6
70 Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research (2019), 3(2), pp. 70–75 Program Studi Bimbingan dan Konseling | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) ISSN (Print): 2548-3226 INNOVATIVE COUNSELING Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Intan Mutiara Mir’atannisa 1) , Nandang Rusmana 2) , Nandang Budiman 3) *) Universitas Pendidikan Indonesia (e-mail) [email protected], [email protected], [email protected] Abstract. The purpose of this study is to understand how important resilience as positif adaptation. This paper focuses on describing resilience, especially about definition, dimention, factor, and instrument resilience. There are four dimentions that can help people to build resilience. These four dimention are determination, endurance, adaptability, and recuperability. Resilience is influenced by individual, family, and social environmental factors. The results of this study can use to become a reference for the future researchers. Keywords : Multicultural Sensitivity, Counselor, Counseling Service Rekomendasi Citasi: Mir’atannisa, Rusmana & Budiman. (2019). Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi. Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research, 3 (2): pp. 70-76 Article History: Received on 04/25/2019; Revised on 05/30/2019; Accepted on 06/03/2019; Published Online: 08/28/2019. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. © 2019 Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research Pendahuluan Setiap individu mempunyai kesulitan masing-masing dalam hidupnya. Kesulitan yang dialami oleh individu beragam, misalnya orang tua yang tidak lengkap, kemiskinan, tunawisma, peristiwa traumatis, bencana alam, kekerasan, perang, penyakit fisik, dan lain-lain (Herrman, 2011). Berbagai kesulitan yang dialami akan direspon secara berbeda oleh masing-masing individu. Individu yang tidak dapat merima kesulitan yang dialami dapat memperoleh kekecewaan serta pengalaman yang tidak menyenangkan dalam hidupnya. Fuster (2014) mengungkapkan bahwa kekecewaan yang dialami dapat melumpuhkan apabila individu membiarkan dirinya secara emosional ditaklukan oleh kekalahan. Perlu adanya bantuan resiliensi untuk membantu individu bangkit kembali dari kesulitan dan berhasil beradaptasi dengan tuntutan situasi yang penuh tekanan. Fuster (2014) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki resiliensi menganggap kesulitan sebagai tantangan, bukan sebagai ancaman. Sejalan dengan yang diungkapkan Fuster, Hersberger (2012) menyatakan bahwa sebesar apapun tingkat kesulitan yang dialami individu yang tangguh tidak akan berpengaruh besar pada kehidupan yang dijalani. Berbeda dengan individu yang memiliki resiliensi rendah, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suwarjo (2008) bahwa individu dengan tingkat resiliensi rendah tidak dapat menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Selain itu, Desmita (2013, hlm. 227) mengungkapkan bahwa tanpa adanya brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk provided by Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya: Open Journal Systems

Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

70

Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research (2019), 3(2), pp. 70–75 Program Studi Bimbingan dan Konseling | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan |

Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) ISSN (Print): 2548-3226

INNOVATIVE COUNSELING

Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi

Intan Mutiara Mir’atannisa1), Nandang Rusmana2), Nandang Budiman3) *) Universitas Pendidikan Indonesia

(e-mail) [email protected], [email protected], [email protected]

Abstract. The purpose of this study is to understand how important resilience as positif

adaptation. This paper focuses on describing resilience, especially about definition, dimention,

factor, and instrument resilience. There are four dimentions that can help people to build

resilience. These four dimention are determination, endurance, adaptability, and recuperability.

Resilience is influenced by individual, family, and social environmental factors. The results of

this study can use to become a reference for the future researchers.

Keywords : Multicultural Sensitivity, Counselor, Counseling Service

Rekomendasi Citasi: Mir’atannisa, Rusmana & Budiman. (2019). Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi.

Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research, 3 (2): pp. 70-76

Article History: Received on 04/25/2019; Revised on 05/30/2019; Accepted on 06/03/2019; Published Online:

08/28/2019. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which

permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

© 2019 Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research

Pendahuluan

Setiap individu mempunyai kesulitan

masing-masing dalam hidupnya.

Kesulitan yang dialami oleh individu

beragam, misalnya orang tua yang tidak

lengkap, kemiskinan, tunawisma,

peristiwa traumatis, bencana alam,

kekerasan, perang, penyakit fisik, dan

lain-lain (Herrman, 2011). Berbagai

kesulitan yang dialami akan direspon

secara berbeda oleh masing-masing

individu. Individu yang tidak dapat

merima kesulitan yang dialami dapat

memperoleh kekecewaan serta

pengalaman yang tidak menyenangkan

dalam hidupnya.

Fuster (2014) mengungkapkan

bahwa kekecewaan yang dialami dapat

melumpuhkan apabila individu

membiarkan dirinya secara emosional

ditaklukan oleh kekalahan. Perlu adanya

bantuan resiliensi untuk membantu

individu bangkit kembali dari kesulitan

dan berhasil beradaptasi dengan tuntutan

situasi yang penuh tekanan. Fuster

(2014) mengungkapkan bahwa individu

yang memiliki resiliensi menganggap

kesulitan sebagai tantangan, bukan

sebagai ancaman.

Sejalan dengan yang diungkapkan

Fuster, Hersberger (2012) menyatakan

bahwa sebesar apapun tingkat kesulitan

yang dialami individu yang tangguh

tidak akan berpengaruh besar pada

kehidupan yang dijalani. Berbeda

dengan individu yang memiliki resiliensi

rendah, berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Suwarjo (2008) bahwa

individu dengan tingkat resiliensi rendah

tidak dapat menilai, mengatasi, dan

meningkatkan diri ataupun mengubah

dirinya dari keterpurukan atau

kesengsaraan dalam hidup. Selain itu,

Desmita (2013, hlm. 227)

mengungkapkan bahwa tanpa adanya

brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

provided by Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya: Open Journal Systems

Page 2: Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk

71

resiliensi tidak akan ada keberanian,

ketekunan, tidak ada rasionalitas, serta

tidak ada insight. Resiliensi sangatlah

dibutuhkan agar individu dapat

merespon masalah yang dialaminya

secara lebih positif sehingga individu

dapat bertahan dengan kondisi sulit yang

diaminya, bangkit kembali, dan

memiliki sikap yang positif.

Resiliensi merupakan suatu hal yang

penting serta memiliki berbagai manfaat

dalam kehidupan, ditandai dengan

berbagai pengembangan penelitian

terkait resiliensi. Penelitian yang

berhubungan dengan kesehatan mental

di antaranya meningkatkan resiliensi

pada mahasiswa gangguan kejiwaan

(Hartley, 2010) dan berhubungan dengan

stres pada remaja (Romeo, 2015).

Penelitian lain memfokuskan pada

bidang akademik di antaranya resiliensi

pada dunia kesehatan (Zimmerman,

2005), meliputi juga resiliensi pada

remaja yang mengalami kanker

(Woodgate, 1999), resiliensi pada

keluarga yang memiliki anak autis

(Bayat, 2007), serta faktor resiliensi pada

remaja (Jiamei, 2011). Selain itu juga

terdapat penelitian terkait resiliensi

sebagai intervensi pada remaja dengan

tingkat kecanduan internet yang tinggi

(Wisniewski, dkk, 2015).

Pentingnya resiliensi juga dapat

terlihat berdasarkan penelitian terdahulu

yang dilakukan oleh Bayat (2007) yang

berjudul “Evidence of resilience in

families of children with autism” bahwa

resiliensi dalam keluarga merupakan

salah satu faktor yang berkontribusi agar

dapat menjadi lebih kuat meskipun

sedang menghadapi sebuah kesulitan.

Keluarga yang memiliki anak autisme

memiliki berbagai tantangan, akan tetapi

dapat diatasi melalui resiliensi. Proses

resiliensi yang dilakukan keluarga dalam

penelitian ini yaitu melalui cara

membuat makna yang positif dari suatu

kecacatan, mobilisasi sumber daya,

bersatu, serta lebih dekat sebagai

keluarga, menemukan apresiasi yang

lebih besar terhadap kehidupan secara

umum dan orang lain secara spesifik,

serta memperoleh kekuatan rohani.

Resiliensi juga dapat digunakan

sebagai intervensi dalam menangani

kasus bullying. Penelitian yang

dilakukan oleh Narayanan dan Betts

(2014) dengan judul Bullying Behaviors

and Victimization Experiences Among

Adolescent Students: The Role of

Resilience meneliti tentang peran

resiliensi dalam hubungan antara

perilaku bullying, pengalaman

viktimisasi, dan self-efficacy. Temuan

penelitian ini memiliki implikasi guna

merancang program intervensi untuk

meningkatkan resiliensi di kalangan

remaja dan dewasa muda untuk

memungkinkan mereka mengelola

perilaku bullying.

Resiliensi juga mempunyai peran

yang penting dalam bidang akademik.

Penelitian yang dilakukan oleh Martin

(2002) tentang Motivation and academic

resilience: Developing a model for

student enhancement yang mana

mengeksplorasi model motivasi serta

memperkenalkan model resiliensi

akademik. Motivasi merupakan hal yang

sangat penting bagi keberhasilan

akademik, akan tetapi hal tersebut dapat

hilang apabila siswa tidak tahan terhadap

tantangan, tekanan belajar, dan tekanan

yang ada di sekolah. Oleh karena itu

penting sekali siswa memiliki motivasi

dan ketahanan terhadap tekanan

akademis. Siswa yang tidak memiliki

resiliensi akademik dapat beresiko ada

pada kemunduran, stres, atau tekanan di

sekolah. Penelitian ini digunakan untuk

membantu para siswa yang

membutuhkan bantuan dalam

mempertahankan kekuatan motivasi dan

resiliensi dalam bidang akademik.

Page 3: Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCHVol.3, No.2, Agustus 2019 Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Mir’atannisa, dkk

72

Penelitian yang dilakukan oleh

Reivich & Shatte (2002, hlm. 11) selama

kurang lebih 15 tahun pada Universitas

Pennsylvania mengungkapkan bahwa

resiliensi memegang peranan penting

dalam hidup individu, yang mana

resiliensi merupakan hal yang esensial

bagi kesuksesan dan kebahagiaan.

Secara lebih spesifik, Reivich & Shatte

(2002, hlm. 1) juga mengungkapkan

bahwa lebih dari lima puluh tahun

penelitian ilmiah telah dengan kuat

menunjukkan bahwa resiliensi adalah

kunci keberhasilan di tempat kerja dan

kepuasan dalam hidup.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka

resiliensi sangatlah dibutuhkan dalam

kehidupan setiap individu. Oleh karena

itu, perlu pembahasan secara lebih lanjut

terkait konsep dan sumber resiliensi.

Pembahasan

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi merupakan sebuah

konsep yang relatif baru dalam ranah

psikologi. Paradigma resiliensi didasari

adanya pandangan kontemporer dari

lapangan psikiatri, psikologi dan

sosiologi, mengenai anak, remaja dan

individu dewasa yang dapat bangkit

kembali serta bertahan dari kondisi

stress, trauma, dan resiko dalam

kehidupannya. Beberapa studi dalam

bidang resiliensi menolak pandangan

yang menganggap bahwa stress dan

resiko (termasuk penyimpangan,

kerugian, kesalahan atau tekanan-

tekanan hidup lainnya) merupakan

musibah yang tidak dapat dihindari

sehingga menyebabkan berkembangnya

penderitaan dalam lingkaran

kemiskinan, penyimpangan, kekerasan

atau kegagalan dalam pendidikan

(Desmita, 2006, hlm. 198).

Penelitian awal yang menguji

resiliensi dalam bidang psikologi

mencerminkan pergeseran paradigma

dari mencari faktor-faktor risiko yang

mengarah pada masalah psikososial

kepada identifikasi kekuatan individu

(Richardson, 2002). Dorongan penelitian

awal yang menguji resiliensi adalah

mencari faktor-faktor yang melindungi

individu dari stres yang dihadapi. Selain

itu, juga digunakan untuk membedakan

individu yang dapat beradaptasi dengan

keadaan dan yang menyerah pada

tuntutan. Sejak awal 1990-an, fokus

penelitian resiliensi telah bergeser dari

mengidentifikasi faktor protektif untuk

memahami proses sejauh mana individu

dapat mengatasi kesulitan yang dialami

(Fletcher & Sarkar, 2013).

Istilah resiliensi pertama kali

dirumuskan oleh Jack and Jeanne Block

yang disebut sebagai ego resiliensi

(Klohnen, 1996). Block (dalam Klohnen,

1996) mengungkapan bahwa ego

resilensi merupakan kemampuan

adaptasi yang tinggi dan fleksibel ketika

dihadapkan pada tekanan internal

ataupun eksternal. Sejalan dengan yang

disampaikan Block, Masten (2006)

mengungkapkan bahwa resiliensi

merupakan payung konseptual yang

mencakup banyak konsep terkait dengan

pola adaptasi positif dalam hal

kemampuan individu dalam mengatasi

kesulitan hidup.

Resiliensi mengacu pada

kemampuan mengatasi dan adaptasi

yang efektif meskipun dihadapkan pada

kehilangan, kesulitan ataupun

kesengsaraan (Tugade & Fredikson,

2004). Winder (2006, hlm. 8)

mengungkapkan bahwa resiliensi dapat

didefinisikan sebagai kemampuan

individu untuk bangkit kembali dari

keterpurukan dan menghadapi tantangan

baru. Sejalan dengan Winder, Davydov

dkk (2010) mengemukakan bahwa

resiliensi dapat dilihat sebagai

mekanisme pertahanan, yang

memungkinkan individu untuk

berkembang dalam menghadapi

kesulitan. Menurut Herrman (2011)

Page 4: Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk

73

resiliensi mengacu pada adaptasi positif,

atau kemampuan untuk

mempertahankan atau mendapatkan

kembali kesehatan mental, meskipun

mengalami kesulitan.

Definisi lain mengenai resiliensi

yaitu proses dinamis dimana individu

menampilkan kemampuan adaptif yang

positif meskipun mengalami trauma

ataupun kesulitan yang signifikan.

Resiliensi dapat digunakan sebagai

ukuran kemampuan untuk mengatasi

stres. Resiliensi berguna dan bersumber

dari dalam diri individu, kehidupan

mereka, dan lingkungan sekitar yang

memfasilitasi kapasitas ini untuk

beradaptasi dan "memantul kembali"

pada saat menghadapi kesulitan (Windle,

Bennert, & Noyes, 2011).

Berdasarkan pengertian menurut

beberapa ahli di atas dapat disimpulkan

bahwa resiliensi merupakan kemampuan

adaptasi positif untuk membantu

individu mengatasi kesulitan,

kehilangan, atau kesengsaraan dalam

hidup, serta mampu bangkit kembali,

berkembang, dan dapat menghadapi

tantangan yang baru.

2. Dimensi Resiliensi

Resiliensi individu pada masa

dewasa dapat dikembangkan

berdasarkan dimensi-diemsi resiliensi

yang ada. Taormina (2015) mengatakan

bahwa terdapat empat dimensi resiliensi

pada individu yang berada pada masa

dewasa yaitu Determination, Endurance,

Adaptability, dan Recuperability. Untuk

membangun sebuah resiliensi pada

pribadi orang dewasa, perlu juga untuk

menentukan empat komponen dan

menguraikan pada sifat mereka

khususnya karakteristik pribadi masing-

masing individu.

Determination didefinisikan sebagai

kekuatan dan keteguhan tujuan yang

dimiliki individu dan keputusan untuk

bertahan atau berhasil, yang mana

komponen ini mencerminkan dimensi

sadar atau kognitif dari resiliensi

individu. Endurance didefinisikan

sebagai kekuatan dan ketabahan pribadi

yang dimiliki individu untuk menahan

situasi yang tidak menyenangkan atau

sulit tanpa menyerah. Adaptability

didefinisikan sebagai kapasitas untuk

menjadi fleksibel serta memiliki banyak

akal, untuk mengatasi lingkungan yang

buruk dan menyesuaikan diri dengan

kondisi yang berubah. Recuperability

didefinisikan sebagai kemampuan untuk

memulihkan secara fisik dan kognitif,

dari berbagai jenis bahaya, kemunduran,

atau kesulitan untuk kembali dan

membangun kembali kondisi seperti

semula. Apabila empat dimensi tersebut

dimiliki oleh setiap individu, maka

resiliensi dapat ditingkatkan dengan

memperkuat salah satu atau semua

karakteristik resiliensi tersebut.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Resiliensi

Faktor-faktor yang mempengaruhi

resiliensi menurut Barankin & Khanlou

(dalam Khanlou & Wray, 2014) di

antaranya yaitu faktor individual, faktor

keluarga, dan faktor lingkungan sosial.

a. Faktor individual

Faktor individu memerlukan suatu

karakter, kekuatan belajar, konsep

diri, emosi, cara berpikir,

keterampilan adaptif, dan

keterampilan sosial. Kombinasi dari

setiap sifat individu dan pengalaman

belajar yang diperoleh melalui

interaksi dan peluang yang diberikan

oleh keluarga, sekolah, dan

masyarakat membantu membentuk

resiliensi individu. Selain itu,

resiliensi individu juga dapat

terbentuk melalui keberhasilan

transisi dari setiap fase

perkembangan.

b. Faktor keluarga

Page 5: Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCHVol.3, No.2, Agustus 2019 Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Mir’atannisa, dkk

74

Kekuatan yang dimiliki oleh setiap

keluarga dan tantangan yang

dihadapinya akan selalu berubah

seiring waktu. Faktor keluarga

memiliki keterkaitan dengan faktor

individu dan dipengaruhi oleh faktor-

faktor lingkungan, yang mana akan

berdampak pada resiliensi masing-

masing anggota keluarga dan

keluarga secara keseluruhan. Faktor

keluarga mencakup kasih sayang,

komunikasi, hubungan orangtua, pola

asuh, dan dukungan di luar keluarga.

c. Faktor lingkungan sosial

Faktor lingkungan sosial

mempengaruhi faktor resiliensi

individu dan keluarga. Faktor

lingkungan sosial di antaranya

terdapat gagasan keadilan terkait

kesempatan, keadilan sosial, dan

saling menghormati untuk semua

melalui praktik, kebijakan, dan

hukum (Barankin dan Khanlou 2007).

Faktor lingkungan sosial memerlukan

kondisi sosial serta keterlibatan

individu dalam lingkungan sosialnya.

4. Instrumen Resiliensi

Resiliensi dapat diukur

menggunakan berbagai macam

instrumen. Windle, dkk. (2011) dalam

penelitiannya yang berjudul A

methodological review of resilience

measurement scales mereview lima

belas instrumen mengenai resiliensi.

Lima belas instrumen yang direview

di antaranya The Resilience Scale for

Adults (RSA 37 item), The Connor-

Davidson Resilience Scale (CD-RISC 25

item), The Brief Resilience Scale, The

Resilience Scale for Adults (RSA 33

item), Psychological Resilience, The

Resilience Scale (RS), The ER 89, The

Connor-Davidson Resilience Scale (CD-

RISC 10 item), Resilience Scale for

Adolescents (READ), The Dispositional

Resilience Scale (3), The Resiliency

Attitudes and Skills Profile, Adolescent

Resilience Scale, Ego Resilience, The

Dispositional Resilience Scale (1), Youth

Resiliency: Assessing Developmental

Strengths, The Dispositional Resilience

Scale (2), The Child and Youth

Resilience Measure (CYRM), California

healthy Kids Survey - The Resilience

Scale of the Student Survey, dan Ego

Resilience (Bromley).

Berdasarkan lima belas instrumen

yang telah di review dalam penelitian

Windle, dkk (2011) tersebut didapatkan

empat instrumen psikometrik terbaik. Ke

empat instrumen psikometrik

berdasarkan peringkat terbaik yaitu

Connor-Davidson Resilience Scale, the

Resilience Scale for Adults, dan the Brief

Resilience Scale. Hal tersebut dilihat

berdasarkan kecukupan konseptual dan

teoritis dari sejumlah sekala yang

dipertanyakan (Windle, dkk, 2011).

Simpulan

Resiliensi merupakan suatu hal yang

penting untuk dimiliki setiap individu.

Resiliensi digunakan sebagai

kemampuan adaptasi positif untuk

membantu individu bertahan, mengatasi,

menjadi kuat, bahkan berubah dan dapat

berkembang walau dalam keadaan sulit.

Resiliensi terdiri dari empat dimensi di

antaranya terdapat determination,

endurance, adaptability, dan

recuperability. Berbagai faktor yang

dapat mempengaruhi resiliensi di

antaranya faktor individual, faktor

keluarga, dan faktor lingkungan sosial.

Untuk mengetahui resiliensi individu

dapat diukur menggunakan berbagai

instrument resiliensi di antaranya CD-

RISC, the Resilience Scale for Adults,

dan the Brief Resilience Scale.

Referensi

Davydov, dkk. (2010). Resilience and

mental health. Clinical

Page 6: Kemampuan Adaptasi Positif Melalui ResiliensiKemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk 71 resiliensi tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas,

Kemampuan Adaptasi Positif Melalui Resiliensi Mir’atannisa, dkk

75

Psychology Review. 30 (5), 479-

95. doi:

10.1016/j.cpr.2010.03.003

Desmita. (2013). Psikologi

Perkembangan Peserta Didik.

Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Fletcher, D., & Sarkar, M. (2013).

Psychological resilience: A

review and critique of definitions,

concepts, and theory. European

Psychologist, 18(1), 12-23. doi :

10.1027/1016-9040/a000124.

Fuster, Valentin. (2014). The Power of

Resilience. Journal of the

american College Of Cardiology,

64 (8), 840-842. doi:

10.1016/j.jacc.2014.07.013.

Herrman, Helen,. dkk. (2011). What Is

Resilience?. La Revue canadienne

de psychiatrie, 56 (5), 258-265.

doi:

10.1177/070674371105600504

Hersberger, J. (2012). Resilience theory,

information behaviour and social

support in everyday life. Advances

in Experimental Psychology, 31

(2), 1-77.

Klohnen, E.C. (1996). Conseptual

Analysis and Measurement of The

Construct of Ego Resilience.

Journal of Personality and Social

Psychology, 70 (5), 1067-1079.

doi: 10.1037/0022-

3514.70.5.1067.

Masten. (2001). Ordinary Magic:

Resilience Processes in

Development. America

Psichologist, 56 (3), 227-238. doi:

10.1037/0003-066X.56.3.227.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The

Resilience Factor: 7 Essential

Skills for Overcoming Life’s

Inevitable Obstacles. New York :

Broadway Books.

Suwarjo. (2008). Konseling Teman

Sebaya untuk Peningkatan

Resiliensi Remaja (Pemanfaatan

Interaksi Remaja dalam Layanan

Bimbingan dan Konseling di SLTP

dan SLTA). Makalah.Yogyakarta:

Universitas Negeri Yogyakarta.

Taormina, Robert J. (2015). Adult

Personal Resilience: A New

Theory , New Measure, and

Practical Implications.

Psychological Thought, 8 (1), 35–

46. doi: 10.1111/nin.12067.

Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L.

(2004). Resilient individuals use

positive emotions to bounce back

from negative emotional

experiences. Journal of

Personality and Social

Psychology. 86, 320-333. doi:

10.1037/0022-3514.86.2.320.

Windle, G., Bennert, K.M., & Noyes, J.

(2011). A methodological review

of resilience measurement scales.

Health and Quality of Life

Outcomes, 9:8. doi: 10.1186/1477-

7525-9-8

Woodgate, RL. (1999). Conceptual

Understanding of Resilience in the

Adolescent With Cancer: Part I.

Journal of Pedriatic Oncology

Nursing, 16 (1), 35-43. doi:

10.1177/104345429901600105.