16
ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118 19 EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS HOTSPOT CITRA MODIS Evaluation of Land and Fores Fire Area Based of Hotspot Modis Imagery Sahrul S. Adam 1 , Hernita Pasongli 2 1 Pascasarjana Pendidikan Geografi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Khairun, Ternate e-mail: * 1 [email protected], 2 [email protected] 1. Pendahuluan Persoalan kebakaran lahan dan hutan menjadi semakin beragam mulai dari faktor alami hingga buatan manusia. Kebakaran hutan memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi lahan, banjir dan erosi tanah [1], hilangnya keanekaragaman hayati, hingga degradasi hutan dan lahan [2]. Faktor utama penyebab kebakaran tak lepas dari kondisi hutan dan lahan seperti kerapatan vegetasi, jenis vegetasi, limbah hasil penebangan pohon, kondisi topografi, hingga perilaku manusia. Bertolak dari situasi inilah menejmen evaluasi kebakaran membutuhkan instrument yang beragam sehingga titik tumpuh pengambilan keputusan terkait pencegahan kebakaran lahan menjadi lebih akurat. Pemanfaatan citra Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) untuk menejmen kebakaran hutan di mulai sejak tahun 1999, sebagai bagian dari Earth Observing System (EOS) NASA. Data MODIS menjadi salah satu platform yang mengandalkan satelit Terra (pagi) dan Aqua (sore) yang memiliki fitur spesifik untuk pemantauan kebakaran dan digunakan secara sistematis [3]. MODIS Fire Products dirancang untuk memberikan informasi dan menguji dua jenis produk api: produk api aktif yang memberikan lokasi api yang terbakar dan produk area terbakar yang memberikan tingkat bekas luka bakar selama periode waktu tertentu [4]. Algoritma kebakaran aktif Abstract Land and forest fires in Malifut sub-district, North Halmahera that occurred in 2015 were the largest fires in the last 20 years, these fires have consumed most of the land and forest areas. The extent of land and forest areas is a challenge in predicting and anticipating fires. For this reason, the use of hotspot information becomes an important part of monitoring new possibilities related to fire in the following years. This study aims to identify land and forest fires by testing the distribution of hotspots resulting from the interpretation of MODIS imagery on fire hazard maps and maps of land and forest cover in Malifut sub-district. The method used is descriptive with scoring and overlays as techniques of data analysis. Data processing uses ArcGIS software version 10.6 by performing mathematical operations and shapefile hotspot data inputting. The results of this study show that there are a total of 54 hotspots in Malifut sub-district, of which 48 hotspots (88.89%) are spread in high-hazard areas, in the medium class as many as 6 hotspots (11.11%) and low class no hotspots (0%). For the results of the identification of the distribution of hotspots on the land cover map, it is found that the highest distribution of hotspots is on dry land agriculture with 34 hotspots (62.96%), shrub land with 11 hotspots (20.37%), production forests with 7 hotspots (12.96%), and forests secondary dry land and settlement each have 1 hotspot (1.85%). Keywords— Hotspot, MODIS, land and forest fire

EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

19

EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS HOTSPOT CITRA MODIS

Evaluation of Land and Fores Fire Area Based of Hotspot Modis Imagery

Sahrul S. Adam1, Hernita Pasongli2 1Pascasarjana Pendidikan Geografi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Khairun, Ternate

e-mail: *[email protected], [email protected]

1. Pendahuluan

Persoalan kebakaran lahan dan hutan menjadi semakin beragam mulai dari faktor alami hingga

buatan manusia. Kebakaran hutan memiliki dampak cukup besar terhadap sistem hidrologi, degradasi

lahan, banjir dan erosi tanah [1], hilangnya keanekaragaman hayati, hingga degradasi hutan dan lahan

[2]. Faktor utama penyebab kebakaran tak lepas dari kondisi hutan dan lahan seperti kerapatan

vegetasi, jenis vegetasi, limbah hasil penebangan pohon, kondisi topografi, hingga perilaku manusia.

Bertolak dari situasi inilah menejmen evaluasi kebakaran membutuhkan instrument yang beragam

sehingga titik tumpuh pengambilan keputusan terkait pencegahan kebakaran lahan menjadi lebih

akurat.

Pemanfaatan citra Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) untuk menejmen

kebakaran hutan di mulai sejak tahun 1999, sebagai bagian dari Earth Observing System (EOS)

NASA. Data MODIS menjadi salah satu platform yang mengandalkan satelit Terra (pagi) dan Aqua

(sore) yang memiliki fitur spesifik untuk pemantauan kebakaran dan digunakan secara sistematis [3].

MODIS Fire Products dirancang untuk memberikan informasi dan menguji dua jenis produk api:

produk api aktif yang memberikan lokasi api yang terbakar dan produk area terbakar yang

memberikan tingkat bekas luka bakar selama periode waktu tertentu [4]. Algoritma kebakaran aktif

Abstract

Land and forest fires in Malifut sub-district, North Halmahera that occurred in 2015 were the largest

fires in the last 20 years, these fires have consumed most of the land and forest areas. The extent of land and

forest areas is a challenge in predicting and anticipating fires. For this reason, the use of hotspot information

becomes an important part of monitoring new possibilities related to fire in the following years. This study

aims to identify land and forest fires by testing the distribution of hotspots resulting from the interpretation of

MODIS imagery on fire hazard maps and maps of land and forest cover in Malifut sub-district. The method

used is descriptive with scoring and overlays as techniques of data analysis. Data processing uses ArcGIS

software version 10.6 by performing mathematical operations and shapefile hotspot data inputting. The

results of this study show that there are a total of 54 hotspots in Malifut sub-district, of which 48 hotspots

(88.89%) are spread in high-hazard areas, in the medium class as many as 6 hotspots (11.11%) and low class

no hotspots (0%). For the results of the identification of the distribution of hotspots on the land cover map, it

is found that the highest distribution of hotspots is on dry land agriculture with 34 hotspots (62.96%), shrub

land with 11 hotspots (20.37%), production forests with 7 hotspots (12.96%), and forests secondary dry land

and settlement each have 1 hotspot (1.85%).

Keywords— Hotspot, MODIS, land and forest fire

Page 2: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

20

menggunakan beberapa saluran untuk mendeteksi anomali termal berdasarkan per-pixel, yang selain

kebakaran, termasuk titik panas (hotspot), sumber titik bersuhu tinggi, seperti suar gas dan

pembangkit listrik.

Titik panas atau hotspot adalah piksel citra satelit dengan intensitas inframerah tinggi yang

mengindikasikan sumber panas. Hotspot dapat mewakili satu titik api atau menjadi salah satu dari

beberapa hotspot yang mewakili api yang lebih besar. Dalam kajian kerawanan kebakran lahan dan

hutan, He et al., (seperti dikutip oleh [5]) mengidentifikasi tiga persyaratan utama untuk mengelola

risiko kebakaran hutan yaitu (1) identifikasi hotspot, (2) evaluasi probabilitas risiko, dan (3) langkah-

langkah untuk mengurangi risiko. Persyaratan utama ini secara praktis selaras dengan strategi yang

diusulkan oleh beberapa penulis dalam mengevaluasi risiko kebakaran hutan menggunakan Sistem

Informasi Geografis (SIG). Sebagian besar peneliti mempelajari potensi risiko melalui pemetaan titik

api hutan agar dapat bermanfaat dan untuk meningkatkan kekuatan kendali saat ini dan langkah-

langkah pencegahan.

Permenhut No. P.12/Menhut-II/2009 menyebutkan bahwa hotspot adalah indikator kebakaran

hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu

disekitarnya. Sehingga identifikasi awal kebakaran menurut [6] diperoleh melalui data hotspot.

Dengan demikian, hotspot dapat digunakan sebagai indikator atau kebakaran hutan dan lahan di suatu

wilayah, sehingga semakin banyak titik hotspot, semakin banyak pula potensi kejadian kebakaran

lahan di suatu wilayah. Definisi lain, hotspot adalah hasil deteksi kebakaran hutan/lahan pada ukuran

piksel tertentu (misal 1 km x 1 km) yang kemungkinan terbakar pada saat satelit melintas pada

kondisi relatif bebas awan dengan menggunakan algoritma tertentu [7], seperti instrumen

gelombang infra merah, menengah dan gelombang panjang 1 km yang dirancang khusus untuk

pengamatan kebakaran aktif (Kufman, dikutip oleh [8]. Dengan data titik panas ini dapat

diindikasikan sebagai lokasi terjadi kebakaran kebakaran.

Persoalan terkait deteksi hotspot adalah tidak semua kebakaran dapat diidentifikasi dari citra

satelit, baik karena kebakaran terlalu kecil [9], atau karena tutupan awan mengaburkan pandangan

satelit terhadap permukaan tanah [10]. Atau dalam arsip data kebakaran, ada beberapa hari di mana

data tidak dikumpulkan dan hari-hari dengan jumlah kebakaran yang lebih rendah dari biasanya dan

juga karena alasan seperti pemadaman sensor [11]. Sehingga ada kemungkinan omission error (ada

kebakaran tetapi tidak ada hotspot) dan commision error (ada hotspot tetapi tidak dideteksi adanya

kebakaran) [12]. Secara kontekstual, satelit mengambil 'snapshot' peristiwa saat melewati bumi.

Setiap hotspot / deteksi kebakaran aktif mewakili pusat piksel yang ditandai mengandung satu atau

lebih kebakaran, atau anomali termal lainnya. Untuk MODIS pikselnya sekitar 1 km. Untuk lokasi api

adalah titik tengah piksel (tidak harus koordinat api yang sebenarnya). Ukuran piksel aktual bervariasi

sesuai dengan pemindaian dan trek. Sehingga kemungkinan api seringkali kurang dari ukuran piksel.

Disini kita tidak dapat menentukan ukuran api yang tepat, akan tetapi bahwa setidaknya satu titik api

berada di dalam piksel yang terdeteksi.

Page 3: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

21

Gambar 1. Model Analasis Hotspot MODIS.

Gambar 1 merupakan gambaran mengenai beberapa kebakaran aktif dalam satu garis hotspot

yang biasanya mewakili front api. Algoritma MODIS memeriksa setiap piksel dari petak MODIS, dan

akhirnya memberikan masing-masing kelas seperti data yang hilang, cloud, air, api, non-api, atau

tidak diketahui. Sehingga untuk menghindari nilai eror maka deteksi kebakaran dilakukan dengan

menggunakan algoritma kontekstual yang mengeksploitasi kuatnya radiasi inframerah-menengah dari

kebakaran [11]. Untuk itu, dengan keterbatas serta kelebihan dari data-data inilah dibutuhkan analisis

dan pendekatan yang bersifat kontinyu baik observasi lapangan dan pembuatan model peta kerawanan

dengan pendekatan kondisi fisik lokasi.

Beberapa literatur membutuhkan pendekatan matematis untuk menguji apakah hotspot yang

tampak merupakan benar-benar titik api atau bukan. LAPAN Indonesia menggunakan interval nilai

untuk mengidentifikasi tingkat kepercayaan hotspot berdasarkan tiga skala penilaian, yakni hijau

C(%) ≤ 29%, kuning 30% ≤ C(%) ≤ 79%, dan merah C(%) ≥ 80% [13]. Fire Information For

Resource Management System (FIRMS) dan [14] menggunakan skala kepercayaan yang diadopsi dari

jurnal An Enhanced Contextual Fire Detection Algorithm for MODIS yang ditulis oleh [7] yang

membagi tingkat kepercayaan hotspot melalui MODIS Active Fire Product User's Guide ke dalam

tiga kelas, yakni 0% ≤ C < 30% ‘perlu diperhatikan’, 30% ≤ C < 80% ‘waspada’, dan 80% ≤ C ≤

100% ‘segera penanggulangan’. Sehingga semakin tinggi nilai kepercayaan hotspot yang diperoleh

menunjukkan bahwa hotspot tersebut merupakan benar-benar titik api.

Penelitian ini tidak dibatasi berdasarkan tingkat kepercayaan hotspot, sehingga setiap hotspot

yang tampak akan dianggap sebagai titik api atau kemungkinan titik api dengan berdasarkan pada area

kemunculan hotspot tersebut. Untuk itu, analisis yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data

hotspot dari MODIS FIRMS dengan tujuan mengidentifikasi sebaran hotspot pada peta tutupan lahan

dan identifikasi sebaran hotspot pada peta rawan kebakaran. Menurut Vetrita (seperti dikutip oleh

[15]), sumber data MODIS FIRMS dengan berbagai confidence level memberikan tingkat akurasi

tertinggi dibandingkan sumber data lainnya, hal tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya korelasi

yang erat dalam pendeteksian kebakaran di wilayah studi dari berbagai level confidential [16]. Tujuan

mengidentifikasi sebaran hotspot pada kedua jenis peta ini untuk analisis lebih lanjut mengenai

keberadaan dan latar belakang kemunculan hotspot tersebut dengan berdasarkan kajian teori dan

penelitian terdahulu. Sehingga tingkat kepercayaan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Page 4: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

22

berdasarkan hasil analisis deskriptif dan di dukung oleh studi literatur.

2. Metode Penelitian

Wilayah penelitian meliputi kawasan hutan dan lahan Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera

Utara, Provinsi Maluku Utara. Aktivitas kebakaran permukaan lahan dan luas area terbakar tidak

dikumpulkan karena area permukaan yang luas untuk disurvei. Untuk itu, identifikasi aktivitas

kebakaran bergantung pada data hasil citra satelit menggunakan data MODIS (Terra dan Aqua). Titik

panas yang terdeteksi oleh sensor MODIS digunakan untuk mengidentifikasi aktivitas kebakaran pada

peta kerawanan kebakaran dan tutupan lahan.

Gambar 2. Peta Area Studi

2.1 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta tematik berupa shapefile peta tutupan lahan, peta

curah hujan, peta jenis tanah dan peta batas administrasi desa tahun 2016 yang diterbitkan oleh Bappeda

Kabupaten Halmahera skala 1: 250.000 [17]. Untuk data sebaran hotspot diperoleh melalui website Fire

Information For Resource Management System (FIRMS) NASA yang tersedia di alamat

https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/ dan data hasil interpretasi citra MODIS dari Global Forest Watch Fires di

https://fires.globalforestwatch.org/ akuisisi tahun 2015.

2.2 Metode

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan survei untuk pengamatan

wilayah penelitian dan pengumpulan data. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni

penelitian kepustakaan (library research), yaitu dilakukan dengan mempelajari teori dan konsep yang

sehubungan dengan masalah yang diteliti pada buku, jurnal, atau laporan hasil penelitian, guna

memperoleh landasan teoritis untuk melakukan pembahasan. Dan penelitian lapangan (field research)

Page 5: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

23

yakni pengumpulan data dengan melakukan survey di lokasi penelitian.

Teknik pengolahan data ini menggunakan software ArcGIS versi 10.6 dengan tekhnik scoring dan

overlay. Tekhnik skoring merupakan tahap penentuan skor masing-masing variable kerawanan

kebakaran lahan diantaranya data tutupan lahan, jenis tanah, dan curah hujan. Variable kerawanan ini

diadaptasi dari standard yang digunakan dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia [18], dan untuk

klasifikasi jenis tutupan lahan yang digunakan adalah reklasifikasi menurut Rucker (seperti yang

dikutip oleh [19]) dan hasil studi literatur. Tahap selanjutnya adalah kalkulasi melalui tekhnik overlay.

Tekhnik overlay merupakan menggabungkan dua lapisan untuk membuat kelas fitur keluaran baru

yang berisi informasi dari kedua input [20]. Tahap overlay dengan menggunakan persamaan

sederhana berikut.

Ik = [a*(Stl)] + [b*(Sch)] + [c*(Sjt)]

Keterangan:

Ik = Indeks kerawanan

Stl = Skor tutupan ahan

Sch = Skor curah hujan

Sjt = Skor jenis tanah

a,b,c = Koefisien

Tabel 1. Reklasifikasi dan Skoring Parameter Kerawanan Kebakaran Lahan dan Hutan

Parameter Skor

Bobot 1 2 3

Tutupan

lahan

Mangrove

primer, tanah

terbuka/ lahan

kosong

Mangrove

sekunder, Hutan

produksi,

Perkebunan

Pemukiman, Belukar

rawa, hutan lahan

kering sekunder,

pertanian lahan kering,

semak belukar

40%

Curah hujan

(mm/ tahun) >3000 1500 - 3000 <1500 40%

Jenis tanah Mineral Semi organik Organic/ gambut 20%

Penentuan skor interval masing-masing jenis indikator dilakukan menggunakan nilai indeks per

kelas kerawanan yakni kelas rendah, kelas sedang, dan kelas tinggi. Penentuan kelas tiap parameter

dilakukan dengan metode kelas dikali bobot masing-masing kelas. Berikut formula interval kelas

kerawanan kebakaran lahan dan hutan.

Interval = 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠−𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛

𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠

Tabel 2. Penentuan Kelas Kerawanan Kebakaran Lahan dan Hutan

Kelas Bobot Total Keterangan Warna

1 100 - ≤ 150 Rawan rendah Kuning

2 ≥ 160 - ≤ 210 Rawan sedang Orange

3 ≥ 220 - ≤ 300 Rawan tinggi Merah

Page 6: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

24

Setelah overlay dan penginputan data hotspot, hasil akhir dari analisis ini berupa produk peta hasil

pemetaan sebaran hotspot pada area rawan kebakaran lahan dan sebaran hotspot pada area tutupan

lahan di kecamatan Malifut, Halmahera Utara.

Gambar 3. Alur Analisis Data dan Pembuatan Peta.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Studi Wilayah

Kawasan kecamatan Malifut memiliki luas total 35,122.2 hektar yang sebagian besar merupakan

kawasan hutan dan area perkebunan. Secara umum, lahan dan hutan di kecamatan Malifut dapat

dikelompokkan ke dalam beberapa kriteria diantaranya, penggunaan dan penguasaan lahan milik

pribadi, kawasan hutan milik komunitas hukum adat, milik korporasi dan milik Negara. Bagi

masyarakat petani, luasan lahan yang digunakan inipun tentunya terus mengalami perubahan. Hal ini

disebabkan karena masyarakat kecamatan Malifut mayoritas adalah petani/ pekebun dengan

persentase keluarga tani sebesar 76%. Usaha tani yang dijumpai adalah petani pala, cengkih, kelapa,

kopi dan tanaman bulanan lain. Sejak tahun 1997 terjadi perubahan status fungsi kawasan hutan oleh

pemerintah Indonesia dan sebagian besar dijadikan kawasan eksplorasi dan produksi pertambangan.

Perubahan luas kawasan terus terjadi seiring dengan perubahan kontrak karya wilayah ekplorasi

pertambangan setempat.

Gambar 4. Grafik Luas Tutupan Lahan di Kecamatan Malifut.

0,19 0,22 2,96 0,27 1,4111,12

18,2925,4

40,1

Grafik luas tutupan lahan (%)

Page 7: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

25

Kebakaran besar-besaran di Kecamatan Malifut sudah terjadi tiga kali dalam rentang 15 tahun

terakhir. Kebakaran tidak terkendali terakhir kali terjadi pada tahun 2015. Kebakaran ini bertahan

lebih dari dua bulan yang menghabiskan sebagian besar kawasan hutan dan lahan. Kebakaran

menyebabkan kerugian ekonomi disebabkan kebakaran yang menghabiskan tanaman perkebunan

warga yang memasuki usia produktif. Kebakaran selanjutnya merambat pada area hutan adat dan

hutan produksi dimana kawasan ini berulang kali dilakukan penebangan liar oleh masyarakat

setempat.

Kondisi iklim dan curah hujan di kecamatan Malifut berkisar antara 1500 - 3000 mm hujan per

tahun. Curah hujan paling besar terlihat pada bulan mei dengan rata-rata 246 mm, sedangkan bulan

terkering terjadi pada oktober dengan kisaran 128 mm hujan. Perbedaan presipitasi antara bulan

terkering dan bulan terbasah adalah 139 mm.

Gambar 5. Grafik Curah Hujan dan Hari Hujan di Kecamatan Malifut Periode 2011 - 2015.

2 962,00

2 491,002 713,00

1 811,00

913,40

2011 2012 2013 2014 2015

Curah hujan (mm)/ tahun

239,00

181,00

215,00

183,00

127,00

2011 2012 2013 2014 2015

Hari hujan (hari)/ tahun

Page 8: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

26

Kelembaban udara di kecamatan Malifut rata-rata sebesar 89,91, dimana suhu udara rata-rata

tahunan berkisar 26.22 °C. November merupakan bulan terhangat sepanjang tahun dengan suhu rata-

rata mencapai 26.9 °C dan bulan maret merupakan bulan dengan suhu terendah yang berkisar antara

25.9 °C. Variasi suhu sepanjang tahun adalah 1.0 °C, dengan lama penyinaran matahari rata-rata

sebesar 50,33. Untuk jenis tanah di Kecamatan Malifut diklasifikasikan dalam jenis tanah mineral/

non organik yang meliputi jenis tanah dystropepts seluas 32,583.82 ha, hydraquents seluas 1,641.87

ha, tropaquepts seluas 2,106.28 ha, dan jenis tanah tropopsamment seluas 59.50 ha.

3.2. Analisis Sebaran Hotspot

Hasil analisis jumlah sebaran hotspot citra MODIS yang terdeteksi di kecamatan Malifut (gambar

6) memperlihatkan bahwa bulan yang tidak terdapat hotspot yakni bulan januari, maret, april, mei,

juni, November dan bulan desember. Sehingga hotspot hanya tampak pada bulan februari, juli,

agustus, September dan oktober. Jumlah hotspot pada bulan februari terdapat 1 hotspot, bulan juli

terdapat 2 hotpsot, pada bulan agustus terdapat 2 hotspot, pada bulan september hotspot terus

meningkat mencapai 10 hotspot, hingga memasuki bulan oktober jumlah hotspot dibulan ini mencapai

39 hotspot dengan jumlah total hotspot di tahun 2015 sebanyak 54 hotspot.

Gambar 6. Kenampakan Hotspot di Kecamatan Malifut Tahun 2015

Puncak kenampakan kepadatan hotspot terjadi pada september dan oktober, dimana pada bulan

ini juga memasuki musim panas akibat fenomena elnino yang menyebabkan berkurangnya curah

hujan di sebagain besar wilayah Indonesia terutama di daerah Sumatra bagian selatan, Jawa,

Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, serta Papua yang

berlangsung pada bulan september hingga nopember (Mulyana, sebagaimana dikutip oleh [22]).

Jika sebaran hotspot pada gambar 6 diatas diuji berdasarkan pada nilai confidence/ tingkat

kepercayaan dengan menggunakan panduan dari MODIS Active Fire Product User's Guide maka

hasilnya dapat dijelaskan bahwa sebagian besar hotspot berada pada kelas kepercayaan ‘sedang’

hingga ‘tinggi’.

Gambar 7 memperlihatkan bahwa dari total 54 hotspot, terdapt 4 yang berada pada kepercayaan

<30% atau ‘perlu diperhatikan’, hotspot yang berstatus ‘waspada’ dengan kepercayaan antara ≥30%

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Jum

lah

ho

tsp

ot

Bulan

Page 9: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

27

– ≤80% berjumlah 20 hotspot, dan hotspot yang berada pada kepercayaan >80% dengan status

‘segera penanggulangan’ berjumlah 30 hotspot.

Gambar 7. Hotspot Berdasarkan Tingkat Kepercayaan di Kecamatan Malifut.

Dari data ini dapat diketahui bahwa seiring menigkatnya jumlah hotspot, nilai kepercayaan juga

ikut meningkat. Data citra satelit berikut memperlihatkan konsistensi antara data shapefile hotspot

dengan data hasil interpretasi citra satelit MODIS di kecamatan Malifut dan skitarnya, sehingga

keputusan dalam penelitian ini untuk menggunakan secara keseluruhan data sebaran hotspot tersebut

dengan asumsi bahwa titik hotspot tersebut merupakan titik api atau kemungkinan titik api. [23]

Gambar 8. Hotspot Hasil Interpretasi Citra MODIS Tahun 2015 di Kecamatan Malifut

Gambar 8 merupakan sebaran hotspot hasil interpretasi citra MODIS akuisisi tahun 2015 yang

Acquisition date

0

20

40

60

80

100

120

12

/02

/20

15

20

/07

/20

15

26

/08

/20

15

04

/09

/20

15

04

/09

/20

15

20

/09

/20

15

22

/09

/20

15

25

/09

/20

15

01

/10

/20

15

02

/10

/20

15

10

/10

/20

15

11

/10

/20

15

11

/10

/20

15

12

/10

/20

15

13

/10

/20

15

18

/10

/20

15

19

/10

/20

15

20

/10

/20

15

20/1

0/2

015

20

/10

/20

15

22

/10

/20

15

22

/10

/20

15

22

/10

/20

15

22

/10

/20

15

27

/10

/20

15

29

/10

/20

15

29

/10

/20

15

Co

nfi

den

ce

Page 10: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

28

diperoleh melalui Global Forest Watch Fire yang juga bergerak dibidang pemantauan dan moitoring

aktifitas kebakaran lahan dan hutan. Dapat diketahui bahwa hotspot menyebar tidak hanya di

kecamatan Malifut, tetapi juga hampir di semua area hutan dan lahan di pulau Halmahera, Maluku

Utara.

3.3. Hasil Analisis Sebaran Hotspot

Hasil analisis dan pembuatan peta kerawanan kabakaran lahan dan hutan di kecamatan Malifut,

kaupaten Halmahera Utara memperlihatkan secara spesifik bahwa kelas kerawanan yang

mendominasi di area lahan dan hutan kecamatan malifut merupakan kelas rawan tinggi dan kelas

rawan sedang. Sedangkan hasil sebaran hotspot paling banyak berada pada kelas rawan tinggi

sebanyak 48 hotspot, untuk kelas kerawanan kebakaran sedang terdapat sebanyak 6 hotspot, dan pada

kelas kerawanan kebakaran rendah tidak terdapat hotspot.

Gambar 9. Sebaran Hotspot pada Peta Kerawanan Kebakaran Lahan dan Hutan Kecamatan Malifut

Tingginya sebaran hotspot pada zon rawan tinggi tidak lepas dari kondisi fisik atau vegetasi di

kecamatan Malifut. Hasil pemetaan ini memperlihatkan konsistensi antara vegetasi yang mudah

terbakar serta dominannya aktifitas perkebunan menambah indeks rawan kebakaran yang tinggi.

Sebab jika ditinjau dari segi jenis tanah dan curah hujan di kecamatan Malifut secara umum kedua

variable ini tidak terlalu signifikan dalam menentukan indeks rawan kebakaran. Sebab di kecamatan

Malifut memiliki tanah mineral dan curah hujan yang cukup tinggi berdasarkan pada hasil skoring.

Meskipun demikian, ada situasi dimana fenomena elnino yang menyebabkan curah hujan menjadi

sangat kering dalam periode tertentu sehingga berimplikasi pada kebakaran di kecamatan Malifut.

Page 11: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

29

Tabel 3. Jumlah Sebaran Hotspot pada Peta Rawan Kebakaran di Kecamatan Malifut

Kelas kerawanan

kebakaran Luas (ha)

Jumlah

Hotspot

Sebaran

hotspot (%)

Rawan Rendah 1,118.4 0 0.00

Rawan Sedang 13,601.9 6 11.11

Rawan Tinggi 20,401.9 48 88.89

Total 35,122.2 54 100

Sebaran hotspot pada peta kelas kerawanan kebakaran disini terlihat dimana kelas kerawanan

tinggi merupakan yang terluas sebesar 58.08% atau seluas 20,401.9 ha dengan persentase sebaran

hotspot sebesar 88.89%. Sedangkan kelas kerawanan sedang sebesar 38.72% atau seluas 13,601.9 ha

dengan sebaran hotspot sebesar 11.11%, dan kelas kerawanan rendah sebesar 3.18% atau 1,118.4 ha

dan tidak terdapat hotspot atau persentase 0.00%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa cukup

akurat antara hasil pemetaan kerawanan dengan hasil uji distribusi sebaran hotspot pada masing-

masing kelas kerawanan kebakaran lahan dan hutan.

Hasil identifikasi sebaran hotspot pada peta tutupan lahan yang ada di kecamatan Malifut hanya

ada 5 dari 9 jenis tutupan lahan yang terdapat hotspot. Sebaran hotspot tertinggi terdapat di tutupan

lahan pertanian lahan kering sebanyak 34 hotspot. Lahan semak belukar terdapat 11 hotspot, untuk

tutupan lahan hutan produksi terdapat 7 hotspot dan tutupan lahan hutan lahan kering sekunder dan

pemukiman masing-masing terdapat 1 hotspot. Untuk tutupan lahan hutan mangrove primer,

mangrove sekunder, tanah terbuka dan belukar rawa tidak ada kenampakan hotspot.

Gambar 10. Kenampakan sebaran hotspot pada jenis tutupan lahan kecamatan di Malifut

Page 12: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

30

Hasil sebaran hotspot pada area tutupan lahan yang ada di kecamatan Malifut sebagian sebaran

hotspot tertinggi terdapat pada jenis tutupan lahan pertanian lahan kering sebanyak 34 hotspot.

Penyebaran hotspot tidak terlepas dari jenis vegetasi yang ada pada tutupan lahan tersebut dan juga

kecenderungan dilakukannya aktifitas perkebunan. Kondisi ini di dorong dengan budaya dan

pandangan masyarakat dengan pola pembukaan lahan yang masih mengandalkan tebas bakar pada

waktu musim kemarau untuk persiapan lahan pertanian pada musim penghujan [24]. Fenomena

kebakaran yang diidentifikasi oleh [25] mempelihatkan bahwa padang rumput lebih sering terbakar

daripada lahan pertanian aktif maupun tutupan lahan lainnya hal ini dikarenakan padang rumput

menyediakan bahan bakar yang melimpah dan juga mudah terbakar, karena api masih digunakan

sebagai mekanisme untuk membuka area yang cocok untuk pertanian. Meskipun sebagian dari

kebakaran yang terjadi di kecamatan Malifut memiliki dampak positif bagi para pekebun dikarenakan

tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah sehingga membuka lahan dengan cara membakar

menjadi alternative yang cepat, mudah, murah, serta tidak membutuhkan banyak tenaga. Hal ini

berarti bahwa relasi antara kebakaran lahan dengan kekuatan ekonomi terlihat sangat kuat, dimana

factor kemiskinan menjadi persoalan utama yang mendorong masyarakat miskin membuka hutan dan

lahan dengan cara membakar [26].Sehingga terdapat keterkaitan antara kemunculan titik panas yang

kontinyu dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Kemunculan titik panas yang kontinyu

bisa terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu yang relatif singkat. Tetapi

kemunculannya yang kontinyu menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi

lahan perkebunan [27]. Untuk itu, pola kemunculan hotspot yang konsisten memungkinkan pola

perubahan lahan akan tetap berlangsung dan potensi keakaran yang lebih besar.

Tabel 4. Sebaran Hotspot pada Tutupan Lahan daan Hutan di Kecamatan Malifut

Tutupan lahan Luas (ha) Jumlah

hotspot

Sebaran

hotspot (%)

Hutan produksi 14,084.8 7 12.96

Pertanian lahan keing 8,923.5 34 62.96

Hutan lahan kering sekunder 6,426 1 1.85

Semak belukar 3,907.1 11 20.37

Hutan mangrove primer 1,039.70 0 0

Pemukiman 497 1 1.85

Hutan mangrove sekunder 95.3 0 0

Tanah terbuka 78.7 0 0

Belukar rawa 70.1 0 0

Total 35,122.2 54 100

Sementara pada jenis tutupan lahan semak belukar terdapat 11 hotspot. Tren sebaran hotspot yang

diidentifikasi oleh [6] menunjukkan bahwa hotspot tertinggi mengikuti arah lahan yang tidak

digunakan untuk budidaya dan didominasi oleh semak belukar dalam rentang waktu 11 tahun (2005

hingga 2016), jumlah hotspot tertinggi selalu hadir dalam jenis semak belukar. Ini menunjukkan

bahwa pola pergerakan kebakaran hutan selalu mengikuti lahan semak belukar disebabkan semak

belukar merupakan bahan bakar yang strukturnya lebih halus sehingga lebih mudah terbakar

dibanding dengan jenis bahan terbakar yang lain [28]. Untuk hutan produksi terdapat 7 hotspot.

Kemunculan hotspot pada kawasan hutan produksi diduga merupakan hasil pembakaran yang

dilakukan oleh warga masyarakat sebab kawasan perkebunan yang berbatasan secara langsung dengan

hutan produksi sehingga kemungkinan titik api yang muncul di kawasan hutan produksi adalah api

Page 13: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

31

yang berasal dari aktifitas pembakaran dari luar area hutan. Wardani (sebagaimana dikutip oleh [21])

bahwa bila hotspot terjadi di wilayah seperti HPH, HTI atau perkebunan, maka kemungkinan besar

merupakan kebakaran. Untuk hutan lahan kering sekunder dan pemukiman terdapat masing-masing 1

hotspot. Biasanya hotspot yang terletak di daerah pemukiman hanya merupakan pembakaran untuk

penyiapan lahan. Sehingga dalam hal ini, hotspot hanya mengidentifikasikan terjadinya panas atau

pembakaran (terkendali) dan belum tentu kebakaran (tidak terkendali) [21].

Pola pemanfaatan kawasan untuk perkebunan secara tak terkendali serta pembalakan liar

menjadikan kawasan lahan dan hutan di kecamatan Malifut dalam kondisi yang rentan terbakar.

Kerentanan kebakaran mengarah pada pembukaan lahan perkebunan dengan cara tebas-bakar sebab

diketahui bahwa sebagian besar titik api bersumber dari area perkebunan yang merambat ke kawasan

hutan produksi dan hutan lahan kering sekunder. Persoalan serupa ditemukan oleh [28] bahwa

kawasan hutan lindung memiliki tingkat kepadatan hotspot terendah. Tingginya kepadatan hotspot di

kawasan hutan tanaman industri diduga disebabkan oleh aktifitas penyiapan lahan HTI dengan cara

membakar. Selain itu, aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga diduga merembet ke luar

area HTI sehingga terjadi kebakaran di luar area HTI. Untuk itu, menurut Putri (seperti yang dikutip

oleh [21]) bahwa mayoritas sebaran titik panas pada areal penutupan lahan paling tinggi terdapat pada

penutupan berupa hutan yaitu hak pengusahaan hutan (HPH). Tingginya jumlah titik panas pada HPH

tersebut di duga terjadi karena adanya kegiatan pembukaan lahan dengan cara pembakaran di dalam

maupun diluar areal HPH tersebut.

Merambatnya api dari area perkebunan ke area hutan produksi dan hutan lahan kering sekunder

menyebabkan masyarakat lebih memilih memandamkan api sebatas area perkebunan masing-masing.

Alasan masyarakat memilih untuk tidak memadamkan api di kawasan hutan liar disebabkan karena

keterbatasan dalam memobilisasi sumber daya manusia maupun ekonomi untuk memadamkan api di

kawasan hutan yang cukup luas dan jauh. Mengingat bahwa luas hutan prduksi yang mencapai

14,084.76 ha dan hutan lahan kering sekunder seluas 6,425.98 ha menghasilkan tantangan tersendiri

bagi masyarakat. Persoalan lainnya adalah track/ jalur menuju kawasan hutan yang cukup rumit

menjadi dasar kerentanan masyarakat untuk memadamkan api. Secara sepintas hasil ini sejalan

dengan yang ditemukan oleh Mercer dan Prestemon (seperti yang dikutip oleh [29]) menemukan

hubungan positif antara kemiskinan dan luas lahan liar yang terbakar dan intensitas kebakaran di

daratan liar, menunjukkan bahwa begitu kebakaran hutan liar dinyalakan, masyarakat miskin memiliki

lebih sedikit sumber daya untuk memadamkan api.

Persoalan lain yang muncul di kawasan hutan kecamatan Malifut adalah pembalakan dan

penebangan liar secara terus menerus. Pembalakan secara liar ini disebabkan karena kebutuhan akan

permintaan kayu untuk pembuatan perkakas rumah, kursi, meja, kayu bakar dan konstruksi rumah

yang terus menerus tentu mengarah pada degradasi kondisi fisik lahan dan hutan lebih rentan terjadi

kebakaran. Dikutip dari [30] bahwa terdegradasinya hutan terutama disebabkan oleh eksploitasi kayu

baik secara legal maupun illegal dan konversi untuk perkebunan/ HTI, persawahan dan transmigrasi

menyebabkan hilangnya tajuk atau kanopi pohon besar berimplikasi pada kondisi hutan menjadi lebih

terbuka terhadap sinar matahari dan iklim mikro menjadi lebih kering.

Secara garis besar hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jejak hotspot pada hasil pemetaan

zona rawan kebakaran dan peta tutupan lahan pada umumnya bersumber dari lahan perkebunan

masyarakat dan sekaligus merupakan gambaran mengenai lemahya pengawasan dan penegakan

hukum terhadap masyarakat yang membuka lahan dengan cara tebas-bakar menambah jumlah

Page 14: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

32

kebakaran lebih rentan terjadi. Pembukaan lahan yang dilaksanakan dengan membakar dalam sekala

besar dapat menjadi sulit terkendali. Yang artinya bahwa dengan menjaga dan mengendalikan

pembakaran di kawasan perkebunan sekaligus menjaga kemungkinan api yang menjalar ke kawasan

hutan liar bisa teratasi sehingga upaya pencegahan agar bencana kebakaran lahan semacam ini tidak

akan terulang di tahun-tahun berikutnya.

4. Kesimpulan

Identifikasi sebaran hotspot pada tipe penutupan lahan yang ada di kecamatan Malifut hanya ada

5 dari 9 jenis tutupan lahan yang terdapat hotspot. Sebaran hotspot tertinggi terdapat di pertanian

lahan kering sebanyak 34 hotspot (62.96%), semak belukar terdapat 11 hotspot (20.37%), untuk hutan

produksi terdapat 7 hotspot (12.96%) dan hutan lahan kering sekunder dan pemukiman terdapat

masing-masing menyumbang 1 hotspot (1.85%). Terlihat pada peta kerawanan tinggi terdapat 48

hotspot (88.89%) kerawanan sedang terdapat 6 hotspot (11.11%), dan kelas kerawanan rendah tidak

terdapat hotspot atau 0.00%. Tingginya sebaran hotspot pada peta rawan sedang hingga tinggi, dan

tingginya sebaran hotspot pada area tutupan lahan merupakan gambaran bahwa terdapat hubungan

yang kuat antara praktek penggunaan lahan, kondisi vegetasi, kemunculan hotspot serta potensi

kebakaran dari waktu ke waktu.

Tren persebaran hotspot pada umumnya teridentifikasi muncul pada jenis tutupan lahan dan

vegetasi yang lebih mudah terbakar. Karena kondisinya vegetasi yang mudah dibakar, masyarakat

berupaya memanfaatkan situasi ini tanpa melihat risiko yang akan tejadi. Ditambah lagi praktek

permbalakan dan pembukaan lahan dengan metode tebas bakar masih menjadi persoalan utama

dimana perambatan titik api ke dalam lokasi perkebunan maupun menyebar ke kawasan hutan yang

berbatasan dengan area perkebunan menjadi sulit teratasi. Untuk itu, pemanfaatan data hotspot dari

citra MODIS sangat penting dalam menejmen penanggulangan bencana kebakaran lahan dan hutan

khususnya pihak Badan Penanngulangan Bencana Daerah Halmahera Utara. Sebab dengan data ini,

monitoring serta evaluasi jejak kebakaran dapat diprediksi dengan pembuatan model peta kerawana

kebakaran lahan serta penempatan pos-pos penanggulangan kebakaran pada zona yang dianggap

rawan terjadi kebakaran lahan dan hutan.

DAFTAR REFERENSI

[1] D. Sugiyarto, K. Gandasasmita, and Lailan, “Analisis Risiko Kebakaran Hutan dan Lahan di

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dengan Pemanfaatan Pemodelan Spasial,” Globe, vol.

15, no. 1, pp. 62–67, doi: 10.24895/MIG.2013.15-1.74, (2013).

[2] R. Ajin, A. Loghin, P. Vinod, and M. Jakob, “Forest Fire Risk Zone Mapping Using RS and

GIS Techniques: A Study in Achankovil Forest Division, Kerala, India,” J. Earth, Environ.

Heal. Sci., vol. 2, no. 3, pp. 109–115, doi: 10.4103/2423-7752.199288, (2016).

[3] D. Roy, L. Boschetti, C. Justice, and J. Ju, “The collection 5 MODIS burned area product -

Global evaluation by comparison with the MODIS active fire product,” Remote Sens. Environ.,

vol. 112, pp. 3690–3707, doi: 10.1016/j.rse.2008.05.013, (2008).

[4] C. Justice, L. Giglio, S. Korontzi, J. Owen, J. Morisette, and D. Roy, “The MODIS fire

products,” Remote Sens. Environ., vol. 83, pp. 244–262, doi: 10.1016/S0034-4257(02)00076-7,

(2002).

[5] S. Mohd Said, E. Zahran, and S. Shams, “Forest Fire Risk Assessment Using Hotspot Analysis

in GIS,” Open Civ. Eng. J., vol. 11, pp. 786–801, doi: 10.2174/1874149501711010786, (2017).

Page 15: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

33

[6] T. Turmudi, P. Kardono, P. Hartanto, and Y. Ardhitasari, “Forest and Land Fire Prevention

Through the Hotspot Movement Pattern Approach,” IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci., vol.

123, no. 1, doi: 10.1088/1755-1315/123/1/012027, (2018).

[7] L. Giglio, J. Descloitres, C. Justice, and Y. Kaufman, “An Enhanced Contextual Fire Detection

Algorithm for MODIS,” Remote Sens. Environ., vol. 87, no. 2–3, pp. 273–282, doi:

10.1016/S0034-4257(03)00184-6, (2003).

[8] L. Giglio, I. Csiszar, and C. O. Justice, “Global Distribution and Seasonality of Active Fires as

Observed with the Terra and Aqua Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)

Sensors,” J. Geophisical Res., vol. 111, pp. 1–12, 2006, doi: 10.1029/2005JG000142, (2006).

[9] L. Giglio, W. Schroeder, J. V. Hall, and C. O. Justice, MODIS Collection 6 Active Fire Product

User ’ s Guide Revision B, Version-2., vol. December. NASA, (2018).

[10] G. R. C. of Canada, “Fire M3 Hotspots,” Natural Resources Canada, 2015.

https://www.nrcan.gc.ca/home (accessed Jun. 29, 2019).

[11] FIRMS, “FIRMS Frequently Asked Questions,” NASA, 2018. https://earthdata.nasa.gov/faq

(accessed Apr. 27, 2020).

[12] A. Zubaidah, Y. Vetrita, and M. Khomarudin, “Validasi Hotspot MODIS di Wilayah Sumatera

dan Kalimantan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Spot-4 Tahun 2012,” J. Penginderaan

Jauh, vol. 11, no. 1, pp. 1–14, 2014, [Online]. Available:

http://jurnal.lapan.go.id/index.php/jurnal_inderaja/article/view/2085, (2014).

[13] LAPAN, “Hotspot Informationas Forest/Land Fire’s,” LAPAN, 2016. http://modis-

catalog.lapan.go.id (accessed Apr. 27, 2020).

[14] Endrawati, Analisis Data Titik Panas (hotspot) dan Areal Kebakaran Lahan dan Hutan Hutan.

Jakarta: Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi

Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2016).

[15] Endrawati., J. Purwanto, S. Nugroho, and A. S. Ruandha, “Identifikasi Areal Kebakaran Hutan

dan Lahan Menggunakan Analisis Semi Otomatis Citra Satelit Landsat,” in Seminar Nasional

Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan

Berkelanjutan, 2017, pp. 273–282, doi: 10.24895SNG.2-0.420, (2017).

[16] Y. Vetrita, A. Zubaidah, M. Priyatna, and K. D. . Sukowati, “Validasi Hotspot di Wilayah

Rawan Kebakaran Tahun 2012 : Kasus Lahan Gambut dan Kebakaran Kecil,” in Seminar

Nasional Penginderaan Jauh, 2014, pp. 491–497, [Online]. Available:

http://sinasinderaja.lapan.go.id/files/sinasja2014/prosiding/bukuprosiding_491-497.pdf, (2014).

[17] Bappeda, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Halmahera Utara,”

Tobelo, Halmahera Utara, 2016. [Online]. Available: http://halmaherautarakab.go.id.

[18] BNPB, Risiko Bencana Indonesia (Disasters Risk of Indonesia), Oktober. Jakarta: Badan

Nasional Penanggulangan Bencana, (2016).

[19] A. Sabaraji, Identifikasi Zone Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Aplikasi SIG di

Kabupaten Kutai Timur. Samarinda: Universitas Mulawarman, (2005).

[20] M. Price, Mastering ArcGIS, Seventh Ed. New York: McGraw Hill Education, (2015).

[21] E. Septicorini, “Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan

Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan,” IPB, (2006).

[22] M. Prayoga, A. Yananto, and D. Kusumo, “Analisis Korelasi Kerapatan Titik Api dengan

Curah Hujan di Pulau Suatera dan Kalimantan,” J. Sains Teknol. Modif. Cuaca, vol. 18, no. 1,

pp. 17–24, 2017, doi: 10.29122jstmc.v18i1.2037, (2017).

[23] GFWF, “Analyze Forest Fire,” Global Forest Watch Fire, 2019.

https://fires.globalforestwatch.org/map/ (accessed Jul. 10, 2019).

[24] S. S. Adam, M. . Rindarjono, and P. Karyanto, “Sistem Informasi Geografi Untuk Zonasi

Kerentanan Kebakaran Lahan dan Hutan di Kecamatan Malifut, Halmahera Utara,” J. Teknol.

Page 16: EVALUASI AREA KEBAKARAN LAHAN DAN HUTAN BERBASIS …

ScientiCO : Computer Science and Informatics Journal Vol. 3, No. 1, (2020) E-ISSN: 2620-4118

34

Inf. dan Ilmu Komput., vol. 6, no. 5, pp. 559–566, 2019, doi: 10.25126/jtiik.201961674, (2019).

[25] M. Ardiansyah, R. Boer, and A. Situmorang, “Typology of land and forest fire in South

Sumatra, Indonesia Based on Assessment of MODIS Data,” in Earth and Environmental

Science, 2017, vol. 54, no. 1, pp. 1–7, doi: 10.1088/1755-1315/54/1/012058, (2017).

[26] T. L. Solichin, P. Kiman, B. Firman, and R. Bagyono, “Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran:

South Sumatra Forest Fire Management Project,” Sumatera Selatan, (2007).

[27] H. . Januarisky, “Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan

Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat),” IPB, 2012.

[28] J. I. Samsuri and L. Syafrina, “Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan

(Studi Kasus Propinsi Kalimantan Tengah),” For. Indones. J. For., vol. 1, no. 1, pp. 12–18,

2012, [Online]. Available: https://media.neliti.com/media/publications/15360-ID-spatial-

model-of-land-and-forest-fire-risk-index-case-study-in-central-kalimanta.pdf, (2012).

[29] C. Gaither, N. Poudyal, S. Goodric, J. Bowker, S. Malone, and J. Gan, “Wildland fire risk and

social vulnerability in the Southeastern United States: An exploratory spatial data analysis

approach,” For. Policy Econ., vol. 13, pp. 24–36, 2011, doi: 10.1016/j.forpol.2010.07.009,

(2011).

[30] M. Tarigan, D. Nugroho, B. Firman, and A. Kunarso, “Pemutakhiran Peta Rawan Kebakaran

Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2015. Dokumen Standar Operasional

Prosedur untuk Pelaksanaan dan Pengelolaan Jaringan Data Spasial Kehutanan di Provinsi

Sumatera Selatan,” Palembang, (2016).