17
67 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.4 PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI MODEL CO-MANAGEMENT Josef Mario Monteiro, Jimmy Pello Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana Email: [email protected] Abstract This research examines the Lamaholot customary law as an idea or unwritten customary idea but contain ethics and morals, in the form of a belief system, rituals, abstinence, and sanctions, which are then accommodated into a co-model management. This research becomes important to assist the top law enforcement fisheries management violations committed by traditional fishermen in the district East Flores and Lembata Regency, East Nusa Tenggara Province. This empirical legal research uses a statutory approach, the concept of legal anthropology with a socio-legal perspective, and cases. The results shows the number of cases of violations of fisheries management by traditional fishermen still high in the last few years. This proves that law enforcement has not been effective both from the structure, legal substance and culture. To overcome this, it is necessary to re-institutionalize customary law through a co-management model, namely the local government and law enforcement agencies forming a partnership model with customary stakeholders or functionaries to function re-belief systems, rituals, customary sanctions and mechanisms in the enforcement process law against traditional fishermen who exploit fishery resources illegally. Key words: fisherman, fishery, custom, management Abstrak Penelitian ini mengkaji hukum adat Lamaholot sebagai ide atau gagasan adat yang tidak tertulis tetapi mengandung etika dan moral berupa sistem kepercayaan, ritual, pantangan, dan sanksi, yang selanjutnya diakomodir ke dalam sebuah model co-management. Penelitian ini penting dilakukan untuk membantu penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep antropologi hukum dengan perspektif sosio-legal, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan beberapa tahun terakhir jumlah kasus pelanggaran pengelolaan perikanan oleh nelayan tradisional masih tinggi. Hal ini membuktikan penegakan hukumnya belum efektif baik dari struktur, substansi dan budaya hukum. Untuk mengatasinya perlu pelembagaan kembali hukum adat melalui model co-management dimana pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum membentuk model kemitraan dengan pemangku atau fungsionaris adat untuk memfungsikan kembali sistem kepercayaan, ritual, sanksi adat dan mekanisme dalam proses penegakan hukum terhadap nelayan tradisional yang memanfaatkan sumber daya perikanan secara ilegal Kata kunci: nelayan, perikanan, adat, pengelolaan

PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

67 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.4

PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI MODEL CO-MANAGEMENT

Josef Mario Monteiro, Jimmy Pello

Fakultas Hukum, Universitas Nusa CendanaEmail: [email protected]

Abstract

This research examines the Lamaholot customary law as an idea or unwritten customary idea but contain ethics and morals, in the form of a belief system, rituals, abstinence, and sanctions, which are then accommodated into a co-model management. This research becomes important to assist the top law enforcement fisheries management violations committed by traditional fishermen in the district East Flores and Lembata Regency, East Nusa Tenggara Province. This empirical legal research uses a statutory approach, the concept of legal anthropology with a socio-legal perspective, and cases. The results shows the number of cases of violations of fisheries management by traditional fishermen still high in the last few years. This proves that law enforcement has not been effective both from the structure, legal substance and culture. To overcome this, it is necessary to re-institutionalize customary law through a co-management model, namely the local government and law enforcement agencies forming a partnership model with customary stakeholders or functionaries to function re-belief systems, rituals, customary sanctions and mechanisms in the enforcement process law against traditional fishermen who exploit fishery resources illegally.Key words: fisherman, fishery, custom, management

Abstrak

Penelitian ini mengkaji hukum adat Lamaholot sebagai ide atau gagasan adat yang tidak tertulis tetapi mengandung etika dan moral berupa sistem kepercayaan, ritual, pantangan, dan sanksi, yang selanjutnya diakomodir ke dalam sebuah model co-management. Penelitian ini penting dilakukan untuk membantu penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep antropologi hukum dengan perspektif sosio-legal, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan beberapa tahun terakhir jumlah kasus pelanggaran pengelolaan perikanan oleh nelayan tradisional masih tinggi. Hal ini membuktikan penegakan hukumnya belum efektif baik dari struktur, substansi dan budaya hukum. Untuk mengatasinya perlu pelembagaan kembali hukum adat melalui model co-management dimana pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum membentuk model kemitraan dengan pemangku atau fungsionaris adat untuk memfungsikan kembali sistem kepercayaan, ritual, sanksi adat dan mekanisme dalam proses penegakan hukum terhadap nelayan tradisional yang memanfaatkan sumber daya perikanan secara ilegalKata kunci: nelayan, perikanan, adat, pengelolaan

Page 2: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

68 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

Latar Belakang

Sumber daya perikanan merupakan salah

satu sumber sumber daya alam1 yang penting

bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki

potensi untuk dijadikan sebagai penggerak

utama (prime mover) ekonomi masyarakat.

Akan tetapi, di Kabupaten Flores Timur dan

Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara

Timur, dalam kenyataannya masih terdapat

permasalahan hukum berupa pelanggaran

pengelolaan perikanan yang dilakukan

oleh nelayan tradisional2 dalam bentuk

penangkapan ikan secara ilegal sehingga

merusak ekosistem laut seperti terumbu

karang.

Pada dasarnya terdapat beberapa

kegiatan manusia yang menyebabkan

kerusakan ekosistem terumbu karang, yakni

penambangan atau pengambilan karang,

penangkapan ikan dengan penggunaan bahan

peledak, racun, bubu, jaring, pancing, dan

pencemaran (minyak bumi, limbah industri

dan rumah tangga, pengembangan daerah

wisata, dan sedimentasi.3 Sehubungan dengan

keadaan itu, khusus di perairan laut Kabupaten

Flores Timur dan Kabupaten Lembata, nelayan

tradisional sering melakukan penangkapan

ikan menggunakan bom ikan, bius ikan,

potasium, dan alat tangkap pursene. Akibatnya

mengancam kelestarian ekosistem pesisir

dan perairan di Kabupaten Flores Timur dan

Lembata terutama terumbu karang.4

Jika disimak pelaku pelanggaran

pengelolaan perikanan yakni nelayan

tradisional, ada hal yang menarik bahwa

para nelayan tradisional di kedua kabupaten

tersebut adalah bagian dari masyarakat

adat Lamaholot, sehingga perilaku nelayan

tradisional dipengaruhi juga oleh hukum adat

Lamaholot. Hukum adat Lamaholot pada

hakikatnya merupakan idea atau gagasan

yang mengadung norma atau kaidah tidak

tertulis, yang bentuknya sistem kepercayaan,

pantangan, ritual, dan sanksi adat. Oleh

karena itu, dilihat dari kenyataan bahwa

penangkapan ikan menggunakan bom ikan,

bius ikan, potassium oleh nelayan tradisional,

dari perspektif hukum adat Lamholot

merupakan perbuatan yang tercela yang

dapat menimbulkan bencana berupa kutukan

roh penjaga laut bagi masyarakat, dalam

wujud tidak diperolehnya hasil tangkapan

1 Definisisumberdayaalamadalahunsurlingkunganhidupyangterdiriatassumberdayahayatidannonhayatiyang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

2 Definisi nelayan tradisional adalah nelayan yangmenggunakan kapal tanpamesin, dilakukan secara turunmenurun, memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).

3 Haruddin A, Edi Purwanto, Sri Budiastuti, “Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan oleh Nelayan secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara”, Jurnal Ekosains Lingkungan Hidup Vol. III, No. 3, (November 2011): 33.

4 Bandingkan dengan laporan LIPI 2017 dalam harian umum Kompas, 7 Juni 2017 yang menyebutkan bahwa dari 2,5, juta hektar luas terumbu karang di Indonesia, terdapat 35,15 persen terumbu karang dalam kondisi rusak, sedangkan WWF Solar Alor Project Nusa Tenggara Timur dalam penelitiannya tahun 2012 menyebutkan bahwakondisikesehatanterumbukarangdiperairanlautKabupatenFloresTimurteridentifikasidalamkondisiyang buruk (< 50%), dengan rata-rata 21% yang tersisa masih dalam kondisi sehat

Page 3: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 69

ikan dalam jumlah yang cukup. Akan tetapi,

hukum adat Lamaholot ini belum difungsikan

oleh pemerintah daerah kabupaten dan aparat

penegak hukum dalam mendukung upaya

mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan

yang dilakukan oleh nelayan tradisional.

Salah satu contoh adalah Peraturan Bupati

Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

di Perairan Kabupaten Flores Timur.

Sistematika dari Perbup tersebut terdiri atas 9

bab dan 23 pasal. Adapun aspek-aspek yang

diatur, yakni: ketentuan umum; maksud dan

tujuan; ruang lingkup; kelembagaan; master

plan pengelolaan perikanan berkelanjutan;

pengawasan dan evaluasi; peran serta

masyarakat; pembiayaan; dan penutup.5

Berdasarkan beberapa aspek tersebut,

belum menunjukan hukum adat Lamaholot

dilembagakan dalam pengaturan pengelolaan

perikanan. Hal ini seperti pada aspek

kelembagaan, yang mengatur tim pengelolaan

perikanan berkelanjutan terdiri atas Dinas

Perikanan Flores Timur, Instansi terkait di

Kabupaten Flores Timur, Lembaga Swadaya

Masyarakat Perikanan, Akademisi, Kelompok

Nelayan, dan Asosiasi perikanan. Dengan

demikian, tidak ada unsur pemangku atau

fungsionaris adat yang dilibatkan dalam tim

pengelolaan perikanan.

Oleh karena itu perlu melibatkan

partisipasi pemangku atau fungsionaris adat

Lamaholot yang memahami alam seperti

gunung, laut, ikan, dan sebagainya, hidup

Nitun yaitu roh penjaga alam dan Lera Wulan

Tana Ekan sebagai wujud tertinggi. Alam yang

dilihat sebagai penjelmaan wujud tertinggi

atau roh-roh halus itu untuk melestarikannya

dibuatlah ritus-ritus persembahan seperti

ritus menanam, ritus berburu, ritus untuk

menangkap ikan, dan lain sebagainya. Ritus-

ritus mengungkapkan pemujaan bahwa segala

sesuatu yang ada didunia adalah kepunyaan

wujud tertinggi yang nampak dalam ungkapan

Lera Wulan Tanah Ekan Guti Na-en: Tuhan

mengambil pulang miliknya.7 Adanya ritus-

ritus termasuk ritus penangkapan ikan

tersebut menunjukan karateristik hukum adat

Lamaholot yakni perilaku masyarakat adat

yang mematuhi perintah dan larangan tentang

baik buruknya perilaku manusia serta sanksi

adat apabila merusak sumber daya alam laut

dan ikan.

Kekhasan tersebut menjadikan hukum

adat Lamaholot sebagai pranata, artinya

hukum adat Lamaholot menjadi pola dalam

5 Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014 didasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.29/MEN/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di bidang Penangkapan Ikan; Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Flores Timur Tahun 2012-2016

6 Wawancara dengan Ahmad Daud sebagai salah satu pemangku adat Lamaholot yang berasal dari desa Lamahala Jaya di kecamatan Adonara Timur kabupaten Flores Timur, 26 Juli 2018

7 Ibid.,

Page 4: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

70 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

perilaku masyarakat nelayan tradisional.

Contoh masyarakat nelayan tradisional di

Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata,

yang melakukan pola kepercayaan ritual untuk

mendapatkan hasil ikan dan keselamatan

selama melaut. Masyarakat nelayan tradisional

di desa Pantai Harapan memiliki kebiasaan

untuk melakukan ritual, yakni: (a) Bito Berue,

yakni ritual yang dilakukan oleh nelayan

tradisional sebelum menggunakan sampan/

juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di

pantai dengan menggunakan bahan-bahan

seperti ayam jantan yang jenggernya masih

utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut

(Aho Male), lalu darahnya dioles disekeling

sampan/juku baru; (b) Lepa Nua Dewe,

ritual ini dilakukan untuk melepas pukat yang

ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat

disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat

tangkap tradisional nelayan setempat untuk

menangkap ikan serdin dan tembang biasanya

pada musim-musim tertentu selalu muncul

di perairan laut setempat dalam jumlah yang

sangat banyak; (c) Bruhu Brito, merupakan

suatu tradisi oleh nelayan tradisional sebelum

melepas pukat baru untuk menangkap jenis

ikan selain tembang; dan (d) Tula Lou Wate,

upacara ini merupakan tradisi dalam memberi

makan kepada ”leluhur di laut” dengan

maksud memanggil ikan agar ikan dapat

berkumpul dan memberikan hasil tangkapan

yang banyak. Semua jenis ritual tersebut di

atas dilakukan oleh pemangku adat yang

dalam bahasa masyarakat setempat disebut

Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya

sangat patuh dan taat terhadap sistem

kepercayaan ritual. Hal yang menarik di sini

adalah meskipun sistim kepercayaan ritual

lebih banyak pada usaha penangkapan ikan,

namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti

oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap

ikan dalam jumlah yang sangat banyak.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dengan

melakukan pengkajian terhadap kekhasan

hukum adat Lamaholot yang mempengaruhi

perilaku masyarakat nelayan tradisional,

dapat dibangun suatu gagasan konstruksi

struktur legal yang monodualistik yaitu

menyatukan pemerintah, penegak hukum,

dan masyarakat adat. Konstruksi struktur legal

yang didasarkan sistem budaya Lamaholot ini

diharapkan dapat mengejewantahkan norma

hukum adat yang telah hidup dalam alam

pikiran sebagian besar warga masyarakat

adat dan telah diwariskan serta dipraktekkan

dari satu generasi ke generasi lainnya. Sistem

budaya tersebut memandang manusia dan

alam termasuk laut dan sumber daya ikan

harus dijaga keselarasannya, sebab jika tidak

dijaga akan menimbulkan kesulitan bagi

masyarakat dalam memperoleh sumber mata

pencaharian.

Permasalahan

Sebagai permasalahan dalam tulisan

ini adalah: (1) ketidakefektivan penegakan

hukum terhadap pelanggaran pengelolaan

perikanan; (2) keberadaan hukum adat

Lamaholot mengatur pengelolaan perikanan

yang belum difungsikan; dan (3) hukum

Page 5: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 71

adat Lamaholot dilembagakan dalam model

co-management guna membantu penegakan

hukum pengelolaan perikanan.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum

empiris dengan kajian dari antropologi

hukum dengan perspektif sosio- legal. Kajian

antroplogi hukum bertolak dari konsep

pluralisme hukum sebagai sistem hukum

dimana unsur-unsur hukumnya berasal dari

sumber yang berbeda, salah satunya adalah

hukum adat yang diakui oleh sistem hukum

negara serta diterapkan dalam sebuah

masyarakat.8 Terkait dengan hal itu, penelitian

ini dilakukan terhadap pranata adat dan

hukum adat Lamaholot sebagai suatu sistem

nilai budaya yang dianggap bernilai dalam

kehidupan.9 Selanjutnya, pendekatan sosio

legal yaitu mengkaji ide atau gagasan hukum

adat dalam suatu sistem sosial. Realitas hukum

adat sebagai norma atau kaidah hukum tidak

tertulis eksis dalam alam pikiran masyarakat

adat yang sarat dengan makna simbolik.

Karena itu penelitian terhadap konteks

hukum, dan bukannya teks hukum sebab jika

meneliti teks hukum akan sulit “ditangkap”

lewat pengamatan dan pengukuran.10

Sumber data yang digunakan adalah

data primer dan sekunder. Pengumpulan

data primer diperoleh dari populasi yakni

nelayan tradisional sebagai anggota kesatuan

masyarakat hukum adat Lamaholot di

Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten

Lembata, sedangkan sampel adalah nelayan

tradisional di Desa Lamahala Jaya Kecamatan

Adonara Timur Kabupaten Flores Timur dan

di Desa Lamalera Bawah (B) di Kecamatan

Wulandoni Kabupaten Lembata. Teknik

yang digunakan adalah pengamatan terhadap

perilaku masyarakat adat dalam melakukan

ritual, dan wawancara secara semi-terstruktur

(semi structured interview), yaitu wawancara

yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan

terbuka yang diikuti dengan pertanyaan

lanjutan untuk lebih menggali informasi secara

lebih mendalam. Kemudian dikumpulkan juga

data sekunder melalui studi kepustakaan yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Data yang telah diperoleh dianalisis secara

deskripsi kualitatif berdasarkan penalaran

yang bersifat deduktif-induktif.

PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pengelolaan Perikanan

Penegakan hukum (law enforcement)

secara konsepsional diartikan kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

8 Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa Tanah Berjenjang Naik Bertangga Turun dalam Masyarakat Minangkabau (Sebuah Penelitian Antroplogi Hukum dengan Perspektif Socio-Legal), Penelitian Hukum Interdisipliner sebuah Pengantar menuju sosio-legal, (Yogyakarta: Thefa Media, 2016), hlm. 33.

9 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 4 dan 6.10 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 127.

Page 6: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

72 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

mantap dan mengejawantah serta sikap

tindak sebagai rangkain penjabaran nilai

tahap akhir untuk menciptakan, memelihara,

dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup.11 Sehubungan dengan hal tersebut,

Lawrence.M.Friedman mengemukakan

tiga model yang harus diperhatikan dalam

penegakan hukum, yaitu struktur, substansi,

dan budaya hukum. Pendekatan ketiga

model tersebut dimaksudkan agar hukum

dapat bekerja dengan baik dan efektif dalam

masyarakat yang diaturnya. Adapun unsur

struktural menurut Lawrence M.Friedman

menyatakan bahwa The structure of a system

is its skeletal frame work it is the permanent

shape, the institutional body of the system,

sedangkan unsur substansi dikatakannya

Substance is composed substantive rules

and rules about how institution should

behave.12 Selanjutnya faktor budaya atau

kultur dimaksudkan adanya kesadaran

hukum (keinsyafan) anggota masyarakat

untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang

dilanggar, melaksanakan tugas dan kewajiban

sebagai warga masyarakat, dan mengerti

akibat-akibat hukumnya jika melanggar

hukum.13 Model pendekatan yang sama

juga dikemukakan oleh Robert B.Seidman14

bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat

melibatkan beberapa unsur atau aspek yang

saling memiliki keterkaitan sebagai suatu

sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga

pembuat hukum (law making institutions);

lembaga sanksi (sanction activity institution);

pemegang peran (role occupant); kekuatan

societal personal (societal personal force);

budaya hukum (legal cultural); serta unsur-

unsur hukum yang sedang berjalan.

Berkaitan dengan penegakan hukum

dalam pengelolaan perikanan, dapat

dijelaskan dengan menggunakan pendekatan

dari kedua pendapat tersebut; Aspek pertama,

yakni struktur hukum yakni lembaga yang

berwenang melakukan penegakan hukum.

Berdasarkan penelusuran ditemukan operasi

pengamanan oleh Polisi Air Nusa Tenggara

Timur, dan Dinas Perikanan di perairan

laut daerah di Kabupaten Flores Timur dan

Kabupaten Lembata sering dilakukan. Hal ini

didukung juga dengan kebijakan pemerintah

daerah untuk menindak tegas pelaku

pengeboman ikan, seperti yang dilakukan

pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur

dengan membakar kapal pengeboman ikan

11 Dadin E. Saputra, “Hubungan Antara Equality Before the Law dalam Penegakan Hukum di Indonesia dengan HarmonisasiKonflikAntarLembagaPenegakHukum”,Syariah Jurnal IlmuHukumVol. 15,No. 1, (Juni2015): 6

12 Edi Warman, “Paradoks Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi di Indonesia”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 8, No. 1, (Mei 2012): 47.

13 Didiek Sukriono, “Penguatan Budaya Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Vol. 1, No. 2, (2014): 234.

14 Gunarto, “Optimalisasi Kepemilikan Saham Perusahaan oleh Serikat Pekerja untuk Meningkatkan KesejahteraanPekerjadiPT.FiscousSouthPasific”,JurnalIlmiahSultanAgungVol.49,No.125,(November,2011): 8

Page 7: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 73

berdasarkan putusan pengadilan.15 Akan tetapi,

upaya tersebut dinilai masih belum efektif,

karena di beberapa lokasi perairan laut daerah

Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten

Lembata masih marak terjadi bom ikan dan

sebagainya. Berikut ini dipaparkan data kasus

pelanggaran pengelolaan perikanan:

a. Kabupaten Flores Timur

Kasus penangkapan ikan secara ilegal

telah menjadi ancaman bagi kelestarian

lingkungan laut terutama ekosistem terumbu

karang di wilayah perairan laut Kabupaten

Flores Timur. Berdasarkan hasil penelitian

diketahui bahwa nelayan tradisional pada

umumnya menggunakan potasium dan bahan

peledak (bom ikan) dalam penangkapan ikan

di beberapa wilayah perairan laut Kabupaten

Flores Timur.16 Bahkan menurut Paul L.

Kedang selaku Ketua Himpunan Nelayan

Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Flores

Timur, menjelaskan bahwa penggunaan

potasium dan bom ikan banyak beroperasi di

daerah pesisir perairan laut Flores Timur. Pada

tahun 2018 terdapat kasus nelayan tradisional

di perairan laut Likotuden yang membawa 8

(delapan) karung potasium. Jika satu karung

beratnya 25 kg, maka totalnya 200 karung,

akibat potasium merusak terumbu karang dan

biota laut.17 Keluhan lainnya dikemukakan

oleh Benediktus Basa Jawan sebagai Kepala

Desa Bubu Atagamu, Kecamatan Solor

Selatan, yang mengatakan bahwa aksi

pengeboman ikan marak terjadi di perairan

Solor Selatan, sehingga mengakibatkan

rusaknya keanekaragaman hayati di sekitar

perairan Solor Selatan.18

b. Kabupaten Lembata

Beberapa kasus dapat dikemukakan antara

lain belasan kapal nelayan yang beroperasi di

perairan laut Lewoleba tanpa mengantongi

izin dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab)

Lembata.19 Selanjutnya kasus penangkapan

ikan dengan menggunakan racun yang

mematikan ikan dan biota laut lainnya oleh 15

nelayan asal Bima (15 Juli 2016). Modus yang

digunakan para nelayan itu yakni menebarkan

racun pada beberapa titik berkumpulnya ikan.

Seusai menyiram racun mereka menyelam

secara bergantian mengambil ikan, lobster,

teripang dan lainnya yang pingsan atau mabuk

racun20 selain itu, ditemukan juga kasus

penangkapan ikan menggunakan alat bantu

kompresor (9 Mei 2017) yang dilakukan oleh

enam orang warga dari Desa Bajo Pulau,

Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi

Nusa Tenggara Barat. Mereka menangkap

15 Dokumentasi Semiloka tentang Menjaga Keanekaragaman Hayati Perairan Solor Selatan, Flores Timur yang digelar Yayasan Tanah Ile Boleng (YTIB) bersama Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial dan Pemda Flotim, di Desa Bubu Atagamu, 13 Juni 2017, Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, diambil 24 Juli 2018

16 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, diambil 25 Juli 2018

17 Ibid.18 Ibid.19 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, diambil 25 Juli

201820 Ibid.

Page 8: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

74 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

ikan dengan menggunakan kompresor di

perairan laut Desa Jontona, Kecamatan Ile

Ape Kabupaten Lembata.21 Ada juga kasus

pemboman ikan seperti terjadi di pantai Bobu

Kecamatan Lebatukan yang dilakukan oleh

nelayan tradisional dari Ende, Maumere, Alor,

dan Flores Timur. Aksi pemboman ikan selalu

disaksikan warga setempat, namun warga tidak

dapat berbuat apa-apa menghadapinya karena

tidak memiliki fasilitas untuk mengejar atau

membatasi aksi nelayan liar dari luar Lembata

itu. Berdasarkan laporan masyarakat, setelah

melakukan pemboman, para oknum pelaku

biasanya memacu perahu motornya menuju

perairan Alor karena jarak dari pantai Bobu

ke perairan laut Kabupaten Alor lebih dekat,

dibandingkan dengan jarak ke daerah lain.22

Aspek Kedua, yakni substansi hukum,

yaitu aturan hukum yang mengatur perilaku

nelayan mengelola perikanan. Berdasarkan

penelusuran terhadap produk hukum daerah di

bidang perikanan tidak ditemukan peraturan

daerah atau peraturan bupati di Kabupaten

Flores Timur dan Kabupaten Lembata yang

mengatur pengelolaan perikanan oleh nelayan,

seperti: (1) zona penangkapan ikan bagi para

nelayan, misalnya nelayan Pole dan Line;

(2) ukuran kapal yang digunakan nelayan

seperti 3 GT; (3) zona bagan dan rumpon; (4)

penggunaan alat tangkap ramah lingkungan;

(5) lalu lintas perdagangan di perairan laut agar

terpenuhinya kebutuhan ikan bagi masyarakat

dengan harga yang relatif terjangkau; dan (6)

perlindungan terumbu karang.23

Aspek Ketiga, yakni budaya hukum

sebagai sikap dan perilaku masyarakat

untuk menaati aturan hukum. Terdapat

kecenderungan nelayan tidak mempedulikan

peraturan perundang-undangan di bidang

perikanan, sehingga menunjukan rendahnya

kesadaran nelayan untuk menaati aturan

hukum. Padahal budaya hukum merupakan

suatu unsur esensial dalam mengubah

suatu struktur yang statis dan sekaligus

merupakan suatu kumpulan norma yang

menjadi hukum yang hidup (living law). Akan

tetapi, ada hal yang menarik bahwa nelayan

tradisonal dalam aktivitas menangkap ikan

lebih menaati hukum adat Lamaholot yang

mengandung kearifan lokal. Apabila disimak

kehidupan nelayan di desa-desa nelayan pada

kedua kabupaten, menunjukan hukum adat

Lamahlot memengaruhi perilaku nelayan

dalam mengelola sumber daya perikanan.

Dengan demikian, nelayan menjunjung tinggi

tradisi budaya berupa sistem kepercayaan,

ritual, pantangan, dan sanksi adat.

21 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, diambil 27 Juli 2018

22 Ibid. 23 Bandingkan dengan Peraturan Desa Birawan di Kecamatan Ilebura Kabupaten Flores Timur yang mengatur

perlindungan terumbu karang. Desa di pantai selatan Flores Timur ini melalui peraturan desa melarang masyarakatnya untuk: (1) berkarang; (2) menggunakan pola penangkapan ikan karang pakai besi tajam; (3) menangkap ikan dengan menggunakan racun akar kayu; dan (4) menangkap ikan di kawasan konservasi. Sumber berita: Harian Umum Pos Kupang, 8 September 2018

Page 9: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 75

B. Pengelolaan Perikanan Menurut Hukum Adat Lamaholot

1. Kabupaten Flores Timur

Pada hakikatnya hukum adat yang

mengandung kearifan lokal merupakan bagian

dari kebudayaan dan secara lebih spesifik

merupakan bagian dari sistem pengetahuan

tradisional. Kearifan lokal disebut juga local

genious, yang terdiri atas beberapa nilai

universal yaitu historis, sistem kepercayaan,

etika, estetika, sains, dan teknologi.24 Secara

substansi, pokok-pokok isi dari kearifan lokal

meliputi: konsep lokal, cerita rakyat, sistem

kepercayaan berupa ritual keagamaan, dan

berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud

sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik.

Berkaitan dengan pengelolaan perikanan

di Kecamatan Adonara Timur khususnya

di Desa Lamahala Jaya dan desa yang

berbatasan dengannya yaitu Desa Terong,

kearifan lokal dalam mengelola perikanan

menekankan harmonsasi, keseimbangan, dan

keberlanjutan. Hal ini tidak terlepas dari alam

pikir masyarakat nelayan tradisional yang

memandang bahwa hukum adat Lamaholot

bercorak religius magis, yang mengajarkan

bahwa tugas manusia adalah untuk menjaga

keseimbangan kehidupan alam semesta,

dan jika perilaku manusia menjadi serakah

dengan merusak keseimbangan alam, atau

tidak selaras dengan alam, maka akan terjadi

kegoncangan dalam alam semesta yang dapat

berupa bencana alam.

Sehubungan dengan sistim

kepercayan masyarakat nelayan tradisional

dalam mengelola perikanan dapatlah

dikatakan merupakan semua bentuk

pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau

wawasan serta adat kebiasaan atau etika

yang menuntun perilaku manusia dalam

kehidupan di dalam komunitas ekologis. Oleh

karenanya sistim kepercayaan bukan hanya

menyangkut pengetahuan atau pemahaman

masyarakat adat tentang manusia dan

bagaimana relasi yang baik di antara manusia,

melainkan juga menyangkut pengetahuan,

pemahaman dan adat kebiasaan tentang

manusia, alam dan bagaimana relasi di antara

semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh

sistim kepercayaan ini dihayati, dipraktikan,

diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke

generasi lain yang sekaligus membentuk pola

perilaku manusia sehari-hari baik terhadap

sesama manusia maupun terhadap alam dan

yang gaib.

Melalui kajian terhadap hukum adat

Lamaholot yang berkembang dalam kehidupan

nelayan tradisional di Desa Lamahala Jaya

dan Desa Terong, diketahui bahwa dalam

sejarahnya nelayan tradisional memandang

kehidupan baik di darat maupun di laut

masing-masing memiliki Nitun yaitu roh

penjaga alam sebagai wujud tertinggi. Oleh

karenanya dalam memanfaatkan sumber daya

ikan di laut, nelayan tradisional harus meminta

izin atau memintah restu dari Nitun. Apabila

24 I Wayan Geriya, Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan Hidup Daerah Bali, Makalah Seminar Nasional, (Denpasar: Lemlit Universitas Udayana, 2005), hlm. 3

Page 10: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

76 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

para nelayan menangkap ikan tanpa meminta izin pada Nitun akan menimbulkan bencana pada nelayan tradisional. Keadaan yang sama juga terjadi pada nelayan tradisional apabila dalam menangkap ikan menggunakan bahan-bahan yang merusak ekosistem laut dan ikan, seperti bom ikan, dan lain sebagainya maka akan mendapat kutukan dari Nitun.

Pelaksanaan ketentuan adat tersebut dilakukan melalui upacara adat yang ditujukan pada Nitun, dan dilengkapi dengan bahan-bahan sesajian seperti: telur, nasi kuning, kunyit, tembakau yang digulung dalam daun lontar, sirih dan pinang serta perahu yang di buat dari daun lontar. Semua bahan upacara adat tersebut berjumlah ganjil, dan pada saat dilakukan upacara, bahan sesajian di bungkus dengan daun koli dan diletakan di dalam perahu. Sebelum bahan-bahan sesajian dilepas ke laut, pemangku adat memanjatkan doa sambil wajahnya menghadap ke arah barat laut pada saat tengelamnya matahari. Penyampaian doa menggunakan bahasa setempat, seperti pada bahasa adat di desa Lamahala berikut ini:

lauha”ridepadaialapetanaheka go lodo go tutu tapanmari go oreoladoreko”onoto”u-To’umusipihakagetana, go lodolaukaimobu-kasi pita balikara, goi no go lolon mitewai-nabelauhodeumalamakmo, go kaiko’ori-buko’oratuh, olanoino”oraine, sihari here ileno’owaisilewaketekaika’agelekatlewotana. Go menu moene’Ika’ame, raeile di go

gelekatlauhari di go gelekatkodaka’arogohu, kirika’arowahaka.25

Berdasarkan fakta tersebut, maka tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adat Lamaholot di kabupaten Flores Timur, erat kaitannya dengan komponen rasionalitas adat berupa kepercayaan, pantangan, dan anjuran yang dijunjung tinggi sebagai pedoman perilaku. 2. Kabupaten Lembata

Masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Lembata memiliki hukum adat Lamaholot yang mengadung potensi dan kekayaan sistim kepercayaan yang cukup banyak. Kepercayaan tersebut dianut sebagai suatu bentuk peradaban dan sistim nilai serta pranata yang berkaitan dengan usaha pengelolaan perikanan. Kekayaan kepercayaan tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam lingkungannya. Lamalera merupakan sebuah wilayah terdapat di Kecamatan Wulandoni yang terletak disebelah selatan bagian barat pulau Lembata. Lamalera memiliki dua desa yang berdekatan yakni Desa Lamalera Atas (A) dan Desa Lamalera Bawah (B). Adapun suku Lamalera terdiri atas beberapa suku, antara lain: Ebang, Wujon, Tenaor, Tufaona, Lika Telo (3 suku pendiri Lamalera: (1) Blikololong (Puhuu); (2) Lewotuka (Levo Tuka); dan (3) Bataona (Batfor, Dediona. Sulaona)), Tapaoona, dan lain-lain.26 Masyarakat Lamalera merupakan masyarakat

25 Wawancara dengan Ahmad Daud sebagai Pemangku Adat desa Lamahala Jaya di kecamatan Adonara Timur Kabupaten Flores Timur, dikatakan bahwa ritual adat dengan menggunakan bahasa adat ini dilakukan beberapa tahun yang silam, saat itu nelayan tradisional melakukan kesalahan dalam mengelola lingkungan laut sehingga nelayan tidak mendapatkan ikan, 26 Juli 2018.

26 Ibid.,

Page 11: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 77

yang memandang laut dan darat mempunyai

hubungan pengaruh mempengaruhi secara

timbal balik. Hal ini senada dengan yang

dikatakan Barker bahwa perilaku dan

lingkungan merupakan dua hal yang saling

menentukan dan tidak dapat dipisahkan.

Apa yang dilakukan seseorang di darat akan

mempengaruhi apa yang akan terjadi di

laut, begitu pun sebaliknya. Pengetahuan

mereka terhadap hubungan laut dan alam

memunculkan persepsi bahwa prilaku yang

sesuai dengan norma yang dianut harus

selalu dilakukan agar ekosistem selalu stabil

dan dapat dimanfatkan secara berkelanjutan.

Keyakinan ini pula yang menjadikan prosesi

penangkapan paus yang merupakan mata

pencaharian utama di Lamalera mengandung

nilai dan norma yang khas. Masyarakat

Lamalera merupakan masyarakat dengan

tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran Katolik.

Hal ini dimungkinkan karena daerah Lamalera

termasuk salahsatu daerah penyebaran Katolik

pertama di Indonesia yang dibawa oleh bangsa

Portugis pada abad ke 16 Masehi.27

Secara sosio-kultural peradaban

masyarakat nelayan tradisional di Desa

Lamalera A dan B tidak berbeda, karena pada

dasarnya berasal dari asal usul yang sama.

Masyarakat nelayan tradisional Lamalera

memiliki keunikan tersendiri terutama dalam

hubungan dengan aktivitas melaut. Sistim

kepercayaan yang sudah menjadi budaya di

Lamalera adalah budaya penangkapan ikan paus secara tradisional. Budaya ini sudah lama dimiliki dimulai sejak zaman nenek moyang dan tetap dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat nelayan dan berlangsung sampai sekarang.Dalam hal penangkapan ikan paus tradisi dan budaya ini terus diwariskan ke generasi berikutnya.

Sistim kepercayaan yang terdapat di desa lamalera adalah sistem kepercayaan dalam bentuk ritual dan upacara adat. Sistim kepercayaan tersebut merupakan suatu perpaduan yang sinergis dan harmonis antara adat dan religius serta harus dilakukan secara teliti, ketat, sempurna dan benar. Sistim kepercayaan berupa ritual dan upacara adat dimaksud dimulai dari proses pembuatan perahu tradisional khusus digunakan penagkapan ikan paus yang dalam bahasa setempat disebut peledang, penyiapan peralatan dan sarana penunjang, peralatan penangkapan ikan paus, proses turun ke laut, pantangan-pantangan dan larangan-larangan yang harus dihindari serta tatacara pembagian hasil tangkapan.

Aktvitas dan musim penangkapan ikan paus yang dikenal dengan istilah Leffa Nuang (musim turun ke laut), yang dilasanakan setiap tahun dan biasanya dimulai sejak bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Beberapa upacara adat dan tahapan penting yang dilakukan pada Leffa Nuang adalah sebagai

berikut:28 pertama, Upacara Tobu Nama Fatta,

27 Nendah Kurniasari dan Elly Reswati, “Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera: sebuah Ekspresi Hubungan Manusia dengan Laut”, Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 6, No.2, (2011): 31

28 Wawancara dengan A. Bataona sebagai Pemangku Adat desa Lamalera B kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata, 28 Juli 2018

Page 12: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

78 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

para Tua Adat Lamalera berkumpul bersama

dengan semua nelayan di sebuah Kapel

(Kne’) sejenis gereja Katolik yang berukuran

kecil yang dibangun persis di pinggir pantai

Lamalera. Pada Tobu Nama Fatta dibicarakan

hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan

aturan melaut. Selain itu juga semacam

forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan,

hambatan para nelayan Lamalera pada musim

penangkapan sebelumnya serta upaya-upaya

dan strategi yang harus diantisipasi dan

dihadapi nelayan pada musim penangkapan

sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat

akan menghadap Tuan Tanah Lamalera untuk

meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat

dimulai.

C. Pelembagaan Hukum Adat Lamaholot Melalui Model Co-Management

Hukum adat Lamaholot memiliki peluang

untuk dihidupkan dan ditumbuh kembangkan

kembali sehingga dapat mengatur kehidupan

dan menjadi pranata, norma dan aturan yang

berkaitan dengan pengelolaan perikanan.

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap

dokumentasi dan publikasi pada Sekretariat

Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur

dan Kabupaten Lembata, ditemukan adanya

persepsi nelayan tradisional untuk mematuhi

nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan

perikanan, baik itu pantangan, ritual adat

maupun sanksi adat. Cara pandang demikian

menurut hemat peneliti memberi makna

positif dalam menunjang program kebijakan

pengelolaan perikanan berkelanjutan Dinas

Perikanan dan penegakan hukum terhadap

pengelolaan perikanan di Kabupaten Flores

Timur dan Lembata.

Selain itu, dengan persepsi nelayan

tradisional seperti itu memperlihatkan

kesadaran nelayan akan pentingnya menjaga

kelestarian laut dan perikanan sebagai

penopang kehidupan mereka. Oleh karena

itu, cara pandang seperti ini hendaknya

menjadi salah satu instrumen penting dalam

memobilisasi kekuatan sosial nelayan

tradisional guna mendukung penegakan

hukum pengelolaan perikanan. Selain itu,

aspek tersebut dapat dijadikan juga pintu

masuk atau jembatan yang menghubungkan

antara program dan kegiatan pemerintah

daerah dengan apa yang menjadi kebutuhan

nelayan tradisional. Dengan demikian,

program yang direncanakan pemerintah

daerah (Dinas Perikanan) diyakini akan

dapat berjalan dengan cepat dan tepat sasaran

sehingga memberikan dampak terhadap

keberhasilan dan keberlanjutan program

kebijakan pengelolaan perikanan dan

penegakan hukum yang maksimal.29

Sehubungan dengan hal tersebut, hukum

adat Lamaholot perlu dilembagakan sebagai

29 Program pembangunan perikanan pada Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata antara lain, yaitu: (1) pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir seperti meningkatkan produksi perikanan laut, penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana pengawasan pengendalian sumber daya kelautan antara lain seperti gelar operasi pengamanan sumber daya laut wilayah perairan; dan (2) perlindungan dan konservasi sumber daya alam yaitu program pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan.

Page 13: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 79

pranata kebudayaan dalam hukum daerah yang mengatur pengelolaan perikanan. Masyarakat adat sebagai suatu organisasi persekutuan hukum, saling terkait dan menyatu bagaikan satu pribadi hukum yang berjiwa dan memiliki harta benda material maupun immaterial,30 keberadaannya telah diakui negara di dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perekmbangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Terkait dengan pranata kebudayaan, menurut Koentjaraningrat adalah kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Wujud dari kebudayaan itu adalah: (a) wujud ideal;(b)wujudkelakuan;dan(c)wujudfisik.Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola (wujud kedua dari kebudayaan) beserta komponen-komponennya ialah sistem norma dan tata kelakuannya (wujud pertama dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud ketiga dari kebudayaan), ditambah dengan manusia dan personel yang melaksanakan kelakuan berpola, itulah yang merupakan suatu pranata atau institution.31 Terkait dengan hal itu, hukum adat Lamaholot secara konseptual dapat digolongkan ke dalam pranata kebudayaan

religious institutions, yakni pranata yang berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib.32

Adapun melembagakan hukum adat Lamholot menurut teori Bohanan yaitu “pelembagaan kembali” (reinstituonalization), dan “pelembagaan ganda” (double nstituonalization). Kedua teori model ini menjelaskan bagaimana keragaman hukum adat suku-suku lokal, dilembagakan kembali atau dilembagakan untuk kedua kalinya ke dalam sistem hukum negara nasional, sehingga berlaku sah dalam seluruh wilayah negara dan terhadap setiap warga negaranya.33 Pentingnya pelembagaan kembali hukum adat Lamaholot merupakan penegasan dari fungsinya sebagai religious law dan kebiasaan.

Bentuk hukum adat sebagai religious law dan kebiasaan yang dilembagakan adalah ritual adat, pantangan adat dan sanksi adat serta peranan fungsionaris adat dalam mengawasi perilaku nelayan tradisional dalam mematuhi norma adat. Pelembagaan kembali norma hukum adat yang dilakukan oleh fungsionaris adat menunjukan adanya penjiwaan hukum adat (volkgeist), yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat adat. Keadaan ini menurut teori realitas dari Van Vollenhoven dipengaruhi pula oleh kepercayaan masyarakat adat yang bercorak magis-religius.34 Dengan demikian, norma

30 HermanSoesangobeng,Filosofi,Asas,Ajaran,TeoriHukumPertanahandanAgraria,(Bandung:STPNPress,2012): 301

31 Koenjtraningrat, Op.cit, hlm. 14-15 32 Koenjtraningrat, Op.cit, hlm. 1733 Herman Soesangobeng, Op.cit, hlm. 30234 Erman Rajagukguk, Ridwan Khairandy (Ed), Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75Tahun Prof. Dr.

Koesnadi Hardjasoemantri, SH, ML, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001, hlm. 496

Page 14: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

80 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

hukum adat yang dilembagakan kembali itu

diharapkan mendapatkan penyelesaian terbaik

dalam penanganan konflik (pelanggaran)

pemanfaatan sumber daya ikan.35

Gagasan pelembagaan kembali hukum

adat Lamaholot seyogianya membantu

pemerintah daerah, dan aparat penegak

hukum yang secara nyata belum efektif

mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan

daerah. Sebagai bukti regulasi daerah seperti

Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

di Perairan Kabupaten Flores Timur belum

efektif ditegakan karena pendekatan yang

digunakan sentralisitik artinya hanya terpusat

pada Tim Terpadu Pengelolaan Perikanan

yang dibentuk pemerintah daerah, dan

mengesampingan peran serta pemangku atau

fungsionaris adat.36

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka

penulis menggagas konsep co-management,

sebagai pendekatan partisipatif, artinya

melibatkan secara partisipatif masyarakat

adat sebagai bagian dari sistem integral

negara dalam mengelola sumber daya alam

seperti sumber daya air, hutan, perikanan, di

perairan darat maupun pesisir laut. Konsep

ini dimunculkan dari keprihatinan penulis

terhadap kelemahan pemerintah daerah

Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang

selama ini hanya membentuk Tim Terpadu

yang terdiri dari unsur pemerintah, penegak

hukum, dan asosiasi nelayan, sedangkan

mengabaikan fungsionaris atau pemangku

adat. Akan tetapi pengawasan terhadap

pelanggaran pengelolaan perikanan oleh

Tim Terpadu belum efektif, yang disebabkan

koordinasinya kurang berjalan optimal.

Konsep co-management, digunakan

untuk menghindari peran yang dominan,

dan berlebihan dari salah satu pihak dalam

pengawasan pengelolaan perikanan yakni

pemerintah daerah, sehingga mengabaikan

pihak lain, yakni fungsionaris atau pemangku

adat. Co-management dapat menyatukan

stakeholder terkait dalam proses pengawasan

dan pengendalian terhadap pelanggaran

pengelolaan perikanan. Untuk itu, terdapat

beberapa aspek yang menjadi substansi

pengaturan dengan menggunakan model

co-management, yaitu: (1) ruang lingkup

pengawasan dan pengendalian dilakukan

melalui penyebaran informasi kepada

masyarakat nelayan tradisional tentang

pentingnya kelestarian sumber daya

perikanan; (2) pengawasan dan pengendalian

terhadap aktivitas dan pemanfaatan sumber

daya perikanan yang dilakukan oleh nelayan

tradisional dalam kawasan wilayah tangkap

dan budidaya perikanan; (3) kelembagaan

pengawasan dan pengendalian terdiri atas:

Dinas Perikanan, Satuan Pengawas PSDKP,

35 Bandingkan dengan Ni Made Jaya Senastri, “Fungsionalisasi Kearifan Lokal sebagai Wujud Pluralisme Hukum dalam Pelestarian Lingkungan di Desa Tenganan Pegringsingan”, Jurnal Konstitusi Vol. 1, No. 1, (November 2012): 88

36 AbdiaYas,dkk,PotretPluralismeHukumdalamPenyelesaianKonflikSumberDayaAlam,PengalamandanPerspektif, (Jakarta: Huma, 2007), hlm. 1

Page 15: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 81

Pos Pengamat TNI Angkatan Laut, Polisi

Perairan dan Udara Kepolisian Daerah NTT,

Kepolisian Resort kabupaten, Satuan Polisi

Pamong Praja; dan (4) peran serta masyarakat

adat dalam pengawasan dan pengendalian

pengelolaan perikanan. adapun tahapan

kegiatan pengawasan dan pengendalian dapat

dilakukan dengan menetapkan perencanaan

sebagai pemilihan serangkaian kegiatan

dan pemutusan selanjutnya apa yang harus

dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa.

Perencanaan yang baik dapat dicapai dengan

mempertimbangkan kondisi pada waktu

mendatang. Ada beberapa langkah yang dilalui

dalam tingkatan proses perencanaan yaitu: (a)

rencana kerja jangka pendek atau kerja tahunan

adalah rencana yang ditetapkan dengan batas

waktu yang mencakup satu tahun; (b) rencana

kerja jangka menegah dengan batas waktu

antara jangka panjang dan jangka pendek; dan

(c) rencana kerja jangka panjang yaitu rencana

yang ditetapkan dengan batas waktu berkisar

tiga tahunan. Selanjutnya, proses pengawasan

dan pengendalian, dituangkan dalam bentuk

standar prosedur operasional (SOP) sebagai

suatu patokan untuk penilaian tujuan, sasaran,

dan target pelaksanaan. Untuk melaksanakan

SPO perlu menentukan waktu pelaksanaan

operasional artinya menentukan pelaksanaan

kegiatan berdasarkan periode waktu berapa

kali (how often), apakah setiap hari atau setiap

minggu atau setiap bulan atau setiap tahun.

Selain itu, hendak diperhatikan juga kegiatan

dilakukan melalui pengamatan (observasi)

dan berdasarkan laporan.

PENUTUP

Kesimpulan

Penegakan hukum oleh pemerintah daerah

bersama aparat penegak hukum di Kabupaten

Flores Timur dan Kabupaten Lembata

dalam mengatasi pelanggaran pengelolaan

perikanan oleh nelayan tradisional, dinilai

belum efektif baik dari aspek struktur,

substansi, dan budaya hukum. Oleh karena

itu, hukum adat Lamaholot yang mengandung

kearifan lokal perlu difungsikan lagi karena

mempengaruhi perilaku nelayan tradisional

dalam pengelolaan perikanan. Diharapkan

hukum adat Lamaholot dapat mendukung

pengelolaan perikanan secara berkelanjutan

bagi pemerintah kabupaten karena dapat

menghubungkan program dan kegiatan

pemerintah daerah dengan apa yang menjadi

kebutuhan nelayan tradisional. Untuk itu

perlu melembagakan hukum adat Lamaholot

melalui model co-management sebagai

alternatif solusi bagi masyarakat adat menjadi

mitra bagi pemerintah kabupaten dan aparat

penegak hukum dalam mengatasi pelanggaran

pengelolaan perikanan.

Page 16: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

82 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83

Buku

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas,

dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia,

1981

Rajagukguk, Erman. dan Ridwan Khairandy

(Ed). Hukum dan Lingkungan Hidup di

Indonesia, 75Tahun Prof. Dr. Koesnadi

Hardjasoemantri, SH, ML. Jakarta:

Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2000

Soesangobeng, Herman. Filosofi, Asas,

Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan

Agraria. Bandung: STPN Press, 2012.

Warassih, Esmi. Dkk. Penelitian Hukum

Interdisipliner sebuah pengantar

menuju Sosio-Legal. Yogyakarta: Thefa

Media, 2016

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum Konsep

dan Metode. Malang: Setara Press,

2013.

Yas, Abdia. Dkk. Potret Pluralisme Hukum

dalam Penyelesaian Konflik Sumber

Daya Alam, Pengalaman dan

Perspektif. Jakarta: Huma, 2007.

Jurnal

Saputra, Dadin E. “Hubungan Antara

Equality Before the Law dalam

Penegakan Hukum di Indonesia dengan

Harmonisasi Konflik Antar Lembaga

Penegak Hukum”. Syariah Jurnal Ilmu

Hukum Vol. 15, No. 1, (Juni, 2015)

Sukriono, Didiek. “Penguatan Budaya Hukum

dalam Penyelenggaraan Pelayanan

Publik sebagai Upaya Penegakan Hak

Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”.

Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Vol. 1,

No. 2, (2014)

Warman, Edi. “Paradoks Penegakan Hukum

Pidana dalam Perspektif Kriminologi

di Indonesia”. Jurnal Kriminologi

Indonesia Vol. 8, No. 1, (Mei, 2012).

Gunarto. “Optimalisasi Kepemilikan Saham

Perusahaan oleh Serikat Pekerja untuk

Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja

di PT.Fiscous South Pasific”. Jurnal

Ilmiah Sultan Agung Vol. 49, No. 125,

(November, 2011)

A, Haruddin. Dkk. “Dampak Kerusakan

Ekosistem Terumbu Karang Terhadap

Hasil Penangkapan Ikan oleh Nelayan

secara Tradisional di Pulau Siompu

Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi

Tenggara”. Jurnal Ekosains Jurnal

Ilmiah Lingkungan Hidup Vol. III, No.

3, (November, 2011)

Kurniasari, Nendah dan Elly Reswati.

“Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera:

sebuah Ekspresi Hubungan Manusia

dengan Laut”. Buletin Riset Sosek

Kelautan dan Perikanan Vol. 6, No.2,

(2011).

Senastri, Ni Made Jaya. “Fungsionalisasi

Kearifan Lokal sebagai Wujud

AFTAR PUSTAKA

Page 17: PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …

Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 83

Pluralisme Hukum dalam Pelestarian

Lingkungan di Desa Tenganan

Pegringsingan”. Jurnal Konstitusi Vol.

1, No. 1, (November, 2012)

Makalah

Wayan Geriya, I. Konsep dan Strategi

Revitalisasi Kearifan Lokal dalam

Penataan Lingkungan Hidup Daerah

Bali. Makalah Seminar Nasional.

Denpasar: Lemlit Universitas Udayana,

2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

140 Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5059

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 2

Tambahan Lembaran Negara Reppublik

Indonesia Nomor 5490