Upload
ndhreg
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/26/2019 49_cris
1/9
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014| 435
PERKEMBANGAN PENGGUNAAN TEKNIK KULTUR JARINGAN
PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosumL.)
Chris Sugihono1dan Agus Hasbianto
2
1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara
Komplek pertanian kusu no.1 Sofifi-Kota Tidore Kepulauan;2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan
Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Email:[email protected]
ABSTRAK
Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman sayuran dataran tinggi yang termasuk
family Solanaceae yang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandumdan jagung. Tantangan dalam pengembangan kentang kedepan adalah penyediaan propagul
secara cepat, massal, murah, dan bebas penyakit maupun virus serta dihasilkannya kultivar
baru yang spesifik dalam fungsionalnya serta toleran terhadap cekaman biotik maupun
abiotik. Teknik kultur jaringan sudah banyak digunakan untuk mengembangkan kentang.
Induksi umbi mikro dan stek mikro merupakan salah satu teknik mikropropagasi kentang.
Sedangkan dalam rangka menghasilkan kultivar baru maka dilakukan teknik seleksi in vitro
untuk seleksi kultivar toleran kekeringan, cekaman NaCl. maupun mangan, hibridisasi
somatik, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan kultivar yang tahan hama penggerek
umbi (tuber moth).
Kata kunci: kentang, kultur jaringan, mikropropagasi, benih, pemuliaan
Pendahuluan
Kentang (Solanum tuberosum L) adalah tanaman sayuran dataran tinggi yang
termasuk family Solanaceaeyang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi,
gandum dan jagung karena kelebihannya dalam mensuplai kurang lebih 12 vitamin esensial,
mineral, protein, karbohidrat, dan zat besi serta didukung dengan rasanya yang enak
(Rubatsky dan Yamaguchi, 1995). Produksi kentang di Indonesia tahun 2008 mencapai
1,071 jt ton atau meningkat sebesar 6,7% dibanding tahun 2007 dengan tingkat
produktivitas sebesar 16,7 ton/ha. Namun demikian produksi kentang tersebut hanya dapatmemenuhi 8 % kebutuhan nasional yang mencapai 9 ton per tahun. Konsumsi kentang di
Indonesia terdiri dari 93,5% kentang segar dan 6,5% kentang olahan (french fries, chip, dan
tepung). Sentra produksi kentang saat ini berada di 9 Provinsi yaitu Jabar, Jateng, Jatim,
Sumut, NAD, Sumbar, Jambi, Sulsel, dan Sulut. Namun demikian pemanfaatan lahan untuk
budidaya kentang masih sangat rendah yaitu masih kurang dari 2 % dari total luas areal
potensial yang mencapai 11,3 juta ha (Kementan, 2010).
Meskipun potensi permintaan kentang yang cukup tinggi ditunjang dengan potensi
ketersediaan lahan yang cukup luas, namun pengembangan dan peningkatan peningkatan
produksi kentang berjalan lambat, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti
saingan pasar dari Cina, Taiwan, dan Australia; modal usaha yang dibutuhkan cukup tinggi
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]7/26/2019 49_cris
2/9
Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan
pada tanaman kentang | 436
mengingat tanaman kentang termasuk yang kebutuhan input tinggi, hasil output tinggi,
tetapi risiko juga tinggi; hama penyakit yang potensial menyerang kentang cukup banyak;
dan penggunaan bibit kentang bermutu yang masih rendah (Wattimena, 2000).
Tantangan dalam pengembangan tanaman kentang kedepan adalah merubah tanaman
kentang dari high input, high ouput, dan high riskmenjadi high input, high output, dan lowrisk melalui kultivar kentang yang toleran cekaman biotik dan abotik dan memproduksi
propagul kentang elit. Saat ini penggunaan teknik kultur jaringan telah banyak
dikembangkan untuk menghasilkan bibit kentang dalam jumlah banyak, waktu yang singkat,
bebas hama, penyakit, dan virus, tidak tergantung musim, kebutuhan bahan awal yang
sedikit, bibit yang dihasilkan bersifat seragam dan sama seperti induknya yang dapat dipakai
sebagai sumber perbanyakan (true to type), dan biaya penyediaan bibitnya relatif murah
dibandingkan bibit impor (Wattimena et al., 1983; Wattimena, 1986). Perbanyakan kentang
secara in vitro dapat dilakukan melalui tunas mikro dan umbi mikro. Umbi mikro memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan dengan tunas mikro antara lain mudah ditangai, dapat
ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa pengurangan daya berkecambah serta lebih tahan
bila dipindahkan ke media non aseptik (Wattimena, 1983).Tantangan lainnya adalah pengembangan kultivar baru kentang yang spesifik untuk
berbagai keperluan seperti di luar negeri dimana ada kultivar untuk kentang segar, kentang
olahan (chip, french fries, dan kentang industri/tepung). Selain itu juga adaptif untuk
lingkungan yang spesifik seperti iklim basah, kering, high input maupun low input. Teknik
kultur jaringan juga sudah banyak digunakan untuk menghasilkan kultivar baru yang tahan
terhadap cekaman biotik maupun abiotik, baik melalui induksi variasi somaklonal, seleksi in
vitro, maupun fusi protoplas. Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang
perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan untuk keperluan mikropropagasi maupun
untuk menghasilkan kultivar baru.
Kultur Jaringan Untuk Mikropropagasi Kentang
Secara klonal tanaman kentang dapat diperbanyak dengan umbi bibit, umbi mini,
true potato seed (TPS), umbi mikro, maupun stek mikro. Tujuan dari perbanyakan mikro
kentang adalah memproduksi sejumlah besar bahan tanaman dengan gen identik, produksi
tanaman bebas virus, produksi senyawa metabolit sekunder (solasodine pada kentang),
perbaikan tanaman (manipulasi jumlah kromosom, polinasi in vitro, penyelamatan embrio)
dan pelestarian plasma nutfah (Wattimena, 1992). Menurut Wattimena (2000) penggunaan
bibit mikropropagasi harus mempunyai 4 kriteria yaitu bibit mikropropagasi tersebut sangat
dibutuhkan, harus menguntungkan baik dalam produksi propagulnya maupun sistembudidaya, sistem distribusi yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas, dan dapat
beradaptasi terhadap sistem transportasi dan penanganan.
Perbanyakan kentang secara in vitr o
Penelitian tentang mikropropagasi kentang sudah banyak dilakukan baik di dalam
maupun di luar negeri. Hasil penelitian Khadiga et al. (2009) di Sudan menghasilkan
protokol dalam meregenerasi kentang secara in vitro pada berbagai kultivar kentang.
Perlakuan terbaik yang dihasilkan adalah pada kultivar Almera dengan menggunakan
eksplan buku (node) pada media MS + 3mg/L TDZ + 0,1 mg/L NAA berhasil menginduksi
rata-rata 5,4 tunas/eksplan. Kemudian induksi akar dilakukan dengan media MS+ 1 mg/L
7/26/2019 49_cris
3/9
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014| 437
IBA yang menghasilkan 35 akar/tunas. Selanjutnya plantlet berhasil 100% diaklimatisasi di
rumah kaca.
Gambar 1. Mikropopagasi kentang kultivar Almera secara in vitro (a) regenerasi tunas
(b) induksi akar (c) aklimatisasi di ruang kultur (d) pertumbuhan tanaman di
rumah kaca
Penelitian lainnya dilakukan Mohammed dan Alsadon (2009) yang mempelajari
pengaruh ventilasi dan konsentrasi sukrosa terhadap pertumbuhan dan anatomi daun pada
mikropogasi plantlet kentang kultivar Sandy. Eksplan yang digunakan adalah single node.
Media yang digunakan adalah media dasar MS bebas hormon yang ditambahkan dengan
thiamine 100 mg/L, nicotinic acid 50 mg/L, pyridoxineHCl 50 mg/L, glycine 200 mg/L,
myo-inositol 100 mg/L dan agar 7 g/l (BDH Laboratory Supplier, England). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa secara signifikan meningkatkan
bobot plantlet, bobot basah tunas, dan kadar klorofil daun. Selain itu juga diketahui bahwa
penggunaan ventilasi vessels dengan konsentrasi sukrosa 20 g/L dalam ruang pertumbuhan
dapat membuat kultur photomixotrophic dan hasil plantlet yang sehat.Penelitian tentang mikropropagasi kentang juga dilakukan oleh Karjadi (2007) untuk
menghasilkan kombinasi terbaik ZPT kinetin, IAA, dan GA3 dalam meningkatkan
pertumbuhan plantet kentang kultivar Granola. Media yang digunakan adalah media dasar
MS + 30g gula; 0,l mg GA3; l00ml air kelapa dan 6g agar per liter. Hasilnya ternyata tidak
terdapat interaksi dari kombinasi ketiga hormon tersebut. Penelitian penggunaan ZPT juga
dilakukan oleh Sajid (2009) yang meneliti pengaruh Thidiazuron (TDZ) pada
mikropropagasi kentang kultivar Desiree dan Cardinal. Eksplan yang digunakan adalah
tunas apikal. Media MS+TDZ 10-9
menghasilkan bobot basah dan kering plantlet paling
besar yaitu 0,543 g dan 0,0524 g pada kultivar Cardinal. Sedangkan pada kultivar Desiree
7/26/2019 49_cris
4/9
Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan
pada tanaman kentang | 438
dengan media MS+ TDZ 10-10
menghasilkan bobot basah dan kering plantlet paling besar
yaitu 1,05 g dan 0,0965 g.
Masalah yang sering muncul dalam perbanyakan kentang secara in vitro adalah
kontaminasi. Syarat utama keberhasilan kultur in vitro adalah terciptanya kondisi aseptik
yaitu terbebas dari mikroorganisme. Proses sterilisasi merupakan langkah awal untukmenciptakan kondisi aseptic terutama pada eksplan yang digunakan. Hasil penelitian Badoni
dan Chauhan (2010) menghasilkan bahwa sterilisasi eksplan dengan menggunakan Sodium
Hypochlorite (NaOCl) selama 8 menit kemudian di masukkan ke dalam larutan etanol 30
detik dan dibilas dengan akuades sebanyak 2x merupakan perlakuan terbaik dan tidak
menimbulkan dampak pada eksplan dalam jangka panjang.
I nduksi umbi mikro (micro tubers)
Umbi mikro adalah umbi kecil dengan bobot basah 50-150 mg/umbi yang dihasilkan
secara in vitro (aseptik). Kriteria umbi mikro berkualitas baik adalah umbi dengan bobot
basah lebih dari 100 mg per umbi dan atau berdiameter 5-10 mm serta mempunyai bahankering lebih dari 14%. Pembentukan umbi mikro dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu jenis
eksplan, media yang digunakan, lingkungan kultur (temperatur dan periode cahaya),
konsentrasi sukrosa, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan metode pengumbian mikro
(Wattimena, 1992).
Berdasarkan hasil penelitian Fatima et al. (2004), induksi umbi mikro pada kentang
kultivar PARS 70 dengan menggunakan media MS dengan konsentrasi sukrosa 8% dan
eksplan buku (node) menghasilkan pembentukan tunas 100%, panjang akar 2,71 cm, jumlah
umbi mikro rata-rata 2,16 buah, bobot umbi mikro 164,5 mg/umbi dan jumlah daun rata-rata
5,71. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan menggunakan eksplan dari tunas pucuk
(shoot tip).
Media merupakan salah satu faktor yang menetukan keberhasilan dalam teknbikkultur jaringan. Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrisi
makro, unsur mikro, sumber tenaga (pada umumnya sukrosa), vitamin, zat pengatur tumbuh,
dan pengkelat. Terdapat tiga jenis media dalam kultur invitro, yaitu media padat, media cair,
dan media semi padat. Hasil penelitian Sakya et al. (2003) menunjukkan bahwa penggunaan
ZPT coumarin dengan konsentrasi 45 mg/L lebih baik dibandingkan dengan aspirin pada
media MS untuk menginduksi umbi mikro kentang kultivar Atlantik. Jumlah umbi mikro
yang dihasilkan rata-rata 2,45 dengan bobot 20 mg. Tetapi hasil penelitian Warnita (2007)
menunjukkan hasil yang berbeda pada kentang kultivar Karnico. Penggunaan aspirin pada
media MS lebih baik dibanding coumarin maupun BAP dengan periode cahaya 16 jam.
Induksi umbi mikro dengan coumarin menghasilkan jumlah umbi sebanyak 6,25 dengan
bobot rata-rata 137 mg.
7/26/2019 49_cris
5/9
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014| 439
Tabel 1. Beberapa hasil penelitian terkait induksi umbi mikro kentang
Eksplan MediaLingkungan
kulturHasil Keterangan
Stek in
vitro
kentang
Atlantik
MS + Coumarin
45 mg/L
Periode cahaya 16
jam
Jumlah umbi
rata-rata 2,45
dengan bobot
20 mg
Sakya et al.,
2003
Nodedari
kultivar
PARS 70
MS solid agar
dengan
konsentrasi
sukrosa 8%
Suhu 270C, periode
cahaya 16 jam
dengan intensitas
2500 lux
Jumlah umbi
mikro rata-rata
2,16 dengan
bobot 164,05
mg
Fatima et al.,
2004
Stek
mikro dari
kultivarKarnico
MS agar
solid+Aspirin
Periode cahaya 16
jam dengan
intensitas 2000-3000 lux
Jumlah umbi
mikro rata-rata
6,25 denganbobot kering
137 mg
Warnita, 2007
a b
Gambar 2. Perbandingan hasil induksi umbi mikro dengan menggunakan eksplan
dari (a) nodedan (b)shoot tippada kultivar PARS 70
Stek mikro
Stek mikro berasal dari perbanyakan stek buku tunggal pada media MS padat tanpaZPT. Stek mikro dapat digunakan untuk memproduksi umbi bibit atau umbi mini. Hussey
dan Stacey (1981) menyatakan bahwa laju perpanjangan dan penebalan batang, jumlah
buku, dan morfologi tunas mikro dipengaruhi oleh panjang hari , intensitas cahaya dan
suhu. Selanjutnya Hutabarat (1994) menyatakan bahwa kondisi suhu optimum pembentukan
buku adalah 20-25C dengan penyinaran terus-menerus. Semakin lama penyinaran akan
membuat batang tunas mikro kentang semakin tebal dan pendek. Batang yang tebal dan
pendek lebih muda disubkultur daripada batang yang panjang dan kurus. Stek mikro kentang
mempunyai kemampuan multiplikasi yang sangat besar. Dari satu stek mikro bisa dihasilkan
sekitar 50-60 stek mini tergantung dari media dan pupuk daun yang diberikan (Wattimena,
2000).
7/26/2019 49_cris
6/9
Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan
pada tanaman kentang | 440
Permasalahan stek mikro adalah kendala transportasi, apalagi jika jarak antara lab
kultur jaringan dan tempat aklimatisasi letaknya berjauhan. Transportasi plantlet dengan
botol kultur adalah memakan tempat dan tidak praktis, sehingga dikembangkan sistem
transportasi TAS (Toples Arang Sekam) dan TIAS (Tisu Arang Sekam). Pada sistem TAS,
plantlet dipindahkan kedalam toples yang berisi media arang sekam dan diprakondisi didalam lab selama 3 hari. Di tempat pembibitan stek mikro yang berada di toples berfungsi
sebagai stek mini, selanjutnya tiap satu minggu stek dapat dipanen sampai 8 minggu
tergantung kesuburan media yang ada di toples (Wattimena, 2000). Selain itu juga terdapat
teknik pengemasan yang dikembangkan Warnita (2006) dengan enkapsulasi tunas. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa pemberian hormon GA3 0.10 mg/l dan spermidin dengan
konsentrasi 4.00 mg/l dapat meningkatkan saat muncul tunas dan tinggi tanaman
enkapsulasi kentang.
Perbanyakan propagul kentang bebas vir us dengan kul tur meristem
Penyakit yang disebabkan oleh virus dapat terbawa dalam umbi kentang dari satugenerasi ke generasi selanjutnya dan belum ditemukan obat pengendali virus. Pada tanaman
kentang ditemukan sekitar 50 jenis virus. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
memproduksi propagul kentang bebas virus yaitu dengan kultur meristem dengan
menggunakan eksplant berupa jaringan meristematik (0,11-0,25 mm). Hasil penelitian
Sanavy dan Moeini (2003) menunjukkan pemberian NAA dan BAP serta media tanam
serbuk lumut dan pasir dengan perbandingan 4:1 adalah media yang baik untuk
pertumbuhan plantlet kentang kultivar Agria dan Marvona hasil kultur meristem. Sedangkan
plantletnya dihasilkan dengan menggunakan media MS dengan 0.25 mg/l GA3 and 0.01
mg/l NAA. Kemudian Plantlet ditumbuhkan pada suhu 250C and 16 h photoperiod dengan
intensitas cahaya 2000 selama 1 bulan.
Kultur Jaringan Untuk Perakitan Kultivar Baru Tanaman Kentang
Pengembangan kultivar baru kentang kedepan adalah untuk memenuhi kebutuhan
terhadap sisi hilir dan juga sisi produksi. Kebutuhan dari sisi hilir adalah spesifik
penggunaan untuk kentang segar dan juga kentang olahan. Sedangkan dari aspek produksi
dibutuhkan kultivar yang toleran cekaman biotik maupun abiotik. Beberapa teknik untuk
menghasilkan kultivar baru melalui kultur in vitro sudah banyak dilakukan diantaranya
adalah melalui seleksi in vitro, hibridisasi somatik/fusi protoplas, maupun melalui rekayasa
genetik.
Penelitian untuk menghasilkan kultivar baru melalui seleksi in vitro pada tanamankentang toleran kekeringan salah satunya dilakukan oleh Suharjo (2007) dengan menseleksi
12 genotipe kentang dengan agen penyeleksi PEG 8000 dengan konsentrasi 8%. Dengan
menggunakan indikator bobot kering akar, tunas, dan luas daun diperoleh genotipe Richie
yang paling toleran kekeringan. Tanaman kentang juga sangat sensitif terhadap mangan
yang terlalu berlebih sehingga bersifat toxic. Dampaknya adalah terjadinya nekrosis pada
lapisan batang. Hasil penelitian Sarkar et al. (2004) menunjukkan terdapat korelasi positif
antara konsentrasi mangan pada kentang terhadap kandungan mikronutrien Phospor pada
tanaman kentang. Semakin tinggi tingkat Mn maka kandungan P dalam tanaman semakin
berkurang.
7/26/2019 49_cris
7/9
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014| 441
Penelitian tentang genetika kentang juga dilakukan oleh Ni et al. (2009) yang
meneliti tentang gen pada tanaman kentang yang resisten terhadap layu bakteri dan cekaman
NaCl. Perbanyakan plantlet dilakukan secara in vitro dengan menggunakan media MS+3%
sukrosa+0,8% agar yang ditumbuhkan selama 4-5 minggu dengan kondisi periode cahaya
16 jam dengan suhu 200
C. Agen penyeleksi yang digunakan adalah inokulan bakteriPhytophthora infestans dan 200 Mm larutan NaCl. Hasilnya adalah dalah ditemukan gen
StPUB17 yang diisolasi dari daun kentang yang bersifat broad spectrum yang menyebabkan
tanaman sensitif terhadap P. infestans dan cekaman NaCl. Temuan ini kedepannya dapat
digunakan untuk perakitan kultivar baru kentang yang toleran layu bakteri dan cekaman
NaCl. Penelitian rekayasa genetika lainnya dilakukan oleh Kumar et al. (2010) yang
mengembangkan kentang transgenik yang berasal dari kultivar Kufri Badshah dengan
momidifikasi gen cry1Ab yang diambil dari Baccillus thuringiensis untuk mengendalikan
serangan hama penggerek umbi.
Gambar 3. Perbandingan hasil pengujian umbi mikro kentang (A) kentang cv Kufri
Badsah sebagai kontrol dengan (B) kentang transgenik CG127 yang
diinfestasi dengan larva penggerek umbi selama 21 hari
Regenerasi tanaman merupakan salah satu komponen dalam manipulasi genetik
secara in vitro. Untuk mendapatkan tanaman hasil rekayasa genetika maka diperlukan suatu
sistem regenerasi yang berhasil meregenerasikan tanaman baru. Pada penelitian kentang
transgenik diatas juga telah dihasilkan protokol untuk regenerasi. Selain itu untuk
meregenerasikan fusi protoplas juga telah diteliti oleh Asnawati et al (2002). Hasilpenelitiannya menunjukkan bahwa media MS dengan 2x konsentrasi unsur makro yang
dikombinasikan dengan sukrosa menghasilkan tanaman in vitro yang vigor dan berdiameter
daun lebar (144 cm). Kemampuan eksplan mesofil daun dalam menginisiasi tunas
tergantung dari interaksi ZPT yang diberikan, namun secara umum media M10 (0,1 mg/l
IAA+0,5 mg/l zeatin+0,5 mg/l GA3) merupakan media yang terbaik untuk meregenerasikan
tunas yang vigor. Larutan enzim dengan komposisi 0,5% selulase Onozuka RS dan 0,05%
pektoliase; 0,05% MES; 9,1 % manitol pada pH 5,5-5,6 dapat mengisolasi protoplas paling
tinggi yaitu 46,58x105protoplas/daun pada klon BF 15 kultivar Atlantic.
7/26/2019 49_cris
8/9
Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan
pada tanaman kentang | 442
Kesimpulan
Penggunaan kultur jaringan pada tanaman kentang sudah sedemikian berkembang.
Perbanyakan secara in vitro ditujukan untuk mendapatkan teknik yang efisien dan murah
harganya sehingga propagul yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif. Kemudian teknikuntuk mentransportasikan hasil stek mikro juga bisa dilakukan dengan sistem TAS maupun
TIAS, bahkan saat ini juga sudah dilakukan dengan enkapsulasi. Sedangkan penggunaan
kultur jaringan untuk menghasilkan kultivar baru juga sudah banyak dilakukan baik melalui
seleksi in vitro maupun melalui rekayasa genetik.
Daftar Pustaka
Asnawati, G.A. Wattimena, M. Machmud, A. Purwito. 2002. Studi regenerasi dan produksi
protoplas mesofil daun beberapa klon tanaman kentang (Solanum tuberosum L).Buletin Agronomi 30 (3):87-91
Bodani, A., J.S. Chauhan. 2010. In vitro sterilization protocol for micropropagation of
Solanum tuberosum cv. Kufri Himalini. Academia Arena 2(4): 24-27
Fatima, B., M. Usman, I. Ahmad, dan I.A. Khan. 2004. Effect of explant and sucrose on
microtuber induction in potato cultivar. International Journal of Agriculture &
Biology 07(1): 63-66
Karjadi, A.K. 2007. Effect of kinetin, IAA, and GA3hormones on growth of potato plantlet.
J. Agrivigor 6(2): 100-105
Kementerian Pertanian. 2010. Statistik Pertanian.www.deptan.go.id.diakses pada tanggal 1Juli 2010
Khadiga, G. Abd Elalem, Rasheid, S. Modawi, Mutashim, M. Khalafalla. 2009. Effect of
cultivar and growth regulator on in vitro micropropagation of potato. American-
Eurasian Journal of Sustainable Agriculture 3(3):487-492
Kumar, M., V. Chimote, R. Singh, G.P. Mishra, P.S. Naik, S.K. Pandey, dan S.K.
Chakrabarti. 2010. Development of Bt transgenic potatoes for effective control of
potato tuber moth by using cry1Ab gene regulated by GBSS promoter. Crop
Protection 29 (2): 121-127
Mohamed, M.A.H., dan A.A. Alsadon. 2010. Influence of ventilation and sucrose on growthand leaf anatomy of micropropagated potato plantlets. Scientiae Horticulturae 123
(3): 295-300
Ni X., Z. Tian, J. Liu, B. Song, J. Li, X. Shi, dan C. Xie. 2010. StPUB17, a novel potato
UND/PUB/ARM repeat type gene is associated with blight resistance and NaCl
stress. Plant Science 178: 158-169
Rubatsky, V., dan M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia: Prinsip, produksi, dan gizi.
Penerbit ITB. Bandung
Sajid, Z.A., dan F. Aftab. 2009. Effect if thidiazuron (TDZ) on in vitro micropropagation of
Solanum tubersolum L cv. Desiree and Cardinal. Pak.J.Bot., 41(4): 1811-1815
http://www.deptan.go.id/http://www.deptan.go.id/http://www.deptan.go.id/http://www.deptan.go.id/7/26/2019 49_cris
9/9
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi,
Banjarbaru 6-7 Agustus 2014| 443
Sakya, T.A., A. Yunus, Samanhudin, U. Baroroh. 2003. The effect of coumarin and aspirin
on induction of potato microtuber. Agrosains 5(1): 19-28
Sanavy, S.A.M.M., dan M.J. Moeini. 2003. Effects of different hormone combinations and
planting beds on growth of single nodes and plantlets resulted from potato meristem
culture. Plant Tissue Cult. 13(2): 145-150
Sarkar, D., S.K. Pandey, K.C. Sud, A. Chanemougasoundharam. 2004. In vitro
characterization of manganese toxicity in relation to phosporus nutrition in potato
(Solanum tubersolum L). Plant Science 167 (977-986)
Suharjo, U.K.J. 2007. Use of polyethilene glycol (PEG) 8000 for rapid screening of potato
(Solanum tubersolum L) genotypes for water stress tolerance:III. Root and shoot
growth. Jurnal Akta Agrosia (1): 11-18
Warnita. 2007. Effect of growth media and photoperiod on potato microtuberization. Jurnal
Akta Agrosia 10(2): 167-171
Wattimena, G.A., Mc. Cown dan G. Weis. 1983. Comparative field performance of potatoes
from microculture. Am. Potato J. 60:27-33
Wattimena. 1986. Kultur jaringan tanaman kentang. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor
Wattimena. 1992. Bioteknologi tanaman I. PAU-Bioteknologi IPB. Bogor
Wattimena. 2000. Pengembangan propagul kentang bermutu dari kultivar unggul dalam
mendukung peningkatan produksi kentang di Indonesia. Orasi ilmiah guru besar tetap
ilmu hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 86p