,

dengan demikian diperlukan perubahan strategi proses pembelajaran selama ini

yang cenderung mengutamakan aspek kognitif, termasuk di dalamnya

pendidikan budi pekerti yang sebenarnya termasuk komponen penting di dalam

tujuan pendidikan nasional kita yakni membentuk siswa yang berakhalak

mulia.

Akhlak mulia dapat terwujud jika di dukung budi pekerti yang baik.

Proses pembelajaran budi pekerti di sekolah diperlukan perubahan pendekatan

yang variatif mulai dari andragogi, permainan, simulasi, portofolio,

konstekstual dan sejenisnya, yang diharapkan budi pekerti dihayati sejak

proses pembelajarannya. Oleh karena itu mengacu pelaksanaan tujuan

pendidikan nasional, proses pembelajaran yang variatif diharapkan menguatkan

kompetensi perilaku dalam kehidupan sosial yang toleren, menghargai

perbedaan dan dapat menjalani hidup damai dalam keberagaman di masyarakat

luas.

Berangkat dari perihal tersebut di atas, Dinas Dikpora Kota Surakarta

bekerjasama dengan UNICEF dan Pemerintah Kota Surakarta mencoba

memformulasikan proses pembelajaran budi pekerti sebagaimana tertuang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

dalam konsep materi pendidikan budi pekerti berikut ini, dan pada tahun 2005

sudah mulai diberlakukan untuk semua SMP di kota Surakarta, di mana pada

awalnya sudah diuji cobakan di sepuluh sekolah SMP uji coba, dimulai dari

kelas VII, VIII, dan IX.

c. Kegunaan Pendidikan Budi Pekerti

Cahyoto (dalam Nurul Zuriah, 2007: 104) menyatakan kegunaan

pendidikan budi pekerti antara lain sebagai berikut:

1) Siswa memahami susunan pendidikan budi pekerti dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan.

2) Siswa memiliki landasan budi pekerti luhur bagi pola perilaku sehari-hari yang didasari hak dan kewajiban sebagai warga negara.

3) Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang budi pekerti mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat.

4) Siswa dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral.

d. Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti

Pentingnya pendidikan budi pekerti diselenggarakan baik di sekolah,

keluarga, maupun masyarakat diantaranya dalam rangka:

1) Membantu meningkatkan kemampuan kita supaya berbudi pekerti baik dan mengembangkan lingkungan yang berbudi pekerti agar dalam kehidupan sehari-hari kepribadian kita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

2) Mengajak kita dan keluarga serta masyarakat mengembangkan pola hidup dengan perilaku yang baik yang bermanfaat bagi diri kita sendiri dan lingkungan.

3) Berusaha membantu kita, keluarga, dan masyarakat beradaptasi yang efektif dengan pola hidup sesuai dengan norma, kaidah, dan aturan masyarakat.

4) Membantu kita, keluarga dan masyarakat untuk hidup secara teratur, bertatakrama, dan menjauhi segala perbuatan tercela serta melakukan perbuatan terpuji.

(Tabrani Rusyan M. Sutisna WD dan AS. Hidayat, 2004: 6).

e. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti

Tujuan pendidikan budi pekerti dibagi menjadi 2 (dua), yaitu secara

umum dan secara khusus. Dikpora (2009: IX-X) menyatakan bahwa:

Tujuan umum pendidikan budi pekerti yaitu pendidikan budi pekerti secara umum bertujuan untuk menfasilitasi siswa agar mampu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan ketrampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri peserta didik serta mewujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam berbagai konteks sosial budaya yang berbhinneka. Sedangkan tujuan khusus adalah sebagai berikut: 1) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta

didik sebagai penerus bnagsa 2) Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap

situasi sekitarnya tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun sosial.

3) Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

f. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti

Peningkatkan keberhasilan peserta didik untuk membentuk mental,

moral, spiritual, personal dan sosial, maka penerapan pendidikan budi pekerti

dapat menggunakan berbagai pendekatan dengan memilih pendekatan yang

terbaik (eklektif) dan saling mengaitkannya satu sama lain agar menimbulkan

hasil yang optimal (sinergis). Nurul Zuriah (2007: 75-76) membagi pendekatan

pendidikan budi pekerti menjadi “Pendekatan penanaman nilai, pendekatan

perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi

nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach).

Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima

nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang

diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan,

menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.

Cara yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain keteladanan,

penguatan positif, dan negatif, simulasi dan bermain peran.

2) Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development

Appoarch).

Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral.

Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral

melalui diskusi masalah moral sehingga peserta didik dapat membuat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

keputusan tentang pendapat moralnya. Mereka akan menggambarkan

tingkat yang lebih tinggi dalam pemikiran moral, yaitu takut hukuman,

melayani kehendak sendiri, menuruti peranan yang diharapkan, menuruti

dan menaati otoritas, berbuat untuk kebaikan orang banyak, bertindak

sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang universal. Cara yang dapat

digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain

melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual

maupun yang abstrak (hipotetikal).

3) Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)

Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan

kemampuan berpikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial

yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu, peserta didik dalam

menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dapat menghubung-

hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara

yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah

yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis

terhadap kasus, debat dan penelitian.

4) Pendekatan Klarifikasi Nilai (Values Clarification Approach)

Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan

mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-

nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, pendekatan ini

juga membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara

jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan

membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional

dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka

sendiri. Cara yang dapat dimanfaatkan dalam pendekatan ini, antara lain

bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas

yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi

kelompok.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

5) Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)

Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik

seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai. Selain itu, pendekatan

ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam

melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri

sendiri sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan

bermasyarakat. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, selain

cara-cara pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode

proyek atau kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup

bermasyarakat dan berorganisasi.

Menurut Maman Rachman (2002: 238) menyatakan bahwa:

Perlu disadari dan disikapi benar bahwa pembentukan watak dan budi pekerti anak tidak cukup hanya diberikan di sekolah melainkan harus ditunjang oleh pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah seperti dalam keluarga oleh orang tua, dalam kelompok belajar oleh para instruktur atau tutor, dalam kursus-kursus oleh para pelatih atau pembina dan dalam lingkungan masyarakat oleh teman sebaya, masyarakat, tokoh masyarakat, elit politik dan sejenisnya. Mereka itu semua, secara proporsional harus dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Keterpaduan, kesinambungan, dan keberlanjutan pendidikan budi pekerti yang dikembangkan di sekolah dengan pendidikan budi pekerti di luar sekolah diharapkan akan mengahasilkan generasi bangsa yang memiliki watak dan budi pekerti luhur seperti yang diharapkan.

g. Metode Pendidikan Budi Pekerti

Yahudi (2006, http// en wikipedia.teacher com/):

In education, a teacher is a person who provides schooling for others. A teacher who facilitates education for an individual student may also be described as a personal tutor. The role of teacher is often formal and ongoing, carried, out by way of occupation or profession at a school or other place of formal education. Teachers may use a lesson plan to facilitate student learning, providing a course of study which covers a standardized curriculum. A teachers role may vary between cultures. Teacher teach literacy, or some of the other school subjects. Other teachers may provide instruction in craftsmanship or vocational training, the Arts, religion or spirituality, civics, community roles, or life skiils.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Arti dari kutipan jurnal internasional di atas yaitu: dalam pendidikan,

seorang guru adalah seseorang yang menyediakan pendidikan bagi orang lain.

Seorang guru memfasilitasi pendidikan bagi seorang individu siswa juga dapat

digambarkan sebagai pribadi guru. Peran guru sering formal dan berkelanjutan,

dilakukan dengan cara dari pekerjaan atau profesi di sekolah atau tempat

formal pendidikan. Guru dapat menggunakan rencana pelajaran untuk

memfaslitasi siswa belajar, menyediakan suatu program studi yang mencakup

standar kurikulum. Peran guru mungkin beragam diantar budaya. Guru

mengajar melek huruf dan menghitung, atau sebagian yang lain mata pelajaran

sekolah. Guru-guru lain dapat memberikan intruksi dalam pengerjaan atau

pelatihan kejuruan, seni, agama atau spiritualitas, kewarganegaraan, peran

masyaarkat, atau keterampilan hidup.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa peranan guru

adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang

dijalankan secara profesional dalam rangka meningkatkan sumber daya

manusia melalui pendidikan yang berhubungan dengan kemajuan perubahan

tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya.

Menurut Paul Suparna (2002: 45) mengungkapkan bahwa “Secara

teoritis keberhasilan proses pendidikan budi pekerti antara lain dipengaruhi

oleh ketepatan seorang guru dalam memilih metode-metode penanaman nilai-

nilai budi pekerti”. Metode pendidikan budi pekerti sangatlah penting, karena

apabila tidak tepat maka tujuan yang akan dicapai juga sulit untuk diperoleh.

Metode menyangkut cara pendekatan dan penyampaian nilai-nilai hidup yang

akan ditawarkan dalam diri anak. Ada beberapa metode yang dapat digunakan

untuk pendidikan budi pekereti, antara lain: “1) Metode Demokrasi, 2) Metode

Pencarian Bersama, 3) Metode Siswa Aktif, 4) Metode Keteladanan, 5) Metode

Live In, 6) Metode Penjernihan Nilai”. (Paul Suparna, 2002: 45-52).

Metode-metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Metode Demokrasi

Metode demokrasi menekankan pencarian secara bebas dan

penghayatan nilai-nilai hidup tersebut dalam pendampingan dan pengarahan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

guru. Anak diberi kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya

keterbukaan, kejujuran, penghargaan dan penilaian terhadap nilai-nilai yang

ditemukan. Metode ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai diantaranya

keterbukaan, kejujuran, penghargaan pendapat orang lain, sportivitas,

kerendahan hati, dan toleransi. Melalui metode pendekatan ini anak diajak

mulai dengan berani mengungkapkan gagasan, pendapat maupun

perasaannya.

2) Metode Pencarian Bersama

Metode ini menekankan pencarian bersama yang melibatkan siswa

dan guru. Melalui pendidikan ini siswa diajak aktif untuk mencari dan

menemukan tema yang sedang berkembang dan menjadi perhatian bersama.

Selain menemukan nilai-nilai dari permasalahan yang diolah, anak juga

diajak untuk secara kritis analitis mengolah sebab dari permasalahan yang

muncul tersebut.

3) Metode Siswa Aktif

Metode ini menekankan pada proses yang melibatkan anak sejak

awal pembelajaran. Guru memberikan pokok bahasan dan anak dalam

kelompok mencari dan mengembangkan proses selanjutnya. Anak membuat

pengamatan, pembahasan analisis sampai pada penyimpulan atas kegiatan

mereka. Metode ini mendorong anak mempunyai kreatifitas, ketelitian,

kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, kerjasama, kejujuran dan daya juang.

4) Metode Keteladanan

Proses pembentukan pekerti pada anak diawali dengan melihat

orang yang akan diteladani. Guru dapat menjadi tokoh idola dan panutan

bagi anak. Dengan keteladanan guru dapat membimbing anak untuk

membentuk sikap yang kokoh. Untuk itu dituntut ketulusan, keteguhan,

kekonsistanan hidup seorang guru.

5) Metode Live In

Metode ini memberi pengalaman kepada anak untuk mempunyai

pengalaman hidup bersama orang lain secara langsung dalam situasi yang

berbeda sama sekali dari kehidupan sehari-hari. Dengan pengalaman

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

langsung ini anak dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam

cara berfikir, tantangan, permasalahan dan dapat tentang nilai-nilai

hidupnya.

6) Metode Penjernihan Nilai

Metode penjernihan nilai ini, anak diajak untuk secara kritis

melihat nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat. Anak diajak untuk

melihat bahwa tindakan salah dan benar tidak tergantung pada banyak dan

sedikitnya pelaku namun pada nilai tindakan itu sendiri. Pada akhirnya anak

diajak melihat duduk permasalahannya dan berani mengambil sikap dan

pilihan dalam hidupnya. Oleh sebab itu penjernihan nilai dalam kehidupan

anak sangat penting.

4. Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

a. Pengertian Minuman Keras

Menurut Dadang Hawari (1999: 161) mengemukakan bahwa “Miras

atau minuman keras adalah jenis minuman yang mengandung alkohol, tidak

peduli berapa kadar alkoholnya”.

Menurut Edy Karsono (2004: 12) menjelaskan bahwa “Alkohol adalah

jenis minuman yang mengandung etil-alkohol, disesuaiakan dengan kadar etil-

alkoholnya”, sedangkan menurut Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa

“Sering-sering minum alkohol (minuman keras) menyebabkan orang menjadi

kecanduan alkohol tidaklah cukup tepat, keseringan minum membawa

ketagihan psikologis karena sudah terbiasa minum”.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian

dari minuman keras adalah bahan kimia yang mempunyai daya pengaruh

terhadap tubuh dengan memberi rangsangan-rangsangan tertentu dan

mengakibatkan ketidaksadaran diri seseorang.

b. Penggolongan Minuman Beralkohol

Menurut Soedjono (1995: 137) menjelaskan bahwa:

Minuman beralkohol memiliki fungsi ganda yaitu selain berbahaya bagi kesehatan dipihak yang berlawanan memiliki manfaat khusus dalam bidang medis atau kesehatan yaitu untuk obat atau bahan baku

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

obat. Alkohol mempunya daya pengaruh pada manusia, pengaruh yang ditimbulkan oleh alkohol yaitu memberi istirahat pada otot-otot sehingga perasaan yang tegang akan menjadi longgar atau bahkan hilang. Di pihak lain, bagi penderita penyakit jantung alkohol dapat digunakan untuk membantu memperbesar pembuluh darah, dalam hal ini alkohol bekarja sebagai sistem yang menekan susunan saraf pusat sehingga dapat menghilangkan perasaan tidak enak, bingung dan lain sebagainya. Efek yang ditimbulkan adalah badan akan terasa lebih baik dan lebih sehat karena darah dapat mengalir lancar. Adapun jenis minuman keras (minuman beralkohol) yang dapat digunakan sebagai obat atau bahan baku obat adalah minuman beralkohol yang mengandung ethanol, jenis amilenhidrat, trikoretol, klarobutanol, dan etinilkarbonal.

Pemakaian alkohol yang wajar adalah sebagai bahan obat. Alkohol

setelah bekerja akan diuraikan oleh hati sehingga menjadi zat sisa yang

dikeluarkan melalui buang air kecil. Selain fungsi tersebut alkohol juga dapat

digunakan sebagai penghilang rasa sakit dan juga sebagai pengering luka lecet

akibat kecelakaan kecil dimana alkohol disini berfungsi menghentikan

pendarahan dan membuat luka cepat kering.

Menurut Moch. Sulchan (1999: 4) menjelaska bahwa:

Minuman keras adalah semua minuman beralkohol tetapi bukan obat, minuman keras terbagi dalam tiga golongan yaitu: 1) Golongan A kadar alkohol 01%-5% yaitu golongan rendah,

contoh: Bir 2) Golongan B kadar alkohol 05%-20% yaitu golongan sedang,

contoh: Anggur 3) Golongan C kadar alkohol 20%-50% yaitu golongan tinggi, di

mana jenis ini jarang sekali ada dipasaran mengingat terlalu tingginya kadar alkohol yang dikandungnya, contoh: Brandy.

Dengan melihat kualifikasi minuman keras di atas dapat dikatakan

bahwa tidak semua minuman beralkohol merupakan minuman keras, sebab ada

beberapa minuman beralkohol dapat digunakan atau bahkan cenderung

digunakan obat. Berdasarkan penggolongan di atas, bisa ditarik dua

kesimpulan bahwa pemakaian yang wajar akan sangat bermanfaat bagi

kesehatan sedangkan pemakaian yang berlebihan akan sangat berpengaruh

buruk pada kesehatan bahkan akan berakibat pada kematian seseorang.

Alkohol memang memiliki manfaat yang besar akan tetapi secara kasat mata

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

alkohol cenderung merusak dan merugikan manusia. Hal ini dikarenakan

alkohol merupakan zat adiktif yaitu zat yang dapat menimbulkan ketagihan dan

ketergantungan bagi pemakainya. Pemakaian minuman keras dapat

menimbulkan gangguan mental organik (GMO) yaitu gangguan fungsi berfikir,

perasaan dan perilaku. GMO ini disebabkan adanya reaksi langsung alkohol

pada syaraf pusat (otak)

Menurut Kartini Kartono (1986: 138) mengemukakan bahwa:

Perubahan stemming dasar juga bisa disebabkan oleh penggunaan alkohol yang menyebabkan hilangnya beberapa rem psikis. Sebagai akibatnya beberapa tabu dan larangan, baik yang sosial sifatnya maupun yang ditetapkannya sendiri oleh individu menjadi longgar dan mudah dilanggar. Jadi pengaruh alkohol adalah mempertinggi tingkat suasana hati.

Akibat buruk di atas juga diperkuat lagi oleh Moch. Sulchan (1999:

21) yang menyatakan bahwa “Miras atau minuman keras adalah jenis minuman

yang mengandung alkohol, tidak peduli berapa kadar alkoholnya”.

c. Dampak Minuman Keras

Semua jenis minuman yang mengandung alkohol berbahaya karena

akan berakibat buruk pada manusia. Adapun akibat buruk yang ditimbulkan

dari minuman keras (minuman beralkohol) adalah “Farmologi, gangguan

kesehatan fisik, gangguan kesehatan jiwa, gangguan terhadap kamtibnas”.

(Moch Sulchan, 1999: 21-22).

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Farmologi

Bahwa alkohol larut dalam air sebagai molekul kecil, sehingga cepat

menyebar yang kemudian mengakibatkan ketergantungan.

2) Gangguan Kesehatan Fisik

Mengkonsumsi minuman keras dalam jumlah banyak dan dilakukan secara

terus menerus akan menimbulkan kerusakan hati, jantung, pankreas,

lambung dan otak. Pada pemakaian kronis minuman keras akan

mengakibatkan terjadinya pengerasan hati, peradangan pankreas dan

peradangan lambung.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

3) Gangguan Kesehatan Jiwa

Minum-minuman keras secara kronis dalam jumlah berlebihan dapat

mengakibatkan kerusakan permanen jaringan otak sehingga menimbulkan

gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar dan

gangguan jiwa yang lain seperti, perasaan berubah, mudah tersinggung

dan lain sebagainya.

4) Gangguan Terhadap Kamtibnas

Akibat dari minuman-minuman keras akan menekan pusat pengendalian

diri seseorang, sehingga yang bersangkutan menjadi berani dan agresif.

Karena keberanian dan keagresifannya serta tertekan pengendalian diri

tersebut, seseorang melakukan gangguan kamtibmas baik dalam bentuk

pelanggaran norma dan sikap moral bahkan tidak sedikit yang melakukan

tindak pidana atau kriminal.

d. Faktor Penyebab Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

Soedjono (1995: 108) menyatakan bahwa “Faktor umum penyebab

penyimpangan perilaku minuman keras adalah lingkungan sosial dan

kepribadian”. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial, yang terdiri dari

a) Motif ingin tahu

Faktor ini biasanya menghinggapi para remaja yang mempunyai sifat

selalu ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang belum atau kurang

diketahui dampak negatifnya.

b) Kesempatan

Hal ini dikarenakan kesibukan orang tua, broken home, kurang kasih

sayang yang kemudian terpengaruh lingkungan teman sepermaian ynag

selalu dekat dan dianggap menengrti akan dirinya yang sama-sama

mencari pelarian dengan cara penyalahgunaan minuman keras.

c) Sarana dan prasarana

Hal ini biasanya terjadi pada orang kaya dimana karena kasih sayang yng

berlebihan yang memberikan fasilitas yang serba baik berupa uang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

ataupun yang lain namun disalahgunakan untuk memenuhi rasa

keingintahuan yang diawali dengan mengkonsumsi minuman keras.

2) Kepribadian

Kepribadian, yang terdiri dari:

a) Rendah diri

Disebabkan karena tidak dapat mengatasi perasaan tersebut maka

menutupi kekurangan dan agar dapat menunjukkan eksistensinya

ditempuh jalan sesat dengan cara menyalahgunakan minuman keras

sehingga merasa lebih aktif dan lebih berani

b) Emosional

Remaja pada umumnya memiliki emosional yang lebih labil yang selalu

ingin lepas dari aturan-aturan orang tua, tetapi disis lain masih

bergantung pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan pribadinya yang

berakibat pada konflik pribadi. Karena kesulitan menghadapi konflik

maka ditempuh jalan dengan mencari pelampiasan yang dirasa mudah

menyelesaikan masalah yaitu mengkonsumsi minuman keras.

c) Mental

Lemahnya mental seseorang akan dengan mudah dipengaruhi oleh

lingkungan untuk berindak dan melakukan hal-hal yang negatif.

Sehingga suatu saat akan merasa dirinya tidak dapat mengimbangi

perilaku dalam lingkungannya dan dirinya merasa diasingkan oleh

lingkungannya. Berawal dari hal ini maka kecenderungan melakukan

tindakan mengkonsumsi minuman keras akan sangat besar demi

mendapat pengakuan dari lingkungan yang diikutinya.

Masalah yang utama mengapa seseorang masuk ke alam

ketergantungan pada alkohol adalah sebagai berikut:

1) Kurang terpenuhinya kebutuhan emosional 2) Merasa mempunyai banyak kekurangan 3) Menghindari atau melarikan diri dari masalah 4) Tidak ada rasa percaya pada dirinya endiri 5) Kurang bersifat tegas dan mudah terpengaruh oleh orang lain 6) Mudah sekali kecewa dan tidak ada inisiatif untuk perubahan 7) Kecemasan, depresi cepat bosan bahkan gangguan kepribadian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

8) Kondisi dalam keluarga baik keutuhan kembali suatu keluarga, kesibukan dari orang tua, hubungan interpersonal, tidak ada penekanan nilai-nilai agama, komunikasi satu arah, ketidakharmonisan keluarga, tidak terbukannya dalam satu keluarga

9) Adanya pengaruh yang kuat dari bujukan teman atau kelompok, lingkungan sekolah dan mudahnya mendapatkan minuman keras yang beralkohol. (Dadang Hawari, 1999: 193).

Alkohol mempunyai daya pengaruh terhadap tubuh dengan memberi

rangsangan-rangsangan tertentu dan mengakibatkan ketidaksadaran diri yang

mana hal itu diawali dengan adanya kecemasan dalam diri, kekecewaan yang

mendalam dan berbagai kepahitan hidup, termasuk mereka yang menderita

sakit-sakitan kronis, menganggap lebih baik minum alkohol sampai mabuk,

sampai akhirnya terjdi ketergantungan pada alkohol.

Soedjono (1995: 138-139) menyatakan bahwa “Faktor-faktor yang

menimbulkan terjadinya penyalahgunaan alkohol yaitu karena diri individu

sendiri dan masyarakat yang mensuplai”.

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Sebab dalam diri individu, termotivasi oleh adanya:

a) Keinginan minum-minuman keras hanya untuk mencari kesegaran dan

kesenangan saja, dengan volume minum semakin meningkat.

b) Untuk meringankan rasa sakit yang dideritanya, yang sebenarnya ia

tidak sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh alkohol tersebut, justru

lebih menambah berat rasa sakitnya.

c) Perasaan kecewa, tekanan batin, kecemasan, dan ketegangan, yang

kemudian mencari jalan pintas untuk melupakananya melaui alkohol.

d) Peminum yang frustasi dan secara sadar ingin menunjukkan sikap

protes kepada masyarakat, ia protes terhadap norma yang sudah

mapan, terhadap generasi sebelumnya terhadap ajaran agama dan

protes terhadap otoritas orang tua.

2) Sebab dari masyarakat yang mensuplai:

a) Untuk kepentingan dagang atau ekonomi, atau untuk mengeruk banyak

uang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

b) Untuk tujuan politik, yaitu memperlemah individu dalam masyarakat.

e. Ciri Anak Pengguna Minuman Keras

Soedjono (1995: 130-131) menyatakan bahwa ada beberapa ciri yang

mudah dilihat pada anak yang sudah terlibat dalam penyalahgunaan minuman

keras, antara lain “Perubahan perilaku, emosional, tidak disiplin, suka mencuri

uang dan barang, mata merah, suka mengasingkan diri, prestasi belajar

menurun, sering menyendiri, suka menipu, badan menjadi kurus, berpakaian

tidak rapi, dan sering didatangi orang-orang yang baru”.

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Adanya perubahan tingkah laku yang tiba-tiba terhadap kegiatan sekolah,

keluarga, dan teman-teman. Misalnya bertindak kasar, tidak sopan, mudah

curiga, dan penuh rahasia terhadap orang lain.

2) Suka marah yang tidak terkendali.

3) Pembangkangan terhadap disiplin yang tiba-tiba, baik di rumah maupun di

sekolah.

4) Mencuri uang di rumah, di sekolah atau toko untuk membeli minuma

keras.

5) Mencuri barang berharga yang berada dalam rumah untuk dijual guna

pembelian minuman keras.

6) Selalu mengenakan kacamata gelap pada saat tidak tepat untuk

menyembunyikan matanya yang bengkak dan merah.

7) Suka mengasingkan diri atau bersembunyi di kamar mandi atau di tempat-

tempat yang janggal, seperti di gudang dan di bawah tangga dalam waktu

lama serta berkali-kali.

8) Penurunan tingkat kehadiran di kelas dan prestasi belajar di sekolah secara

drastis.

9) Lebih banyak menyendiri dari biasanya, sering bengong dan berhalusinasi.

10) Sering menipu karena kehabisan uang jajan.

11) Berat badan turun drastis, karena nafsu makan yang tidak menentu.

12) Selalu mengenakan pakaian secara sembarangan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

13) Sering dikunjungi oleh orang-orang yang belum dikenal keluarga atau

temen-temannya.

B. Kerangka Berfikir

Selain kecerdasan berpikir dan kemampuan intelektual, pendidikan budi

pekerti juga sangat penting bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian

siswa. Kegiatan proses belajar mengajar di sekolah menyangkut guru dan siswa.

Apabila salah satu dari mereka tidak ada maka tidak akan terjadi kegiatan proses

belajar mengajar. Guru bertugas membantu siswa untuk mencapai tujuan

pendidikan sedangkan siswa berusaha untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut.

Oleh karena itu sebagai seorang guru pendidikan budi pekerti harus melaksanakan

apa yang menjadi tugas dan peranannya dengan baik. Apalagi guru pendidikan

budi pekerti mempunyai tugas yang sangat berat, bukan hanya masalah

kognitifnya tetapi juga perilaku siswanya.

SMP Negeri 14 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang

menerapkan pendidikan budi pekerti. Kegiatan pembelajaran pendidikan budi

pekerti yang sudah disampaikan kepada peserta didik seharusnya mampu

mengurangi bahkan menghilangkan perilaku siswa yang tidak sesuai dengan budi

pekerti. Agar dapat diketahui efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti,

dapat menggunakan indikator dari efektivitas itu sendiri. Pembelajaran pendidikan

budi pekerti yang efektif akan mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi

setelah siswa mempelajarinya. Pembelajaran ini harus mencapai tujuan yang

semaksimal mungkin yaitu membentuk siswa agar berbudi pekerti luhurdan

berakhlak mulia.

Seorang guru pendidikan budi pekerti juga harus membangkitkan dan

memotivasi siswa agar lebih memahami pendidikan budi pekerti, sehingga

perilaku mereka sesuai dengan nilai budi pekerti, sehingga dari proses

pembelajaran pendidikan budi pekerti dengan metode yang digunakan oleh

seorang guru di kelas akan mempengaruhi pemahaman siswa tentang nilai-nilai

budi pekerti sehingga pada akhirnya juga mempengaruhi keberhasilan belajarnya

yaitu perubahan perilaku siswa menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu proses

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

pembelajaran dengan metode yang digunakan oleh guru dalam pendidikan budi

pekerti berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan dari pembelajaran yaitu

membentuk siswa yang berbudi pekerti luhur sehingga tidak ada penyimpangan

perilaku oleh siswa.

Secara sistematis hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Skema Kerangka Pemikiran

Pendidikan Budi Pekerti

Efektivitas Pembelajaran Pend.

Budi Pekerti

Indikator Efektivitas

Tujuan Pembelajaran

Manusia yang berbudi pekerti

luhur

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian merupakan sumber diperolehnya data yang

dipergunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi

penelitian di SMP Negeri 14 Surakarta. Hal ini diambil dengan pertimbangan:

1. Ada masalah yang menarik untuk diteliti.

2. Tersedianya data yang menunjang penelitian.

3. Adanya keterbukaan dari pihak sekolah sehingga memudahkan di dalam

melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian selama dua belas (12) bulan yang dimulai pada bulan

Desember 2009 sampai dengan bulan Desember 2010. Kegiatan tersebut dapat

digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 1 . Jadual Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Tahun 2009-2010

Des Jan Feb Mar Apr Mei Des

1. Pengajuan Judul

2. Penyusunan Proposal

3. Ijin Penelitian

4. Pengumpulan Data

5. Analisis Data

6. Penyusunan Laporan

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu

dengan berusaha menggambarkan keadaan atau fenomena sosial. Menurut Lexy J.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Moleong (2008: 4) yang mengutip pendapatnya Bogdan dan Taylor tentang

penelitian kualitatif adalah sebagai berikut “Metodologi kualitatif adalah prosedur

yang menghasilkan data diskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati”.

2. Strategi Penelitian

Setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah

direncanakan dapat dicapai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

model tunggal terpancang. Menurut H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan bahwa

“Bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif

yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan

dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan

studinya”.

Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus

pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan

variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian

yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian

dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap.

Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek

penelitian adalah tunggal yaitu hanya pada SMP Negeri 14 Surakarta serta

pembahasan masalah hanya terpancang pada perumusan masalah yang telah

diuraikan di depan pada bab pendahuluan yaitu tentang efektivitas pembelajaran

pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat penyimpangan perilaku siswa

minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.

C. Sumber Data

Menurut H.B. Sutopo (2002: 50) menyatakan bahwa, “Sumber data

dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa atau aktifitas, tempat

atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”.

Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah

yang diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh Lexy j. Moleong (2004: 157)

menjelaskan bahwa “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

kata, dan tindakan, selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.

Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata

dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik.

Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data

yang berupa informan, peristiwa atau aktivitas, serta dokumen dan arsip, lebih

lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1. Informan

Pengertian informan menurut H.B. Sutopo (2002: 50) adalah “Sumber

data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai

informan”. Informan adalah orang yang dipandang mengetahui permasalahan

secara mendalam dan dapat dipercaya, sehingga dapat dijadikan sumber yang

mantap. Adapun informan yang diperlukan antara lain:

a. Koordinator bidang kurikulum, yaitu Sudarsono, S. Pd

b. Guru Pendidikan Budi Pekerti, yaitu:

1) Gatot Katmanto, S. Pd

2) Drs. Wardoyo

3) Mastyasto, S. Pd

c. Siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras

Tabel 2. Informan yang Melakukan Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

No Nomor Induk

Nama Siswa Kelas

1 7184 Yanuar Kristianto VII A

2 7007 Eksan Ari Ruswanto VII D

3 7200 Evan Asdianto VIII A

4 7227 Adityo Nugroho VIII B

5 7275 Dedi Setiawan VIII D

6 6951 Yuli Setiawan IX A

7 6965 Dony Kurniawan IX B

8 7019 Oscar Patria Dewa IX C

9 7056 Novan Saputra IX D

10 7076 Bobby Setyawan IX E

Adapun daftar informan di atas dapat dilihat pada lampiran no. 1.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

2. Peristiwa atau Aktivitas

Peristiwa atau aktivitas merupakan pengamatan terhadap proses

bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara

langsung. Aktivitas yang peneliti amati adalah kegiatan atau aktivitas dari

kegiatan belajar mengajar untuk mata pelajaran pendidikan budi pekerti di SMP

Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010.

3. Dokumen dan Arsip

Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan

suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Dalam mengkaji dokumen tidak hanya

mencatat apa yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna

yang tersirat dari dokumen tersebut.

Adapun dokumen dan arsip yang digunakan peneliti sebagai sumber data

adalah:

a. Silabus, RPP dan Jurnal kegiatan pendidikan budi pekerti (Lampiran no. 2)

b. Data jumlah pelanggaran siswa

c. Penanganan siswa yang melanggar tata tertib

d. Raport siswa

e. Pembagian tugas tenaga edukatif dan non edukatif

D. Teknik Sampling

Sampel dalam suatu penelitian merupakan hal yang penting dalam

memperoleh data dan bahan pengolahan data. Dalam suatu penelitian kualitatif

sering kali peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling. Menurut Goetz dan

Le Compte (dalam H.B. Sutopo, 2002: 185) bahwa “Purposive Sampling yaitu

teknik mendapatkan sampel dengan memilih individu-individu yang dianggap

mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya

untuk menjadi sumber data”.

Jadi dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling adalah

sampel dengan memilih siswa-siswa yang melakukan penyimpangan perilaku

minuman keras sebanyak 10 siswa, 3 guru pendidikan budi pekerti kelas VII,

VIII, dan IX serta koordinator bidang kurikulum yang dianggap mengetahui

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

informasi dan masalah yang berkaitan dengan penelitian, dengan populasi adalah

seluruh anggota SMP Negeri 14 Surakarta. Teknik ini digunakan karena

dipandang mampu menangkap kedalaman data yang akan digali dari informan

kunci.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh

oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu

penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu

diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil

data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Menurut Lexy J.

Moleong (2008: 186) mengatakan bahwa, “Percakapan itu dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewawancara (interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (responden) yang memberikan jawaban atas pertanyaan”.

Peneliti dalam hal ini menggunakan teknik wawancara mendalam secara

terbuka. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara antara lain:

a. Menggunakan metode diskusi yaitu antara informan dengan peneliti.

b. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai pokok

permasalahan.

c. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti

d. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari informan mengenai

permasalahan yang belum jelas.

e. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti.

f. Sebelum mengakhiri wawancara, peneliti kembali menegaskan jawaban yang

diberikan oleh informan serta peneliti menanyakan kembali jawaban yang

peneliti belum pahami.

g. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar mendapatkan data yang

dianggap peneliti dapat mendukung penelitiannya.

Adapun panduan wawancara dengan informan di atas dapat dilihat pada

lampiran no. 3, catatan lapangan dengan koordinator kurikulum, catatan lapangan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

dengan guru pendidikan budi pekerti dan catatan lapangan dengan siswa yang

melakukan minuman keras secara urut dapat dilihat pada lampiran no. 4, lampiran

no. 5, dan lampiran no. 6. Sedangkan gambar kegiatan penelitian tersebut dapat

dilihat pada lampiran no. 7.

2. Observasi

Observasi dilakukan peneliti dengan cara mengamati kondisi sosial

pelaku dalam hal ini siswa yang di wawancara. Peneliti menggunakan observasi

berperan pasif terlibat langsung dalam kegiatan belajar mengajar SMP Negeri 14

Surakarta dengan mencatat berbagai hal yang dianggap perlu untuk mendukung

penelitian ini.

3. Analisis Dokumen

Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan

content analysis. Menurut H.B Sutopo (2002: 69) berpendapat bahwa “Mencatat

dokumen disebut juga content analysis dan yang dimaksud bahwa peneliti bukan

hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi

juga tentang maknanya yang tersirat”.

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah silabus, RPP dan

jurnal pendidikan budi pekerti, data jumlah pelanggaran siswa, penanganan siswa

yang melanggar tata tertib, raport siswa dan pembagian tugas tenaga edukatif dan

non edukatif. Peneliti melakukan analisis mengenai efektivitas pendidikan budi

pekerti melalui dokumen yang ada dan dianggap penting yang mendukung hasil

penelitian.

F. Validitas Data

Validitas data adalah keabsahan data yang diperoleh di dalam penelitian

atau suatu data yang diakui kebenarannya. Jadi dalam penelitian ini untuk

menjamin keabsahan data yang diperoleh, maka uji validitas datanya dapat

dilakukan berbagai cara yaitu: trianggulasi, informan review dan member chek.

1. Trianggulasi

Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2002: 78-82) trianggulasi

data ada 4 (empat) macam yakni “Trianggulasi data, trianggulasi metode,

trianggulasi peneliti, dan trianggulasi teori”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Trianggulasi data atau trianggulasi sumber, artinya data yang sama atau

sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang

berbeda.

2. Trianggulasi metode, jenis trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti

dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan

metode yang berbeda.

3. Trianggulasi peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai

bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa

peneliti.

4. Trianggulasi teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan

perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.

Untuk memperoleh validitas data, peneliti menggunakan teknik

trianggulasi data, dimana data penelitian diambil dari berbagai sumber yang

berbeda dengan memanfaatkan berbagai informasi, yaitu dari informan, peristiwa

atau aktivitas, dokumen atau arsip untuk menghasilkan data yang sejenis.

Disamping itu peneliti juga menggunakan teknik trianggulasi metode yaitu

dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau

metode pengumpulan data yang berbeda. Dalam hal ini penulis menggunakan

teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan analisis dokumen.

Dengan demikian maka data yang satu dengan yang lainnya akan dapat saling

melengkapi dan sekaligus mengujinya sehingga dalam hasil akhir nantinya data

yang diperoleh mencerminkan suatu kenyataan yang dapat dipertanggung

jawabkan.

Adapun yang menjadi alasan untuk memilih trianggulasi data dan

trianggulasi metode adalah untuk menutup kemungkinan adanya kekurangan data

dari salah satu sumber dan metode, maka dapat dilengkapi dengan data dari

sumber atau data yang dikumpulkan dengan metode lain.

Adapun trianggulasi data pada penelitian ini dapat dilihat pada lampiran

no. 8, sedangkan hasil trianggulasi metode dapat dilihat pada lampiran no. 9.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

2. Informan Review

Informan review yaitu laporan penelitian direview oleh informan (key

informan) khususnya kegiatan informan untuk mengetahui apakah yang ditulis

merupakan sesuatu yang disetujui mereka atau tidak.

3. Member Chek

Penelitian ini selain menggunakan trianggulasi dan informan review belum

dirasakan cukup untuk membuktikan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian

tersebut benar-benar valid. Untuk itu masih menggunakan member chek sehingga

laporan hasil penelitian diperiksa oleh kelompok atau peneliti lain untuk

mendapatkan pengertian yang tepat atau mencantumkan kekurangan untuk lebih

dimantapkan.

G. Analisis Data

Lexy J. Moleong (2008: 280) menyatakan bahwa “Analisis data adalah

proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar,

sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti

disarankan oleh data”. Adapun komponen utama dalam proses analisis ini

meliputi pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk

memperoleh informasiberupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan

observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data

mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.

2. Reduksi Data

H.B. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian

dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,

membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa

sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”.

3. Sajian Data

Sajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang

memungklinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit

secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi.

4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir

pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa

pengulangan dengan melihat kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan

yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam

proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan,

dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya,

sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil

salah satu komponen saja. Penarikan kesimpulan merupakan hasil dari suatu

proses penelitian yang tidak dapat terpisahkan dari proses sebelumnya, karena

merupakan satu kesatuan.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini :

Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi

langkah-langkah sebagai berikut :

1 Pengumpulan Data

4 Verifikasi/pengambilan

kesimpulan

3 Sajian Data

2 Reduksi Data

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

1. Persiapan

Tahap ini terbagi menjadi dua kegiatan meliputi :

a. Mengurus perijinan penelitian.

b. Menyususun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data

dan menyusun jadwal kegiatan penelitian.

2. Pengumpulan Data

Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi :

a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara

mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen.

b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul.

c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.

3. Analisis Data

Tahap ini terbagi menjadi empat kegiatan meliputi :

a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian

b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check

kan dengan temuan di lapangan

c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses

verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang

dianggap lebih ahli

d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian

4. Penyusunan Laporan Penelitian

Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi :

a. Penyusunan laporan awal

b. Review laporan: dengan melakukan pengecekan ulang laporan yang telah

tersusun bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk kemudian

dilakukan perbaikan laporan

c. Penyusunan laporan akhir

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

BAB IV

LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Deskripsi lokasi penelitian merupakan tahapan dimana data yang

diperoleh peneliti di lapangan penelitian yaitu di SMP Negeri 14 Surakarta

dikumpulkan, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat

disajikan secara sistematis. Aspek-aspek yang diteliti dapat dijabarkan sebagai

berikut : 1. Letak geografis SMP Negeri 14 Surakarta, 2. Profil SMP Negeri 14

Surakarta, 3. Visi dan misi sekolah, 4. Sejarah singkat berdirinya SMP Negeri 14

Surakarta, 5. Keadaan guru, siswa, dan karyawan di SMP Negeri 14 Surakarta, 6.

Waktu pelaksanaan pembelajaran di SMP Negeri 14 Surakarta. Aspek-aspek

tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Letak Geografis SMP Negeri 14 Surakarta

SMP Negeri 14 Surakarta terletak di jalan Prof. W. Z. Yohanes 54,

kelurahan Purwodiningratan, kecamatan Jebres, Surakarta, kode pos 57128. SMP

Negeri 14 Surakarta terletak di pinggir kota Surakarta dengan batas-batas sebagai

berikut.

a. Sebelah Timur : Jagalan

b. Sebelah Selatan : Purwodiningratan

c. Sebelah Barat : Purwodiningratan

d. Sebelah Utara : Purwodiningratan

Berdasarkan letak geografisnya, SMP Negeri 14 Surakarta dapat

dikatakan strategis untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Letak SMP

Negeri 14 Surakarta berada di tepi kota dan cukup jauh dari suara kebisingan

kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya sehingga membuat suasana

pembelajaran menjadi kondusif.

2. Profil SMP Negeri 14 Surakarta

b. Nama Sekolah : SMP Negeri 14 Surakarta

c. No. Statistik Sekolah : 201036104014

d. Tipe Sekolah : B

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

e. Alamat Sekolah : Jl. Prof. WZ. Johanes, no. 54

desa Purwodiningratan, kecamatan Jebres, kota Surakarta, provinsi Jawa

Tengah

f. Telepon/HP/Fax : (0271)636995

g. Status Sekolah : Negeri

h. Akreditasi Sekolah : A

i. NSS/ NSM/ NDS : 201036104014

j. Kepemilikan Tanah : Pemerintah

k. Status Tanah : Pemerintah

l. Luas Tanah : 5.525 m2

m. Status Bangunan : Pemerintah

n. Luas Seluruh Bangunan : 4.860 m2

3. Visi dan Misi Sekolah

a. Visi

Terwujudnya sekolah yang berwawasan Imtaq dan IPTEK serta budaya bangsa

untuk mendukung peningkatan prestasi sekolah, ketrampilan, kemandirian dan

berbudi luhur.

b. Misi

1) Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2) Meningkatkan kemampuan dan profesionalisme.

3) Meningkatkan prestasi akademik.

4) Meningkatkan prestasi olahraga, kesenian dan ketrampilan.

5) Meningkatkan tatakrama dan budi pekerti.

6) Meningkatkan kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat.

4. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 14 Surakarta

SMP Negeri 14 Surakarta berdiri sejak tanggal 1 April 1979 yang awal

mulanya SMP Negeri 14 bermula dari adanya alih fungsi atau intergrasi dari

SKKP (sekolah kesejahteraan keluarga pertama) yang beralamat di jalan Adi

Sucipto Manahan Surakarta yang sekarang digunakan oleh SMK Neg. 6 (SMEA

3), berdasarkan SK Mendikbud RI No. 030/U/1979 tertanggal 17-02-1979.

Sekolah inipun beberapa kali pindah lokasi, berdasarkan perintah dari Kabid

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Dikmenjur Kanwil Debdikbud Prop. Jateng pada tahun 1978 pindah ke gedung

Ho Hap jalan Urip Sumoharjo 53 dan gedung bekas SD Negeri Tegalharjo di

Margorejo Gilingan Surakarta. Pada tahun 1980 SMP Negeri 14 pindah ke jalan

Urip Sumoharjo 53 menempati gedung bekas SMP Negeri 6 Surakarta , karena

kekurangan ruangan maka siswa kelas 1 dan 3 masuk pagi dan kelas 2 masuk sore

selama ± 1 (satu) tahun. Tahun 1981 siswa kelas 2 menempati lokasi di jalan Prof.

WZ. Johanes 54 Jagalan, sedangkan kelas 1 dan 3 menempati ruang di Widuran.

Pada tanggal 23 Juli 1984 baru pindah ke lokasi yang sekarang yakni jalan Prof.

WZ. Johanes 54 kelurahan Purwodiningratan kecamatan Jebres, Surakarta kode

pos 57128. Adapun kepala sekolah yang pernah menjabat adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Daftar Nama Kepala Sekolah SMP Negeri 14 Surakarta

No Nama Tanggal Jabatan

1 Sri Nartini Suprapto 01 /04/1979-14/06/1986

2 Slamet Soerbroto 15/06/1986-23/08/1991

3 Drs. Sunarto 24/08/1991-30/03/2000

4 Suyadi, SPd 31/03/1995-24/03/2000

5 Drs. Sudarno 25/03/2000-03/01/2003

6 Drs. Y. Himawan Samodra 04/01/2003-2010

7 Hj. Ratna P, S.Pd, M.Pd 2010-Sekarang

5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan di SMP Negeri 14 Surakarta

Hasil pembelajaran dapat tercapai secara maksimal salah satunya

disebabkan oleh hubungan antara guru, siswa, maupun karyawan yang terjalin

dengan harmonis. Keadaan seperti itu juga peneliti temukan di SMP Negeri 14

Surakarta.

a. Guru

SMP Negeri 14 Surakarta mempunyai 56 tenaga edukatif yang terdiri

dari 51 guru PNS dan 5 orang guru tidak tetap (GTT). Guru mempunyai tugas

untuk mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya. Selain itu,

beberapa orang guru juga bertanggung jawab menjadi wali kelas yang bertugas

mengajar mata pelajaran yang diampunya dan bertanggung jawab terhadap

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

kelas yang menjadi perwaliannya. Dalam hal ini seorang wali kelas juga

dituntut untuk membuat laporan hasil belajar siswa tiap tengah semester

maupun semester termasuk dalam pembuatan rapor dan membagikannya

kepada orang tua siswa.

b. Siswa

Siswa di SMP Negeri 14 Surakarta berasal dari latar belakang sosial

yang beraneka ragam. Meskipun demikian, mereka mampu berinteraksi dengan

baik dengan teman lain, guru, atupun karyawan yang ada di SMP Negeri 14

Surakarta. Pada tahun ajaran 2009/2010 SMP Negeri 14 Surakarta memiliki 17

kelas yang terdiri dari; kelas VII berjumlah lima (5) kelas dengan pembagian

kelas VII A-VII E, kelas VIII berjumlah enam (6) kelas dengan pembagian

kelas VIII A-VIII F, dan kelas IX berjumlah enam (6) kelas dengan pembagian

kelas IX A-IX F. Berikut ini rincian daftar kelas dan jumlah siswa yang

disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 4. Daftar Kelas dan Jumlah Seluruh Siswa Tahun Ajaran 2009/2010

Nomor Kelas Siswa

Jumlah Putera Puteri

1 VII A 16 20 36

2 VII B 16 20 36

3 VII C 16 20 36

4 VII D 16 20 36

5 VII E 17 21 38

6 VIII A 20 20 40

7 VIII B 19 20 39

8 VIII C 18 20 38

9 VIII D 18 20 38

10 VIII E 18 20 38

11 VIII F 18 20 38

12 IX A 20 20 40

13 IX B 18 22 40

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

14 IX C 15 24 39

15 IX D 18 20 38

16 IX E 19 19 38

17 IX F 23 15 38

JUMLAH 305 341 646

c. Karyawan

Karyawan merupakan salah satu komponen yang mempunyai andil

dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. SMP Negeri 14 Surakarta

mempunyai 11 tenaga nonedukatif. Tugas tenaga nonedukatif tersebut adalah:

1 orang sebagai koordinator staf TU, 1 orang mengurusi kepegawaian

bendahara, 1 orang bagian perlengkapan, 1 orang petugas administrasi, 1 orang

bertugas terhadap urusan kesiswaan, 1 orang bertugas sebagi penjaga sekolah,

1 orang sebagai petugas perpustakaan, 2 orang sebagai petugas komputer, 1

orang sebagai petugas laborat, dan 1 orang mengurusi urusan luar.

6. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran di SMP Negeri 14 Surakarta

Mengenai waktu pelaksanaan pembelajaran di SMP Negeri 14

Surakarta menggunakan sistem semester sama dengan sekolah yang lain, yakni

dalam satu tahun terdapat dua semester. Adapun waktu pelaksanaan kegiatan

belajar di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010 dapat dijelaskan

dalam tabel berikut.

Tabel 5. Waktu Pelaksanaan KBM di SMP Negeri 14 Surakarta

Nomor Hari Nama Kegiatan Waktu

1 Senin KBM 07.00 - 12.10

2 Selasa KBM 07.00 - 12.10

3 Rabu KBM 07.00 - 12.10

4 Kamis KBM 07.00 - 12.10

5 Jumat KBM 07.00 - 10.35

6 Sabtu KBM 07.00 - 12.10

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian

1. Faktor-Faktor yang Mendorong Siswa Melakukan Minuman

Keras di SMP Negeri 14 Surakarta Tahun

Ajaran 2009/2010

Masa remaja merupakan masa transisi dimana terjadi perubahan pada

dirinya baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial. Pada masa tersebut

kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan

kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku

menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. Melihat kondisi

tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat

keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai

penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan

dan norma yang ada di masyarakat salah satunya adalah penyimpangan perilaku

minuman keras.

Tingkat penyalahgunaan minuman beralkohol dalam masyarakat pada

umumnya, dan lingkungan remaja atau pelajar pada khususnya sudah sangat

meresahkan semua pihak termasuk dunia pendidikan dan masyarakat. Akibat dari

penyalahgunaan minuman beralkohol tersebut sangat memprihatinkan dan

berdampak membahayakan masa depan bangsa di masa yang akan datang.

Minuman beralkohol secara kronis dalam jumlah yang berlebihan dapat

menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan otak sehingga menimbulkan

gangguan daya ingatan, kemampuan daya penilaian, kemampuan belajar, dan

gangguan jiwa. Minuman beralkohol ini juga menyebabkan ketergantungan atau

ketagihan pada diri mereka, sehingga mereka melakukan berbagai upaya untuk

mendapatkannya, bahkan dengan melakukan tindak kejahatan. Siswa yang

melakukan penyimpangan perilaku minuman keras didorong oleh faktor-faktor

tertentu yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan yang dilarang dan

berbahaya bagi kesehatan mereka.

Adapun faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman

keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun ajaran 2009/2010 adalah sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

a. Faktor dari Dalam Individu (Intrinsik)

1) Keinginan Mencari Kesenangan dan Kepuasan

Dorongan dari dalam individu untuk mengkonsumsi minuman

keras atau melakukan tindakan alkoholik antara lain: sekedar mencari

kesenangan (have fun) dan kepuasan batin. Seperti yang diungkapkan oleh

Yanuar Kristianto (VII A) pada hari Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan

bahwa:

“Saya minum hanya untuk keisengan saja, dan ada perasaan bangga di depan teman-teman saya, serta saya ingin menunjukkan bahwa saya tidak bisa diremehkan, terlebih lagi rasa senangnya tidak bisa diungkapkan”.

Begitu juga dengan Adityo Nugroho (VIII B) pada hari Rabu

tanggal 7 April 2010, dia mengkonsumsi minuman keras karena ingin

mencari kepuasan, dengan mengatakan bahwa:

“Saya dulu tidak tahu dengan yang namanya bir, ciu, whisky, tetapi sekarang saya ketagihan, pertama hanya mencoba, tetapi lama-kelamaan merasa enak, mencoba lagi dan akhirnya ketagihan, kalau beberapa tidak minum, maka saya merasa ada yang kurang”.

Bagi keduanya, minuman keras dianggap sebagai barang istimewa

yang mampu menghadirkan perasaan bangga dan kepuasan tersendiri.

Perasaan bangga dan kepuasan tersendiri hanya dapat dirasakan oleh

individu itu sendiri, mereka tidak peduli orang lain berkata apa. Hal ini

siswa melakukan tindakan alkoholik didasarkan atas orientasi motivasional,

yaitu orientasi yang merujuk pada keinginan individu yang bertindak untuk

memperbesar kepuasan. Mereka tidak memperhatikan lagi apakah tindakan

yang dipilihnya benar atau salah, yang jelas bagi mereka bahwa dengan

mengkonsumsi minuman keras, mereka mendapatkan apa yang mereka cari.

Mereka berpendapat bahwa minuman keras adalah sesuatu yang istimewa

yang dapat menghadirkan suasana tersendiri bagi mereka dan mereka hidup

dalam suasana tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

2) Dorongan untuk Menumbuhkan Rasa Percaya Diri

Selain untuk mencari kesenangan dan kepuasan, faktor pendorong

siswa melakukan minuman keras adalah dorongan untuk menumbuhkan

rasa percaya diri, seperti yang dikatakan oleh Dony Kurniawan (IX B) pada

hari Rabu tanggal 7 April 2010, yang mengatakan bahwa:

Bu, kalau saya tidak minum saya orangnya tidak punya rasa percaya diri yang tinggi, diajak berbicara sama orang, saya malu, tetapi kalau saya minum-minuman keras, saya menjadi berani dan bisa menguasai keadaan, dan kalau bicara tidak akan salah, terlebih lagi jika ada yang menentang pada saat minum, maka akan saya tanggapi.

Hal serupa dikatakan oleh Novan Saputra (IX D) pada hari Rabu

tanggal 7 April 2010, yang mengatakan bahwa “Kalau saya sudah minum

Bu, rasanya percaya diri saya tinggi, teman-teman tidak meremehkan saya

lagi Bu”.

Dorongan untuk mencapai kepercayaan diri ini berasal dari dalam

diri individu yang mengakibatkan siswa mengkonsumsi minuman keras.

Pada keadaan seperti ini mereka merasakan antara keinginan dan kenyataan

tidak seimbang sehingga muncul ketegangan di dalam dirinya dan

ketegangan-ketegangan tersebut masih bersifat labil yaitu tidak tetap kadang

naik kadang turun. Pada masa yang sangat labil tersebut, mereka yang

semestinya masih membutuhkan nasehat dan bimbingan, tetapi bertindak

layaknya orang dewasa. Mereka mengambil salah satu alternatif yang

menurut mereka paling benar, yaitu dengan mengkonsumsi minuman keras

untuk menumbuhkan kepercayaan diri.

3) Menghilangkan Rasa Frustasi

Faktor pendorong selanjutnya adalah untuk menghilangkan rasa

frustasi yang disebabkan oleh masa lalu ataupun pengalaman buruk yang

pernah dialaminya. Perasaan frustasi tersebut dialami oleh Eksan Ari

Ruswanto ( VII D) pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 mengungkapkan

bahwa “Kalau kebanyakan masalah di rumah, dimarahi orang tua saya atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

kebanyakan tugas rumah dan sekolah, dan kebanyakan pikiran, saya minum

bu, kalau kebanyakan menyimpan masalah sendiri saya bisa stress”.

Siswa tersebut seharusnya dapat menikmati masa-masa indahnya,

ternyata harus kecewa dengan segala kenyataan hidup yang dialaminya.

Kekecewaan yang sangat berat dapat membuat seseorang atau individu

menjadi jatuh. Keluarga yang kurang harmonis dan pergaulan bebas yang

dijalaninya, membuatnya mencari pelarian diri. Mengkonsumsi minuman

keras yang dilakukan siswa tersebut di atas adalah sebagai perwujudan sikap

protes terhadap keluarga, jadi tindakan ini ditujukan kepada orang lain dan

yang dimaksud di sini adalah orang tuanya, supaya ia merasa diperhatikan.

4) Rasa Ingin Tahu yang Tinggi

Penggunaan minuman keras di kalangan pelajar pada umumnya

karena minuman tersebut menjanjikan sesuatu yang menjadi rasa

kenikmatan, kenyamanan, kesenangan dan ketenangan. Seperti yang

disampaikan oleh Yuli Setiawan (IX A) pada hari Kamis tanggal 8 April

2010 mengungkapkan bahwa ”Saya minum untuk pertama kali karena ingin

tahu, seperti apa rasa minuman keras itu, pada waktu pertama kali minum

saya sedikit aneh rasanya tetapi kemudian saya ketagihan Bu”.

Seorang anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, apabila mereka

belum pernah merasakan sesuatu, mereka memiliki rasa penasaran dan ingin

mencoba hal-hal yang baru. Apabila seseorang bergaul dengan orang lain

yang suka minuman keras karena seringnya melihat teman-temannya

minum, maka ia mulai tetarik untuk mencobanya, sehingga walaupun

sebelumnya sudah tahu, rasa minuman keras tersebut beserta akibat yang

ditimbulkan. Selain itu ia merasa takut, apabila temannya marah, dan

akhirnya kehilangan teman-temannya.

b. Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)

1) Penjualan Minuman Keras Secara Bebas

Dengan diperjualbelikannya minuman keras secara bebas, siswa

mudah untuk mendapatkan minuman keras tersebut. Melihat dari segi

ekonomi, walaupun banyak pihak-pihak yang menentang minuman keras

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

dijual belikan secara bebas, akan tetapi kenyataannya masih banyak yang

menjual minuman keras, terbukti masih ada toko-toko yang menjual

minuman keras. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara dengan

informan yaitu Evan Asdianto (VIII A) pada hari Kamis tanggal 8 April

2010 mengatakan bahwa ”Saya patungan dengan teman untuk membeli

minuman keras, saya membeli minuman keras dengan mudahnya yang

penting ada uang ada barang, saya membeli di daerah bekonang”.

Tersedianya tempat-tempat untuk membeli minuman keras

menyebabkan mereka dengan mudah membeli minuman keras. Apabila

mereka ada uang, mereka dengan sangat mudah membeli minuman keras

dan memilih merek minuman keras tersebut sesuai dengan uang yang

dimilikinya.

2) Faktor Keluarga

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi

primer bagi perkembangan anak. Kualitas dan kondisi keluarga memainkan

peranan penting dalam membentuk kepribadian anak. Hubungan sosial yang

baik antar anggota keluarga sangat diharapkankan oleh setiap anak. Kondisi

keluarga yang buruk atau tidak harmonis, biasanya akan membuat anak

mencari sesuatu yang tidak ia dapat di dalam keluarganya yaitu dengan jalan

pelarian ke arah tindakan yang menyimpang, seperti yang diungkapkan oleh

Dedi Setiawan (VIII D) pada hari Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan

bahwa:

Saya di rumah tidak nyaman bu, orang tua saya sering bertengkar, makanya saya lebih nyaman di luar rumah dan berkumpul dengan teman-teman Bu, saya tertekan kalau di rumah, soalnya Bapak saya sering pulang malam, terus keadaan ekonomi keluarga saya kurang mampu Bu.

Dedi Setiawan adalah salah satu contoh dari sekian banyak remaja

yang mengalami keadaan atau kondisi keluarga yang tidak harmonis.

Keluarga yang harmonis seperti yang diharapkan tidak ia dapatkan. Padahal

sebagai anak, apabila mengalami kesulitan membutuhkan kasih sayang dan

perhatian dari orang tuanya , serta pendidikan yang baik dari keluarganya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Salah satu pelarian terhadap perasaan frustasi adalah dengan jalan minum-

minuman keras.

Tindakan alkoholik siswa tidak hanya didukung oleh faktor

keluarga yang broken home atau disharmonisasi keluarga. Remaja yang

hidup di tengah-tengah keluarga yang harmonisasi pun dapat terlibat dalam

minuman keras, seperti yang diungkapkan oleh Bobby Setyawan (IX E)

pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 yang mengatakan bahwa:

Keluarga saya tidak punya masalah Bu, baik-baik saja, orang tua saya kalau bertengkar hanya biasa saja, kalau sudah marah hanya sebentar saja setelah itu selesai dan dengan anak-anaknya pun baik-baik saja, kalau memberitahu tidak pernah kasar, karena itu Bu kalau saya minum jangan sampai ketahuan orang tua saya, bisa-bisa mereka sedih, setahunya saya tidak pernah ada masalah.

Bobby berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah

ke atas, semua kebutuhannya sangat terpenuhi, keluarganya harmonis, tetapi

ia masih saja dapat terjerumus melakukan tindakan penyimpangan perilaku

minuman keras. Hal tersebut disebabkan kontrol dari keluarga yang sangat

lemah atau mereka mudah sekali mempercayai anaknya, pengawasan yang

kurang, dan memberi kebebasan yang terlalu besar terhadap anaknya. Orang

tua salah menafsirkan kata demokratis, takut dikatakan terlalu kolot,

mengekang dan sebagainya, sehingga anak diberi kebebasan yang terlalu

besar. Kebebasan yang tidak terbatas dan tidak diarahkan inilah yang akan

membawa remaja berkeinginan untuk melakukan hal-hal yang disukainya,

sekalipun itu adalah tindakan menyimpang, karena kurangnya pengawasan

dan kontrol dari orang tua. Perhatian yang berlebihan dari orang tua juga

akan membuat anak hidup dalam ketergantungan, dan terhambat

pertumbuhan kedewasaannya. Hal ini akan mengganggu proses interaksi

anak dalam bermasyarakat. Terganggunya proses ini dapat menimbulkan

tingkah laku menyimpang pada anak. Pendidikan yang benar dalam

keluarga memegang peranan penting dalam pertumbuhan kepribadian anak.

Anak yang kurang mendapatkan pendidikan budi pekerti dan agama,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

cenderung tidak dapat menolak pengaruh negatif dalam pergaulannya di

masyarakat.

Pada prinsipnya setiap orang tua harus memperhatikan

perkembangan kepribadian anaknya terutama sikap dan tingkah lakunya

yang kadang sering naik turun dan cenderung bersifat emosi. Anak yang

tumbuh menjadi remaja perlu perhatian khusus karena pada masa ini remaja

sangat labil dan dalam masa pencarian jati diri. Pengaruh keluarga sebagai

penyebab terbentuknya alkoholik remaja disebabkan oleh disharmonisasi

keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga yang utuh, hubungan di

dalam keluarga dan antar anggota keluarga tidak terjalin dengan baik,

komunikasi yang tidak lancar, orang tua yang seharusnya memberikan

contoh yang baik pada anak, tetapi sebaliknya mereka berbuat buruk

sehingga dengan mudahnya anak meniru serta kurangnya pengawasan dan

kontrol dari orang tua mereka.

3) Faktor Lingkungan Pergaulan

Keluarga mempersiapkan anak untuk hidup dan bersosialisasi serta

berinteraksi di dalam masyarakat. Masyarakat yang baik akan membawa

pembentukan tingkah laku yang baik pula pada diri individu. Pengaruh

lingkungan pergaulan terutama dari teman sebaya sangat dominan

membentuk tingkah laku remaja, dan tidak sedikit pengaruh tersebut

membawa pada tingkah laku yang menyimpang. Siswa yang terlibat

tindakan minuman keras tidak terlepas dari pengaruh teman

sepermainannya. Awalnya hanya berkumpul biasa, kemudian menjadi

teman dan ada ikatan kuat diantara mereka. Ikatan tersebut muncul karena

siswa ada perasaan senasib sepenannggungan, sehingga tidak jarang ada

yang mengatasnamakan setia kawan untuk segala perbuatan yang

dilakukannya. Hal tersebut dialami oleh Oscar Patria Dewa (IX C) pada hari

Kamis tanggal 8 April 2010, siswa ini menyatakan bahwa:

”Bu, bergaul itu harus tahu situasi dan kondisi, kalau diajak minum tidak mau, nanti dikira sok, dan tidak setia kawan, tidak senasib seperjuangan. Apalagi kalau minumnya ditraktir ada perasaan tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

enak apabila sampai tidak mau, apabila itu sampai terjadi mereka tdak mau main lagi disitu, saya nanti tidak diperhatiin lagi”.

Begitu juga yang diungkapkan oleh Yanuar Kristianto (VII A) pada

hari Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan bahwa ”Saya sebenarnya takut

bu kalau diajak minum tetapi teman-teman mengajak saya, jadi saya tidak

takut lagi, kan teman-teman minum semua, jadi saya juga harus minum”.

Rasa solidaritas dan saling memiliki yang kuat diantara siswa,

dapat menimbulkan pemilihan alternatif tindakan yang salah. Seperti kasus

tersebut, tindakan minuman keras siswa benar-benar hanya untuk

memberikan kepuasan terhadap temannya. Tindakan minum keras ini hanya

untuk meyakinkan teman-teman pergaulannya bahwa ia setia kawan,

sehingga teman-temannya akan percaya bahwa ia adalah teman sejati dalam

susah maupun senang.

Teman-teman yang biasa minum, ataupun memang di lingkungan

tersebut banyak orang mengkonsumsi minuman keras, menyebabkan siswa

tidak mampu membentengi diri untuk tidak terpengaruh. Apalagi dengan

mudahnya mereka mendapatkan minuman keras, seperti penuturan Evan

Asdianto (VIII A) pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 yang mengatakan

bahwa:

Saya jarang sekali bu minum memakai uang saya sendiri, biasanya saya dibelikan, apabila dibelikan siapa yang tidak mau Bu, tetapi apabila sedang tidak ingin maka saya tidak minum, biasanya saya beralasan perut saya sakit atau Bapak saya di rumah, apabila sudah alasan seperti itu mereka sudah tidak bisa memaksa saya.

Seperi halnya dengan Bobby Setyawan (IX E) pada hari Kamis

tanggal 8 April 2010 yang mengatakan bahwa: ”Saya pertama kali minum

juga karena teman saya mengajak minum Bu, jadi saya mau diajak minum”.

Begitu juga dengan Dony Kurniawan (IX B) pada hari Rabu

tanggal 7 April 2010, yang mengatakan bahwa: ”Saya tadinya juga diajak

sama teman terus kemudian saya mencoba untuk minum”.

Anak yang merasa dirinya dapat bersikap dewasa menganggap arti

pergaulan dari segi materi saja. Mereka senang apabila ada teman yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

memperhatikan kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan materi saja, tetapi

mereka belum dapat menilai arti persahabatan yang sebenarnya ataupun

pergaulan yang bagaimana yang harus ia pertahankan. Lingkungan

pergaulan di mana siswa tinggal dapat mempengaruhi tingkah laku siswa

tersebut. Masyarakat memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan

pribadi anak atau siswa, apabila ia tinggal atau bergaul di suatu tempat, ia

akan mengikuti apa yang dilakukan oleh temen pergaulannya.

4) Faktor Sekolah

Faktor pendorong terbentuknya tindakan penyimpangan perilaku

minuman keras siswa, selain faktor keluarga dan lingkungan pergaulan

adalah lingkungan sekolah. Sekolah merupakan salah satu faktor dominan

dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku siswa. Sekolah merupakan

wadah kedua di mana anak mendapatkan pendidikan setelah keluarga.

Lingkungan sekolah dapat membentuk kepribadian individu menjadi lebih

baik atau menjadi lebih buruk. Pergaulan atau interaksi dengan teman

sekolah, pengajar atau staff sekolah akan menjadi dasar yang penting bagi

pembentukan tingkah laku anak. Walaupun sebenarnya sekolah menerapkan

aturan yang terlalu keras atau berdisiplin tinggi, hal tersebut demi kebaikan

siswa-siswa itu sendiri, tetapi karena masing-masing individu memiliki sifat

dan karakter sendiri-sendiri, maka timbul perasaan yang berbeda-beda pada

masing-masing siswa, ada yang menyadari bahwa peraturan tersebut

memang bermanfaat, tetapi ada juga yang merasa peraturan tersebut terlalu

ketat, sehingga membuat anak menjadi jenuh dan ingin keluar dari

kejenuhan tersebut, yaitu dengan mengkonsumsi minuman keras.

Seperti yang diungkapkan oleh Dedi Setiawan (VIII D) pada hari

Rabu tanggal 7 April 2010 mengatakan bahwa: ”Saya pusing Bu, malas

ingin pindah sekolah yang peraturannya tidak seketat SMP Negeri 14

Surakarta, di rumah tidak nyaman, terus di sekolah peraturannya ketat

sekali, jadi saya tertekan”.

Sekolah yang terlalu longgar peraturannya juga mempengarauhi

anak untuk bertindak menyimpang. Sekolah yang terlalu ketat dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

mempengaruhi siswa apalagi sekolah yang terlalu longgar dapat dengan

mudahnya untuk mempengaruhi anak. Terlebih lagi jika mereka bergaul

dengan teman-teman satu sekolah yang suka melakukan perbuatan-

perbuatan yang menyimpang, maka dengan mudah siswa tersebut untuk

beradaptasi, yaitu mengikuti perilaku teman-temannya. Selain pengetahuan

dan ilmu yang diberikan, sekolah juga mampu mendidik siswa untuk

berperilaku yang baik dan berbudi pekerti yang baik. Jadi pengetahuan dan

perilaku harus seimbang, jangan sampai siswa yang pandai dalam kognitif

tetapi budi pekertinya tidak baik. Sesuai dengan pendapat dari bapak

Sudarsono, S. Pd pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 yang mengatakan

bahwa ”Pendidikan budi pekerti sangat penting diterapkan di sekolah,

karena nilai-nilai budi pekerti sangat diperlukan untuk perkembangan

perilaku siswa”.

Oleh karena itu siswa juga harus mendapatkan pendidikan di luar

pendidikan yang mengutamakan kognitif yaitu pendidikan budi pekerti.

Pendidikan budi pekerti sangat penting bagi perkembangan sikap siswa,

oleh karena itu efektif tidaknya pendidikan budi pekerti sangat

mempengaruhi perilaku siswa. Jumlah dan penanganan siswa yang

melakukan minuman keras di atas dapat di lihat pada lampiran no. 10.

Berdasarkan wawancara dengan informan yaitu siswa yang

melakukan minuman keras, dapat diketahui bahwa golongan atau jenis

minuman yang dikonsumsi oleh siswa tersebut yaitu:

a. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5 % yaitu termasuk golongan

rendah seperti bir.

b. Golongan B dengan kadar alkohol 5-20 % yaitu termasuk golongan

sedang seperti anggur.

Siswa yang melakukan minuman keras mengkonsumsi dua

golongan diatas karena menurut mereka, golongan tersebut yang banyak

dijual di toko atau lebih mudah didapatkan, selain itu juga harga yang lebih

murah dibandingkan dengan golongan yang lainnya. Jadi mengkonsumsi

jenis minuman keras tergantung dari banyaknya uang yang siswa miliki.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

Faktor-faktor penyimpangan perilaku minuman keras yang dialami

oleh siswa di atas dapat dibuat tabel, sebagai berikut:

Tabel 6. Faktor Pendorong Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

No Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)

Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)

1 Keinginan mencari kesenangan dan kepuasan

Penjualan minuman keras secara bebas

2 Dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri

Faktor keluarga

3 Menghilangkan rasa frustasi Faktor pergaulan

4 Rasa ingin tahu yang tinggi Faktor sekolah

Setiap siswa didorong oleh faktor-faktor yang berbeda satu sama

lainnya, ada yang didorong oleh satu faktor dan ada juga yang lebih dari

satu faktor. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa yang melakukan

minuman keras dapat diketahui jumlah faktor yang mendorong mereka

melakukannya, yaitu dengan melihat tabel jumlah faktor pendorong siswa

melakukan penyimpangan perilaku minuman keras sebagai berikut:

Tabel 7. Jumlah Faktor Pendorong Siswa Melakukan Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

No Nama Siswa Kelas Faktor Pendorong Melakukan Minuman

Keras Jml

1 Yanuar Kristianto VII A Mencari kesenanangan dan kepuasan, pergaulan

2

2 Eksan Ari R. VII D Rasa frustasi 1 3 Evan Asdianto VIII A Penjualan secara bebas dan pergaulan 2 4 Adityo Nugroho VIII B Kesenanangan dan kepuasan 1 5 Dedi Setiawan VIII D Rasa Frustasi, keluarga dan sekolah 3 6 Yuli Setiawan IX A Rasa ingin tahu dan pergaulan 2 7 Dony Kurniawan IX B Rasa percaya diri dan pergaulan 2 8 Oscar Patria Dewa IX C Pergaulan 1 9 Novan Saputra IX D Rasa percaya diri 1

10 Bobby Setyawan IX E Keluarga dan pergaulan 2

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jumlah faktor yang paling

banyak mendorong siswa melakukan minuman keras baik dari dalam

individu maupun dari luar individu, yaitu sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

Tabel 8. Jumlah Faktor dari Dalam Individu (Instrinsik)

No Faktor dari dalam individu (Instrinsik) Jumlah

1 Keinginan mencari kesenangan dan kepuasan 2

2 Dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri 2

3 Menghilangkan rasa frustasi 2

4 Rasa ingin tahu yang tinggi 1

Berdasarkan tabel di atas faktor instrinsik yang banyak dialami

siswa adalah keinginan mencari kesenangan dan kepuasan, menumbuhkan

rasa percaya diri serta menghilangkan rasa frustasi.

Tabel 9. Jumlah Faktor dari Luar Individu (Ekstrinsik)

No Faktor dari dalam individu (Ekstrinsik) Jumlah

1 Penjualan minuman keras secara bebas 1

2 Faktor keluarga 2

3 Faktor lingkungan pergaulan 6

4 Faktor sekolah 1

Berdasarkan tabel di atas faktor Ekstrinsik yang paling banyak

dialami siswa adalah faktor lingkungan pergaulan.

Berdasarkan dari data yang diperoleh peneliti di SMP Negeri 14

Surakarta, peneliti membuat catatan lapangan yang berguna mencatat hasil

wawancara. Setelah dilakukan pencatatan maka dilakukan validitas data

dengan menggunakan trianggulasi data, dari hasil olah validitas tersebut

maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran pendidikan budi

pekerti belum sepenuhnya tercapai, yaitu walaupun di sekolah tersebut

sudah menerapkan pendidikan budi pekerti tetapi masih ada beberapa siswa

yang melakukan penyimpangan perilaku khususnya minuman keras. Hal

tersebut belum sepenuhnya tercapai karena adanya faktor yang mendorong

siswa melakukan minuman keras. Hasil wawancara dengan beberapa siswa

yang melakukan minuman, kemudian peneliti melakukan pengecekan

terhadap koordinator dan guru pendidikan budi pekerti dengan melakukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

wawancara tentang faktor pendorong siswa melakukan minuman keras.

Hasilnya adalah faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan minuman

keras sebagai berikut:

a. Menurut koordinator kurikulum bahwa siswa melakukan minuman keras

itu didorong oleh faktor dari dalam dirinya sendiri dan faktor dari luar.

Faktor dari dalam dirinya sendiri diantaranya ingin mencoba-coba,

mengalami frustasi, dapat menumbuhkan percaya diri. Kemudian faktor

dari luar siswanya meliputi: kondisi keluarga yang kurang harmonis,

kurang kontrol dari keluarga, faktor pergaulan yang salah, pendidikan

budi pekertinya kurang dapat memberikan implementasi dan pemahaman

kepada siswanya.

b. Menurut guru pendidikan budi pekerti baik kelas VII, VIII dan kelas IX

bahwa faktor yang mendorong siswa melakukan minuman keras adalah

faktor dari dalam individu dan dari luar individu, faktor dari dalam

meliputi, siswa frustasi karena banyak masalah, ingin mencoba-coba.

Kemudian faktor dari luar meliputi karena adanya toko yang menjual

minuman keras yg mudah diketahui siswa, faktor keluarga, pergaulan

dan kurangnya waktu yang dibutuhkan dalam pendidikan budi pekerti.

2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta

Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti

SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti

berdasarkan himbauan dari Dikpora pada tahun 2005. Pada tahun ajaran 2004/

2005, jumlah penyimpangan perilaku relatif lebih rendah dari tahun setelah

sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti jika ditinjau dari tingkat

penyimpangan perilaku minuman keras. Seperti pendapat dari bapak Sudarsono,

S. Pd pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 mengatakan bahwa:

Seharusnya dengan adanya pendidikan budi pekerti, penyimpangan perilaku setiap tahunnya memang berkurang, tetapi tidak hanya faktor pendidikan budi pekerti saja yang mempengaruhi ada faktor lain yang mendorong siswa melakukannya sehingga masih ada siswa yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

melanggar, oleh karena itu penyimpangan perilaku bukan menurun tetapi dapat juga meningkat.

Siswa yang berbudi pekerti luhur merupakan siswa yang diharapkan

dengan adanya pendidikan budi pekerti di sekolah. Untuk menjadikan seorang

siswa memiliki budi pekerti luhur atau berakhlak mulia diperlukan pembelajaran

pendidikan budi pekerti terus menerus dan berkesinambungan di sekolah.

Pembelajaran akan berhasil hanya dengan usaha keras dan penuh kesabaran dari

para guru, selain itu harus didukung oleh peran serta dari orang tua murid dan

masyarakat. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan metode pembelajaran pendidikan

budi pekerti yang mampu dipahami siswa sehingga siswa melakukan perbuatan

sesuai dengan apa yang diberikan oleh guru, untuk dapat mengembangkan metode

pembelajaran yang efektif maka setiap guru harus memiliki pengetahuan yang

memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara mengimplementasikan metode-

metode tersebut dalam proses pembelajaran.

SMP Negeri 14 Surakarta sudah cukup lama menerapkan pendidikan

budi pekerti, namun demikian masih banyak dijumpai siswa yang berperilaku

negatif di sekolah salah satunya minuman keras yang dilakukan oleh 31 siswa

baik kelas VII, VIII, dan IX. Keberhasilan penerapan pendidikan budi pekerti

tersebut tergantung adanya kerjasama yang efektif di antara berbagai faktor di

sekolah, beberapa diantaranya adalah faktor guru, orang tua siswa, dan perangkat

pendidikan lainnya.

Perbedaan tahun ajaran antara 2004/2005 dengan 2009/2010 karena pada

tahun 2004/2005 merupakan tahun ajaran terakhir sebelum sekolah menerapkan

pendidikan budi pekerti, sedangkan tahun ajaran 2009/2010 karena tahun ajaran

tersebut paling banyak jumlah penyimpangan perilaku minuman keras. Adapun

jumlah seluruh siswa tahun 2004/2005 dan tahun 2009/2010 adalah sebagai

berikut:

a. Jumlah seluruh siswa pada tahun ajaran 2004/2005 adalah 681 siswa

diantaranya:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Tabel 10. Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun 2004/2005

Nomor Kelas Siswa

Jumlah Putera Puteri

1 I 106 113 219

2 II 116 117 233

3 III 106 123 229

Jumlah 328 353 681

b. Jumlah seluruh siswa pada tahun ajaran 2009/2010 adalah 646 siswa

diantaranya:

Tabel 11. Jumlah Seluruh Siswa SMP Negeri 14 Surakarta Tahun 2009/2010

Nomor Kelas Siswa

Jumlah Putera Puteri

1 VII 81 101 182

2 VIII 111 120 231

3 IX 113 120 233

Jumlah 305 341 646

Adapun perbedaannya dapat dilihat dari prosentase (%) banyaknya yang

melakukan minuman keras adalah sebagai berikut:

Tabel 12: Jumlah Siswa yang Melakukan Minuman keras dan Jumlah Siswa

NomorTahun

Ajaran

Jumlah Siswa yang Melakukan

Minuman Keras Jumlah Siswa

1 2004/ 2005 3 681

2 2009/ 2010 31 646

Data jumlah pelanggaran siswa yang melakukan penyimpangan perilaku

dapat dilihat pada lampiran no. 11.

Dimisalkan n adalah jumlah siswa yang melakukan penyimpangan

perilaku minuman keras dan N adalah jumlah keseluruhan siswa pada tahun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

ajaran itu. Cara menghitung prosentase (%) menurut Muhammmad Ali (1996:

194) adalah:

Jadi prosentase (%) siswa yang melakukan minuman keras sebelum

sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti pada tahun 2004/ 2005 adalah:

Sedangkan prosentase (%) siswa yang melakukan minuman keras setelah

sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti pada tahun 2009/ 2010 adalah:

Jadi dapat disimpulkan bahwa prosentase (%) siswa yang melakukan

penyimpangan perilaku minuman keras pada tahun ajaran 2009/2010 lebih besar

daripada tahun ajaran 2004/2005.

3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau dari

Tingkat Penyimpangan Perilaku Siswa Tahun Ajaran

2009/2010 (Studi Kasus Minuman Keras

Di SMP Negeri 14 Surakarta)

Efektivitas pembelajaran merupakan pengukuran terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi setelah siswa mempelajari suatu bahan pelajaran dalam hal

ini mengenai keberhasilan belajar siswa.

Efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota... . Masalah efektivitas biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan... . Efektivitas dapat dijadikan barometer untuk mengukur keberhasilan pendidikan. (E. Mulyasa, 2005: 82-83).

Untuk mengukur efektivitas dapat menggunakan indikator efektivitas.

Adapun indikator efektivitas menurut E. Mulyasa (2005: 84-85) adalah “Indikator

input, indikator process, indikator output, dan indikator outcome”.

%.100×=N

nprosentase

%.44.0%1006813 =×

%80.4%10064631 =×

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1) Indikator input; indikator input ini meliputi karakteristik guru, fasilitas,

perlengkapan, dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.

2) Indikator process; indikator proses meliputi perilaku administratif, alokasi

waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.

3) Indikator output; indikator dari output ini berupa hasil-hasil dalam bentuk

perolehan peserta didik dan dinamikanya sistem sekolah, hasil-hasil yang

berhubungan dengan prestasi belajar, dan hasil-hasil yang berhubungan

dengan perubahan sikap, serta hasil-hasil yang berhubungan dengan keadilan,

dan kesamaan.

4) Indikator outcome; indikator ini meliputi jumlah lulusan ke tingkat pendidikan

berikutnya, pretasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan, serta

pendapatan.

Berawal dari kajian di atas pembahasan mengenai Efektivitas

Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau Dari Tingkat Penyimpangan

Perilaku Siswa Tahun Ajaran 2009/2010 khususnya minuman keras di SMP

Negeri 14 Surakarta akan dikaji.

Hasil wawancara dengan koordinator kurikulum SMP Negeri 14

Surakarta pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 dengan Bapak Sudarsono, S. Pd

mengatakan bahwa “SMP Negeri 14 Surakarta mulai menerapkan pendidikan

budi pekerti pada tahun 2005, hal tersebut merupakan himbauan dari Dikpora kota

Surakarta, yang menyatakan bahwa seluruh SMP baik negeri maupun swasta

harus menerapkan pendidikan budi pekerti”.

Jadi dalam hal ini SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi

pekerti sesuai dengan perintah dari Dikpora yang pelaksanaanya sesuai dengan

kebijakan masing-masing sekolah guna mencapai tujuan dari diajarkannya

pendidikan budi pekerti. Efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti dapat

diukur dengan menggunakan indikator dari efektivitas, jadi efektif tidaknya

pendidikan budi pekerti tergantung dari tercapainya indikator efektivitas. Adapun

indikator efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti antara lain:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

a. Indikator Input

Indikator input ini mencakup:

1) Karakteristik Guru Pendidikan Budi Pekerti

Guru mempunyai peran yang sangat penting bagi dunia pendidikan,

bahkan dapat dikatakan bahwa guru merupakan tokoh sentral dalam

kemajuan dunia pendidikan, yang mana dalam kehidupan sehari-hari

seorang guru dihadapkan pada berbagai keadaan dimana dia harus bisa

untuk mengambil keputusan, bertindak, berperilaku serta bertutur sesuai

dengan peranan mereka sebagai seorang guru. Peran guru dalam

implementasi atau pelaksanaan pendidikan budi pekerti tidak mudah. Guru

dituntut menjadi figur: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,

tut wuri handayani. Ungkapan ini, menurut Ki Hajar Dewantara diartikan

sebagi sikap pimpinan (guru) harus mampu memberi teladan, memberi

contoh, menjadi motivator, dalam penanaman budi pekerti kepada siswanya.

Guru juga harus mampu memberi motivasi kepada siswa untuk belajar

keras. Guru juga perlu untuk memberikan kepercayaan kepada siswanya

untuk mempelajari sesuatu sesuai minat dan kemampuannya. Guru harus

bertanggungjawab atas hasil kegiatan belajar siswa melalui interaksi belajar

mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya

proses belajar mengajar, dan karenanya guru harus menguasai prinsip-

prinsip belajar disamping menguasai materi yang akan diajarkan serta guru

harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya.

Berdasarkan himbauan dari Dikpora kota Surakarta, pada tahun

2005 seluruh SMP baik negeri maupun swasta harus menerapkan

pendidikan budi pekerti, adapun guru yang mengajarkan pendidikan budi

pekerti sesuai dengan kebijakan masing-masing sekolah. Di SMP Negeri 14

Surakarta, guru yang mengajar pendidikan budi pekerti adalah guru PKn,

hal tersebut sesuai dengan penuturan bapak Sudarsono, S. Pd pada hari

Jumat tanggal 14 Mei 2010 yang mengatakan bahwa ”Guru yang

mengajarkan pendidikan budi pekerti adalah guru PKn, jadi selain

mengajarkan PKn, mereka juga mengajarkan pendidikan budi pekerti,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

karena pendidikan budi pekerti identik dengan moralitas seseorang dan

sangat relevan dengan materi PKn”. Hal tersebut dapat dilihat pada lampiran

no. 12.

Pelaksanaan pembelajaran pendidikan budi pekerti terdapat

beberapa kendala, seperti yang disampaikan guru pendidikan budi pekerti

kelas VIII yaitu bapak Mastyasto, S. Pd pada hari Senin tanggal 10 Mei

2010 yakni, “ Adapun kendala dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti

antara lain, terlalu minimnya referensi, alokasi waktu yang digunakan

sangatlah kurang, secara keseluruhan alokasi waktu kegiatan pembelajaran

pendidikan budi pekerti adalah 40 menit setiap minggunya”.

Menurut Medley dalam Soekartawi ( 1995: 38-39), menyebutkan

bahwa “Ada empat karakteristik dari mengajar yang efektif, diantaranya

adalah penampilan pengajar (penguasaan baha ajar), persiapan mengajar”.

Sesuai dengan pendapat tersebut, seorang guru harus menguasai materi

pendidikan budi pekerti dan mempunyai persiapan mengajar yaitu

menggunakan perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran tersebut

berupa silabus dan jurnal kegiatan. Setiap guru pendidikan budi pekerti,

memberikan materi sesuai dengan silabus pendidikan budi pekerti dari

Dikpora kota Surakarta, dan setelah pembelajaran selesai, guru diwajibkan

untuk mengisi jurnal kegiatan. Jadi guru pendidikan budi pekerti kelas VII

dapat membuat RPP beserta mengisi jurnal kegiatan setelah pembelajaran

selesai.

Ketua MGMP Pendidikan Budi Pekerti Titik Rumsari, S. Pd

mengatakan bahwa ”Agar seorang guru antusias dalam memberikan

pembelajaran pendidikan budi pekerti dan untuk mengukur pencapaian

siswa, seorang guru harus memberikan penilaian dan harus mengisi jurnal

kegiatan”. Berdasarkan dari data yang didapat peneliti, guru pendidikan

budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta kurang antusias dalam

pembelajaran pendidikan budi pekerti hal tersebut dapat dilihat dari guru

pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta baik yang mengajar

kelas VIII dan kelas IX tidak mengisi jurnal kegiatan pendidikan budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

pekerti, yang artinya guru kurang antusias terhadap perubahan perilaku

siswa setelah mereka mengajarkan pendidikan budi pekerti, sehingga

membuat tidak efektifnya dalam pembelajaran.

2) Materi Pembelajaran

Peran guru sebagai pengajar jelas sebagai fasilitator bagi siswanya

dalam menerima materi yang disampaikan, akan tetapi bukan hanya sekedar

pengajar tapi juga sebagai pendidik. Terkadang melihat banyak guru hanya

terlibat aktif pada perannya sebagai pengajar, sekedar menuntaskan tugas

kemudian selesai. jika hal ini terus tumbuh dan tidak disadari, maka siswa

ke depannya akan menjadi siswa yang hanya mementingkan kognitifnya

saja tanpa nilai-nilai budi pekerti dalam kehidupan. Jadi dalam hal ini peran

guru sebagi pendidik sekaligus sebagai pengajar harus tetap terjaga,

sehingga kemudian hari tidak akan ada siswa yang pandai dalam kognitif

tetapi juga baik budi pekertinya dengan lingkungan. Sebagai seorang guru

hendaknya tetap merefleksikan materi-materi pembelajaran yang terkait

dengan kondisi lingkungan, apalagi pendidikan budi pekerti yang harus

mengajarkan interaksi dengen lingkungan.

Materi Pembelajaran adalah materi yang digunakan untuk

mencapai tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran dikembangkan dengan

mengacu pada materi pokok yang ada dalam silabus. Proses belajar

mengajar ini guru menggunakan materi yang sesuai dengan silabus yang

digunakan. Adapun sumber buku ynag digunakan oleh guru pendidikan budi

pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta bersumber pada satu buku yaitu

Lembar Kerja Siswa (LKS). Sumber buku juga merupakan salah satu

kendala dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti. Seperti pendapat dari

bapak Gatot Katmanto, S. Pd pada hari Jumat tanggal 14 Mei 2010

mengatakan bahwa “Saya hanya memakai satu buku untuk pendidikan budi

pekerti, itu pun buku yang diberikan dari Dikpora, saya kesulitan untuk

mencari buku yang sesuai dengan materi pendidikan budi pekerti”.

Materi yang diberikan oleh guru kepada peserta didik hanya berasal

dari satu sumber buku, sehingga hal itu merupakan salah satu kendala guru

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

dalam memberikan materi kepada peserta didik dan peserta didik hanya

memperoleh materi dari satu buku. Kurangnya sumber buku yang

digunakan dalam pendidikan budi pekerti akan menjadikan pendidikan budi

pekerti kurang efektif.

3) Metode Pembelajaran

Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat

pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, yang tepat

untuk memperlancar kegiatan pembelajaran. Untuk melakukan kegiatan

belajar mengajar yaitu menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta

didik diperlukan metode pembelajrana yang tepat. Penggunaan metode

pembelajaran disesuaikan dengan tujuan dan materi pelajaran yang akan

dikuasai oleh peserta didik. Pertimbangan utama yang digunakan untuk

menentukan metode pembelajaran adalah bahwa metode mengajar yang

akan digunakan harus dapat membantu kelancaran dan keefektifan kegiatan

belajar mengajar. Metode pembelajaran sangat banyak dan bervariasi

sehingga dalam menentukan metode mengajar yang akan digunakan, guru

pendidikan budi pekerti harus tetap memperhatikan pola pembelajaran.

Kegiatan belajar mengajar terbagi atas belajar mengajar di dalam

kelas dan di luar kelas. Kegiatan belajar mengajar di dalam kelas merupakan

program baku yang dirancang oleh guru pendidikan budi pekerti di kelas

sehingga terjadi interaksi belajar antara guru dan peserta didik. Kegiatan

belajar mengajar di dalam kelas lebih banyak bersifat teoritis saja sehingga

metode yang sering digunakan adalah metode ceramah dan diskusi.

Sedangkan kegiatan belajar mengajar di luar kelas merupakan suatu

kegiatan dalam rangka mengembangkan rasa kepedulian dan tanggung

jawab terhadap masyarakat, dengan kegiatan belajar mengajar di luar kelas,

maka peserta didik akan terdorong untuk mengenal lingkungan masyarakat

di sekitarnya. Selain itu kegiatan belajar mengajar di luar kelas dapat

dijadikan oleh peserta didik sebagai pembuktian antara teori-teori yang telah

didapatkan di kelas dengan kondisi atau fakta-fakta yang ada di masyarakat.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Metode pembelajaran yang dapat digunakan pada waktu kegiatan belajar

mengajar di luar kelas adalah metode observasi/pengamatan.

Pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai yang

membutuhkan keterampilan khusus untuk proses penanamannya, maka

dibutuhkan kompetensi pendidik untuk memilih model dan metode yang

tepat. Pemilihan metode dan model yang tepat serta memperhatikan tingkat

perkembangan siswa secara menyeluruh akan mempermudah proses

penanaman nilai dalam diri siswa. Selain metode yang cocok, menarik, tidak

membosankan, melibatkan seluruh siswa akan membuat anak tidak

menyadari bahwa dirinya sedang belajar untuk mencapai kematangan

pribadinya, melalui pencarian nilai-nilai hidup bersama dengan teman-

teman sebayanya dalam tuntutan pendamping guru.

Metode pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran

pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dalam hal ini kurang

bervariasi dengan minimnya sumber buku yang digunakan, selain itu guru

belum memberikan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. Seperti

pendapat dari bapak Mastyasto, S. Pd bahwa “Saya hanya menggunakan

metode ceramah dan tanya jawab saja karena sangat dibatasi oleh waktu

yang sangat sedikit, oleh karena itu saya di dalam kelas saja karena

waktunya yang sangat sedikit, jadi apabila pembelajaran di lakukan di luar

kelas sangat sulit untuk diterapkan”

Pengetahuan siswa tentang materi yang diberikan dalam

pendidikan budi pekerti kurang dikatakan baik. Akan tetapi tujuan dari

pembelajaran dalam pendidikan budi pekerti tidak hanya mengacu pada

kecerdasan kognitif saja, melainkan harus diimbangi dengan kecerdasan

afektif dan psikomotorik, apalagi pendidikan budi pekerti lebih mengacu

kepada pembentukan dan pengembangan perilaku siswa.

Pendidikan budi pekerti merupakan spesifikasi pendidikan nilai di

sekolah. Oleh karena itu, pendidikan budi pekerti di sekolah harus mampu

melatih dan mengarahkan perkembangan siswa agar budi pekerti mereka

merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dikenal dan diyakininya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Pemanifestasian nilai dalam diri manusia membutuhkan proses yang

panjang dan terus-menerus. Demikian pula penanaman nilai dalam

pendidikan formal di sekolah haruslah terus menerus diberikan dan diulang-

ulang agar terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata,

dalam budi pekerti yang konkret. Keberhasilan untuk menawarkan dan

menanamkan nilai-nilai hidup melalui pendidikan budi pekerti dipengaruhi

juga oleh cara penyampaiannya. Seperti pendapat dari bapak Gatot

Katmanto, S. Pd pada thari Jumat tanggal 14 Mei 2010 yang mengatakan

bahwa, “Saya hanya menggunakan metode ceramah saja karena waktu yang

sangat terbatas, dan terkadang memberikan tugas kepada siswa saja”.

b. Indikator Proses

Indikator proses mencakup alokasi waktu yang dibutuhkan seorang

guru dalam mengajarkan pendidikan budi pekerti kepada siswanya. Untuk

pendidikan budi pekerti alokasi waktu yang dipakai adalah kebijakan masing-

masing sekolah. SMP Negeri 14 Surakarta dalam mengajarkan pendidikan

budi pekerti, guru diberi waktu selama 1 jm pelajaran atau 40 menit. Hal

tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan salah satu guru pendidikan

budi pekerti, yaitu bapak Wardoyo pada hari rabu tanggal 12 Mei 2010,

mengungkapkan bahwa:

Saya sebenarnya kesulitan dalam memberikan materi pendidikan budi pekerti, karena hanya diberikan waktu 1 jam pelajaran yaitu 40 menit untuk satu kelas setiap minggunya, materi yang sangat banyak, dengan alokasi waktu yang sangat sedikit. Saya mengharapkan untuk tahun ajaran berikutnya ada penambahan jam, khususnya untuk pendidikan budi pekerti, karena apabila hanya 40 menit, siswa kurang mampu untuk memahami dan sangat dibatasi sekali oleh waktu yang sangat sedikit.

Waktu yang diberikan kepada guru pendidikan budi pekerti dirasa

masih kurang, apalagi pendidikan budi pekerti bukan hanya pemberian materi

tapi harus memberikan pemahaman kepada siswa agar mampu dimengerti dan

dipahami siswa sehingga, perilaku siswa sesuai dengan pendidikan budi

pekerti yang diajarkan di sekolah.

Selain materi yang diberikan, seorang guru pendidikan budi pekerti

juga harus bisa memberikan contoh-contoh kasus yang berada di lingkungan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

sekitar. Kerjasama untuk mengatasi penyimpangan perilaku dengan guru BP,

wali kelas dan orang tua.tidak segan-segan selalu mengingatkan dan

memberikan motivasi untuk ke arah ynag lebih baik dalam rangka

meningkatkan kualitas peserta didik baik prestasi belajar maupun perilaku

siswa.

c. Indikator Output

Indikator output mencakup perubahan perilaku atau sikap siswa

setelah mereka menerima pelajaran dari gurunya. Belajar merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan

pribadi dan perilaku individu. Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar

memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula

perubahan dalam sikap atau perilakunya. berubah perilakunya karena

memiliki pengetahuan baru yang dihayatinya untuk diamalkan. Perubahan

perilaku akibat pengetahuan baru yang dihayatinya kemudian diamalkannya.

Posisi pendidikan nilai menjadi sangat vital dalam pembentukan pribadi

manusia, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun

tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif

secara emosional, sosial, maupun spiritual.

Untuk menjadikan seorang anak didik memiliki budi pekerti luhur

atau berakhlak mulia diperlukan pendidikan yang mengajarkan budi pekerti

yang terus menerus dan berkesinambungan di sekolah. Pendidikan budi

pekerti hanya suatu pendidikan nilai yang diberikan kepada siswa untuk

membentuk dan mengembangkan unsur karakter atau watak yang

mengandung hati nurani sebagai kesadaran diri untuk berbuat kebajikan

dengan cara menanamkan nilai-nilai budi pekerti dalam diri siswa. Pendidikan

budi pekerti ini bukan pendidikan yang mengutamakan kognitif tetapi

merupakan pengembangan diri, jadi penilaian bukan berbentuk angka tetapi

perilaku pada masing-masing siswa. Hal tersebut dapat dilihat pada lampiran

no. 13. Untuk mewujudkan budi pekerti luhur pada diri anak didik tidaklah

mudah karena menyangkut kebiasaan hidup. Pendidikan budi pekerti dituntut

untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

nilai budi pekerti dalam keseluruhan dimensi pendidikan. Oleh karena itu,

diyakini bahwa pendidikan budi pekerti akan memberi kontribusi yang

bermakna terhadap pendewasaan anak usia sekolah dan pemuda yang harus

mampu menunjukkan dirinya bukan hanya cerdas secara rasional, tetapi juga

cerdas secara emosional, sosial, dan spiritual.

Pendidikan budi pekerti akan berhasil hanya dengan usaha keras dan

penuh kesabaran dari para guru, selain itu harus didukung oleh peran serta

dari orang tua murid dan masyarakat. Dalam mewujudkan budi pekerti luhur

terhadap para siswa di sekolah diperlukan upaya keras dari semua guru secara

bersama-sama, secara konsisten dan berkesinambungan dengan pendekatan

yang tepat. Budi pekerti adalah nilai-nilai hidup manusia yang sungguh-

sungguh dilaksanakan bukan karena sekedar kebiasaan, tetapi berdasar

pemahaman dan kesadaran diri untuk menjadi baik.

Untuk mengetahui apakah seorang anak didik telah berbudi pekerti

luhur dapat dinilai dari kecenderungan tingkah laku atau perilaku yang

ditunjukannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya sekolah yang

menerapkan pendidikan budi pekerti, dengan adanya pendidikan budi pekerti

diharapkan mencapai hasil yang semaksimal mungkin yaitu semua siswanya

memiliki budi pekerti yang baik dan tidak melakukan penyimpangan perilaku

tetapi di SMP Negeri 14 Surakarta, siswa yang melakukan penyimpangan

perilaku tidak sedikit. Meskipun di sekolah tersebut sudah menerapkan

pendidikan budi pekerti tetapi perilaku dari beberapa siswa tidak mengalami

perubahan ke arah yang lebih baik.

Sekolah tersebut sudah menerapkan pendidikan budi pekerti tetapi

masih ada yang melakukan penyimpangan perilaku, khususnya minuman

keras yang paling banyak dilakukan. Sebelum sekolah menerapkan

pendidikan budi pekerti yaitu pada tahun ajaran 2004/2005 penyimpangan

perilaku relatif sedikit tetapi setelah sekolah menerapkan pendidikan budi

pekerti, misalnya pada tahun ajaran 2009/2010, masih ada yang melakukan

penyimpangan perilaku, khususnya minuman keras yang paling banyak

dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, dengan adanya pendidikan budi pekerti

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

perubahan perilaku siswa belum sepenuhnya mencapai hasil yang maksimal

karena masih ada beberapa siswa yang melakukan penyimpangan perilaku.

Sesuai dengan indikator dari efektivitas pembelajaran pendidikan budi

pekerti di atas, pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dapat

dikatakan belum efektif dan tingkat efektifnya masih rendah karena menurut

E. Mulyasa (2005: 82) berpendapat bahwa “Hasil yang semakin mendekati

tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan semakin tinggi tingkat

efektivitasnya”. Padahal di SMP Negeri 14 Surakarta tersebut dari indikator

input, proses dan output belum sesuai dengan yang diharapkan.

Hal ini juga dapat diperkuat dari hasil wawancara dengan koordinator

kurikulum, siswa yang melakukan minuman keras dan Ketua MGMP

pendidikan budi pekerti kota Surakarta, yaitu:

a. Menurut koordinator kurikulum bahwa buku yang digunakan dalam

pembelajaran pendidikan budi pekerti hanya satu yaitu dari Dikpora,

kurangnya waktu yang dibutuhkan, setiap minggu hanya satu jam yaitu 40

menit, pendidikan budi pekerti belum mencapai tujuan yang semaksimal

mungkin.

b. Menurut siswa bahwa buku yang digunakan hanya satu, metode yang

digunakan hanya ceramah dan penugasan, waktunya hanya 40 menit

setiap minggunya.

c. Menurut Ketua MGMP Pendidikan Budi Pekerti kota Surakarta bahwa

agar seorang guru antusias dalam memberikan pembelajaran pendidikan

budi pekerti dan untuk mengukur pencapaian siswa, seorang guru harus

memberikan penilaian dan harus mengisi jurnal kegiatan.

C. Temuan Studi

Berdasarkan data penelitian yang dipaparkan di atas, peneliti menemukan

beberapa temuan studi yaitu:

1. Faktor Pendorong Siswa Melakukan Minuman Keras

Setelah mengetahui hasil penelitian terhadap para responden, dapat

diketahui bahwa siswa melakukan minuman keras didorong oleh beberapa faktor

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

yang dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor dari dalam individu dan faktor

dari luar individu. Faktor pendorong siswa melakukan minuman keras antara lain

adalah faktor dari dalam individu meliputi keinginan minum-minuman keras

hanya untuk mencari kesenangan dan kepuasan, dorongan untuk menumbuhkan

rasa percaya diri, menghilangkan rasa frustasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi.

Sedangkan faktor pendorong siswa melakukan minuman keras dari luar individu

meliputi penjualan minuman keras secara bebas, faktor keluarga, faktor

lingkungan pergaulan dan faktor sekolah. Faktor pendorong siswa melakukan

minuman keras sesuai dengan teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan

Dollard yang menyatakan bahwa, ”Semua tingkah laku (termasuk tingkah laku

tiruan) didasari oleh dorongan” (Sarlito, 2008: 24). Perilaku siswa didasarkan

pada dorongan tertentu, siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman

keras didorong oleh faktor-faktor tertentu yaitu faktor instrinsik dan ekstrinsik.

2. Perbedaan Tingkat Penyimpangan Perilaku Minuman Keras

Sebelum dan Setelah SMP Negeri 14 Surakarta

Menerapkan Pendidikan Budi Pekerti

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebelum sekolah menerapkan

pendidikan budi pekerti, tingkat penyimpangan perilaku siswa khususnya

minuman keras relatif lebih sedikit atau rendah dibandingkan dengan setelah

sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti relatif lebih banyak atau lebih tinggi

yang melakukan minuman keras. Indikator semakin rendah tingkat penyimpangan

perilaku minuman keras sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti

tersebut diketahui ketika 3 siswa (0.44 %) dari jumlah siswa pada tahun

2004/2005 681 siswa, melakukan minuman keras. Sedangkan Indikator semakin

banyak atau tinggi tingkat penyimpangan perilaku minuman keras setelah sekolah

menerapkan pendidikan budi pekerti tersebut diketahui ketika 31 siswa (4.8 %)

dari jumlah siswa pada tahun 2009/2010 646 siswa, melakukan minuman keras.

Hasil penelitian tersebut setelah disesuaikan dengan teori yang ada

ternyata sesuai dengan teori belajar sosial dan tiruan dari Millers dan Dollard.

Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, tingkat penyimpangan

perilaku lebih sedikit dibandingkan setelah sekolah menerapkan pendidikan budi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

pekerti pada tahun 2009/ 2010. Hal tersebut karena bukan hanya dipengaruhi oleh

ada tidaknya pendidikan budi pekerti tetapi juga dapat di dorong oleh faktor-

faktor dari dalam dan luar individu.

3. Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Ditinjau dari Tingkat

Penyimpangan Perilaku Minuman Keras Siswa Tahun Ajaran

2009/2010 di SMP Negeri 14 Surakarta

Efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti dapat diukur dengan

menggunakan indikator dari efektivitas. Adapun indikator efektivitas

pembelajaran pendidikan budi pekerti antara lain:

a. Indikator Input

Indikator Input ini mencakup:

1) Karakteristik Guru Pendidikan Budi Pekerti

Berdasarkan dari data yang didapat peneliti, guru Pendidikan budi

pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta kurang antusias dalam pembelajaran

pendidikan budi pekerti, hal tersebut dapat dilihat dari lampiran jurnal

kegiatan Pendidikan Budi Pekerti kelas VII, VIII dan kelas IX yang masih

kosong. Guru tidak mengisi jurnal kegiatan pendidikan budi pekerti, artinya

guru kurang antusias dalam pembelajaran.

2) Materi Pembelajaran

Materi yang diberikan oleh guru kepada peserta didik hanya berasal

dari satu sumber buku, sehingga hal itu menjadi salah satu kendala guru

dalam memberikan materi kepada peserta didik dan peserta didik hanya

memperoleh materi dari satu buku.

3) Metode Pembelajaran

Metode yang digunakan guru pendidikan budi pekerti hanya

metode ceramah dan hanya jawab. Hal tersebut disebabkan oleh alokasi

waktu yang dirasa oleh guru sangat kurang.

b. Indikator Proses

Indikator proses mencakup alokasi waktu yang dirasa oleh guru

pendidikan budi pekerti sangat kurang yaitu 40 menit setiap minggunya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

c. Indikator Output

Indikator output salah satunya mencakup perubahan perilaku atau

sikap sebagai hasil dari proses belajar dalam hal ini pembelajaran pendidikan

budi pekerti, yang pada kenyataannya belum mencapai tujuan yang maksimal,

hal ini terbukti dari banyaknya siswa yang melakukan penyimpangan perilaku

minuman keras.

Untuk mengukur efektivitas dapat menggunakan indikator efektifitas,

sesuai dengan teori Teori Rosenberg (Teori Affective-Cognitive Consistency)

yang menyatakan bahwa, “Komponen afektif akan selalu berhubungan dengan

komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten sampai

pada akhirnya perilakunya juga akan berubah” (Bimo Walgito, 2008: 137).

Komponen kognitif yaitu siswa memperoleh pendidikan budi pekerti, maka

dengan adanya pembelajaran pendidikan budi pekerti yang efektif, komponen

afektif pun akan berubah sehingga berubah pula perilakunya menjadi lebih

baik. Kurang efektifnya pendidikan budi pekerti sehingga masih ada

penyimpangan perilaku yang dilakukan siswa di SMP Negeri 14 Surakarta.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan dan analisis

yang telah dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik suatu kesimpulan guna

menjawab perumusan masalah. Adapun kesimpulan peneliti adalah sebagai

berikut :

1. SMP Negeri 14 Surakarta sudah menerapkan pendidikan budi pekerti tetapi

masih ada siswa yang melakukan penyimpangan perilaku minuman keras

sebanyak 31 siswa. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor yang dapat

dikelompokan menjadi dua yaitu:

a. Faktor dari dalam individu meliputi keinginan mencari kesenangan dan

kepuasan, dorongan untuk menumbuhkan rasa percaya diri,

menghilangkan rasa frustasi, dan rasa ingin tahu yang tinggi.

b. Faktor dari luar individu meliputi penjualan minuman keras secara bebas,

faktor keluarga, faktor lingkungan pergaulan dan faktor sekolah.

2. Perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan

setelah SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti adalah

sebagai berikut:

a. Sebelum sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti yaitu pada tahun

ajaran 2004/2005, tingkat penyimpangan perilaku siswa khususnya

minuman keras lebih rendah atau sedikit dengan prosentase 0, 44 %.

b. Setelah sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti yaitu pada tahun

ajaran 2009/2010, tingkat penyimpangan perilaku siswa khususnya

minuman keras lebih tinggi atau lebih banyak dengan prosentase 4, 8 %.

3. Efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari tingkat

penyimpangan perilaku minuman keras di SMP Negeri 14 Surakarta tahun

ajaran 2009/2010 dapat dikatakan belum sepenuhnya efektif dan tingkatnya

masih rendah, hal ini dapat dilihat dari:

a. Indikator input meliputi:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

1) Karakteristik guru pendidikan budi pekerti yang kurang antusias

dalam mengisi jurna kegiatan pendidikan budi pekerti setelah

pembelajaran.

2) Materi pembelajaran yang banyak serta tidak diimbangi dengan

sumber buku yang ada, guru hanya berpedoman dengan hanya satu

sumber buku saja.

3) Metode pembelajaran yang kurang bervariasi karena sangat dibatasi

oleh alokasi waktu dengan satu jam pelajaran atau 40 menit setiap

minggunya.

b. Indikator proses berupa alokasi waktu yang diberikan dari kebijakan

sekolah dalam pembelajaran pendidikan budi pekerti. Waktu yang

diberikan hanya satu jam pelajaran selama 40 menit. Berdasarkan

wawancara dengan guru pendidikan budi pekerti, alokasi waktu yang

diberikan terlalu sedikit sehingga guru merasa kesulitan untuk

menyampaikan nilai-nilai budi pekerti secara keseluruhan serta mencapai

hasil yang maksimal

c. Indikator output berupa hasil yang berhubungan dengan perubahan sikap.

Adapun salah satu tujuan dari pembelajaran pendidikan budi pekerti

adalah siswa tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang serta

meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang

dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tetapi dalam

kenyataannya banyak siswa yang melakukan penyimpangan perilaku

minuman keras sebanyak 31 siswa. Jadi dalam hal ini, tujuan dari

pembelajaran pendidikan budi pekerti belum mencapai hasil yang

semaksimal mungkin, artinya pembelajaran sudah dijalankan tetapi masih

ada siswa yang melakukan minuman keras. Hal tersebut dapat dikatakan

belum efektif karena hasil pembelajaran yang berhubungan dengan

perubahan sikap belum tercapai secara maksimal.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

B. Implikasi

Berdasarkan kesimpulan atas jawaban yang telah dirumuskan yang

berkaitan dengan efektivitas pembelajaran pendidikan budi pekerti ditinjau dari

tingkat penyimpangan perilaku siswa tahun ajaran 2009/2010 (studi kasus

minuman keras di SMP Negeri 14 surakarta) sebagaimana dikemukakan di atas,

dapat menimbulkan implikasi sebagai berikut:

1. Setelah mengetahui faktor-faktor yang mendorong siswa melakukan

penyimpangan perilaku minuman keras maka guru mata pelajaran pendidikan

budi pekerti dalam hal ini dapat mengatasi masalah-masalah yang ada

sehingga tujuan dari pembelajaran pendidikan budi pekerti dapat tercapai

secara maksimal. Untuk mencapai tujuan pendidikan budi pekerti secara

maksimal diperlukan adanya kerjasama dengan berbagai pihak, diantaranya

keluarga, masyarakat dan warga sekolah.

2. Perbedaan tingkat penyimpangan perilaku minuman keras sebelum dan setelah

SMP Negeri 14 Surakarta menerapkan pendidikan budi pekerti sangat jauh,

hal ini dapat dilihat dengan prosentase jumlah siswa yang melakukan

minuman keras. Setelah sekolah menerapkan pendidikan budi pekerti, tingkat

penyimpangan perilaku minuman keras semakin tinggi atau semakin banyak.

Tingginya penyimpangan perilaku minuman keras yang terjadi di SMP Negeri

14 Surakarta membuat pihak sekolah pada umumnya dan khususnya guru

pendidikan budi pekerti harus mampu mengatasi masalah tersebut serta

mampu menerapkan pembelajaran yang lebih efektif dalam rangka

meningkatkan kualitas peserta didik.

3. Pembelajaran pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta dapat

dikatakan belum sepenuhnya efektif. Setelah mengetahui hal tersebut maka

guru mata pelajaran pendidikan budi pekerti di SMP Negeri 14 Surakarta

berusaha dan memperdalam mengenai metode pembelajaran yang lebih efektif

agar mampu mencapai tujuan pembelajaran yang semaksimal mungkin sesuai

dengan harapan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka

peneliti dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi Sekolah

a. Diharapkan perlu mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak,

diantaranya keluarga, masyarakat dan warga sekolah dalam mengatasi

penyimpangan perilaku minuman keras.

b. Memberikan penyuluhan tentang bahaya minuman keras kepada seuluruh

siswa.

2. Bagi Siswa

a. Siswa diharapkan lebih selektif dalam pergaulan dan protektif terhadap

pengaruh-pengaruh negatif yang datang dari luar

b. Siswa diharapkan lebih terbuka terhadap orang tua, terlebih jika memiliki

masalah atau problem yang tidak bisa dipecahkan sendiri.

c. Siswa hendaknya lebih berpikiran positif akan sesuatu hal dan mengambil

jalan keluar dengan akal sehat.

d. Siswa hendaknya lebih memperhatikan dan memahami guru dalam

kegiatan pembelajaran khususnya pendidikan budi pekerti.

3. Bagi Guru Pendidikan Budi Pekerti

a. Pembelajaran diharapkan lebih bervariasi dan tidak membosankan dengan

memberikan contoh-contoh yang ada di masyarakat sekitar.

b. Pembelajaran hendaknya tidak di ruang kelas saja melainkan di luar kelas

misalkan mendatangi tempat-tempat guna memperlancar pendidikan budi

pekerti.

c. Guru diharapkan mampu menjadi contoh teladan yang baik bagi siswanya